Dina berusaha meregangkan tubuhnya, tapi sebuah tangan memeluk pinggangnya erat. Berkali-kali dia berusaha melepaskan tangan itu tapi tak ada hasilnya tangan itu makin erat melilit pinggangnya. Dengan kesal Dina menghempaskan tangan itu kasar, membuat emounya tangan terbangun dengan geragapan.
“Kamu sudah bangun, Din?” tanya Angga menatap dalam istrinya itu.“Kenapa kamu di sini, Mas?”“Memangnya aku harus ke mana ini kamarku juga.”Dina hanya menghembusakan nafasnya saja, percuma berdebat dengan pria ini hanya akan membuatnya makin kesal dan sakit hati.Dina membasuh wajahnya di wastafel, tubuhnya terasa lebih segar setelah tidur nyenyak sepanjang malam. Dia sendiri juga heran bagaimana dia bisa tidur saat sedang berdebat dengan orang-orang itu, entah karena dia terlalu lelah atau apa sehingga tak mau tahu keadaan sekitar, yang dia tahu hanya kegelapan yang menyergapnya ketika dia sudah memasrahkan semuanya“Kamu berharap aku percaya bualanmu ini? Sedangkan kalau kamu lupa buktinya ada di paviliun belakang dengan sebuah nyawa baru tak berdosa yang mulai tumbuh,” bentak Dina dengan berang. “Itu hanya kesalahan, dan aku sangat menyesali keputusanku waktu itu dengan menikahi Keira, tapi sekarang dia istriku juga, aku hanya akan bertanggung jawab padanya sebagai sesama manusia hanya itu yang bisa aku katakan untuk saat ini.” “Sesama manusia yang mempunyai hasrat dan ketertarikan satu sama lain lalu melakukan hubungan terlarang, itu maksudmu dengan kesalahan?” ejek Dina. Angga memandang Dina frustasi. “Bukan, kami tidak pernah melakukan hubungan terlarang,” teriak Angga kesal. “Lalu apa yang kalian lakukan, main dakon sampai menghasilkan bayi?” “Itu bukan bayiku, Din!” teriak Angga lagi. Kali ini Dina benar-benar meradang, “Dan berapa banyak kebohongan lagi yang akan kamu katakan!” kata Dina dengan suara t
Kesibukan karena dihajar pekerjaan yang bertubi-tubi membuat Dina tak memikirkan lagi keanehan yang terjadi padanya pagi tadi. Dina dituntut untuk konsentrasi seratus persen pada apa yang dia kerjakan, belum lagi sebulan lagi beberapa tingkatan sekolah yang dibawahi oleh yayasan ini akan mengajukan akreditasi ulang dan secara khusus Brian meminta dia dan Sasa membantunya mempersiapkan semua. Dan dilanjutkan akan dibukanya sekolah internasional untuk jenjang pre school untuk pertama kalinya.Dina bahkan tidak bisa membayangkan kesibukan yang akan dia lakukan. dia hanya berharap tak mengorbankan waktunya untuk anak-anak, karena bagaimanapun dia masih seorang ibu yang harus mengurus anaknya dengan baik.Pukul sepuluh pagi, Sasa menghubunginya dan menyampaikan pesan Brian untuk ke ruangannya.“Ada apa, Mbak?” tanya Dina saat sampai di depan meja kerja Sasa yang memang berada tepat di depan ruangan Brian. “Kurang tahu juga, Pak Brian hanya memintamu datang ke ruangannya. Udah gih sana ke
“Din…Dina, Kamu kenapa, Din?” Sasa sedikit berteriak saat Dina melewatinya dengan agak tergesa. “Kayak baru lihat setan saja, padahal terakhir aku masuk penghuninya ganteng kebangetan,” gerutu Sasa, yang melihat Dina hanya menoleh sekilas tanpa mau menghampiri meja kerjanya. “Karena mahluk yang di dalam gantengnya kebangetan, Mbak aku jadi takut khilaf,” jawab Dina seenaknya. “Bukannya takut ditambahin kerjaan ya,” ejek Sasa. Dina berjalan mendekati meja Sasa, dan dengan pelan berbisik. “Jangan cemburu gitu Mbak, aku nggak bakal bantuin kerjaan Mbak Sasa kok,” katanya sambil nyengir iseng, kemudian meninggalkan Sasa yang melongo memandang kepergiannya.“Kamu kalau menyebalkan gini, memang minta dijitak, Din.” “Siapa yang menyebalkan, Sa?”Tiba-tiba sosok Brian sudah berdiri di depan meja kerjanya, Sasa meringis, kapan coba bosnya ini keluar kandang, tiba-tiba sudah nongol, nggak k
Dina semakin gugup saat suaminya sudah berjalan semakin dekat. Kepercayaan dirinya tadi yang sengaja dia pupuk dan mulai bersemi hilang sudah tak berbekas digantikan gugup luar biasa yang membuat tangannya menjadi dingin.Ya Tuhan menghadapi suaminya sendiri saja Dina tidak mampu ini malah sok sokan ingin bicara di depan rapat bersama para bos besar yang jelas-jelas tak dia kenal sama sekali. Dina bingung harus bagaimana sekarang? Apa dia lari saja tak mempedulikan perintah atasannya, tapi Dina bukan pengecut dia tak pernah lari dari masalah serumit apapun. “Selamat sore, Pak Angga.” Brian menyapa Angga dengan sopan dan formal, tentu saja mereka rekan bisnis yang akan bermitra untuk mendapatkan sebuah keuntungan. Yang disambut suaminya itu dengan formal juga. Dina sedikit tersenyum saat sang suami memandang ke arahnya, dan berjalan ke sampingnya. “Saya tidak tahu jika Pak Brian mengajak serta istri saya di rapat kali ini.”
Prestasi yang hari ini Dina dapatkan di tempat kerja sepertinya berbanding terbalik dengan prestasinya di rumah sebagai seorang istri dan juga ibu. Mobil yang mereka tumpangi berhenti tepat di sebelah sebuah sedan hitam milik ibu mertuanya. Dina menghela nafas pelan, dia sudah berkali-kali mencoba untuk berdamai dengan kondisi rumah tangganya sekarang, dia juga tak mau terlalu menghakimi suaminya dan juga Keira, Dina sadar ini juga kesalahannya yang tak mampu menggenggam hati suaminya, sehingga ada celah di hati suaminya untuk memasukkan orang lain dalam kehidupan mereka. Dina melirik suaminya yang juga terdiam di tempatnya, laki-laki itu hanya memandang kosong ke depan, kontras sekali dengan senyum yang dia pamerkan tadi saat di kantor. Bahkan Angga seolah tak peduli dengan gunjingan orang lain, tapi ketika sampai di rumah mungkin suaminya merasakan hal yang sama dengannya. Perasaan tak nyaman. Apalagi ada sang mama yang berkunjung kemari. Dina bukannya tidak suka dengan kehadira
“Aku kerja di kantor kecil, yang pegawainya juga terbatas jadi wajar kami dekat satu sama lain.” “Bukan itu yang Mama maksud, tapi dekat secara personal?” “Maksud Mama, apa aku berselingkuh dengannya?” tanya Dina langsung. Mama Angga itu terlihat tidak nyaman Dina menebak langsung maksudnya seperti itu, tapi dia juga penasaran terhadap hal itu. “Mama tidak bermaksud menuduhmu?” “Jawabannya enggak Ma, aku tidak serendah itu berselingkuh dengan orang lain saat aku masih terikat hubungan dengan laki-laki lain,” jawab Dina tegas. “Meski laki-laki yang menjadi suamimu telah berselingkuh di belakangmu?” tanya sang mama dengan hati-hati.“Apa Mama yakin anak Mama berselingkuh?” tanya Dina balik, dia tahu ini tidak sopan menjawab pertanyaan dengan pertanyaan tapi Dina tidak bisa melewatkan kesempatan ini untuk menanyakan pendapat mama mertuanya. Dina memandang ibu mertuanya
Dia indah seperti sekuntum bunga mawar, bibirnya yang berwarna pink alami membuat sang kumbang tergoda untuk mencicipinya merasakan manisnya madu yang bisa menjadi candu untuknya, tapi bahasa tubuhnya yang defensif membuat sang kumbang harus ingat, sang mawar memang berduri. Sejenak Angga memandangi wajah indah yang sedang tertidur lelap, wajahnya polos dan tenang seperti bayi yang tidak ada beban dalam hidupnya. Tangannya yang terlipat di depan dada seolah sebagai benteng pertahanan yang menghalau siapa pun orang yang berniat mendekat. Tapi itu justri membuat insting berburunya semakin tertantang untuk bisa meraihnya. Perlahan Angga berjalan mendekat, tangannya terulur hendak menyentuh pipi yang terlihat putih mulus itu, diusapnya sejenak, tak sampai di sana dia menurunkan tubuhnya dan berniat mengecup bibir itu, ingin merasakan manisnya, tapi wajah itu tiba-tiba berpaling sehingga bibirnya hanya berlabuh di ujung bibir saja, mata yang tadinya terpeja
Dina memeluk tubuh mungil Ara yang sudah terlelap dalam alam mimpinya, Dina memandang jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam berarti sudah hampir dua jam suaminya pergi mengantarkan Keira ke rumah mamanya, Dina tak tahu bagaimana tanggapan mertuanya tentang ini, sejujurnya Dina juga tak menyangka kalau Angga akan mengusulkan Keira untuk tinggal dengan sang mama. Dina tahu permintaannya ini sangat mengandung resiko, Angga bisa saja menghabiskan waktunya dengan Keira di rumah sang mama dengan alasan kehamilannya atau apa, tapi setidaknya kondisi rumah lebih menyehatkan jiwa dan raganya, anak-anak tak perlu lagi melihat papanya berseliweran di rumah tanpa menyapanya, itu mungkin lebih mudah, Dina bisa memberikan alasan kalau papanya sedang bekerja Bagaimanapun keputusan ini telah dia ambil, tanpa paksaan dari pihak manapun, meski Anggalah yang pertama kali mengusulkannya, tapi Dina dengan sadar telah menyetujuinya dan dia akan menanggung
"Bu Dina dilarikan ke rumah sakit."Pesan salah satu anak buahnya, membuat Angga langsung meninggalkan semua pekerjaannya.Dia melangkah terburu-buru, ingin rasanya dia terbang supaya cepat sampai, dia merutuki dirinya sendiri kenapa harus ada masalah di kantor saat seperti ini, padahal dia sudah berusaha membereskan pekerjaannya dan menemani Dina yang sedang hamil tua. Syukurlah Bara sangat bisa diandalkan di saat seperti ini, dia juga meminjamkan sang istri, Hera untuk menjaga Dina."Bagaimana keadaan Dina?" tanya Angga tak sabar saat melihat Hera terduduk di kursi tunggu."Masih ditangani dokter."Tanpa membuang waktu Angga menuju ruangan yang ditunjuk Hera."Eh pak kita tunggu di sini saja nggak boleh masuk!" Tapi Angga tampaknya tak peduli."Sus, dimana istri saya?" tanyanya pada seorang perawat."Istri Bapak siapa?" tanya sang perawat bingung."Dina, Sus, istri saya yang akan melahirkan."Untunglah sang perawat punya kesabaran lebih
“Ciee mbak Dina... sebentar lagi akan jadi mertuanya Pak Brian.” Dina bahkan baru saja menginjakkan kakinya di lobi kantor, terdengar suara membahana Siska yang membuatnya melongo tak mengerti. Dia akan jadi mertuanya Pak Brian, seingatnya dia memang punya dua orang putri cantik Arsyi dan Ara dan usia keduanyapun masih anak-anak. Tak mungkinkan Brian mau menikahi salah satu dari dua bocilnya itu. Jadi anak yang mana yang dimaksud Siska?“Kamu belum sarapan ya, Sis, sana ke kantin dulu atau ke cafe depan, biar kamu lebih fokus ngomongnya,” kata dina sedikit jengkel. “Gratis, Mbak?” “Apanya?’ “Makannyalah katanya tadi suruh makan.” “Makannya gratis, tapi setelah itu kamu harus cuci piring.” “Mbak Dina kayak ibu tiri saja. kejam.” “Bahkan anak tiriku bilang aku baik hati.” “Ups aku lupa kalau memang mbak Dina ibu tiri.” Dina segera meneruskan langkahnya , ngobrol dengan Siska tak akan ada habisnya. “Eh, Mbak tunggu, tapi aku serius soal Pak Brian yang akan menikah dan jadi m
Brian memasuki kamarnya dengan hati bercabang, dia sebenarnya juga terkejut dengan keputusannya sendiri yang mengatakan kalau Sinta adalah calon istrinya. Dan lebih buruknya lagi dia mengatakannya di depan sang mama, wanita yang sangat dia sayangi dan tidak ingin dia kecewakan. Sekarang apa yang akan dia lakukan? Tetap menikahi Sinta seperti perkataannya tadi atau menjelaskan semuanya dengan resiko membuat mamanya kecewa. “Apa kamu yakin mau menjadikannya istri dan atas dasar apa keinginanmu itu?”Pertanyaan sang mama seolah terus terngiang di dalam otaknya membuatnya pusing luar biasa, dia bahkan tak bisa menjawab pertanyaan itu dan dengan pengecut, dia malah mengalihkan pembicaraan pada hal lain. Syukurlah sang mama cukup bijak untuk tak terus mendesaknya dan memberikan waktu untuknya menelaah rasa yang ada di hati.Tapi sekarang dia bingung sendiri apa yang harus dia katakan pada Sinta, gadis itu pasti juga membuatuhkan penjelasan darinya. Mulutnya kadang-
Mobil yang dikendarai Brian tiba di halaman rumah yang ditunjukkan Sinta. Dengan senyum terima kasih atas semua kebaikan Brian, gadis itu mengangguk dan turun dari dalam mobil.“Sin, tunggu.” Gadis itu menoleh dan terlihat Brian sudah turun dari mobil mewahnya. “Telepon aku jika kamu butuh tumpangan untuk pulang.” Sinta sudah akan membuka mulutnya menjawab tawaran Brian, tapi tubuhnya langsung tersentak saat sebuah gagang sapu memukul punggungnya dengan keras, sakit sekali. “Dasar anak tak tahu diuntung, sudah numpang bikin malu saja, berikan gajimu padaku.”Rasa sakit di punggungnya bahkan jadi tak terasa saat dia bersitatap dengan mata Brian yang memandang semua ini dengan tatapan tak percaya. “Iya, Bi, kita masuk dulu.... terima kasih sudah mengantar saya, Pak.” Sang Bibi memandang Brian dari atas sampai bawah, penampilan Brian yang sangat tampan dan juga semua benda yang melekat dalam tubuhnya meneriakkan kata mahal... dan jangan lupakan mobil me
Dalam kegelapan, Brian terduduk diam dalam mobilnya yang sewarna malam, matanya begitu tajam mengawasi seorang gadis yang terlihat tersenyum bersama teman-temannya di seberang sana. Sampai satu persatu gadis-gadis itu pergi dari sana, tinggallah Sinta, gadis mungil dengan kuncir ekor kuda yang sesekali melihat arloji di pergelangan tangannya. Brian terus mengamati dalam diam, bahkan sampai setengah jam, yang ditunggu gadis itu tak juga datang, tapi gadis itu tetap menunggu di sana. Malam yang kian beranjak membuat suasana menjadi sepi, bahkan semua toko yang tadi masih ramai dengan pembeli sudah membenahi barang dagangannya. “Apa dia tak takut semakam ini pulang sendiri,” gumam Brian tak senang. Dia sudah akan membuka pintu mobilnya, saat sebuah motor menghampirinya dan terlihat gadis itu menerima uluran helm dari si pengendara dan bergegas naik keboncengannya. Brian cepat-cepat menstater mobilnya untuk mengikuti motor itu sambil terus menjaga jarak ama
Setelah dengan penuh perjuangan mengantar Winda ke rumahnya, akhirnya Brian bisa bernapas lega dia bisa terbebas dari wanita itu, dia bahkan tak habis pikir bagaimana mamanya yang biasanya sangat kalem dan anggun itu bisa menyukai wanita agresif seperti itu untuk dikenalkan padanya. Apa dia terlihat setak laku itu, usianya baru tiga puluh dua tahun, usia yang belum terlalu tua untuk laki-laki sepertinya. Dan yang lebih menyebalkan lagi, wanita itu dengan tak tahu malunya mengambil hadiah yang akan dia berikan pada Sinta. Brian menghela napas dalam berusaha menetralkan perasaannya, dia ingin menemui Sinta, tapi tentu saja tidak dengan tangan kosong. “Ah! Dasar sialan,” maki Brian kesal. Dia harus memikirkan hadiah apa yang bisa dia bawa untuk Sinta, memang bukan keharusan, Sinta juga tidak sedang berulang tahun, tapi tetap saja, Brian merasa tak nyaman.Dengan tergesa dia meminggirkan mobilnya, sejenak dia menimbang apakah akan menghubungi Dina atau S
Brian menatap pita rambut itu dengan senyum terselit di bibirnya, dia bisa membayangkan Sinta pasti akan terlihat sangat manis mengenakan ini. Satu minggu sudah Brian ada di Bali, berlibur sekaligus bekerja, karena meski dia mengajukan cuti kerja, nyatanya pikirannya malah melayang kemana-mana. Bahkan saat mengikuti Arga melakukan pemotretan ke berbagai tempat dan melihat pemandangan yang sangat indah termasuk wanita-wanita cantik yang bertebaran tak membuatnya bisa melupakan bayangan wajah belia yang selalu menghantui pikirannya. Jadi dia memutuskan tetap bekerja di hari kedua cutinya, yang membuat sang paman yang menerima laporan entah dari siapa menghubunginya hanya untuk menertawakan keputusan anehnya. “Kamu memang tak pantas untuk cuti, sudahlah bekerja saja, sedekahkan cutimu untuk yang membutuhkan.”Brian hanya bisa tersenyum kecut, meski pamannya di seberang sana pasti tak bisa melihatnya, mau apalagi, tidak mungkinkan dia mengomel pada pamannya yang
Sebuah proyek pembangunan sekolah luar biasa di Bali. Brian memandang informasi yang baru saja masuk ke ponselnya dengan penuh pertimbangan. Ini memang bukan tugasnya untuk meninjau secara langsung, tapi dia bisa mengajukan diri untuk ikut meninjau ke sana, memastikan sarana dan prasarana apa yang dibutuhkan di sana. “Saya akan ikut ke sana.” Brian mengirimkan pesan balasan pada direktur utama yayasan tempatnya bekerja, yang tak lain adalah pamannya sendiri. “Kamu yakin, kamu sebenarnya hanya perlu mengirim salah seorang staffmu, lagipula pembangunan di sana juga belum selesai.” Sebuah pesan balasan masuk tak lama kemudian. “Aku sedang ada urusan di Bali jadi sekalian saja.” “Baiklah, lusa mereka akan berangkat, persiapkan dirimu.” Brian masih memandang ponselnya. Meski tak ada lagi pesan yang masuk. Tangannya tergoda untuk mengirim pesan pada Sinta, tapi dia kembali ragu, Kemarin setelah dia datang ke cafe Dina dan menemui Sinta di sana sikap
Bahkan saat bekerjapun bayangan Sinta memenuhi kepalanya. Membuatnya sulit untuk berkonsentrasi. “Kenapa kopi buatanmu rasanya jadi tidak karuan seperti ini, Sa?” gerutu Brian.Bahkan kopi yang biasa dibuatkan oleh Sasa, sekretarisnya terasa aneh dan tidak seperti biasanya. Suasana hati Brian benar-benar mengerikan sepagi ini bahkan sudah ada dua anak buahnya yang kena semprot. “Tapi saya buat dengan takaran yang biasa pak, satu sendok makan kopi hitam dan satu sendok teh gula, bapak biasanya tidak suka kopi manis jadi saya hanya memberi sedikit gula,” Sasa tentu saja tak terima dengan tuduhan Brian orang dia membuat kopi seperti biasa tak ada yang dikurangi ataupun ditambah. “Airnya belum matang mungkin atau ini bukan bubuk kopi yang biasanya.” Sasa membelalak tak percaya. “Saya merebusnya langsung di atas kompor bapak kan tidak mau air dispenser, dan saya sudah lebih dari tiga puluh tahun berpengalaman untuk masak air, dan tahu benar bagaimana air yang suda