“Memangnya kamu siapa berani mencampuri urusanku dengannya?” Robert Sigara, pria berdarah Batak itu terlihat emosi saat tahu Ibrahim sudah merebut gelas wine miliknya dan sekarang berdiri melindungi Alayya di belakang punggungnya. Teriakannya sempat menarik perhatian tamu-tamu di sekitar ketiga orang itu, tetapi Oscar berhasil menenangkan mereka. Maka Ibrahim pun bisa leluasa menghadapi pria paruh baya di depannya ini. Pria itu tersenyum menyeringai menjawab pertanyaan Robert. “Saya Ibrahim, calon suami wanita ini. Kamu mau apa?” Robert membelalakkan matanya tak percaya dengan pendengarannya. “Ini nggak mungkin, bagaimana bisa? Sejak dulu Ayya nggak pernah mau aku ajak nikah, kenapa sama kamu dia mau?”Sekarang Ibrahim yang terbelalak. Tanpa memutar kepalanya, pria itu pun memastikan ucapan pria yang usianya jauh di atas dirinya itu. “Apa benar yang dikatakan olehnya, Ya?”Alayya sempat terkejut karena Robert membahas masalah
Tanpa terasa perjalanan bisnis Ibrahim pun segera berakhir. Sisa satu hari ini dia berencana akan membawa Alayya berkeliling kota Seoul karena besok pagi mereka sudah harus terbang kembali ke Indonesia. Saat ini Ibrahim sedang menyantap sarapan bersama Alayya di restoran sekitar hotel karena pagi ini mereka akan menuju ke Namsan Tower Seoul. “Memangnya itu tempat apa? Kalau nggak bagus, malas ah,” gerutu Alayya sambil menyantap garlic bread-nya. “Kamu pasti suka. Di sana ada menara yang bisa buat lihat kota Seoul, kalau nggak kita naik gondola yang jalan di atas kota terus ada yang unik lagi di tempat itu ….”“Apa lagi? Kayaknya menarik,” sela Alayya tidak sabar. Ibrahim lebih dulu menghabiskan kopi hitamnya sebelum akhirnya melanjutkan penjelasannya. “Di sana kita bisa pasang gembok cinta. Apa kamu pernah dengar? Atau pernah lihat di TV gitu?” “Eh? Serius? Aku pikir cuma ada di Paris, dulu aku pingin banget ke tempat itu, tapi belum kesampaian,” keluh Alayya tiba-tiba. “Kenapa?
“Maksud Tuan, gimana? Aku nggak ngerti.” Alayya jelas bingung dengan ucapan Ibrahim yang baru saja dia dengar karena selama ini yang dia tahu dan dia kenal adalah perempuan paruh baya yang meninggalkannya di rumah Ishika yang kemudian dia panggil mami. Ibrahim menghela napasnya lebih dulu lalu melihat ke arah luar kalau ternyata gondola sudah mulai berjalan. Sepertinya duduk berdekatan seperti ini membuat Alayya melupakan ketakutannya. “Ayya, saya mau ceritakan satu hal. Saya harap kamu tidak salah paham dengan apa yang saya lakukan di belakang kamu saat ini ….”“Apa? Tuan melakukan apa?” cecar Alayya tidak sabar. “Saya sedang mencari tahu tentang masa lalu kamu. Sejak saya mendengar kamu bermimpi buruk waktu itu, saya menyuruh detektif untuk mencari tahu asal usul kamu, Ayya.” Ibrahim menjeda kalimatnya hanya untuk melihat reaksi sang wanita. Alayya terkejut, dia mengeluarkan kedua tangan dari kantong Coat milik Ibrahim dan memutar duduknya menjadi lurus ke depan. Wanita itu tida
“Berjanjilah untuk mencoba mencintai aku sebagai Ayya bukan sebagai Nisa, apa Tuan bisa?” Akhirnya lolos juga pernyataan itu dari bibir seksi Alayya. Hal yang selama ini hanya dia simpan dalam hati dan tidak berani dia ungkapkan secara gamblang.Mata Ibrahim kembali terbeliak. Dia tidak menyangka kalau Alayya akan meminta hal seperti itu. Pikirannya ingin menolak, tetapi tangan yang menggenggam jemari lentik Alayya enggan melepaskan. Dia butuh Alayya, tetapi untuk mencintainya rasanya sangat sulit dia lakukan.Melihat lawan bicaranya tidak juga bicara, Alayya pun segera ambil tindakan. Dengan tangannya yang bebas, dia lepaskan tautan genggaman Ibrahim dengan perasaan yang kembali hancur. “Sampai kapan pun aku hanya akan menjadi bayangan Nisa, kan? Dan Anda tahu, Tuan. Sangat menyakitkan mengetahui kenyataan kalau orang yang kita cintai ternyata nggak pernah mencintai kita,” ucapnya dengan air mata yang sudah jatuh di pipi mulusnya itu.Tentu saja apa yang dilakukan dan dikatakan Alayy
Sementara Ibrahim kalang kabut mencari Alayya di luar sana, wanita yang dia cari justru sedang duduk termenung di Banpo Hangang Park yang berada di tepi Han River dan berhadapan dengan Banpo Bridge yang sedang mempertunjukkan atraksi air mancur warna warni yang airnya keluar dari tepian jembatan. Musik yang mengiringi pertunjukan itu cukup menenangkan Alayya yang sedang gundah. Dia sengaja duduk agak jauh dari keramaian para pengunjung taman ini hanya untuk menikmati kesendiriannya yang sedang sedih dan gelisah. Dia tidak peduli kalau Ibrahim sedang kebingungan bersama Oscar dan Bembi juga para tim SAR dan polisi hanya karena topi dan syalnya ditemukan di tepi sungai. Cukup lama dia melamun, memikirkan setiap kejadian yang dia alami sejak datang ke rumah Ibrahim hingga hari ini. Dulu, tidak jarang terlintas keinginannya untuk meninggalkan rumah dan pria itu, tetapi sekarang kalau pun dia harus pergi, Alayya harus siap meninggalkan Ibrahim dengan membawa luka di hatinya. Namun, semaki
“Kita udah ….” “Sssttt ….” Ibrahim segera menyela kata-kata Oscar yang ingin memberitahu kalau mobil mereka sudah sampai di pelataran lobi hotel tempat mereka menginap. Refleks Oscar bungkam, tetapi matanya melirik pada kaca tengah mobil yang mana dari pantulan benda itu Oscar bisa melihat Alayya sedang tertidur dengan kepala bersandar bahu Ibrahim. Bembi menengok ke belakang tempat duduknya dan bertanya dengan suara lirih, “Apa Anda butuh bantuan, Tuan?”Ibrahim menggeleng. “Nggak usah, Bem. Saya bisa menggendongnya sendiri.”Bembi pun mengangguk mengerti. Pria muda itu segera keluar dari mobil dan berjalan memutari bagian belakang untuk membukakan pintu mobil tempat Ibrahim duduk. Ibrahim tersenyum kecil melihat wanita kesayangannya tertidur pulas selama perjalanan pulang tadi. Mungkin dia kelelahan karena seharian berada di luar dan juga suhu hangat di dalam mobil yang membuat Alayya terbuai dalam mimpinya, pikirnya saat ini.Setelah puas memandangi wajah cantik Alayya dari samp
Indonesia“Apa-apaan ini?” Mustika menggerutu. Dia melihat banyak barang-barang dari kantor WO berantakan di ruang tamunya. “Christy!” panggilnya dengan suara melengking. Wanita paruh baya itu pun tergopoh-gopoh menghampiri Mustika. “Iya, Nyonya ada apa?” “Ini apa? Apa kamu lupa kalau hari ini Ibrahim akan pulang dari Korea? Kalau rumah masih berantakan begini, aku harus bilang apa?” Christy mengerutkan dahinya. Melihat apa yang dibilang berantakan oleh Tante dari majikannya itu yang sebenarnya adalah potongan styrofoam untuk hiasan pelaminan yang memang belum selesai dirangkai. “Ini memang belum selesai, Nyonya. Mereka sedang istirahat,” jelas Christy hati-hati. Nyonya tuanya ini memang sedang sering marah-marah sejak Ibrahim memutuskan akan menikah tanpa memberitahunya. “Aku nggak mau tahu, pokoknya sebelum jam dua siang ini, tempat ini harus bersih. Jangan sampai Ibrahim pulang melihat semua ini,” titahnya sekali lagi. “Baik, Nyonya. Akan saya beri tahu mereka untuk segera be
“Jangan asal bicara Tuan! Saya mau menikah sama Tuan Ibrahim, bukan sama Anda!” seru Alayya menggebu-gebu. Wajah Khrisna langsung berubah kesal mendengar ungkapan Alayya itu. Dia mulai mendekat, tetapi wanita itu sudah lebih dulu beringsut ke belakang punggung Ibrahim sambil mencengkeram jaket kulitnya. Sontak Khrisna menghentikan langkahnya.“Ayya benar, Tuan Khrisna. Saya sendiri tidak mengerti kenapa Anda datang ke sini dan ingin membawa Ayya dari sisi saya?”Khrisna berdecak, dengan menantang mata Ibrahim dia pun menjawab pertanyaan pria tampan itu. “Karena aku cinta sama dia dan aku yang lebih dulu mengenal dia daripada Anda. Seharusnya aku yang berhak atas dia, bukan begitu Tuan Ibrahim?” Kali ini Ibrahim yang tersenyum sinis. “Maafkan saya, Tuan Khrisna Devananta, dia calon istri saya, nggak ada seorang pun yang bisa membawa dia dari sisi saya tanpa seizin saya. Saya rasa Anda sudah paham ya? Kalau gitu kami permisi.”
"Abang, semua ini terasa seperti mimpi, ya?" Suara Alayya terdengar lembut di tengah keheningan malam, menghiasi ruang kamar mereka yang baru saja kembali sunyi setelah seharian dilalui dengan emosi yang campur aduk. Dia berdiri di depan cermin besar, mengurai rambut panjangnya yang hitam, sedangkan mata almondnya menatap pantulan Ibrahim yang sedang duduk di tepi ranjang, menghadap ke arahnya.Ibrahim tersenyum kecil, senyum yang tidak terlalu sering terlihat di wajahnya yang biasanya kaku dan tegas. Tetapi malam ini, ada kehangatan dalam senyumnya, kehangatan yang hanya bisa dirasakan oleh Alayya. "Ya, Ayya. Semua yang telah kita lalui terasa begitu panjang dan berat, tapi akhirnya... kita sampai di sini."Alayya menoleh, memutar tubuhnya pelan dan berjalan mendekati Ibrahim. Langkahnya lembut, hampir tanpa suara di atas karpet tebal yang menutupi lantai kamar mereka. Dia berhenti tepat di hadapan Ibrahim, menatap dalam-dalam ke mata pria yang kini menj
“Abang, apa kamu yakin dengan ini?" Suara lembut Alayya bergetar saat mereka berjalan menyusuri lorong panjang menuju ruang kerja Mustika di rumah barunya—sebuah tempat yang Ibrahim baru saja ketahui keberadaannya. Mustika baru-baru ini pindah ke rumah itu, menolak untuk tinggal serumah dengan Nazila, ibunya Alayya. Tangan Alayya menggenggam lengan Ibrahim erat, seolah-olah mencari kekuatan dari pria di sampingnya."Aku harus yakin, Ayya," jawab Ibrahim dengan suara tegas namun rendah. Matanya lurus memandang ke depan, wajahnya keras tanpa ekspresi. "Ini bukan hanya soal aku. Ini soalmu juga. Aku tidak bisa membiarkan kejahatan Tante Tika terus berlanjut."Alayya mengangguk pelan, meski hatinya masih berdebar kencang. Berhadapan dengan Mustika bukanlah hal yang mudah. Perempuan licik itu telah melakukan banyak hal untuk merusak hidup mereka, termasuk mengatur kematian Nisa, istri pertama Ibrahim. Namun, sekarang waktunya tiba untuk membongkar semuanya.Di
"Aku tahu ini tidak akan mudah, Ayya, tapi ini harus dilakukan." Suara Ibrahim terdengar dalam dan mantap saat dia menatap ke arah jendela besar di ruang kerjanya. Matanya terpaku pada pemandangan kota di depannya, tetapi pikirannya jelas terfokus pada hal yang jauh lebih dalam dan berat. Di sebelahnya, Alayya berdiri dengan tenang. Tangannya dengan lembut menggenggam tangan Ibrahim, memberinya kekuatan tanpa perlu banyak bicara. Dia tahu keputusan yang diambil Ibrahim bukanlah keputusan yang mudah. Menghadapi keluarga sendiri dalam masalah hukum adalah sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. "Abang, aku ada di sini. Apapun yang terjadi, aku akan selalu mendukungmu." Suara Alayya pelan, tetapi penuh ketegasan. Ia menatap Ibrahim dengan penuh keyakinan, mencoba menyampaikan bahwa dia tidak akan pernah membiarkan pria itu menanggung semuanya sendirian. Ibrahim menoleh ke arahnya, matanya sedikit melunak. "Aku tahu, Ayya. Dan aku berterima kasih untuk itu. Tanpamu, mungkin
Di tempat lain, Mustika menghadapi kecemasan baru.Mustika duduk di depan meja kerjanya, tangannya gemetar saat memegang telepon. Berita tentang kemunculan Rivaldo membuat tubuhnya panas dingin. Rivaldo, pria yang sudah lama ia coba singkirkan dari lingkaran kekuasaannya, kini kembali—dan kali ini, dia tampak lebih siap dari sebelumnya."Pantas saja," gumam Mustika dengan suara parau. "Aku seharusnya tahu kalau dia akan kembali."Mustika bangkit dari kursinya, berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya dengan langkah gelisah. Matanya sesekali melirik ke jendela, seolah-olah takut ada yang mengawasinya dari luar. Rivaldo tidak hanya ancaman bagi rencana besarnya untuk menguasai kekayaan Ibrahim, tapi juga bagi keselamatannya sendiri.Tangan Mustika mengepal, meremas-remas ujung kain yang dia kenakan. "Sial!" teriaknya marah, melemparkan cangkir teh ke dinding hingga pecah berkeping-keping. "Kenapa sekarang? Kenapa dia harus muncul di saat segalanya hampir sempurna?"Frustrasi dan ketakut
Ruangan itu akhirnya hening, hanya terdengar napas Ibrahim yang berat dan suara detik jam di dinding. Setelah semua ketegangan dan amarah yang memuncak, tubuh Ibrahim terasa seperti ditarik ke bumi dengan beban yang luar biasa. Ia berdiri di dekat jendela, memandang ke luar dengan pandangan kosong, mencoba menenangkan diri dari gejolak emosi yang baru saja meledak.Di belakangnya, Alayya mendekat perlahan, tanpa suara. Tangannya yang lembut meraih lengan Ibrahim, memberikan sentuhan yang hangat dan menenangkan. Meski amarahnya belum sepenuhnya mereda, sentuhan Alayya mampu membawa Ibrahim kembali pada kenyataan. Hatinya yang penuh kemarahan kini sedikit melunak dengan keberadaan wanita itu di sampingnya."Abang, ayo duduk sebentar." Suara Alayya lembut, penuh kasih, seolah dia paham betul bahwa Ibrahim butuh waktu untuk meredakan semua gejolak perasaannya. Tanpa protes, Ibrahim membiarkan Alayya memimpin dirinya menuju sofa di dekat jendela. Mereka duduk berdampingan, tetapi tak satu
"Sekarang katakan apa yang kamu tahu tentang Tante Tika, Oscar sampai kamu nggak bisa menghentikan rencananya pada Nisa?” Ibrahim kembali menatap tajam pada Oscar yang masih menunduk. Oscar tidak menjawab segera. Napasnya terdengar pendek dan berat, dan meskipun dia sudah berkali-kali merencanakan apa yang akan dikatakannya, lidahnya terasa kaku. Rasanya seluruh tubuhnya tertindih beban yang tak terlihat, menyulitkan dia untuk bicara. Saat dia akhirnya berani mengangkat pandangannya, yang bisa dia lihat hanyalah kemarahan mendalam dari Ibrahim—kemarahan yang sangat pantas diterimanya. "Aku... Takut, Tuan. Nyonya Mustika sudah terlalu kuat." Akhirnya Oscar mengucapkan kata-kata itu, namun suara yang keluar terdengar lebih seperti desahan putus asa. "Aku tahu aku salah, Tuan. Tapi aku tidak tahu bagaimana menghentikannya." "Tak tahu bagaimana?" Ibrahim melangkah mendekat, semakin mempersempit jarak antara mereka. Tu
“Oscar, kamu harus jelaskan semuanya sekarang.” Suara Ibrahim terdengar datar, namun penuh dengan emosi yang tertahan. Matanya yang tajam menatap Oscar, yang berdiri dengan wajah penuh rasa bersalah. Setelah kemarin Ibrahim mengusir Oscar, hari ini dia meminta Yakub dan anak buahnya memanggil asistennya itu. Banyak hal yang harus Ibrahim tanyakan padanya. Oscar menelan ludah, berusaha mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan pengakuannya. Ia tahu, setelah ini, tidak ada jalan kembali. Semua rahasia yang disimpannya selama ini—dari Ibrahim, dari Nisa, bahkan dari dirinya sendiri—akan terungkap. Dan itu menakutkan baginya. Ia tidak pernah membayangkan hari ini akan tiba, saat dia harus mengungkapkan semua keburukannya di hadapan Ibrahim, pria yang selama ini mempercayainya seperti saudara. "Aku… Aku nggak tahu harus mulai dari mana, Tuan," ujar Oscar dengan suara serak. Ia menunduk, menghindari tatapan tajam Ibrahim yang seolah bisa menembus relung hatinya. Dia benar-benar tidak tah
“Kenapa kamu baru mengatakan ini sekarang?” Suara Ibrahim terdengar tajam, menembus udara yang terasa tegang di ruang kantor detektif Yakub. Ruangan tersebut remang, diterangi hanya oleh lampu meja yang berada di tengah-tengah ruangan, memberikan suasana serius yang mencekam. Ibrahim duduk di seberang meja kayu besar, menatap tajam ke arah Rivaldo yang duduk di depannya dengan wajah penuh penyesalan. Rivaldo, pria yang dulu merawat Nisa di hari-hari terakhirnya, sekarang duduk dengan tubuh yang tampak letih, tetapi ekspresinya menandakan kesungguhan. "Aku … aku tidak bisa, Tuan Ibrahim. Mustika, dia punya cara untuk membuatku diam," jawab Rivaldo, suaranya gemetar. "Aku merasa bersalah sejak awal, tapi aku nggak bisa menghentikan apa yang terjadi. Mereka mengancamku." Ibrahim menggeram, menahan amarah yang kini semakin memuncak di dalam dadanya. Dia melirik ke arah detektif Yakub, seorang pensiunan polisi yang kini bekerja sebagai detektif swasta, yang berdiri di sudut ruangan deng
"Lepas! Aku harus bertemu dengan Tuan Ibrahim!" Teriakan pria itu memecah suasana resepsi yang semula penuh tawa dan canda. Tamu-tamu undangan, termasuk Alayya, tersentak mendengar suara lantang tersebut. Ibrahim yang tengah melayani tamu-tamunya segera menghentikan aktivitasnya. Ekspresi wajahnya berubah drastis, dari senyuman hangat menjadi tatapan penuh keterkejutan. Dia langsung menoleh ke arah pintu masuk, seorang pria lusuh yang tampak berantakan sedang dipegang erat oleh dua petugas keamanan. "Apa yang terjadi?" bisik Alayya pelan, matanya mengikuti arah tatapan Ibrahim. Dia bisa merasakan suaminya menegang di sampingnya. "Abang?" panggil Alayya lembut, berusaha mendapatkan perhatian suaminya, tetapi Ibrahim hanya diam, pandangannya masih terpaku pada pria itu. Alayya yang awalnya bingung, sekarang merasa bahwa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kekacauan tamu tak diundang. "Abang?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih khawatir. Ibrahim menghela napas panja