Setelah mendengar teriakan Rina yang cukup mengganggu, sejumlah ibu-ibu yang tengah berkumpul di salah satu rumah tetangga Tiffany pun ramai berdatangan menghampirinya. Mereka sontak terkejut ketika mengetahui bahwa wanita yang tengah membuat kerusuhan itu adalah Rina—wanita yang akhir-akhir ini hangat dibicarakan di media pemberitaan. “Mbak, udah Mbak … jangan marah-marah. Ngabisin tenaga aja buat marah-marah sama pelakor! Udah, Mbak. Nanti juga dia kena karmanya sendiri,” celetuk salah satu ibu-ibu yang paling tua dari yang lainnya, mungkin sekitar lima puluh tahunan. Dimas mengerutkan bibirnya menahan kesal. “Bu, tolong ya, jangan buat statement yang enggak-enggak! Nggak usah memperkeruh keadaan!” “Loh?” gumam ibu-ibu tadi. “Itu Dimas, kan?” tanyanya pada ibu-ibu yang lai
Kevin melepaskan sejilid kertas dari tangannya. Ia menggeliatkan tubuhnya setelah selesai membaca dan mempelajari naskah serial drama yang akan diperankannya mulai hari ini. Sambil mengamati langit-langit kamarnya, senyum Kevin tiba-tiba mengembang dengan sempurna. Matanya mengecil membentuk bulan sabit. Lagi-lagi ingatannya dimabuk oleh bayang-bayang wajah Tiffany. "Fany," gumamnya yang membuat wajahnya merah tersipu. Kevin memegangi dadanya. Hatinya terasa begitu hangat. Wajah Tiffany seolah menjadi hotpack yang menghangatkan perasaannya di pagi buta yang dingin ini. 'Itu tuh bahasa anak zaman now, Vin. Kamu sih nggak penah iseng main ke Indo, jadi ketinggalan jaman deh!' Terbayang tawa Tiffany yang begitu renyah ketika puas meledeki Kevin saat di kafe kemarin pagi. Ada juga raut wajah Tiffany yang menggemaskan ketika wanita itu merasa jengkel atas ledekan-ledekan yang dilayangkan Kevin. Semua keceriaan yang terjadi kemarin pagi seolah terjadi bagai sebuah mimpi. setelah belasan
Usai sampai di apartemennya, Kevin lekas membawa Tiffany ke dalam kamarnya. Dengan begitu hati-hati, ia meletakkan tubuh wanita itu di atas kasur king size-nya, tak luput menyelimutinya hingga bagian leher. "Kenapa kamu bisa sampai kayak gini, Fan?" gumam Kevin. Mata sendunya kembali terpaku mengamati wajah cantik Tiffany yang kini sedang tertidur lelap. Perasaannya sesak ketika ia makin mendalami raut wajah wanita itu. Meskipun Kevin tidak tahu persis dengan apa yang sebenarnya telah membuat Tiffany begitu terluka hingga mabuk seperti saat ini, Kevin seolah dapat menerima transfusi kesedihan itu dari lubuk hati Tiffany. “Semoga kamu dapat segera menyelesaikan masalah kamu, Fan,” lirih Kevin sambil membelai rambut Tiffany dengan lembut. Selepas itu, Kevin se
Tiffany menggelengkan kepalanya. Perasaannya begitu tidak enak. Ia merasa bersalah kepada Kevin, atas ucapan dan sikapnya sejak di bar. Tiffany meraih pergelangan tangan Kevin. “Bukan gitu maksud aku, Vin. Tapi … tapi aku takut bikin kamu risih. Aku …,” jelas Tiffany dengan menggantung. “Aku?” tanya Kevin yang penasaran. Wajahnya masih tampak dingin dengan sorot mata yang tajam, persis seperti tabiatnya saat masa sekolah dulu. “Aku ….” Tiffany menundukkan kepalanya. Sikap Kevin yang begitu dingin malah membuat pikirannya buncah hingga lupa dengan apa yang akan dikatakannya. Kevin mengangkat salah satu alisnya. Begitu lama Tiffany berdiskusi dengan pikirannya sendiri, membuat perhatian Kevin teralihkan pada pergelangan tangannya yang masih erat digenggam wanita itu. S
Kevin tertegun menatap wajah Tiffany. Napasnya lagi-lagi terasa sesak. Dadanya seolah menyempit, dipenuhi segala duka yang selama ini telah menyiksanya. Belasan tahun sudah ia bertahan hidup demi nama Tiffany yang terus mengalir dalam denyutnya. Bukan salah Kevin jika kali ini ia benar-benar terluka. Pria itu baru saja dicampakkan oleh satu-satunya harapan dalam hidupnya. “Kamu selalu ingkar, Vin." Tiffany mencoba menyeka air matanya. "Apa aku terlalu rendah di mata kamu, Vin? Sampai kamu harus berkali-kali bohongin aku," ujarnya dengan suara parau. Ia melirik Kevin sebentar, kali ini perasaannya terlalu rapuh untuk melihat wajah pria itu. "Kamu bilang ... kamu mau pergi, kamu bilang kamu mau pindah. Tapi ternyata waktu itu kamu masih ada di Bandung, kan? Kamu cuma bersembunyi dari aku aja!" Lagi-lagi tangisan ya
Tiffany segera melepaskan genggamannya dari Kevin. Seketika wajahnya memucat. “Lo tanya aja sendiri sama Kevin,” sahutnya dengan dingin tanpa melirik Juna. Tiffany terus memusatkan pandangannya pada Kevin. Ia berharap agar Kevin segera siuman, supaya dirinya tidak sendirian lagi membalas ocehan Juna. Juna beranjak dari posisinya. Ia berjalan ke arah jendela dengan ekspresi yang begitu masam. “Sebenernya si Kevin itu kenapa, sih? Seenggaknya kasih tau aja penyakit dia apa!" "Disuruh check up juga malah nolak terus. Kan sekarang akibatnya jadi gini! Masa iya harus absen syuting hari pertama!” sambung Juna yang tengah meluapkan emosinya pada Reyhan. Tiffa
Tiffany melepaskan seatbelt-nya, sementara Kevin terus mengamati wajah Tiffany sejak ia menghentikan mobilnya di depan rumah wanita itu. Kevin begitu bersikeras untuk mengantarkan Tiffany sampai ke rumahnya. Meskipun kondisinya belum pulih, Kevin tidak rela jika sampai Juna yang mengantarkan Tiffany pulang. “Makasih ya, Vin. Kamu jadi repot-repot nganterin aku ke rumah.” “Gapapa, Fan. Emang udah seharusnya aku nganterin kamu pulang. Kan aku yang udah bawa kamu ke apartemen,” sahut Kevin. Tiffany tersenyum. “Makasih juga karena kamu udah jemput aku di bar,” ujarnya. "Oiya, masalah hp tadi ...," ujar Kevin dengan mengantung.
Juna melirik Kevin dengan perasaan heran. Baru kali ini ia melihat wajah Kevin yang tampak berseri di belakang kamera. Tak biasanya juga Kevin begitu lahap memakan roti panggangnya, yang kini terpaksa dimakan di perjalanan lantaran waktu syuting yang mepet dengan jam bangun tidurnya.“Kemarin Juna dapet teguran keras dari sutradara, gara-gara kamu batal syuting.” Rian, road manager Kevin membuka pembicaraan dari bangku penumpang depan.Kevin menoleh pada Juna yang duduk di kursi pilot seat sampingnya. “Maaf,” ujarnya.Ucapan Kevin memang terdengar singkat, namun ternyata cukup berarti untuk seluruh pria yang ada di mobil itu. Mereka kira Kevin akan mengeluarkan jurus ketusnya untuk menangg