Di saat si empu tengah menikmati malam panjang yang penuh keringat dan kenikmatan, seorang pria yang merasa punya tanggung jawab besar untuk menjaga keamanan di luar sampai tuan mudanya keluar. Ia menunggu dari kejauhan, namun sepasang matanya tetap awas pada ruangan yang masih tertutup itu. Bukan kali pertama ia mengetahui tuannya menghabiskan malam bersama seorang wanita, namun baru sekarang pak Fei mencemaskan tuannya. Wanita yang menjadi rekan seranjangnya itu tampak tidak baik-baik saja ketika ikut masuk ke dalam kamar. Meskipun sudah ada kesepakatan, namun tetap saja wanita muda itu melakukannya karena terpaksa.
Bruk! Pintu yang diawasi oleh pak Fei rupanya sudah terbuka, begitu ia menoleh dan mengira orang pertama yang keluar adalah tuan mudanya, tebakan itu dipatahkan seketika begitu tahu yang berlari tergesa dari sana adalah wanita muda yang sudah mengusik pikirannya sejak tadi.
“Nona Selena, apa anda baik-baik saja?” Pak Fei bertanya ketika berpap
“Hatchi ....” Selena Tan menggosok hidungnya yang berlendir saking dinginnya udara di larut malam. Ia nekat keluar dari hotel dengan hanya mengenakan seragam kerjanya. “Ah sial, jasku ketinggalan di bar. Aku tidak mungkin mampir ke sana lagi demi mengambilnya.” Gerutu Selena Tan yang merasakan kesialan beruntun terus mempermainkannya sepanjang hari ini. Bahkan pada saat sebagian orang sudah larut dalam tidurnya, ia masih saja berkutat di jalanan seorang diri. Memperjuangkan agar segera sampai ke rumahnya yang cukup jauh dari pusat kota. Selena Tan tertatih menahan sedikit perih yang ia rasakan sebagai hadiah dari pengalaman pertamanya tidur dengan seorang pria. Rasa perih itu kian mencambuknya, membakar hatinya yang panas karena emosi terpendam. Ia butuh tempat menyalurkan kekesalan, tetapi tidak sanggup dilakukannya sekarang. Jika saja pengalaman pertama yang membuatnya merasakan menjadi wanita dewasa itu terjadi karena dasar suka sama suka, mungkin Selena T
“Ini kembalinya nona, terima kasih dan hati-hatilah. Jalanan di sekitar sini sangat gelap.”Selena Tan menerima uang receh kembalian dari supir taksi itu sekaligus mendapatkan perhatian kecil yang membuatnya tersenyum. Ternyata masih ada juga orang lain yang peduli kepadanya, meskipun itu mungkin hanya sekedar basa-basi tetapi ia sangat merasa tersentuh karenanya. Beberapa lembar uang receh itu digenggamnya, hati Selena Tan meringis seketika karena sehelai uang seratus ribunya hanya tersisa beberapa lembar uang yang bahkan tidak cukup untuk membeli seporsi nasi bungkus. “Terimakasih pak, hati-hati juga untuk anda.” Jawab Selena Tan yang agak slow respon seraya membungkukkan badannya sebagai tanda hormat kepada pria tua itu serta tanda perpisahan. Ia menghela nafas kasar ketika taksi itu berlalu, suasana malam yang sungguh sepi dan dingin. Ia benar-benar sendirian dan harus menyusuri jalan setapak demi sampai ke rumah gubuknya.Beberapa langkah l
“Kamu ....” Desis Selena Tan dengan sisa suaranya yang parau. Sorot lampu mobil membantunya menangkap penglihatan dengan jelas bahwa pria yang berdiri di sana adalah seseorang yang baru beberapa saat bertemu dengannya. Langkah pria itu bergerak maju, membiarkan sepatu hitamnya basah karena gerimis yang mulai berubah menjadi rintik hujan.Pria itu sampai di depan Selena Tan yang masih mematung dengan posisi bersujud di atas tanah. Ia tak yakin wanita itu bisa menangkap senyumnya atau tidak, yang pasti kehadirannya sudah disorot. “Nona Selena Tan, anda tampaknya butuh bantuan.”“Aku mohon, selamatkan ibuku!” Selena Tan menelan gengsinya, menyingkirkan fakta yang sempat terjadi di antara ia dan pria itu. Apapun demi menyelamatkan nyawa ibunya, Selena Tan bersedia melakukannya sekalipun itu merendahkan harga dirinya.Pria itu menjulurkan tangan ke arah Selena Tan, menunggunya merespon dengan sambutan. Namun tangan itu tetap dibiar
“Di mana dia sekarang?” Nicole Saputra sebisa mungkin mengatur nafasnya yang masih tersengal. Meskipun harus memaksakan diri untuk bicara, ia tetap tak peduli tentang dirinya yang kelelahan pasca berlari semenjak turun dari mobil demi menuju keberadaan asistennya.“Nona itu masih menunggu jenasah ibunya di ruangan itu. Aku sengaja membiarkannya, kadang orang memang perlu waktu untuk mengucapkan salam perpisahan. Apalagi jika hal buruk itu terjadi tanpa sepengetahuannya, saya yakin nona itu pasti sedang memendam rasa penyesalannya karena tidak bisa mendampingi di detik terakhir. Biarkan saja dulu begitu adanya, tuan. Dia pasti akan keluar jika sudah berhasil menguasai dirinya.”Nicole Saputra mulai merilekskan dirinya, walau belum bertemu langsung dengan Selena Tan, namun mendengar apa yang disampaikan oleh pak Fei pun membuatnya merasa sedikit lega. “Ya, aku rasa anda benar. Saat ini yang ia perlukan hanya kekuatan untuk mene
Kecemasan yang dirasakan oleh Selena Tan kian bertambah ketika ia sadar akan satu hal yang harus dihadapinya. ‘Pemakaman yang layak dan sederhana pun harus menggelontorkan uang. Darimana aku mendapatkan uang lebih dalam waktu singkat? Kenapa di dunia ini aku hanya memiliki ibu? Siapa yang bisa aku andalkan di saat genting begini?’ Suara hati Selena Tan yang menjerit pilu, berandai jika ia memiliki saudara, setidaknya masih ada tempat berbagi rasa dan susah seperti yang ia rasakan sekarang.‘Menikahlah denganku!’Selena Tan menggeleng cepat, berupaya menepis ingatan tentang pria menjengkelkan yang menawarinya pernikahan padahal mereka baru kenal dan menghabiskan berbagi kehangatan di atas ranjang peraduan. ‘Sial! Aku tidak mau ingat apapun tentang dia.’“Nona, maaf saya tidak bermaksud mengganggu anda, tetapi anda harus segera menyelesaikan beberapa urusan administrasi rumah sakit.” Pak Fei mengusik la
Di luar dugaan Nicole Saputra yang mengira kedatangannya akan ditunggu oleh pak Fei serta wanita yang incarnya, ternyata begitu ia sampai di rumah yang dijanjikan itu, sudah ada sebuah mobil yang terparkir di halaman dan cukup familiar baginya. Mobil mewah berwarna silver itu bukanlah kendaraan asistennya, melainkan milik seorang wanita dari masa lalunya. Nicole Saputra masih mencoba menahan diri, tak mau melibatkan emosi untuk mengatasi benalu yang belum juga hilang dari kehidupannya. Ia melangkah masuk ke dalam rumah mewah miliknya, beberapa pelayan berkumpul menyambutnya namun tidak ia hiraukan. Seorang wanita yang ditenggarai sebagai pemilik kendaraan di luar tampak masih asyik dengan dunianya. Dia tidak menghiraukan kedatangan tuan rumah dan malah sibuk memperhatikan perabotannya.“Mau apa kamu ke sini lagi?”Wanita itu menyeringai begitu mendengar pertanyaan itu ditujukan kepadanya. Walau nada bicaranya kasar, tetapi cukup menarik baginy
“Aku katakan sekali lagi, segera tinggalkan rumahku ini. Jangan membuat kesabaranku habis dan bersikap kasar kepadamu. Jika itu terjadi, jangan salahkan aku!” Nicole Saputra sungguh memberikan ultimatumnya kepada Alice, namun terasa percuma lantaran wanita itu hanya menanggapinya dengan senyum dingin.“Kalau aku tidak mau, lantas kamu mau berbuat apa?” Alice malah menantang emosi Nicole Saputra padahal jelas ia tahu bahwa kesabaran pria itu memang ada batasannya. Ia berjalan hendak mempertipis jarak di antara mereka, seseorang yang pernah sangat dekat dengannya namun telah menjauh karena sedikit kesalahan yang diperbuatnya di masa lalu.Sorot mata Nicole Saputra membuatnya terlihat seperti pria antagonis sekarang. Jarak tubuh Alice yang tak tahu diri itu kian mendekat namun ia enggan menunjukkan sikap mundur. Walau hatinya muak, ia tetap mempertahankan prinsipnya untuk tidak goyah saat berhadapan dengan wanita itu.
Kebiasaan pria egois yang enggan mendengarkan penolakan, tak peduli betapa kerasnya upaya Selena Tan melepaskan diri, ia tetap terjerat oleh keegoisan Nicole Saputra yang terus menekannya. Pria itu menarik tangannya ke dalam sebuah kamar, mengurung Selena Tan di dalam sana dan tidak punya harapan melarikan diri karena pintu yang terkunci. “Berapa kali pun kamu mengiba, aku tetap tidak akan melepaskanmu.” “Apa maumu? Mengintimidasi aku? Apa kamu punya kelainan sehingga merasa bahagia hanya dengan menyiksa orang?” Gerutu Selena Tan yang tidak tahu harus berbuat apa lagi untuk menghadapi adu mulut dengan pria menjengkelkan itu. Nicole Saputra menggeleng lemah seraya memamerkan senyum smirk-nya. “Aku masih cukup normal, sangat normal malah. Bisakah kamu menyimpan tenagamu dan pikiranmu untuk tidak berburuk sangka terus? Aku tidak akan menyakitimu, justru sebaliknya, aku ingin membuatmu bahagia. Meskipun sambutan atas kedatanganmu sungguh di luar dugaan, tetapi aku pastik