“Maaf ya anak-anak, Papa harus pulang dulu.” Angga beralih pada anak-anaknya tanpa menanggapi keberatan Dina. “Nanti kalian dijemput Pak Amin, Tan–.”
Dina masih memandang tidak suka pada sang suami, bagaimana mungkin laki-laki ini tega meninggalkannya dengan tiga orang anak yang masih kecil, Apa Keira bahkan tidak bisa menunggu barang sejenak saja? Demi Tuhan mereka baru saja, menyuapkan beberapa sendok makanan. Dia memandang anak-anak dengan muram mereka juga memandang papa mereka dengan penasaran, ada pandangan kecewa. Tapi sepertinya Angga tak melihat itu atau tak mau melihat entahlah. Dina masih ingin meminta suaminya menunggu sebentar, tapi sebuah suara tak disangka-sangka membuatnya tak mampu lagi bicara. “Papa pergi saja kami punya Bunda yang selalu menemani,” sahut Aksa dingin, bahkan anak itu tak perlu repot-repot memandang ayahnya. Dengan sengaja dia mengajak adik dan Bundanya ngobrol mengabaikan“Dina? Sudah mau pulang?” sebuah suara yang sangat dikenal Dina membuatnya menoleh ke belakang. Pak Brian berdiri di sana dengan tersenyum ramah. Laki-laki itu terlihat tampan seperti biasa dengan kemeja biru lengan panjang yang digulung sesiku dan dasi yang telah dilonggarkan. “Pak Brian?” tanya Dina keheranan yang mendapati atasannya ini sudah ada di sini, padahal restoran ini letaknya lumayan jauh dari kantor mereka. Tapi Dina hanya menelan pertanyaannya itu, bukan urusannya kalau Pak Brian mau makan siang di singapura sekalipun, asal dia bisa kembali ke kantor tepat waktu, batinnya, berusaha memadamkan rasa penasaran yang menggerogoti jiwanya. “Iya, Din, ini aku, kenapa kamu terlihat heran begitu? kayak lihat setan saja,” Pak Brian tersenyum geli melihat expresi Dina.“Eh, nggak apa-apa, Pak,” jawab Dina salah tingkah. “Sudah mau pulang, dijemput?” eh kenapa dia seakan tahu kalau Angga tadi meninggalkan mereka, Apa
"Kasian anak-anak kamu mereka terlihat lelah, biar aku antar saja, hubungi sopirmu tidak perlu menjemput."Dina melihat anak-anaknya yang memang lelah, sejenak Dina memandang Aksa, anak itu mengangguk menyetujui usul Brian. Dina tak tahu apa yang akan terjadi nanti, pulang malam dengan diantar atasannya, apalagi fakta Brian yang menggantikan Angga menemani anak-anak bermain. Dina hanya berfikir bagaimana nanti reaksi suaminya? Apa Angga akan marah padanya? Atau bersikap biasa-biasa saja? Dina tidak ingin Angga marah padanya meski dia dan Brian tidak terlibat hubungan apapun, tapi di sisi lain dia juga akan sakit hati kalau Angga bersikap biasa-biasa saja dan membuktikan kalau tak ada cinta sedikitpun di hatinya, itu akan semakin membuat Dina terluka."Kenapa diam saja, Din?" tanya Brian."Saya tidak tahu harus bicara apa? Yang jelas saya berterima kasih sekali karena kamu mau repot-repot menemani
"Terima kasih tawarannya tapi saya akan menyelesaikan semuanya sendiri, kamu bisa menyapanya sebagai kenalan atau atasanku, itupun jika dia tidak sibuk," jawab Dina ragu sendiri kalau Angga akan punya waktu memikirkannya dan anak-anak yang belum pulang ke rumah."Baiklah terserah kamu saja."Dina mengeluarkan ponselnya menelepon satpam yang menjaga gerbang, supaya membukakan pintu untuknya. Sebentar kemudian gerbang terbuka, dan mobil Brian meluncur masuk ke halaman."Ada yang nungguin kamu kayaknya," goda Brian. Dina mengalihkan memandang sosok laki-laki yang memandang mereka dengan tajam tepatnya mobil yang mereka tumpangi. Dina menggigit bibirnya menahan semua kekecewaan agar tidak menyembur keluar, suaminya bahkan tidak memiliki inisiatif untuk menjemput mereka, malah meminta Pak Amin yang menjemput, apakah dia dan anak-anaknya memang begitu tak penting, sehingga tidak masalah ditinggalkan begitu saja.
"Dan perlu kamu tahu, aku tidak akan merendahkan harga diriku dengan berselingkuh seperti yang kamu lakukan."Dengan kalimat itu Dina berderap pergi membuka pintu kamar dan membantingnya dengan keras.Melangkah cepat menuju kamar Ara."Eh, Nyonya, mau ke kamar, Non Ara? Saya baru saja memberinya susu dia bangun dan minta susu." "Terima kasih," jawab Dina ketus, membuat Mbak pengasuh Ara itu terkejut, tapi segera pergi takut kena semprot.Dina langsung membuka pintu kamar Ara, dan merosot ke lantai yang dingin, kakinya sudah tidak kuat menahan beban tubuhnya, tangannya bahkan bergetar hebat, bahkan tak mampu mengusap air mata yang dengan lancang jatuh membasahi pipinya. Dina benci ketakutan dan tak berdaya seperti ini. Dia takut sekali lagi akan dibuang seperti sampah yang tak berharga tapi dia juga tak mampu melawan andai Angga tak memiliki perasaan lebih padanya dan memutuskan memilih Keira sebagai sat
"Kamu baik-baik saja?" tanya Angga terlihat khawatir melihat wajah pucat istrinya. "Biar aku bantu ke ranjang."Tanpa menunggu persetujuan Dina, Angga menggendong tubuh lemas istrinya ke ranjang dan membaringkannya dengan hati-hati. "Jangan kerja dulu, kita ke dokter," kata Angga."Aku nggak apa-apa, ini cuma masuk angin saja, nanti juga sembuh aku hanya perlu minuman hangat," jawab Dina keras kepala."Jangan membantah, Din, kali ini saja turuti suamimu ini, masih banyak kesempatan jika kamu ingin bertemu Brian." Angga yang semula terlihat khawatir menjadi marah membuat Dina terperangah."Jangan menuduh sembarangan, aku tidak serendah itu," jawab Dina dengan tajam.Angga menghela nafas meredakan gejolak hatinya, istrinya sedang sakit tak pantas rasanya dia berkata begitu."Baiklah, maaf, tapi kamu tetap harus ke dokter, aku memang bukan ayah yang baik tapi aku tidak ingin terjadi apa-a
Dina menyandarkan kepalanya yang terasa berat di sandaran kursi. Kepalanya makin pusing memikirkan suami dan anaknya. Andai saja dia bisa memilih dia tidak ingin masuk dalam persoalan rumit ini. Dulu dia hanya berpikir praktis menikahi laki-laki yang telah ditinggal mati istrinya dan hanya perlu mengasuh dua orang anak. Terlihat mudah baginya apalagi Dina yang sudah terbiasa mengasuh adik -adik panti, dia hanya belajar menjadi istri yang baik. Sesimple itu dulu pikirannya. Dia tak pernah berpikir suatu pernikahan akan ada pengkhianatan akan ada saling hina dan caci antara keluarga. Semua itu pengalaman yang baru di hidup Dina, hidup damai dalam keluarga yang selama ini diinginkannya ternyata tidak seindah dongeng yang dia baca di buku yang semuanya akan hidup bahagia selamanya setelah menikah. Nyatanya sebuah pernikahan adalah gerbang awal untuk sebuah hidup baru. Harus menyesuaikan kebiasaan masing-masing, menekan ego sampai ke dasar hat
"Hanya feeling saja," jawab Dina enteng dan meneruskan langkah tapi Angga menahan tangannya."Dina, apa kamu tidak ingin mengandung anakku lagi?"Dina menghentikan langkahnya dan menatap suaminya tajam."Apa, Mas, masih menginginkan anak dariku?" Dina balik bertanya. Angga terdiam dia tahu benar maksud pertanyaan Dina, bukan soal ingin anak lagi atau tidak tapi tentang kesiapannya mempunyai seorang anak lagi, padahal kemarin dia dengan tega meninggalkan Dina dan anak-anaknya."Sebaiknya kita segera menemui dokter. Aku heran kamu ini sedang sakit tapi kata-katamu tetap saja tajam," keluh Angga."Malang sekali nasibmu beristrikan wanita bermulut tajam ini," ejek Dina."Mau bagaimana lagi, aku menyayangi wanita bermulut tajam ini dan tak akan melepasnya sampai kapanpun," kata Angga merangkul bahu Dina dan mengajak sang istri kembali berjalan.Dina hanya mendengus kesal, tapi tida
“Kamu pergi dulu ke ruang rapat, aku akan menemani istriku sebentar.” Angga menekankan kata istri seolah ingin mempertegas pada Bara kalau wanita di sampingnya ini memang miliknya. Masih dengan mengawasi tingkah Bara melalui ekor matanya, Angga mengajak Dina masuk ke ruanganya.“Istirahatlah dulu di sini, aku akan segera kembali.”“Iya, Mas, berangkat saja.” “Kamu ingin makan atau minum sesuatu?’ tanya Angga lagi.“Tidak terima kasih.” Angga segera meninggalkan Dina setelah memastikan sang istri nyaman di ruangannya. Dina sendiri langsung berdiri dari sofa dan berjalan melihat sekeliling ruangan. Tempat ini masih tetap sama tidak ada yang berubah seperti terakhir kali dia kemari. dina berjalan menuju meja kerja suaminya dan duduk di kursi yang terlihat nyaman itu. Di sana juga masih sama, ada beberapa dua buah foto yang menghiasi meja kerja suaminya. Foto dirinya dan tiga orang
"Bu Dina dilarikan ke rumah sakit."Pesan salah satu anak buahnya, membuat Angga langsung meninggalkan semua pekerjaannya.Dia melangkah terburu-buru, ingin rasanya dia terbang supaya cepat sampai, dia merutuki dirinya sendiri kenapa harus ada masalah di kantor saat seperti ini, padahal dia sudah berusaha membereskan pekerjaannya dan menemani Dina yang sedang hamil tua. Syukurlah Bara sangat bisa diandalkan di saat seperti ini, dia juga meminjamkan sang istri, Hera untuk menjaga Dina."Bagaimana keadaan Dina?" tanya Angga tak sabar saat melihat Hera terduduk di kursi tunggu."Masih ditangani dokter."Tanpa membuang waktu Angga menuju ruangan yang ditunjuk Hera."Eh pak kita tunggu di sini saja nggak boleh masuk!" Tapi Angga tampaknya tak peduli."Sus, dimana istri saya?" tanyanya pada seorang perawat."Istri Bapak siapa?" tanya sang perawat bingung."Dina, Sus, istri saya yang akan melahirkan."Untunglah sang perawat punya kesabaran lebih
“Ciee mbak Dina... sebentar lagi akan jadi mertuanya Pak Brian.” Dina bahkan baru saja menginjakkan kakinya di lobi kantor, terdengar suara membahana Siska yang membuatnya melongo tak mengerti. Dia akan jadi mertuanya Pak Brian, seingatnya dia memang punya dua orang putri cantik Arsyi dan Ara dan usia keduanyapun masih anak-anak. Tak mungkinkan Brian mau menikahi salah satu dari dua bocilnya itu. Jadi anak yang mana yang dimaksud Siska?“Kamu belum sarapan ya, Sis, sana ke kantin dulu atau ke cafe depan, biar kamu lebih fokus ngomongnya,” kata dina sedikit jengkel. “Gratis, Mbak?” “Apanya?’ “Makannyalah katanya tadi suruh makan.” “Makannya gratis, tapi setelah itu kamu harus cuci piring.” “Mbak Dina kayak ibu tiri saja. kejam.” “Bahkan anak tiriku bilang aku baik hati.” “Ups aku lupa kalau memang mbak Dina ibu tiri.” Dina segera meneruskan langkahnya , ngobrol dengan Siska tak akan ada habisnya. “Eh, Mbak tunggu, tapi aku serius soal Pak Brian yang akan menikah dan jadi m
Brian memasuki kamarnya dengan hati bercabang, dia sebenarnya juga terkejut dengan keputusannya sendiri yang mengatakan kalau Sinta adalah calon istrinya. Dan lebih buruknya lagi dia mengatakannya di depan sang mama, wanita yang sangat dia sayangi dan tidak ingin dia kecewakan. Sekarang apa yang akan dia lakukan? Tetap menikahi Sinta seperti perkataannya tadi atau menjelaskan semuanya dengan resiko membuat mamanya kecewa. “Apa kamu yakin mau menjadikannya istri dan atas dasar apa keinginanmu itu?”Pertanyaan sang mama seolah terus terngiang di dalam otaknya membuatnya pusing luar biasa, dia bahkan tak bisa menjawab pertanyaan itu dan dengan pengecut, dia malah mengalihkan pembicaraan pada hal lain. Syukurlah sang mama cukup bijak untuk tak terus mendesaknya dan memberikan waktu untuknya menelaah rasa yang ada di hati.Tapi sekarang dia bingung sendiri apa yang harus dia katakan pada Sinta, gadis itu pasti juga membuatuhkan penjelasan darinya. Mulutnya kadang-
Mobil yang dikendarai Brian tiba di halaman rumah yang ditunjukkan Sinta. Dengan senyum terima kasih atas semua kebaikan Brian, gadis itu mengangguk dan turun dari dalam mobil.“Sin, tunggu.” Gadis itu menoleh dan terlihat Brian sudah turun dari mobil mewahnya. “Telepon aku jika kamu butuh tumpangan untuk pulang.” Sinta sudah akan membuka mulutnya menjawab tawaran Brian, tapi tubuhnya langsung tersentak saat sebuah gagang sapu memukul punggungnya dengan keras, sakit sekali. “Dasar anak tak tahu diuntung, sudah numpang bikin malu saja, berikan gajimu padaku.”Rasa sakit di punggungnya bahkan jadi tak terasa saat dia bersitatap dengan mata Brian yang memandang semua ini dengan tatapan tak percaya. “Iya, Bi, kita masuk dulu.... terima kasih sudah mengantar saya, Pak.” Sang Bibi memandang Brian dari atas sampai bawah, penampilan Brian yang sangat tampan dan juga semua benda yang melekat dalam tubuhnya meneriakkan kata mahal... dan jangan lupakan mobil me
Dalam kegelapan, Brian terduduk diam dalam mobilnya yang sewarna malam, matanya begitu tajam mengawasi seorang gadis yang terlihat tersenyum bersama teman-temannya di seberang sana. Sampai satu persatu gadis-gadis itu pergi dari sana, tinggallah Sinta, gadis mungil dengan kuncir ekor kuda yang sesekali melihat arloji di pergelangan tangannya. Brian terus mengamati dalam diam, bahkan sampai setengah jam, yang ditunggu gadis itu tak juga datang, tapi gadis itu tetap menunggu di sana. Malam yang kian beranjak membuat suasana menjadi sepi, bahkan semua toko yang tadi masih ramai dengan pembeli sudah membenahi barang dagangannya. “Apa dia tak takut semakam ini pulang sendiri,” gumam Brian tak senang. Dia sudah akan membuka pintu mobilnya, saat sebuah motor menghampirinya dan terlihat gadis itu menerima uluran helm dari si pengendara dan bergegas naik keboncengannya. Brian cepat-cepat menstater mobilnya untuk mengikuti motor itu sambil terus menjaga jarak ama
Setelah dengan penuh perjuangan mengantar Winda ke rumahnya, akhirnya Brian bisa bernapas lega dia bisa terbebas dari wanita itu, dia bahkan tak habis pikir bagaimana mamanya yang biasanya sangat kalem dan anggun itu bisa menyukai wanita agresif seperti itu untuk dikenalkan padanya. Apa dia terlihat setak laku itu, usianya baru tiga puluh dua tahun, usia yang belum terlalu tua untuk laki-laki sepertinya. Dan yang lebih menyebalkan lagi, wanita itu dengan tak tahu malunya mengambil hadiah yang akan dia berikan pada Sinta. Brian menghela napas dalam berusaha menetralkan perasaannya, dia ingin menemui Sinta, tapi tentu saja tidak dengan tangan kosong. “Ah! Dasar sialan,” maki Brian kesal. Dia harus memikirkan hadiah apa yang bisa dia bawa untuk Sinta, memang bukan keharusan, Sinta juga tidak sedang berulang tahun, tapi tetap saja, Brian merasa tak nyaman.Dengan tergesa dia meminggirkan mobilnya, sejenak dia menimbang apakah akan menghubungi Dina atau S
Brian menatap pita rambut itu dengan senyum terselit di bibirnya, dia bisa membayangkan Sinta pasti akan terlihat sangat manis mengenakan ini. Satu minggu sudah Brian ada di Bali, berlibur sekaligus bekerja, karena meski dia mengajukan cuti kerja, nyatanya pikirannya malah melayang kemana-mana. Bahkan saat mengikuti Arga melakukan pemotretan ke berbagai tempat dan melihat pemandangan yang sangat indah termasuk wanita-wanita cantik yang bertebaran tak membuatnya bisa melupakan bayangan wajah belia yang selalu menghantui pikirannya. Jadi dia memutuskan tetap bekerja di hari kedua cutinya, yang membuat sang paman yang menerima laporan entah dari siapa menghubunginya hanya untuk menertawakan keputusan anehnya. “Kamu memang tak pantas untuk cuti, sudahlah bekerja saja, sedekahkan cutimu untuk yang membutuhkan.”Brian hanya bisa tersenyum kecut, meski pamannya di seberang sana pasti tak bisa melihatnya, mau apalagi, tidak mungkinkan dia mengomel pada pamannya yang
Sebuah proyek pembangunan sekolah luar biasa di Bali. Brian memandang informasi yang baru saja masuk ke ponselnya dengan penuh pertimbangan. Ini memang bukan tugasnya untuk meninjau secara langsung, tapi dia bisa mengajukan diri untuk ikut meninjau ke sana, memastikan sarana dan prasarana apa yang dibutuhkan di sana. “Saya akan ikut ke sana.” Brian mengirimkan pesan balasan pada direktur utama yayasan tempatnya bekerja, yang tak lain adalah pamannya sendiri. “Kamu yakin, kamu sebenarnya hanya perlu mengirim salah seorang staffmu, lagipula pembangunan di sana juga belum selesai.” Sebuah pesan balasan masuk tak lama kemudian. “Aku sedang ada urusan di Bali jadi sekalian saja.” “Baiklah, lusa mereka akan berangkat, persiapkan dirimu.” Brian masih memandang ponselnya. Meski tak ada lagi pesan yang masuk. Tangannya tergoda untuk mengirim pesan pada Sinta, tapi dia kembali ragu, Kemarin setelah dia datang ke cafe Dina dan menemui Sinta di sana sikap
Bahkan saat bekerjapun bayangan Sinta memenuhi kepalanya. Membuatnya sulit untuk berkonsentrasi. “Kenapa kopi buatanmu rasanya jadi tidak karuan seperti ini, Sa?” gerutu Brian.Bahkan kopi yang biasa dibuatkan oleh Sasa, sekretarisnya terasa aneh dan tidak seperti biasanya. Suasana hati Brian benar-benar mengerikan sepagi ini bahkan sudah ada dua anak buahnya yang kena semprot. “Tapi saya buat dengan takaran yang biasa pak, satu sendok makan kopi hitam dan satu sendok teh gula, bapak biasanya tidak suka kopi manis jadi saya hanya memberi sedikit gula,” Sasa tentu saja tak terima dengan tuduhan Brian orang dia membuat kopi seperti biasa tak ada yang dikurangi ataupun ditambah. “Airnya belum matang mungkin atau ini bukan bubuk kopi yang biasanya.” Sasa membelalak tak percaya. “Saya merebusnya langsung di atas kompor bapak kan tidak mau air dispenser, dan saya sudah lebih dari tiga puluh tahun berpengalaman untuk masak air, dan tahu benar bagaimana air yang suda