“Baik, Pak. Kalau begitu langsung saya kirim saja skripnya ke email Bapak, ya,” ujar Hasna dengan antusias di telepon. “Iya, saya tunggu,” balas Juna dengan respons yang berbanding terbalik. “Kalau begitu, selamat siang Pak, sekali lagi saya ucapkan terima kasih.” “Iya, selamat siang,” sahut Juna sebelum akhirnya panggilan itu berakhir. Juna menarik napasnya dalam-dalam sambil menyandarkan punggungnya pada jok mobil depan. “Kamu harus bersiap menanggung resikonya,” tandasnya pada Kevin yang kini tengah menahan rasa pusingnya di pilot seat. Reyhan yang duduk di samping Kevin hanya bisa terdiam menelan ludahnya setelah menyadari bahwa bosnya itu sedang menahan sakit. Namun, ia tidak bisa berkata apa-apa, sebab sejak tadi malam, Reyhan terjebak dalam situasi mencekam akibat perang dingin di antara Kevin dan Juna. “Minum, Vin?” lirih Reyhan yang segera ditolak oleh Kevin. Tut … tut … Juna melakukan panggilan pada nomor telepon Tiffany sambil menyalakan loudspeaker-nya. Ia masih in
Tiffany dengan gugup menatap dirinya sendiri di depan cermin rias yang ada di ruang tunggu studio Youtubenya. Dengan make-up natural, wajah orientalnya terlihat begitu cantik memesona bak aktris Korea Selatan yang kerap ia tonton di drama-drama. Rambut hitam panjangnya terurai dengan begitu indah, sedikit dibuat bergelombang lengkap dengan poni see through-nya. Ia memang benar-benar tampak seperti aktris dari Negeri Ginseng. “Sambil ngemil, Mbak,” ujar Jelita seraya meletakkan sejumlah makanan ringan di atas
“Ih, Teteh aja atuh,” ujar Yuna—kakak perempuan Dimas. Wanita yang sudah berkepala tiga itu menawarkan dirinya sendiri untuk menjadi manajer Tiffany sementara waktu. Dimas tercenung, berpikir sambil memiringkan kepalanya ke kanan. Apa jadinya kalau saudara perempuannya itu bekerja dengan Tiffany? Ya … Tiffany memang sudah begitu dekat dengan keluarganya Dimas, termasuk dengan Yuna. Mereka sering berbicara tentang banyak hal, dan terlihat begitu cocok untuk menjadi teman curhat. Akan tetapi, apakah hal itu akan berlaku dalam urusan pekerjaan? “Sibuk loh Teh, kalau jadi manajernya Fany.” Dimas mencoba membuat Yuna mengurungkan kesanggupannya. “Gapapa. Lagian kan sekarang Teteh lagi nggak ada
“Resign?” Satria bergumam setelah Joan memberinya informasi atas keluarnya Lauren dari pekerjaan yang selama bertahun-tahun telah dilakoninya. “Iya, sampai nangis-nangis tuh si Fany nelpon gue malem-malem.” Satria meregangkan tubuh sebelum ia merebahkan tubuhnya di sofa basecamp Bumantara Band. Sambil melihat langit-langit ruangan yang ditempeli stiker bintang-bintang oleh Tiffany, mulutnya beberapa kali mendesir. Pikirannya melayang pada masa-masa sekolah dulu, ketika ia dan Tiffany hanyut menikmati lika-liku hidup di kala kasmaran. “Syukurlah kalau gitu, gua nggak perlu capek-capek nguras emosi lagi buat nendang si Lauren. Dia terlalu toxic buat hubungan gua sama Fany,” ujar Satr
“Mau ke mana, Vin?” tanya Reyhan setelah mengamati penampilan Kevin yang sudah rapi dengan setelan kasualnya. Kevin tidak menyahut pertanyaan Reyhan. Solois asal Korea itu malah asyik memandangi tubuhnya yang setinggi 179 cm di depan cermin. “Bukannya hari ini kamu nggak ada jadwal, ya? Atau ada urusan di perusahaan kamu?” tanya Reyhan sambil menyimpan sayuran dan sereal pesanan Kevin di atas meja dapur. “Eh, tapi kan perusahaan kamu di Korea aja, ya?” gumam Reyhan. “Saya mau keluar, cari inspirasi untuk bikin lagu.” Reyhan membulatkan mulutnya sambil bergumam. “Biasanya ide buat nyiptain lagu itu selalu kamu dapatkan dari mana, Vin? Apa dari pengalaman kamu sendiri?"
“Aduh, Pak. Saya minta maaf banget, ya …. Saya nggak tau kalau Bapak bakalan berhenti mendadak,” kata wanita pemilik mobil putih yang menabraknya. Wanita yang tak lain adalah Tiffany, berusaha menahan kekesalannya pada driver mobil di depannya.“Aduh, Mbak … ini mobil sodara saya,” keluh sang supir dengan nada yang seolah menyalahkan Tiffany.Tiffany pun segera merogoh uang dari dompetnya. Tanpa melakukan perhitungan, ia spontan mengulurkan tangannya pada sang supir dengan segepok lembaran kertas berwarna merah.“Eh, tidak perlu!” sergah Kevin yang tiba-tiba keluar dari mobil. Ia refleks membuat Tiffany menurunkan tangannya, begitupun dengan sang driver yang memasang raut geram pada Kevin.
Kevin berdiri di depan pintu masuk kafe. Ia dengan senangnya menunggu kedatangan Tiffany yang kini baru turun dan berjalan ke arahnya.“Kamu nungguin aku, Vin?” tanya Tiffany dengan bimbang.Kevin membenarkannya dengan anggukan kepalanya.“Kamu udah ada janji? Emm … kamu lagi sibuk ya, Fan?” tanya Kevin dengan suara yang rendah.“Enggak,” sahut Tiffany dengan hangat, “aku cuma lagi pengen ke sini aja, nggak ada janji sama siapa-siapa, kok. Kamu sendirian ke sininya?”Kevin mengangguk. “Iya.”Tiffany mengangguk sambil bergumam, matanya melirik ke beberapa arah. Ia mulai merasa bingung dengan apa yang harus dikatakannya kepada Kevin. Jika Tiffany menghindarinya, itu hanya akan membuat Kevin merasa tersinggung. Namun, Tiffany sendiri pun masih merasa waswas dengan kehadiran wartawan.Di sisi lain, Kevin menebak kalau keberadaannya di kafe hanya akan membuat Tiffany merasa keberatan. Setelah melihat raut wajah Tiffany yang kini tampak kebingungan, Kevin pun mulai kehilangan kebahagiaannya
“Vibesnya beda, ya. Desain interior di sini lebih trendi. Kalau yang di restoran kesannya lebih glamour.” Kevin mengedarkan matanya pada setiap sisi ruangan pribadi Tiffany. Ia mengamati sejumlah foto dan pajangan yang ada pada setiap sisi ruangan. Tiffany tersenyum setelah melepaskan semua atribut yang menutupi wajah dan kepalanya. Kini Kevin dapat dengan jelas melihat wajah cantik natural Tiffany. Kali ini wanita itu sama sekali tidak menggunakan riasan wajah apapun, persis seperti masa sekolah dulu. Dengan poni see through dan rambut messy bun yang makin menyempu
[Flashback]Langit tak kunjung berhenti menangis. Derai airmatanya terus membasahi tanah, menggenangi jalan, membanjiri hati seorang gadis jelita yang saat ini tengah bermenung di depan jendela kamarnya.Ia tampak begitu nyaman dalam posisinya yang tengah memangku wajah. Bibirnya yang pucat tak sedikit pun melunturkan keindahan garis senyumnya.Tuk ... Tuk ..."Fan." Terdengar suara lelaki yang memanggil namanya di depan kamar.Tiffany spontan menoleh ke belakang. Tanpa berpikir panjang, ia segera berjalan ke arah pintu. "Iya, tunggu."Cklek."Kakak," ucap Tiffany dengan lirih sambil menyimpulkan kebahagiaan. Ia begitu girang saat berjumpa dengan kakaknya.Arga membalas sambutan adiknya dengan reaksi yang jauh lebih antusias. Ia melebarkan senyumnya dengan riang sambil memeluk Tiffany. Tangannya meraih kepala sang adik dan membelainya dengan penuh kehangatan.Arga mengecup puncak kepala adik satu-satunya itu. "Udah makan?"Tiffany mengangguk dengan girang. "Udah. Kakak gimana?""Udah,
"Berkunjung ke rumah keluarga, Pak?"Itulah pertanyaan kesekian kalinya yang terlontar dari mulut sopir yang kini tengah mengantarkan Kevin ke Bandung. Pertanyaan yang lagi-lagi memaksa Kevin untuk berbicara ketika suasana hatinya sama sekali tidak dalam keadaan yang baik-baik saja."Iya," sahutnya singkat."Wah, seneng banget saya kalau lewat jalanan di sana." Sang sopir meneruskan pembicaraannya tanpa mencoba memahami kondisi kliennya. "Romantis banget itu suasananya."Kevin tersenyum pahit. Kata-kata yang diucapkan oleh sopir itu seketika kian membuatnya cemas. Setiap ingatan yang muncul tentang kota legendaris dalam hidupnya itu kini membuatnya berkeringat dingin."Nggak kebayang sih untuk saya, harga rumah di sana. Pasti miliaran, ya," ucap sang sopir.Kevin sama sekali tak menyahut sopir. Pikirannya berantakan. Banyak hal yang kini berkeliaran dalam benaknya. Bahkan ia sendiri pun tidak tahu apa tujuannya pergi ke Bandung.Untuk menyusul Tiffany? Rasanya mustahil untuk saat ini.
"Aduuuuh, La! Pelan-pelan atuuuh!"Tiffany menjerit sambil mencengkeram bajunya. Sementara itu, Damar dan istrinya terus terkekeh saat melihat tingkah konyol Tiffany yang terilihat tidak lagi memedulikan wibawanya sebagai seorang figur publik. Wanita itu malah terlihat seperti gadis kecil yang mengaduh menggemaskan."Aduuuh! Sakiit, Lala!""Lalaaa!""Damar! Lo jangan ngetawain gue! Ini sakit!"Wanita itu tidak berhenti mengoceh hingga bulir airmata terus mendarat di wajahnya. Tingkah wanita itu membuat Damar dan istrinya kian cekikikan sampai wajahnya memerah."Bentar, Fan," ujar Lala sambil merapikan perban yang telah disiapkannya.Bohong sekali jika sebelumnya Tiffany mengaku-ngaku bahwa luka yang ada di dahinya sama sekali tidak berarti apa-apa untuk dirinya. Nyatanya, setelah luka itu dibersihkan oleh Lala, rasa sakitnya bukan main.Tiffany memang benar-benar membenci luka yang menyakiti tubuhnya. Namun, kali ini, ia mengaduh kesakitan bukan semata-mata hanya karena luka yang ada p
Kim Shin menggoyang-goyangkan kakinya di bawah meja. Sejak Heru memulai presentasinya terkait bisnis Stars Peach Cafe, pria oriental itu memang tampak gelisah. Ia bahkan tidak terlihat benar-benar menyimak apa yang telah dipaparkan oleh Heru. Perasaannya begitu buncah dengan pikiran yang tidak karuan."Sudah?" tanyanya singkat setelah Heru kembali duduk di kursinya.Heru menganggukkan kepala sambil tersenyum simpul. Ia sejenak melirik pada Dine. "Sudah, Pak."Pertemuan mereka memang terjadi sangat mendadak. Kim Shin tiba-tiba datang ke kafe dan mendesak Heru untuk mempresentasikan bisnis Stars Peach Cafe. Tidak banyak alasan yang dapat membuat Heru menolak permintaan itu, terlebih lagi dengan kondisi keuangan kafe yang memang tengah membutuhkan suntikan dana investor. Alhasil, meskipun Heru belum mendapatkan tanggapan dari Tiffany terkait permintaan Kim Shin yang begitu mendadak, Heru memberanikan diri untuk mengambil keputusan. Ia menyanggupi permintaan Kim Shin.Kim Shin merapatkan
"Lu baik-baik aja, Fan?" tanya Geza setelah Tiffany masuk ke dalam mobilnya dan duduk di jok penumpang depan.Wanita itu terus saja menundukkan pandangannya. Tidak ada kehangatan yang biasanya terpancar dari wajah orientalnya itu. Bibirnya terus saja melengkung ke bawah dengan mata yang sayu.Tiffany tersenyum tipis. "Gue nggak mungkin baik-baik aja, Gez."Geza menarik napas dengan wajah gamam. "Tadi keliatannya Teh Yuna serius banget."Geza menelan ludahnya. Ia merasa gugup untuk memancing Tiffany agar ia mau menceritakan sesuatu tentang perbincangannya dengan Yuna barusan. Meskipun tidak begitu akrab, entah mengapa hatinya tergerak untuk memastikan agar Tiffany baik-baik saja. Geza tahu persis kalau Dimas sangat menyayangi Tiffany dan tidak ingin wanita itu terluka sedikit pun. Mungkin ini salah satu upaya yang dapat ia lakukan sebagai teman dari pria malang yang harus kehilangan nyawanya dalam insiden kecelakaan itu."Jadi ke DU-nya?" tanya Geza
Tiffany dan Yuna masuk ke dalam mobil kepunyaan kerabat Dimas. Keduanya tampak bersitegang. Yuna terus bersikap dingin dengan raut wajahnya yang sama sekali tidak memberikan ketenangan kepada Tiffany. Sementara itu, Tiffany terus menundukkan pandangannya sambil menahan tangis dan perasaan khawatir. "Jidat kamu kenapa?" tanya Yuna dengan datar. Tiffany refleks memegang perban pada keningnya. Ia menelan ludahnya sebelum melirik pada Yuna. Tiffany bingung harus menjawab apa. Mungkinkah Yuna belum membaca berita soal skandal terbarunya dengan ibu dan mertuanya Satria? "I—ini, kejeduk, Teh," balas Tiffany dengan gugup. "Gara-gara Dimas?" celetuk Yuna. Tiffany membulatkan matanya. Ia spontan bergumam kebingungan. "Bukan, Teh." Otaknya berupaya menemukan alasan yang tepat, Tiffany diam dengan ken
Dua puluh meter dari makam Dimas, Tiffany duduk sendirian di atas kursi kayu yang reyot. Kondisinya tampak begitu terpuruk. Air matanya belum juga surut menangisi kepergian Dimas yang begitu mendadak. Segunduk penyesalan dan perasaan bersalah begitu menguliti perasaannya. Ia terus dibayang-bayangi wajah Dimas. Wajah mantan kekasihnya yang terlihat begitu kecewa atas sikap abainya saat di rumah sakit. Wajah Dimas yang malang, yang tidak sempat berbicara dengannya untuk sebuah perpisahan. "Maafin aku, Dim ..." batinnya terus menjeritkan kata-kata itu. Kata-kata yang mungkin hanya akan memekakkan telinga Dimas. Tiba-tiba Geza dan Hesti datang menghampiri Tiffany. "Alhamdulillah pemakamannya berjalan lancar, Fan," ucap Geza sebelum duduk di samping Tiffany. Tiffany sontak mendelik kesal menanggapi pernyataan Geza. Sorot matanya begitu dingin seperti ingin membekap mulut salah satu kru Dimas Talkshow itu. "Husss!" bisik Hesti sambil menepuk lengan
Tiffany melamun di depan jendela kamar inap Kevin. Ia menyandarkan kepalanya pada bingkai jendela dengan tatapan yang kosong. Perasaan sedihnya yang sudah terlampau menyayat hati, membuat air matanya kering. Di belakangnya, Kevin menatap punggung wanita itu sambil beberapa kali memaksakan makanan agar masuk ke dalam mulutnya. Ia duduk di kasurnya dengan bahu menunduk. Pria itu benar-benar kehilangan nafsu makannya, apalagi dengan keadaan Tiffany yang kini sudah hampir dua jam tidak berbicara. "Fan, gue nggak tau seharusnya gue diem aja atau ngasih tau lo. Tapi daritadi hp lo nyala terus, ada yang nelpon tuh," ujar Juna dengan bimbang. "Siapa?" tanya Kevin tanpa bersuara saat Juna melirik kepadanya. Juna mengangkat bahu. "Gatau," jawabnya yang juga tanpa suara. Sementara itu, Reyhan yang baru saja datang sekitar setengah jam yang lalu benar-benar dibuat bingung akan situasi yang tengah terjadi. Ia merasa bimbang dengan setiap pergerakan yang dilakukannya. Apalagi saat melihat keada
[Flashback] "Fany! Sayang!" panggil Satria setelah membuka pintu rumah Tiffany. Pria itu berjalan dengan gontai. Kepalanya terasa begitu pusing, seperti ada gempa bumi yang mengguncangkannya. Beberapa kali tangannya pun mendarat di kening untuk memijiti kepalanya yang begitu sakit. "Fan! Lu di mana?" seru Satria dengan suara yang lebih kencang. Ia lantas berhenti di depan pintu kamar Tiffany. Pria itu tengah kehilangan kesadarannya. Ia mengalami halusinasi sejak mengonsumsi narkoba sekitar enam jam yang lalu. Hal bodoh itu dilakukannya karena ia merasa depresi setelah bertengkar hebat dengan Tiffany usai mengetahui bahwa wanita itu baru pulang dari rumah ibunya Dimas di Bandung. Satria tidak suka kalau Tiffany masih berhubungan dengan Dimas. Yang Satria tahu, Dimas hanyalah pelarian bagi Tiffany untuk mengecoh Rina, Carina, dan Lia atas hubungan terlarang yang masih dijalani Tiffany dengan dirinya. Namun, Satria tidak mengetahui bahwa sebenarnya itu hanyalah akal-akalan Tiffany s