Dalam kehidupan Alayya, menikah tidak pernah ada dipikirannya. Kehidupan malam yang dia kenal sejak berusia enam belas tahun sudah menempanya menjadi wanita bebas yang tidak perlu bergantung pada seorang pria. Wanita mandiri yang mampu mencukupi segala ingin dan maunya dan wanita single yang dikagumi dan dipuja banyak lelaki.
Alayya tidak butuh keterikatan seperti itu karena baginya laki-laki yang datang padanya hanya ingin tubuhnya, tanpa pernah memikirkan bagaimana hatinya saat melakukan semua itu.Namun, apakah wanita berkulit putih ini akan tetap dengan pendiriannya yang tidak butuh laki-laki jika dia harus dihadapkan dengan ucapan Ibrahim barusan?“Jangan gila kamu Ibrahim!” sentak Mustika yang mampu membuat Alayya berjengit di kursinya. Wanita paruh baya itu terlihat begitu marah dengan ucapan Ibrahim yang mengatakan akan menikah Alayya.Ibrahim bukannya terkejut dan takut, dia malah terkekeh lalu menjawab, “Aku nggakSementara Ibrahim masih memandangi foto besar sang istri, Alayya di dalam kamarnya sedang uring-uringan. Dia tidak tahu sama sekali kalau tadi Ibrahim berdiri cukup lama di depan kamarnya. Yang sedang dia pikirkan sekarang ini membuatnya tidak peduli sekitarnya. “Apa-apaan sih orang itu? Main mutusin sesuatu nggak ada diskusi sama sekali. Dia pikir dia siapa? Nggak!” Alayya mendudukkan bokongnya dengan kasar di bibir ranjang. “Aku nggak mau nikah. Aku masih ingin bebas melakukan apa pun yang aku mau. Nggak mungkin aku berada di tempat ini selamanya kan? Astaga!” Perempuan berambut panjang cokelat itu menjatuhkan punggungnya ke atas ranjang empuknya. “Tapi, tadi dia bilang kalau habis dari Korea, kita bicara lagi. Dia serius mau nikahin aku? Karena jantung ini?” gumam Alayya lagi sambil menatap langit-langit dan satu tangannya memegang dadanya. Alayya berdecih lalu mengambil guling di sampingnya. “Aku nggak mau nikah dengannya karena jantung ini. Tapi aku juga nggak mau mati sekara
Ibrahim memejamkan matanya sangat erat seakan-akan dia tidak ingin membukanya lagi. Tindakan Ibrahim yang seperti itu sukses membuat Alayya tergelak dengan renyahnya. Tidak tega, akhirnya Alayya mengikat kembali tali kimononya lalu dengan berani dia bingkai wajah Ibrahim menggunakan kedua tangannya. Ibrahim tersentak. Telapak tangan Alayya yang dingin membuat matanya kembali terbuka dan untuk kesekian kalinya membeliak saat wajah cantik dan polos tanpa make up wanita itu berada tepat di depan wajahnya. “Ternyata Anda masih pria yang normal, kalau gitu sekarang lihat aku, Tuan. Lihat baik-baik wajah ini. Aku ini Ayya. Bukan Nisa, jadi berhentilah mengekangku hanya karena aku punya jantung istri Anda.” Alayya menjeda kalimatnya hanya untuk memberi waktu pada Ibrahim untuk berpikir. Sebentar kemudian, dia pun kembali meneruskan ucapannya. “Aku bersedia untuk berubah, tapi aku benar-benar tidak ingin menikah dengan Anda. Aku ….”Mendengar peno
“Tuan Khrisna? Kenapa Anda ada di sini?” Alayya tak kalah terkejut melihat pria di belakang wanita yang tadi dia tabrak. “Kebetulan sekali kita ketemu di sini,” seru Khrisna tak kalah heboh. “Kalian saling mengenal?” Maura, wanita yang tadi bertubrukan dengan Alayya adalah ibu dari Khrisna. “Oh, iya. Maaf ya, Nyonya. Saya terlalu bersemangat sampai nggak perhatikan jalan,” ujar Alayya sambil menganggukkan kepalanya. Maura menjawab sambil memperhatikan penampilan Alayya. “Nggak masalah. Untung ada anak saya jadi saya tidak jatuh.”“Wah, jadi Anda ibunya Tuan Khrisna?” tanya Alayya yang mencoba mengakrabkan diri. Maura hanya mengangguk, sekali lagi dia perhatikan wajah Alayya pun dengan rambut panjang cokelatnya yang dibiarkan tergerai itu mengingatkannya pada seseorang. “Saya Alayya, Tante. Panggil aja Ayya,” ucap Alayya sembari mengulurkan tangannya. Segera saja Maura menyambut tangan itu. “Maura. Namamu bagus,” puji wanita itu “Nama anda juga,” balas Alayya. “Apa warna rambut
“Anda pembohong, Nyonya!” ucap Khrisna dalam sambungan telepon dengan Mustika. Pria tampan itu langsung menghubungi tantenya Ibrahim untuk mengkonfirmasi kabar yang baru saja dia tahu. “Apa yang kamu bicarakan anak muda?” Di dalam kamarnya Mustika bicara dengan mata memicing tak suka. Dia tidak paham arah pembicaraan Khrisna saat ini. “Nggak usah pura-pura nggak tahu deh, Nyonya. Kenapa Anda nggak bilang kalau Ayya akan menikah dengan Ibrahim? Kenapa Anda memberi harapan sama aku kalau kenyataannya aku nggak bisa dapatkan Ayya lagi?” Khrisna berkata dengan nada suara naik satu oktaf. Dia jelas kecewa atas berita yang dia dengar tadi siang padahal dia sudah mempersiapkan segala sesuatunya untuk menyambut sang pujaan hati. Mustika akhirnya mengerti apa yang Khrisna bicarakan. “Maafkan aku, Khris. Tapi kamu jangan khawatir, aku pasti bisa bawa Ayya kembali sama kamu kok,” bujuk wanita paruh baya itu. “Nggak usah berkhayal deh,
Setelah menempuh perjalanan udara kurang lebih tujuh jam lima belas menit, akhirnya pesawat Korean Air yang ditumpangi Alayya, Ibrahim juga Oscar dan Bembi sudah berhasil mendarat di Incheon Airport Seoul, Korea Selatan. “Wuah … akhirnya aku bisa sampai di Korea juga. Makasih banyak ya, Tuan udah mau ajak aku ke sini,” pekik Alayya saat mereka berjalan keluar dari area kedatangan luar negeri. “Baguslah kalau kamu senang. Sekarang kita langsung ke hotel dan istirahat. Besok pagi saya ada meeting, jangan keluar kamar tanpa ada saya, kamu bisa ngerti, Ya?” titah Ibrahim tanpa menghentikan langkah kakinya. Sementara koper mereka Oscar yang mendorong troly-nya bersama Bembi yang Ibrahim ikutkan untuk menjaga Alayya selama berada di Korea. “Siap, Tuan. Aku akan turuti apa pun kemauan Anda, karena aku nggak bisa bahasa inggris,” jujur Alayya diiringi kekehan. Ibrahim mengangguk lalu tersenyum. Perasaannya sangat senang saat ini ka
Sesuai jadwal yang telah ditentukan, pagi ini Ibrahim sudah berada di ruang meeting hotel untuk menghadiri rapat umum pemegang saham perusahaan ShinTae Group yang mana dirinya termasuk salah satu dari lima pengusaha yang mempunyai saham terbesar di perusahaan ekspor dan impor itu. Berbeda dengan Ibrahim yang akan berkutat dengan laptop dan presentasi para pemegang saham, Alayya yang berada di kamarnya justru sedang menikmati makan paginya. Menu sarapan yang dia pilih pagi ini adalah Dakjuk, sajian berupa bubur nasi yang sehat dengan irisan daging atau sosis juga irisan jamur dan suwiran ayam. Hampir sama dengan bubur ayam di Indonesia, tetapi di dalam Dakjuk ada potongan jahenya. “Rasanya enak, tapi aneh ya? Ada rasa jahenya. Hmm … jadi ingat kata Ghania, dasar lidah ndeso, makanan begini nggak bikin kenyang,” keluhnya setelah menghabiskan satu mangkuk dakjuk hangat. Ingat nama Ghania, wanita itu pun segera mengambil ponsel
Alayya baru saja keluar dari kamar mandi saat ponselnya berdering. Sempat lupa di mana dia letakkan ponsel itu, Alayya sampai keluar masuk kamar dan ruang tamu hanya untuk mencari benda pintar itu.“Ya Allah, ternyata masih di sofa ya, ponselnya,” celoteh Alayya sembari mengambil ponsel yang masih bernyanyi itu.“Assalamu'alaikum,” sapa Alayya pada si penelepon dengan ramah.“Wa'alaikumsalam. Udah pinter salamnya sekarang, ya?” goda Ibrahim dari balik telepon. Alayya pun berdecak, tetapi tak pelak pipinya memanas seketika mendapat pujian seperti itu. Untung saja Ibrahim tidak ada di hadapannya, kalau tidak dia pasti sudah salah tingkah.“Udahan meeting-nya apa belum? Aku bosan nih, di kamar terus.” Alayya merajuk. “Udah kok makanya saya telepon kamu. Kamu udah solat apa belum?”“Belumlah, kan, aku nggak tahu jamnya. Ini bukan Indonesia, Tuan,” Alayya pun bersungut tak suka.
“Kamu kenapa, Ya? Makanannya nggak enak?” Ibrahim bertanya saat melihat Alayya hanya memainkan sendok di atas piringnya. Tidak juga mendapat jawaban, Ibrahim memberanikan diri menyentuh punggung tangan Alayya. Sontak wanita itu tersentak, “I-iya, Tuan.”Ibrahim berdecak pelan. “Kamu melamun? Ada apa? Katanya bosan di kamar, udah di luar kok kelihatan nggak senang?” Alayya berusaha sekali untuk tersenyum. Namun, ketika netranya melihat Oscar yang duduk di belakang Ibrahim, wajahnya kembali berubah. “Ada apa Ayya? Berapa kali saya harus tanya biar kamu mau jawab?” “Maaf, Tuan. Nggak ada apa-apa kok, aku cuma ngantuk.” Entah apa korelasinya, tetapi Alayya rasa itu alasan paling tepat dirinya yang tidak bersemangat.“Astagfirullah, ya udah habisin makanannya terus kembali ke kamar aja, ya?”“Nggak, nggak. Bisa tambah gila nanti aku, Tuan,” kelakarnya yang malah makin membuat pria rupawan di depannya itu mengerutkan dahinya. “Kenapa begitu?” tanyanya penasaran“Iya, lah. Pasti! Karena
"Abang, semua ini terasa seperti mimpi, ya?" Suara Alayya terdengar lembut di tengah keheningan malam, menghiasi ruang kamar mereka yang baru saja kembali sunyi setelah seharian dilalui dengan emosi yang campur aduk. Dia berdiri di depan cermin besar, mengurai rambut panjangnya yang hitam, sedangkan mata almondnya menatap pantulan Ibrahim yang sedang duduk di tepi ranjang, menghadap ke arahnya.Ibrahim tersenyum kecil, senyum yang tidak terlalu sering terlihat di wajahnya yang biasanya kaku dan tegas. Tetapi malam ini, ada kehangatan dalam senyumnya, kehangatan yang hanya bisa dirasakan oleh Alayya. "Ya, Ayya. Semua yang telah kita lalui terasa begitu panjang dan berat, tapi akhirnya... kita sampai di sini."Alayya menoleh, memutar tubuhnya pelan dan berjalan mendekati Ibrahim. Langkahnya lembut, hampir tanpa suara di atas karpet tebal yang menutupi lantai kamar mereka. Dia berhenti tepat di hadapan Ibrahim, menatap dalam-dalam ke mata pria yang kini menj
“Abang, apa kamu yakin dengan ini?" Suara lembut Alayya bergetar saat mereka berjalan menyusuri lorong panjang menuju ruang kerja Mustika di rumah barunya—sebuah tempat yang Ibrahim baru saja ketahui keberadaannya. Mustika baru-baru ini pindah ke rumah itu, menolak untuk tinggal serumah dengan Nazila, ibunya Alayya. Tangan Alayya menggenggam lengan Ibrahim erat, seolah-olah mencari kekuatan dari pria di sampingnya."Aku harus yakin, Ayya," jawab Ibrahim dengan suara tegas namun rendah. Matanya lurus memandang ke depan, wajahnya keras tanpa ekspresi. "Ini bukan hanya soal aku. Ini soalmu juga. Aku tidak bisa membiarkan kejahatan Tante Tika terus berlanjut."Alayya mengangguk pelan, meski hatinya masih berdebar kencang. Berhadapan dengan Mustika bukanlah hal yang mudah. Perempuan licik itu telah melakukan banyak hal untuk merusak hidup mereka, termasuk mengatur kematian Nisa, istri pertama Ibrahim. Namun, sekarang waktunya tiba untuk membongkar semuanya.Di
"Aku tahu ini tidak akan mudah, Ayya, tapi ini harus dilakukan." Suara Ibrahim terdengar dalam dan mantap saat dia menatap ke arah jendela besar di ruang kerjanya. Matanya terpaku pada pemandangan kota di depannya, tetapi pikirannya jelas terfokus pada hal yang jauh lebih dalam dan berat. Di sebelahnya, Alayya berdiri dengan tenang. Tangannya dengan lembut menggenggam tangan Ibrahim, memberinya kekuatan tanpa perlu banyak bicara. Dia tahu keputusan yang diambil Ibrahim bukanlah keputusan yang mudah. Menghadapi keluarga sendiri dalam masalah hukum adalah sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. "Abang, aku ada di sini. Apapun yang terjadi, aku akan selalu mendukungmu." Suara Alayya pelan, tetapi penuh ketegasan. Ia menatap Ibrahim dengan penuh keyakinan, mencoba menyampaikan bahwa dia tidak akan pernah membiarkan pria itu menanggung semuanya sendirian. Ibrahim menoleh ke arahnya, matanya sedikit melunak. "Aku tahu, Ayya. Dan aku berterima kasih untuk itu. Tanpamu, mungkin
Di tempat lain, Mustika menghadapi kecemasan baru.Mustika duduk di depan meja kerjanya, tangannya gemetar saat memegang telepon. Berita tentang kemunculan Rivaldo membuat tubuhnya panas dingin. Rivaldo, pria yang sudah lama ia coba singkirkan dari lingkaran kekuasaannya, kini kembali—dan kali ini, dia tampak lebih siap dari sebelumnya."Pantas saja," gumam Mustika dengan suara parau. "Aku seharusnya tahu kalau dia akan kembali."Mustika bangkit dari kursinya, berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya dengan langkah gelisah. Matanya sesekali melirik ke jendela, seolah-olah takut ada yang mengawasinya dari luar. Rivaldo tidak hanya ancaman bagi rencana besarnya untuk menguasai kekayaan Ibrahim, tapi juga bagi keselamatannya sendiri.Tangan Mustika mengepal, meremas-remas ujung kain yang dia kenakan. "Sial!" teriaknya marah, melemparkan cangkir teh ke dinding hingga pecah berkeping-keping. "Kenapa sekarang? Kenapa dia harus muncul di saat segalanya hampir sempurna?"Frustrasi dan ketakut
Ruangan itu akhirnya hening, hanya terdengar napas Ibrahim yang berat dan suara detik jam di dinding. Setelah semua ketegangan dan amarah yang memuncak, tubuh Ibrahim terasa seperti ditarik ke bumi dengan beban yang luar biasa. Ia berdiri di dekat jendela, memandang ke luar dengan pandangan kosong, mencoba menenangkan diri dari gejolak emosi yang baru saja meledak.Di belakangnya, Alayya mendekat perlahan, tanpa suara. Tangannya yang lembut meraih lengan Ibrahim, memberikan sentuhan yang hangat dan menenangkan. Meski amarahnya belum sepenuhnya mereda, sentuhan Alayya mampu membawa Ibrahim kembali pada kenyataan. Hatinya yang penuh kemarahan kini sedikit melunak dengan keberadaan wanita itu di sampingnya."Abang, ayo duduk sebentar." Suara Alayya lembut, penuh kasih, seolah dia paham betul bahwa Ibrahim butuh waktu untuk meredakan semua gejolak perasaannya. Tanpa protes, Ibrahim membiarkan Alayya memimpin dirinya menuju sofa di dekat jendela. Mereka duduk berdampingan, tetapi tak satu
"Sekarang katakan apa yang kamu tahu tentang Tante Tika, Oscar sampai kamu nggak bisa menghentikan rencananya pada Nisa?” Ibrahim kembali menatap tajam pada Oscar yang masih menunduk. Oscar tidak menjawab segera. Napasnya terdengar pendek dan berat, dan meskipun dia sudah berkali-kali merencanakan apa yang akan dikatakannya, lidahnya terasa kaku. Rasanya seluruh tubuhnya tertindih beban yang tak terlihat, menyulitkan dia untuk bicara. Saat dia akhirnya berani mengangkat pandangannya, yang bisa dia lihat hanyalah kemarahan mendalam dari Ibrahim—kemarahan yang sangat pantas diterimanya. "Aku... Takut, Tuan. Nyonya Mustika sudah terlalu kuat." Akhirnya Oscar mengucapkan kata-kata itu, namun suara yang keluar terdengar lebih seperti desahan putus asa. "Aku tahu aku salah, Tuan. Tapi aku tidak tahu bagaimana menghentikannya." "Tak tahu bagaimana?" Ibrahim melangkah mendekat, semakin mempersempit jarak antara mereka. Tu
“Oscar, kamu harus jelaskan semuanya sekarang.” Suara Ibrahim terdengar datar, namun penuh dengan emosi yang tertahan. Matanya yang tajam menatap Oscar, yang berdiri dengan wajah penuh rasa bersalah. Setelah kemarin Ibrahim mengusir Oscar, hari ini dia meminta Yakub dan anak buahnya memanggil asistennya itu. Banyak hal yang harus Ibrahim tanyakan padanya. Oscar menelan ludah, berusaha mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan pengakuannya. Ia tahu, setelah ini, tidak ada jalan kembali. Semua rahasia yang disimpannya selama ini—dari Ibrahim, dari Nisa, bahkan dari dirinya sendiri—akan terungkap. Dan itu menakutkan baginya. Ia tidak pernah membayangkan hari ini akan tiba, saat dia harus mengungkapkan semua keburukannya di hadapan Ibrahim, pria yang selama ini mempercayainya seperti saudara. "Aku… Aku nggak tahu harus mulai dari mana, Tuan," ujar Oscar dengan suara serak. Ia menunduk, menghindari tatapan tajam Ibrahim yang seolah bisa menembus relung hatinya. Dia benar-benar tidak tah
“Kenapa kamu baru mengatakan ini sekarang?” Suara Ibrahim terdengar tajam, menembus udara yang terasa tegang di ruang kantor detektif Yakub. Ruangan tersebut remang, diterangi hanya oleh lampu meja yang berada di tengah-tengah ruangan, memberikan suasana serius yang mencekam. Ibrahim duduk di seberang meja kayu besar, menatap tajam ke arah Rivaldo yang duduk di depannya dengan wajah penuh penyesalan. Rivaldo, pria yang dulu merawat Nisa di hari-hari terakhirnya, sekarang duduk dengan tubuh yang tampak letih, tetapi ekspresinya menandakan kesungguhan. "Aku … aku tidak bisa, Tuan Ibrahim. Mustika, dia punya cara untuk membuatku diam," jawab Rivaldo, suaranya gemetar. "Aku merasa bersalah sejak awal, tapi aku nggak bisa menghentikan apa yang terjadi. Mereka mengancamku." Ibrahim menggeram, menahan amarah yang kini semakin memuncak di dalam dadanya. Dia melirik ke arah detektif Yakub, seorang pensiunan polisi yang kini bekerja sebagai detektif swasta, yang berdiri di sudut ruangan deng
"Lepas! Aku harus bertemu dengan Tuan Ibrahim!" Teriakan pria itu memecah suasana resepsi yang semula penuh tawa dan canda. Tamu-tamu undangan, termasuk Alayya, tersentak mendengar suara lantang tersebut. Ibrahim yang tengah melayani tamu-tamunya segera menghentikan aktivitasnya. Ekspresi wajahnya berubah drastis, dari senyuman hangat menjadi tatapan penuh keterkejutan. Dia langsung menoleh ke arah pintu masuk, seorang pria lusuh yang tampak berantakan sedang dipegang erat oleh dua petugas keamanan. "Apa yang terjadi?" bisik Alayya pelan, matanya mengikuti arah tatapan Ibrahim. Dia bisa merasakan suaminya menegang di sampingnya. "Abang?" panggil Alayya lembut, berusaha mendapatkan perhatian suaminya, tetapi Ibrahim hanya diam, pandangannya masih terpaku pada pria itu. Alayya yang awalnya bingung, sekarang merasa bahwa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kekacauan tamu tak diundang. "Abang?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih khawatir. Ibrahim menghela napas panja