“Bermimpi? Bagaimana aku bisa bermimpi jika tidur saja tidak? Justru aku sedang mengajakmu berbagi kehangatan dalam tidur malam ini.” Tuan Saputra masih belum berhenti menanggapi negosiasi alotnya dengan Selena Tan. Ekspresi wajah Selena yang menahan marah terlihat begitu imut di matanya, bagaimana ia bisa mengalihkan pandangan darinya jika wanita itu membuat adrenalinnya kian terpacu untuk menakhlukkan gunung es yang ada dalam diri si wanita.
Selena Tan merasa nyaris meledak mendengar pria sok berkuasa itu meremehkan dirinya. “Tuan yang terhormat, sekalipun uang anda setinggi gunung, aku tidak akan menaruh respek kepada orang yang meremehkan wanita. Harga diriku tidak bisa ditukar dengan sepatumu.” Tegas Selena Tan, tak peduli dengan siapa ia berurusan saat ini, mempertahankan harga dirinya hingga titik darah penghabisan adalah kewajiban mutlak. Tak ada alasan untuk gentar pada ancaman, sekalipun lawannya berupaya menundukkannya habis-habisan.
Tuan Saputra menaikkan satu alisnya, sikap keras kepala Selana Tan membuat ia tertantang untuk menakhlukkannya, apapun caranya. Ia melirik Pak Fei sekilas dan cukup dimengerti oleh pengawal itu sehingga mencondongkan diri agar bisa menerima bisikan dari tuan muda itu. Pak Fei mengangguk paham kemudian kembali menatap Selena Tan, dari sorot matanya saja bisa ditebak bahwa kedua pria itu punya maksud terselubung yang harus diwaspadai.
“Nona Selena Tan, bukankah anda sangat membutuhkan pekerjaan ini? Saya melihat bahwa anda menjalani kehidupan yang tidak mudah. Seorang ibu yang penyakitan dan tidak produktif lagi. Anda adalah tulang punggung keluarga dan membuat anda terpaksa menanggung beban kerja lebih berat dari orang-orang biasanya. Apa anda yakin menolak win-win solusi dari tuan muda adalah keputusan terbaik? Anda tidak menyesal kehilangan pekerjaan yang sulit anda dapatkan ini?” Pak Fei begitu entengnya menyampaikan apa yang ia ketahui tentang Selena Tan, namun tidak dengan wanita itu. Gara-gara kelemahan yang terbaca jelas itu membuat Selena Tan tanpa sadar goyah hingga berjalan mundur beberapa langkah. Wanita itu mulai gentar, kini ia tak lagi menganggap lawannya adalah pihak yang mudah dihadapi. “Darimana anda tahu tentang aku? Kalian memata-matai aku, huh!?”
Pak Fei menatap remeh pada gadis yang telah berhasil ia serang secara mental. Senyum tipisnya mengembang, semakin melengkapi untuk menggertak secara halus hingga lawannya gentar. “Cukup mudah untuk mengetahui siapa anda, nona. Tuan muda punya kuasa untuk melakukan apa saja kepada orang yang berurusan rumit dengannya. Sekarang keputusan di tangan anda, menerima penawaran tuan muda sebagai jalan tengah atau membayar ganti rugi sesuai yang tuan muda inginkan.”
Selena Tan merasa tersudutkan, posisi yang sama sekali tidak menguntungkan. Menerima salah satunya, tetap saja membuat Selena Tan mengalami kerugian. Harus ia akui bahwa saat ini nyalinya menciut, dua pasang mata yang awas menyorotinya dengan tajam itu kian menumpulkan keberaniannya. Selena Tan menggigit bibir bawah, dirundung dilema yang membuat kepalanya terasa sangat pusing. Ia menunduk, sebisa mungkin menghindari tatapan dingin yang serasa menembus pertahanan hatinya. Selena Tan tidak bisa menjamin dapat bertahan hingga akhir sebagai pemenang. Kenyataannya ia tidak punya kapasitas untuk menang melawan pria penuh kuasa itu. “A ... Apa tidak bisa dicicil?” Desis Selena Tan ragu-ragu, ia sendiri tidak yakin dengan kata-kata itu sehingga memilih menyembunyikan wajah takutnya.
Tuan muda Saputra mengusap bibirnya, jika bukan karena ia menyukai karakter Selena Tan, ia tak akan betah mengikuti alur lambat wanita itu. “Hmm, seratus juta itu kira-kira mau dicicil sampai kapan? Penghasilanmu satu bulan saja lebih kecil daripada pengeluaranku satu hari. Kamu berniat menyicilnya seumur hidup, huh?”
Selena Tan tak bisa mengendalikan tubuhnya akibat reaksi ketakutan, sepasang tangannya gemetaran yang perlahan menjalar hingga melemaskan sepasang kakinya. Ia tak yakin berapa lama lagi sanggup menahan diri, kakinya bahkan terasa tak kuat menopang tubuhnya. “Seumur hi ... dup ....” Kata-kata Selena Tan yang terbata-bata itu menjadi ucapan terakhir yang diingatnya. Sedetik kemudian pandangannya berubah gelap, Selena Tan ambruk didera serangan panik mendadak.
***
Alas tidur yang begitu empuk, kenyamanan yang belum pernah Selena Tan rasakan sepanjang dua puluh dua tahun ia hidup. Kesadarannya beransur pulih hingga ia bisa merasa tubuhnya terbaring meskipun dengan sepasang mata yang masih terpejam. ‘Sebentar lagi, biarkan aku merasakan nikmatnya alas ini.’ Gumam Selena Tan dalam hatinya, terlena pada kenyamanan yang baru pertama kali ia rasakan. Namun detik berikutnya, hawa dingin yang terasa menembus kulitnya mulai mengusik pikiran. Bukan hanya merasakan dingin namun firasatnya buruk, Selena Tan tak lagi bisa menikmati empuknya ranjang, ia seketika memaksakan sepasang matanya agar terbuka lebar saat itu juga.
“Hah? Di mana aku?”
Selena Tan tercengang saat mendapati dirinya tengah terbaring di sebuah kamar dengan pencahayaan redup. Meskipun cahayanya remang-remang, Selena Tan bisa melihat jelas desain interior dalam ruangan itu sangat modern. Ini jelas bukan rumahnya, tetapi mengapa ia bisa berada di sini bahkan tanpa merasa berdosa tertidur di sini? Wanita itu kian mawas diri mengamati tubuhnya, spontan menyibak selimut yang menutupi dirinya. “Huft ....” Selena Tan bisa menghela nafas lega sejenak, kekhawatirannya agak berlebihan lantaran mengira pakaiannya telah dilucuti tanpa seijinnya.
“Bangun juga akhirnya, kamu pikir bisa menghindari masalah denganku hanya karena pura-pura pingsan?”
Selena Tan sontak menoleh ke sumber suara ketika ia mendengar suara seorang pria yang berada dalam satu ruangan dengannya. Pria itu muncul di hadapannya, hanya berbalut handuk putih yang meliliti pinggangnya. Rambut hitamnya setengah basah, tetapi bukan itu yang membuat Selena Tan menjerit ketakutan, namun karena tak habis pikir apa yang telah pria itu lakukan hingga berpenampilan shirtless di hadapannya. “Kamu!? Apa yang kamu lakukan di sini?” Selena Tan tak berani memandang pria itu. Sepasang matanya masih lugu, belum pernah tercemari oleh objek yang tak semestinya ia lihat. Tubuh bagian atas seorang pria yang terbuka, memamerkan dada bidang yang begitu atletis, Selena Tan bahkan masih bisa membayangkan tampilan itu meskipun sudah memalingkan wajahnya.
“Aku ngapain di sini? Harusnya kamu sudah tahu apa yang aku mau. Kamu juga tidak keberatan bukan? Itulah sebabnya kamu pura-pura pingsan agar aku bisa membawamu ke kamar ini.” Jawab tuan muda Saputra dengan suara yang terdengar sangat arogan, sepasang matanya begitu terobsesi pada visual wanita muda yang kini keberaniannya mulai goyah. Tak ada lagi sorot mata nanar yang mendelik padanya, yang ada sekarang adalah mata sayu yang berharap diampuni.
Selena Tan menggeleng, firasat buruknya ternyata bukan isapan jempol. Pria berkuasa itu ternyata tidak membiarkan dirinya lolos. Malam ini entah bagaimana nasibnya, mungkin tak akan bisa lepas dari jerat pria yang berdiri menggodanya. ‘Apakah aku harus meruntuhkan harga diriku?’ Selena Tan membatin dengan keraguan yang mendesaknya segera menentukan keputusan.
***
“Aku tidak berpura-pura! Aku sungguh tak sadarkan diri tadi. Anda menakuti aku, sama seperti sekarang, aku benar-benar takut. Tuan, aku mengakui kesalahanku, aku bersedia melakukan apapun namun jangan seperti ini. Kumohon biarkan aku pergi.” Selena Tan memberanikan diri untuk bicara berhadapan langsung dengan pria tampan itu. Jarak tubuh mereka kian dekat lantaran pria itu terus melangkah menghampirinya. Selena Tan grogi, ia terus mundur hingga mentok pada sisi ranjang.Pria itu tersenyum seringai saat melihat ketidak-berdayaan Selena Tan, tak punya tempat berlari lagi. Wanita itu sepenuhnya ada dalam genggaman kekuasannya. Ia duduk di pinggir ranjang, walaupun gairahnya memuncah, namun ia masih punya hati nurani untuk mengasihani seseorang. “Aku sebenarnya bisa melakukannya tanpa menunggu kamu sadar. Tetapi itu sama sekali tidak menyenangkan, hanya bermain sepihak dan memanfaatkan sisi lengah lawan. Itu sama sekali tidak menarik bagiku.”Selena
Di saat si empu tengah menikmati malam panjang yang penuh keringat dan kenikmatan, seorang pria yang merasa punya tanggung jawab besar untuk menjaga keamanan di luar sampai tuan mudanya keluar. Ia menunggu dari kejauhan, namun sepasang matanya tetap awas pada ruangan yang masih tertutup itu. Bukan kali pertama ia mengetahui tuannya menghabiskan malam bersama seorang wanita, namun baru sekarang pak Fei mencemaskan tuannya. Wanita yang menjadi rekan seranjangnya itu tampak tidak baik-baik saja ketika ikut masuk ke dalam kamar. Meskipun sudah ada kesepakatan, namun tetap saja wanita muda itu melakukannya karena terpaksa.Bruk! Pintu yang diawasi oleh pak Fei rupanya sudah terbuka, begitu ia menoleh dan mengira orang pertama yang keluar adalah tuan mudanya, tebakan itu dipatahkan seketika begitu tahu yang berlari tergesa dari sana adalah wanita muda yang sudah mengusik pikirannya sejak tadi.“Nona Selena, apa anda baik-baik saja?” Pak Fei bertanya ketika berpap
“Hatchi ....” Selena Tan menggosok hidungnya yang berlendir saking dinginnya udara di larut malam. Ia nekat keluar dari hotel dengan hanya mengenakan seragam kerjanya. “Ah sial, jasku ketinggalan di bar. Aku tidak mungkin mampir ke sana lagi demi mengambilnya.” Gerutu Selena Tan yang merasakan kesialan beruntun terus mempermainkannya sepanjang hari ini. Bahkan pada saat sebagian orang sudah larut dalam tidurnya, ia masih saja berkutat di jalanan seorang diri. Memperjuangkan agar segera sampai ke rumahnya yang cukup jauh dari pusat kota. Selena Tan tertatih menahan sedikit perih yang ia rasakan sebagai hadiah dari pengalaman pertamanya tidur dengan seorang pria. Rasa perih itu kian mencambuknya, membakar hatinya yang panas karena emosi terpendam. Ia butuh tempat menyalurkan kekesalan, tetapi tidak sanggup dilakukannya sekarang. Jika saja pengalaman pertama yang membuatnya merasakan menjadi wanita dewasa itu terjadi karena dasar suka sama suka, mungkin Selena T
“Ini kembalinya nona, terima kasih dan hati-hatilah. Jalanan di sekitar sini sangat gelap.”Selena Tan menerima uang receh kembalian dari supir taksi itu sekaligus mendapatkan perhatian kecil yang membuatnya tersenyum. Ternyata masih ada juga orang lain yang peduli kepadanya, meskipun itu mungkin hanya sekedar basa-basi tetapi ia sangat merasa tersentuh karenanya. Beberapa lembar uang receh itu digenggamnya, hati Selena Tan meringis seketika karena sehelai uang seratus ribunya hanya tersisa beberapa lembar uang yang bahkan tidak cukup untuk membeli seporsi nasi bungkus. “Terimakasih pak, hati-hati juga untuk anda.” Jawab Selena Tan yang agak slow respon seraya membungkukkan badannya sebagai tanda hormat kepada pria tua itu serta tanda perpisahan. Ia menghela nafas kasar ketika taksi itu berlalu, suasana malam yang sungguh sepi dan dingin. Ia benar-benar sendirian dan harus menyusuri jalan setapak demi sampai ke rumah gubuknya.Beberapa langkah l
“Kamu ....” Desis Selena Tan dengan sisa suaranya yang parau. Sorot lampu mobil membantunya menangkap penglihatan dengan jelas bahwa pria yang berdiri di sana adalah seseorang yang baru beberapa saat bertemu dengannya. Langkah pria itu bergerak maju, membiarkan sepatu hitamnya basah karena gerimis yang mulai berubah menjadi rintik hujan.Pria itu sampai di depan Selena Tan yang masih mematung dengan posisi bersujud di atas tanah. Ia tak yakin wanita itu bisa menangkap senyumnya atau tidak, yang pasti kehadirannya sudah disorot. “Nona Selena Tan, anda tampaknya butuh bantuan.”“Aku mohon, selamatkan ibuku!” Selena Tan menelan gengsinya, menyingkirkan fakta yang sempat terjadi di antara ia dan pria itu. Apapun demi menyelamatkan nyawa ibunya, Selena Tan bersedia melakukannya sekalipun itu merendahkan harga dirinya.Pria itu menjulurkan tangan ke arah Selena Tan, menunggunya merespon dengan sambutan. Namun tangan itu tetap dibiar
“Di mana dia sekarang?” Nicole Saputra sebisa mungkin mengatur nafasnya yang masih tersengal. Meskipun harus memaksakan diri untuk bicara, ia tetap tak peduli tentang dirinya yang kelelahan pasca berlari semenjak turun dari mobil demi menuju keberadaan asistennya.“Nona itu masih menunggu jenasah ibunya di ruangan itu. Aku sengaja membiarkannya, kadang orang memang perlu waktu untuk mengucapkan salam perpisahan. Apalagi jika hal buruk itu terjadi tanpa sepengetahuannya, saya yakin nona itu pasti sedang memendam rasa penyesalannya karena tidak bisa mendampingi di detik terakhir. Biarkan saja dulu begitu adanya, tuan. Dia pasti akan keluar jika sudah berhasil menguasai dirinya.”Nicole Saputra mulai merilekskan dirinya, walau belum bertemu langsung dengan Selena Tan, namun mendengar apa yang disampaikan oleh pak Fei pun membuatnya merasa sedikit lega. “Ya, aku rasa anda benar. Saat ini yang ia perlukan hanya kekuatan untuk mene
Kecemasan yang dirasakan oleh Selena Tan kian bertambah ketika ia sadar akan satu hal yang harus dihadapinya. ‘Pemakaman yang layak dan sederhana pun harus menggelontorkan uang. Darimana aku mendapatkan uang lebih dalam waktu singkat? Kenapa di dunia ini aku hanya memiliki ibu? Siapa yang bisa aku andalkan di saat genting begini?’ Suara hati Selena Tan yang menjerit pilu, berandai jika ia memiliki saudara, setidaknya masih ada tempat berbagi rasa dan susah seperti yang ia rasakan sekarang.‘Menikahlah denganku!’Selena Tan menggeleng cepat, berupaya menepis ingatan tentang pria menjengkelkan yang menawarinya pernikahan padahal mereka baru kenal dan menghabiskan berbagi kehangatan di atas ranjang peraduan. ‘Sial! Aku tidak mau ingat apapun tentang dia.’“Nona, maaf saya tidak bermaksud mengganggu anda, tetapi anda harus segera menyelesaikan beberapa urusan administrasi rumah sakit.” Pak Fei mengusik la
Di luar dugaan Nicole Saputra yang mengira kedatangannya akan ditunggu oleh pak Fei serta wanita yang incarnya, ternyata begitu ia sampai di rumah yang dijanjikan itu, sudah ada sebuah mobil yang terparkir di halaman dan cukup familiar baginya. Mobil mewah berwarna silver itu bukanlah kendaraan asistennya, melainkan milik seorang wanita dari masa lalunya. Nicole Saputra masih mencoba menahan diri, tak mau melibatkan emosi untuk mengatasi benalu yang belum juga hilang dari kehidupannya. Ia melangkah masuk ke dalam rumah mewah miliknya, beberapa pelayan berkumpul menyambutnya namun tidak ia hiraukan. Seorang wanita yang ditenggarai sebagai pemilik kendaraan di luar tampak masih asyik dengan dunianya. Dia tidak menghiraukan kedatangan tuan rumah dan malah sibuk memperhatikan perabotannya.“Mau apa kamu ke sini lagi?”Wanita itu menyeringai begitu mendengar pertanyaan itu ditujukan kepadanya. Walau nada bicaranya kasar, tetapi cukup menarik baginy