*Flashback
Tiffany tergopoh-gopoh saat mengikuti strecher ambulace yang baru diturunkan dari mobil. Tangisnya tak kunjung berhenti sejak masih di TKP. Rasa sakit akibat luka yang ada di sekujur tubuhnya seolah tak berarti apa-apa setelah ia melihat kucuran darah yang terus keluar dari hampir seluruh bagian tubuh Arga.
"Kakaaaaak!" pekik Tiffany.
"Kakaaak!"
Beberapa kali ia tersungkur di lantai rumah sakit. Tiffany sama sekali tidak menyadari bahwa kakinya sudah terlalu lemah untuk menopang langkahnya. Namun, ia tetap tak mau berhenti dan jauh dari Arga.
"De, pake kursi roda ya!" perintah seorang perawat. "Kita harus obatin dulu luka-lukanya."
"Diemm!" pekik gadis SMA itu sambil menyingkirkan lengan perawat yang hendak membantunya untuk bangkit.
"Kakak," gumamnya sambil berusaha bangkit sendirian.
"Kakak ...." Rintihannya kian menjadi setelah strecher ambulance yang mengangkut tubuh kakaknya hilang dar
Satria duduk dengan menekuk lututnya di salah satu sudut lorong lantai inap. Dengan urat-urat yang tampak pada pelipisnya, ia menunduk lemas sambil menjambak rambutnya sendiri. "Gue kan udah bilang, jauhin Fany!" caci Dimas, "Lo cuma bikin dia dapet masalah aja!" "Udah, Dim. Udah!" ujar Lauren yang mencoba menenangkan Dimas. Ia tidak ingin Satria kembali terpancing emosi seperti tadi. "Lo harusnya sadar diri, Sat! Lo udah punya keluarga! Lo cuma jadi beban buat Fany!" Dimas masih belum bisa meredakan amarahnya. "Dim, udah Dim .... Ini rumah sakit!" gerutu Lauren dengan gamam. Lauren berusaha menahan tubuh Dimas dari depan karena pria itu terus saja mencoba menyerang Satria. Wanita itu tampak begitu kewalahan, ia belum pernah melihat Dimas semarah ini. "Nggak ada untungnya lo ribut sekarang, Dim!" sentak Joan, manajer Bumantara Band. Dimas menoleh geram pada Joan. "Gue emang nggak lagi nyari untung!" "Gue cuma mau buat manusia itu sadar!" sambungnya sambil mengacungkan telunjuk
[Flashback] "Pokoknya aku benci Kevin!" teriak Tiffany dari dalam kamarnya. Ia menangis sesegukan sambil memeluk guling. "Nggak usah ngomong kayak gitu, nanti nyesel!" sahut Arga di depan pintu kamar adiknya. "Tapi dia jahat banget, Kak!" Tiffany kembali mengadu pada Arga atas kemunculan Kevin di mal tadi siang. Padahal, yang Tiffany tahu, satu bulan yang lalu Kevin sudah berpamitan padanya untuk pergi ke Amerika. "Ya mungkin dia punya alasan yang kamu nggak tau," ujar Arga yang masih mencoba menenangkan kekecewaan Tiffany pada Kevin. "Enggak!" pekik Tiffany sambil meremas gulingnya. "Pokoknya aku benci Kevin!" "Aku benci si anak mamih itu!" "Aku benci Kevin!" "Aku benci!" Arga menghela napasnya sejenak. Jika ada di posisi Tiffany, mungkin ia pun akan sama-sama kecewa dan sedih atas sikap Kevin. Lagi pula, mana ada orang yang tidak sakit hati ketika dibohongi oleh temannya sendiri? Apalagi oleh seseorang yang dianggap lebih dari sekadar teman, meskipun bukan kekasih. "Kakak
Hueeek! Hueeek! Kevin terus memuntahkan cairan bening dari mulutnya. Jelas saja hanya cairan bening yang ia muntahkan, sebab dirinya belum memakan apa pun setelah sarapan tadi pagi. "Udahlah, Vin ... kita jangan dulu ke sana," ujar Juna yang dibuat tidak fokus saat menyetir karena suara muntahan Kevin. "Kamu aja sakit, pake sok-sokan jenguk orang sakit!" sambungnya dengan rasa panik yang tak karuan. Kevin tak menggubris. Ia benar-benar tengah kepayahan dengan rasa mual dan peningnya. Kevin begitu payah dalam mengendalikan kekhawatirannya akan kondisi Tiffany. Kecemasannya itulah yang membuat Kevin mengalami rasa panik yang berlebihan. "Pulang aja ya, Vin!" Kevin mengerutkan kening dari pilot seat-nya. "Jangan kebanyakan bicara! Udah! Cepet nyetirnya, ke rumah sakit!" sentak Kevin dengan emosi yang sudah memuncak. Juna mendengkus. "Di sana ada Satria, Vin! Kamu nggak bakalan mungkin diizinin ketemu sama Fany!" Kevin mencengkeram keresek yang ia pegang dengan begitu kuat. Ia san
[Flashback] Tiffany mendengkus sambil menyilangkan tangannya di atas meja. Wajahnya begitu muram, ditambah dengan bibirnya yang mengerucut sebal. Matanya berkaca-kaca menatap kosong jendela. Di depannya, Satria hanya diam sambil mengamati wajah adik kelasnya itu. Seumur hidupnya, lelaki itu belum pernah setegang ini saat berhadapan dengan seorang gadis. "Kakak pernah jahatin cewek, nggak?" Tiba-tiba Tiffany membuka suara. Ucapannya bagaikan petir yang menyambar keheningan dalam benak Satria. "Maksudnya?" tanyanya dengan datar tanpa antusias, seperti biasanya. Tiffany menghela napas panjang. "Enggak." Satria merapatkan bibirnya sambil manggut-manggut. Ia benar-benar tidak pandai dalam membangun perbincangan dengan orang lain. Sementara itu, Tiffany lagi-lagi menghela dan membuang napasnya dengan begitu kesal. Wajah Tiffany yang kini tampak itu malah membuat Satria merasa tersipu. "Tapi Kakak nggak mungkin ngejahatin cewek tanpa alasan, kan?" Kali ini suara Tiffany terdengar pa
"Kamu baik-baik aja?" tanya Kevin saat di dalam lift. "Maaf, kamu jadi harus buang-buang tenaga," sambungnya ketika tidak kunjung mendapatkan respons dari Tiffany. Tiffany terus menggenggam pergelangan tangan Kevin. Namun, ia sama sekali tidak berbicara ataupun menoleh pada lelaki itu. Sementara itu, Kevin tak mengalihkan perhatiannya dari Tiffany. Ia begitu cemas kalau Tiffany benar-benar tidak ingin berbicara dengannya. "Fan, kamu marah ya sama aku?" tanya Kevin dengan harap-harap cemas. Namun, lagi-lagi Tiffany hanya diam. Lantas, wanita itu mulai melangkahkan kakinya keluar ketika pintu lift terbuka. Wanita itu pun segera berjalan sambil mendorong tiang infus. Kevin ikut berjalan dengan keadaan tangannya yang masih berada dalam genggaman Tiffany. Mata Kevin begitu sayu saat melirik tautan antara tangannya dengan tangan Tiffany. Ia benar-benar tidak mengerti dengan apa yang saat ini tengah menduduki pikiran Tiffany. Yang jelas, Kevin sangat takut jika wanita yang dicintainya
"Jun, sebenernya hubungan mereka tuh apa, sih?" tanya Lauren setengah berbisik.Juna mengedikkan bahu. "Nggak tau.""Apa mereka pacaran ya, Jun?" tanya Lauren. "Soalnya si Satria sampai ngamuk-ngamuk kayak tadi.""Nggak tau, deh, gue."Lauren menoleh ke samping kanannya. "Dim. Jangan ngelamun!" ujarnya sambil menepuk paha Dimas.Dimas mengangkat kedua alisnya. Sorot matanya sama sekali tak bergairah. "Apa?""Jangan ngelamun gitu! Ntar kesambet!"Dimas tak menghiraukan. Ia memalingkan wajah dan mengusap wajahnya dengan kasar."Han, kamu mau balik ke kamar?" tanya Lauren pada Hani yang duduk di seberangnya."Nggak tau, Mbak. Saya bingung. Soalnya tadi Mbak Fany kan nyuruh kita pulang aja," balas Hani.Lauren mengangguk. "Iya juga, sih."Tiba-tiba Satria kembali datang ke lobi bersama Joan."Eh, dia malah balik lagi!" gumam Lauren dengan kesal.Wajah Satria tampak begitu merah. Raut wajahnya masih belum berubah. Ia terlihat begitu nanar dilahap emosi.Satria duduk terpaut dua bangku di s
[Flashback] "Jangan kelamaan sedihnya," ujar Satria setelah menghentikan motor bebek jadulnya tepat di depan rumah Tiffany. Tiffany pun lekas turun dari motor Satria. Lantas, ia sedikit melirik pada wajah kakak kelasnya itu. "Kamu berhak bahagia. Nggak perlu nangisin orang itu," tandas lelaki blasteran Italia. Ucapan yang keluar dari mulut Satria sontak membuat Tiffany sedikit tertegun. Ia merasa tidak nyaman untuk kembali membicarakan soal pertemuannya dengan Kevin sore tadi di mal. Gadis itu pun agak menaikkan kedua alisnya dengan mata yang terus terpaku pada Satria. Ia menatap aneh kakak kelasnya itu. "Saya memang nggak kenal sama dia. Saya juga nggak tau gimana sebenernya hubungan kalian," ujar Satria sambil membantu Tiffany melepaskan helmnya. Perlakuan manisnya itu spontan membuat wajah Tiffany merona dengan ekspresi yang canggung. "Tapi dengan ngeliat sikap dia barusan, saya nggak ragu untuk bilang kalau itu memang buru
"Sat! Sadar, woi!" gerutu Joan dengan setengah berbisik. Ia sekuat tenaga berusaha menyusul langkah Satria yang begitu lebar dan cepat di lorong rumah sakit. "Tahan emosi lo!" "Satria!" "Lo bisa urusin dulu masalah yang lain!" Joan terus berusaha mengejar Satria yang sudah menggila. Pria blasteran itu benar-benar tengah dimakan emosi. Dadanya megap-megap diburu napas. Setiap orang yang melihat wajahnya pun bisa-bisa dibuat langsung ciut seketika. Kemarahan Satria kali ini bermula setelah ia mendengar obrolan Lauren dan Joan yang membicarakan Juna. Mereka curiga bahwa Juna pun ikut ke dalam kamar inap Tiffany karena manajer itu tidak kunjung kembali dari toilet setelah hampir satu jam setengah berlalu. "Aduuuh, angkat dong, Jun!" rutuk Lauren dalam batin. Wanita itu turut mengikuti langkah Joan dan Satria dari kejauhan. "Kampret emang si Juna!" sungut Joan. Ia pasrah mengejar Satria. Pria itu memutuskan untuk dudu