Alayya baru saja keluar dari kamar mandi saat ponselnya berdering. Sempat lupa di mana dia letakkan ponsel itu, Alayya sampai keluar masuk kamar dan ruang tamu hanya untuk mencari benda pintar itu.
“Ya Allah, ternyata masih di sofa ya, ponselnya,” celoteh Alayya sembari mengambil ponsel yang masih bernyanyi itu.“Assalamu'alaikum,” sapa Alayya pada si penelepon dengan ramah.“Wa'alaikumsalam. Udah pinter salamnya sekarang, ya?” goda Ibrahim dari balik telepon.Alayya pun berdecak, tetapi tak pelak pipinya memanas seketika mendapat pujian seperti itu. Untung saja Ibrahim tidak ada di hadapannya, kalau tidak dia pasti sudah salah tingkah.“Udahan meeting-nya apa belum? Aku bosan nih, di kamar terus.” Alayya merajuk.“Udah kok makanya saya telepon kamu. Kamu udah solat apa belum?”“Belumlah, kan, aku nggak tahu jamnya. Ini bukan Indonesia, Tuan,” Alayya pun bersungut tak suka.<“Kamu kenapa, Ya? Makanannya nggak enak?” Ibrahim bertanya saat melihat Alayya hanya memainkan sendok di atas piringnya. Tidak juga mendapat jawaban, Ibrahim memberanikan diri menyentuh punggung tangan Alayya. Sontak wanita itu tersentak, “I-iya, Tuan.”Ibrahim berdecak pelan. “Kamu melamun? Ada apa? Katanya bosan di kamar, udah di luar kok kelihatan nggak senang?” Alayya berusaha sekali untuk tersenyum. Namun, ketika netranya melihat Oscar yang duduk di belakang Ibrahim, wajahnya kembali berubah. “Ada apa Ayya? Berapa kali saya harus tanya biar kamu mau jawab?” “Maaf, Tuan. Nggak ada apa-apa kok, aku cuma ngantuk.” Entah apa korelasinya, tetapi Alayya rasa itu alasan paling tepat dirinya yang tidak bersemangat.“Astagfirullah, ya udah habisin makanannya terus kembali ke kamar aja, ya?”“Nggak, nggak. Bisa tambah gila nanti aku, Tuan,” kelakarnya yang malah makin membuat pria rupawan di depannya itu mengerutkan dahinya. “Kenapa begitu?” tanyanya penasaran“Iya, lah. Pasti! Karena
Tadinya Alayya pikir bisa mengabaikan rasa kecewa dalam hatinya seperti biasanya. Akan tetapi, ternyata dia salah. Kali ini bukan hanya rasa kecewa juga kesal yang bercokol, melainkan ada perasaan lain yang bernama cemburu hadir di lubuk terdalamnya. “Apaan, sih? Kenapa juga aku harus cemburu sama orang mati, coba? Astaga! Kamu udah gila, ya, Ayya?” Alayya menggerutu sambil berjalan mondar-mandir. Sungguh, apa yang sudah Ibrahim lakukan padanya tadi sore benar-benar melukai hatinya, tetapi Alayya tidak bisa marah karena dia tahu, Ibrahim pasti tidak akan pernah merasa bersalah. Malam malam Alayya lewati. Rasa kesal dalam hatinya sudah sampai ke ubun-ubun. Bisa-bisanya dia dipanggil Nisa? Jelas-jelas kalau dia itu Alayya, sangat berbeda dengan wanita cantik berhijab itu. Alayya memilih masuk ke dalam selimutnya. Malam ini dia ingin tidur lebih awal. Tidak peduli Ibrahim sedang apa dan di mana, yang pasti Alayya ingin hari cepat berganti. Siapa tahu besok pagi saat terbangun, dia sud
Derai air mata itu tidak juga mau berhenti. Rasa sakit dan sesak menjadi satu dalam hatinya. Alayya sadar semua kejujurannya akan percuma, tetapi dia harus lakukan itu agar perasaannya bisa lebih lega. Memang dasarnya Ibrahim punya hati yang lembut, mana tega dia melihat seorang wanita yang sedang menangis apalagi di hadapannya ini adalah wanita yang memiliki jantung istrinya. Tanpa pikir panjang. Ibrahim meraih tubuh gemetar Alayya ke dalam pelukannya. Alayya yang sempat tersentak pun tidak menolak saat lengan kekar itu merangkul tubuh rampingnya. Dia justru membalas dekapan itu pun menenggelamkan wajahnya ke dada bidang Ibrahim. “Tuhan, aku nggak pernah meminta apa pun dalam hidupku. Tapi sekarang, aku ingin memohon agar jangan pernah jauhkan dia dariku. Meski hanya sebatas pengganti, aku rela asalkan bisa ‘ku miliki tubuhnya tanpa pernah berharap jadi penghuni di hatinya,” bisik Alayya dalam hati sambil mengeratkan pelukannya.
“Gimana kabar kamu? Semalam tidur nyenyak, kan?” Alayya bergeming. Dia sama sekali tidak bersemangat pagi ini. Tadi subuh dia berhasil menghindari Ibrahim dengan tidak mau solat berjamaah pun tidak ingin melihat pria rupawan itu ada di kamarnya. Akan tetapi, saat waktunya sarapan, pria itu tidak ingin dibantah sama sekali. Mau tidak mau, di sinilah Alayya berada sekarang. Di hadapan Ibrahim yang sudah rapi dengan jas dan dasi merah marunnya. “Mana bisa tidur nyenyak. Yang ada mimpi buruk!” ujarnya ketus. Ibrahim mengulum senyumnya. Tahu benar apa yang dimaksud Alayya itu pasti dirinya. “Pantesan wajah kamu sembab gitu. Kalau boleh tahu, kamu mimpi apa?” tanyanya serius. Alayya berdecak sebal. “Anda adalah mimpi buruk saya, Tuan!” Benar, kan? Ibrahim pun tergelak renyah karena kejujuran wanita yang pagi ini begitu cantik. Dengan atasan sweater ketat hingga menutupi leher jenjangnya dan rok panja
“Halo? Ibrahim?” Mustika akhirnya memutuskan untuk menelepon Ibrahim yang masih ada di Korea. “Bukan, Nyonya. Saya Oscar. Tuan masih rapat di dalam ruangan.” Ternyata Oscar yang menjawab ponselnya Ibrahim. “Kalau dia udah selesai, suruh telepon aku, Oscar. Penting!” seru mustika tanpa basa-basi. Oscar mengerutkan dahinya lalu bertanya, “Kalau boleh saya tahu, ada masalah apa, Nyonya? Sepertinya serius sekali?” Mustika agak ragu menjawab. Matanya dia arahkan pada kedua karyawan WO yang sedang mengobrol dengan Christy di ruang tengah lalu kembali fokus pada sambungan telepon internasionalnya. “Apa Ibrahim bilang ke kamu soal rencana pernikahannya?” tanya Mustika pada akhirnya. Oscar yang sedang duduk bersama para asisten CEO yang lain memilih sedikit menyingkir agar bisa mengobrol lebih leluasa dengan mustika. “Nggak ada Nyonya. Terakhir Tuan hanya bilang kalau sepulang dari sini baru bahas perni
“Kenapa wajahmu terkejut seperti itu, Ayya?” Senyum Ibrahim seakan tak bisa luntur sedikit pun saat melangkahkan kaki panjangnya mendekati wanita kesayangannya itu. Tangan kanan yang di masukkan ke kantong celana adalah ciri khas seorang Ibrahim yang Alayya hafal dan kalau sudah bergaya seperti itu, mata Alayya pun enggan berpaling darinya. Akan tetapi, sekarang entah mengapa pesona Ibrahim membuatnya gemetaran. Mendadak Alayya merasa malu karena laki-laki itu sudah melihatnya saat sedang berganti pakaian. “Kenapa juga tanganmu menyilang di depan dada gitu?” Sekali lagi Ibrahim bertanya dengan tampang serius padahal dalam hati dia sedang tertawa senang melihat Alayya yang salah tingkah. “Astaga Tuan, stop di situ. Jangan mendekat lagi!” pinta Alayya dengan wajah yang sudah memerah. Ibrahim pun menurut. “Baiklah. Sekarang katakan, kamu kenapa seperti maling yang ketahuan mencuri gitu?”“Apanya yang kenapa? Harusnya aku yang tanya sama Tuan. Kenapa ngintip aku ganti baju, coba?”Peca
“Memangnya kamu siapa berani mencampuri urusanku dengannya?” Robert Sigara, pria berdarah Batak itu terlihat emosi saat tahu Ibrahim sudah merebut gelas wine miliknya dan sekarang berdiri melindungi Alayya di belakang punggungnya. Teriakannya sempat menarik perhatian tamu-tamu di sekitar ketiga orang itu, tetapi Oscar berhasil menenangkan mereka. Maka Ibrahim pun bisa leluasa menghadapi pria paruh baya di depannya ini. Pria itu tersenyum menyeringai menjawab pertanyaan Robert. “Saya Ibrahim, calon suami wanita ini. Kamu mau apa?” Robert membelalakkan matanya tak percaya dengan pendengarannya. “Ini nggak mungkin, bagaimana bisa? Sejak dulu Ayya nggak pernah mau aku ajak nikah, kenapa sama kamu dia mau?”Sekarang Ibrahim yang terbelalak. Tanpa memutar kepalanya, pria itu pun memastikan ucapan pria yang usianya jauh di atas dirinya itu. “Apa benar yang dikatakan olehnya, Ya?”Alayya sempat terkejut karena Robert membahas masalah
Tanpa terasa perjalanan bisnis Ibrahim pun segera berakhir. Sisa satu hari ini dia berencana akan membawa Alayya berkeliling kota Seoul karena besok pagi mereka sudah harus terbang kembali ke Indonesia. Saat ini Ibrahim sedang menyantap sarapan bersama Alayya di restoran sekitar hotel karena pagi ini mereka akan menuju ke Namsan Tower Seoul. “Memangnya itu tempat apa? Kalau nggak bagus, malas ah,” gerutu Alayya sambil menyantap garlic bread-nya. “Kamu pasti suka. Di sana ada menara yang bisa buat lihat kota Seoul, kalau nggak kita naik gondola yang jalan di atas kota terus ada yang unik lagi di tempat itu ….”“Apa lagi? Kayaknya menarik,” sela Alayya tidak sabar. Ibrahim lebih dulu menghabiskan kopi hitamnya sebelum akhirnya melanjutkan penjelasannya. “Di sana kita bisa pasang gembok cinta. Apa kamu pernah dengar? Atau pernah lihat di TV gitu?” “Eh? Serius? Aku pikir cuma ada di Paris, dulu aku pingin banget ke tempat itu, tapi belum kesampaian,” keluh Alayya tiba-tiba. “Kenapa?
"Abang, semua ini terasa seperti mimpi, ya?" Suara Alayya terdengar lembut di tengah keheningan malam, menghiasi ruang kamar mereka yang baru saja kembali sunyi setelah seharian dilalui dengan emosi yang campur aduk. Dia berdiri di depan cermin besar, mengurai rambut panjangnya yang hitam, sedangkan mata almondnya menatap pantulan Ibrahim yang sedang duduk di tepi ranjang, menghadap ke arahnya.Ibrahim tersenyum kecil, senyum yang tidak terlalu sering terlihat di wajahnya yang biasanya kaku dan tegas. Tetapi malam ini, ada kehangatan dalam senyumnya, kehangatan yang hanya bisa dirasakan oleh Alayya. "Ya, Ayya. Semua yang telah kita lalui terasa begitu panjang dan berat, tapi akhirnya... kita sampai di sini."Alayya menoleh, memutar tubuhnya pelan dan berjalan mendekati Ibrahim. Langkahnya lembut, hampir tanpa suara di atas karpet tebal yang menutupi lantai kamar mereka. Dia berhenti tepat di hadapan Ibrahim, menatap dalam-dalam ke mata pria yang kini menj
“Abang, apa kamu yakin dengan ini?" Suara lembut Alayya bergetar saat mereka berjalan menyusuri lorong panjang menuju ruang kerja Mustika di rumah barunya—sebuah tempat yang Ibrahim baru saja ketahui keberadaannya. Mustika baru-baru ini pindah ke rumah itu, menolak untuk tinggal serumah dengan Nazila, ibunya Alayya. Tangan Alayya menggenggam lengan Ibrahim erat, seolah-olah mencari kekuatan dari pria di sampingnya."Aku harus yakin, Ayya," jawab Ibrahim dengan suara tegas namun rendah. Matanya lurus memandang ke depan, wajahnya keras tanpa ekspresi. "Ini bukan hanya soal aku. Ini soalmu juga. Aku tidak bisa membiarkan kejahatan Tante Tika terus berlanjut."Alayya mengangguk pelan, meski hatinya masih berdebar kencang. Berhadapan dengan Mustika bukanlah hal yang mudah. Perempuan licik itu telah melakukan banyak hal untuk merusak hidup mereka, termasuk mengatur kematian Nisa, istri pertama Ibrahim. Namun, sekarang waktunya tiba untuk membongkar semuanya.Di
"Aku tahu ini tidak akan mudah, Ayya, tapi ini harus dilakukan." Suara Ibrahim terdengar dalam dan mantap saat dia menatap ke arah jendela besar di ruang kerjanya. Matanya terpaku pada pemandangan kota di depannya, tetapi pikirannya jelas terfokus pada hal yang jauh lebih dalam dan berat. Di sebelahnya, Alayya berdiri dengan tenang. Tangannya dengan lembut menggenggam tangan Ibrahim, memberinya kekuatan tanpa perlu banyak bicara. Dia tahu keputusan yang diambil Ibrahim bukanlah keputusan yang mudah. Menghadapi keluarga sendiri dalam masalah hukum adalah sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. "Abang, aku ada di sini. Apapun yang terjadi, aku akan selalu mendukungmu." Suara Alayya pelan, tetapi penuh ketegasan. Ia menatap Ibrahim dengan penuh keyakinan, mencoba menyampaikan bahwa dia tidak akan pernah membiarkan pria itu menanggung semuanya sendirian. Ibrahim menoleh ke arahnya, matanya sedikit melunak. "Aku tahu, Ayya. Dan aku berterima kasih untuk itu. Tanpamu, mungkin
Di tempat lain, Mustika menghadapi kecemasan baru.Mustika duduk di depan meja kerjanya, tangannya gemetar saat memegang telepon. Berita tentang kemunculan Rivaldo membuat tubuhnya panas dingin. Rivaldo, pria yang sudah lama ia coba singkirkan dari lingkaran kekuasaannya, kini kembali—dan kali ini, dia tampak lebih siap dari sebelumnya."Pantas saja," gumam Mustika dengan suara parau. "Aku seharusnya tahu kalau dia akan kembali."Mustika bangkit dari kursinya, berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya dengan langkah gelisah. Matanya sesekali melirik ke jendela, seolah-olah takut ada yang mengawasinya dari luar. Rivaldo tidak hanya ancaman bagi rencana besarnya untuk menguasai kekayaan Ibrahim, tapi juga bagi keselamatannya sendiri.Tangan Mustika mengepal, meremas-remas ujung kain yang dia kenakan. "Sial!" teriaknya marah, melemparkan cangkir teh ke dinding hingga pecah berkeping-keping. "Kenapa sekarang? Kenapa dia harus muncul di saat segalanya hampir sempurna?"Frustrasi dan ketakut
Ruangan itu akhirnya hening, hanya terdengar napas Ibrahim yang berat dan suara detik jam di dinding. Setelah semua ketegangan dan amarah yang memuncak, tubuh Ibrahim terasa seperti ditarik ke bumi dengan beban yang luar biasa. Ia berdiri di dekat jendela, memandang ke luar dengan pandangan kosong, mencoba menenangkan diri dari gejolak emosi yang baru saja meledak.Di belakangnya, Alayya mendekat perlahan, tanpa suara. Tangannya yang lembut meraih lengan Ibrahim, memberikan sentuhan yang hangat dan menenangkan. Meski amarahnya belum sepenuhnya mereda, sentuhan Alayya mampu membawa Ibrahim kembali pada kenyataan. Hatinya yang penuh kemarahan kini sedikit melunak dengan keberadaan wanita itu di sampingnya."Abang, ayo duduk sebentar." Suara Alayya lembut, penuh kasih, seolah dia paham betul bahwa Ibrahim butuh waktu untuk meredakan semua gejolak perasaannya. Tanpa protes, Ibrahim membiarkan Alayya memimpin dirinya menuju sofa di dekat jendela. Mereka duduk berdampingan, tetapi tak satu
"Sekarang katakan apa yang kamu tahu tentang Tante Tika, Oscar sampai kamu nggak bisa menghentikan rencananya pada Nisa?” Ibrahim kembali menatap tajam pada Oscar yang masih menunduk. Oscar tidak menjawab segera. Napasnya terdengar pendek dan berat, dan meskipun dia sudah berkali-kali merencanakan apa yang akan dikatakannya, lidahnya terasa kaku. Rasanya seluruh tubuhnya tertindih beban yang tak terlihat, menyulitkan dia untuk bicara. Saat dia akhirnya berani mengangkat pandangannya, yang bisa dia lihat hanyalah kemarahan mendalam dari Ibrahim—kemarahan yang sangat pantas diterimanya. "Aku... Takut, Tuan. Nyonya Mustika sudah terlalu kuat." Akhirnya Oscar mengucapkan kata-kata itu, namun suara yang keluar terdengar lebih seperti desahan putus asa. "Aku tahu aku salah, Tuan. Tapi aku tidak tahu bagaimana menghentikannya." "Tak tahu bagaimana?" Ibrahim melangkah mendekat, semakin mempersempit jarak antara mereka. Tu
“Oscar, kamu harus jelaskan semuanya sekarang.” Suara Ibrahim terdengar datar, namun penuh dengan emosi yang tertahan. Matanya yang tajam menatap Oscar, yang berdiri dengan wajah penuh rasa bersalah. Setelah kemarin Ibrahim mengusir Oscar, hari ini dia meminta Yakub dan anak buahnya memanggil asistennya itu. Banyak hal yang harus Ibrahim tanyakan padanya. Oscar menelan ludah, berusaha mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan pengakuannya. Ia tahu, setelah ini, tidak ada jalan kembali. Semua rahasia yang disimpannya selama ini—dari Ibrahim, dari Nisa, bahkan dari dirinya sendiri—akan terungkap. Dan itu menakutkan baginya. Ia tidak pernah membayangkan hari ini akan tiba, saat dia harus mengungkapkan semua keburukannya di hadapan Ibrahim, pria yang selama ini mempercayainya seperti saudara. "Aku… Aku nggak tahu harus mulai dari mana, Tuan," ujar Oscar dengan suara serak. Ia menunduk, menghindari tatapan tajam Ibrahim yang seolah bisa menembus relung hatinya. Dia benar-benar tidak tah
“Kenapa kamu baru mengatakan ini sekarang?” Suara Ibrahim terdengar tajam, menembus udara yang terasa tegang di ruang kantor detektif Yakub. Ruangan tersebut remang, diterangi hanya oleh lampu meja yang berada di tengah-tengah ruangan, memberikan suasana serius yang mencekam. Ibrahim duduk di seberang meja kayu besar, menatap tajam ke arah Rivaldo yang duduk di depannya dengan wajah penuh penyesalan. Rivaldo, pria yang dulu merawat Nisa di hari-hari terakhirnya, sekarang duduk dengan tubuh yang tampak letih, tetapi ekspresinya menandakan kesungguhan. "Aku … aku tidak bisa, Tuan Ibrahim. Mustika, dia punya cara untuk membuatku diam," jawab Rivaldo, suaranya gemetar. "Aku merasa bersalah sejak awal, tapi aku nggak bisa menghentikan apa yang terjadi. Mereka mengancamku." Ibrahim menggeram, menahan amarah yang kini semakin memuncak di dalam dadanya. Dia melirik ke arah detektif Yakub, seorang pensiunan polisi yang kini bekerja sebagai detektif swasta, yang berdiri di sudut ruangan deng
"Lepas! Aku harus bertemu dengan Tuan Ibrahim!" Teriakan pria itu memecah suasana resepsi yang semula penuh tawa dan canda. Tamu-tamu undangan, termasuk Alayya, tersentak mendengar suara lantang tersebut. Ibrahim yang tengah melayani tamu-tamunya segera menghentikan aktivitasnya. Ekspresi wajahnya berubah drastis, dari senyuman hangat menjadi tatapan penuh keterkejutan. Dia langsung menoleh ke arah pintu masuk, seorang pria lusuh yang tampak berantakan sedang dipegang erat oleh dua petugas keamanan. "Apa yang terjadi?" bisik Alayya pelan, matanya mengikuti arah tatapan Ibrahim. Dia bisa merasakan suaminya menegang di sampingnya. "Abang?" panggil Alayya lembut, berusaha mendapatkan perhatian suaminya, tetapi Ibrahim hanya diam, pandangannya masih terpaku pada pria itu. Alayya yang awalnya bingung, sekarang merasa bahwa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kekacauan tamu tak diundang. "Abang?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih khawatir. Ibrahim menghela napas panja