Dulu Dina selalu berpikir sebagai anak panti asuhan, dia akan menemukan pria baik yang sederhana, yang mencintai dia apa adanya, meski mungkin mereka hanya tinggal di rumah petak, Dina akan tetap bersyukur asal keluarga mereka bisa tetap tertawa bersama.
Seperti Tuhan punya rencana sendiri yang sangat jauh dari prediksi, dia harus menikah dengan Angga, laki-laki tampan dengan kekayaan melimpah, bukan rumah petak yang mereka tinggali tapi rumah megah bak istana lengkap dengan pelayan di dalamnya, tapi tanpa rasa cinta di dalamnya.Apa Dina kecewa?Mungkin tidak sepenuhnya, dia akan menjadi manusia yang terlihat tidak bersyukur kalau mengatakan itu, meski menikah tanpa cinta nyatanya Angga tidak pernah berlaku buruk padanya, laki-laki itu memperlakukannya seperti sahabat dekat dan juga pengasuh anak-anaknya, meletakkan semua kepercayaan mengelola rumah pada Dina, Angga tak pernah protes tentang apa yang dilakukan Dina untuk rumahnya, Dina adal“Maaf ya anak-anak, Papa harus pulang dulu.” Angga beralih pada anak-anaknya tanpa menanggapi keberatan Dina. “Nanti kalian dijemput Pak Amin, Tan–.” Dina masih memandang tidak suka pada sang suami, bagaimana mungkin laki-laki ini tega meninggalkannya dengan tiga orang anak yang masih kecil, Apa Keira bahkan tidak bisa menunggu barang sejenak saja? Demi Tuhan mereka baru saja, menyuapkan beberapa sendok makanan. Dia memandang anak-anak dengan muram mereka juga memandang papa mereka dengan penasaran, ada pandangan kecewa. Tapi sepertinya Angga tak melihat itu atau tak mau melihat entahlah. Dina masih ingin meminta suaminya menunggu sebentar, tapi sebuah suara tak disangka-sangka membuatnya tak mampu lagi bicara. “Papa pergi saja kami punya Bunda yang selalu menemani,” sahut Aksa dingin, bahkan anak itu tak perlu repot-repot memandang ayahnya. Dengan sengaja dia mengajak adik dan Bundanya ngobrol mengabaikan
“Dina? Sudah mau pulang?” sebuah suara yang sangat dikenal Dina membuatnya menoleh ke belakang. Pak Brian berdiri di sana dengan tersenyum ramah. Laki-laki itu terlihat tampan seperti biasa dengan kemeja biru lengan panjang yang digulung sesiku dan dasi yang telah dilonggarkan. “Pak Brian?” tanya Dina keheranan yang mendapati atasannya ini sudah ada di sini, padahal restoran ini letaknya lumayan jauh dari kantor mereka. Tapi Dina hanya menelan pertanyaannya itu, bukan urusannya kalau Pak Brian mau makan siang di singapura sekalipun, asal dia bisa kembali ke kantor tepat waktu, batinnya, berusaha memadamkan rasa penasaran yang menggerogoti jiwanya. “Iya, Din, ini aku, kenapa kamu terlihat heran begitu? kayak lihat setan saja,” Pak Brian tersenyum geli melihat expresi Dina.“Eh, nggak apa-apa, Pak,” jawab Dina salah tingkah. “Sudah mau pulang, dijemput?” eh kenapa dia seakan tahu kalau Angga tadi meninggalkan mereka, Apa
"Kasian anak-anak kamu mereka terlihat lelah, biar aku antar saja, hubungi sopirmu tidak perlu menjemput."Dina melihat anak-anaknya yang memang lelah, sejenak Dina memandang Aksa, anak itu mengangguk menyetujui usul Brian. Dina tak tahu apa yang akan terjadi nanti, pulang malam dengan diantar atasannya, apalagi fakta Brian yang menggantikan Angga menemani anak-anak bermain. Dina hanya berfikir bagaimana nanti reaksi suaminya? Apa Angga akan marah padanya? Atau bersikap biasa-biasa saja? Dina tidak ingin Angga marah padanya meski dia dan Brian tidak terlibat hubungan apapun, tapi di sisi lain dia juga akan sakit hati kalau Angga bersikap biasa-biasa saja dan membuktikan kalau tak ada cinta sedikitpun di hatinya, itu akan semakin membuat Dina terluka."Kenapa diam saja, Din?" tanya Brian."Saya tidak tahu harus bicara apa? Yang jelas saya berterima kasih sekali karena kamu mau repot-repot menemani
"Terima kasih tawarannya tapi saya akan menyelesaikan semuanya sendiri, kamu bisa menyapanya sebagai kenalan atau atasanku, itupun jika dia tidak sibuk," jawab Dina ragu sendiri kalau Angga akan punya waktu memikirkannya dan anak-anak yang belum pulang ke rumah."Baiklah terserah kamu saja."Dina mengeluarkan ponselnya menelepon satpam yang menjaga gerbang, supaya membukakan pintu untuknya. Sebentar kemudian gerbang terbuka, dan mobil Brian meluncur masuk ke halaman."Ada yang nungguin kamu kayaknya," goda Brian. Dina mengalihkan memandang sosok laki-laki yang memandang mereka dengan tajam tepatnya mobil yang mereka tumpangi. Dina menggigit bibirnya menahan semua kekecewaan agar tidak menyembur keluar, suaminya bahkan tidak memiliki inisiatif untuk menjemput mereka, malah meminta Pak Amin yang menjemput, apakah dia dan anak-anaknya memang begitu tak penting, sehingga tidak masalah ditinggalkan begitu saja.
"Dan perlu kamu tahu, aku tidak akan merendahkan harga diriku dengan berselingkuh seperti yang kamu lakukan."Dengan kalimat itu Dina berderap pergi membuka pintu kamar dan membantingnya dengan keras.Melangkah cepat menuju kamar Ara."Eh, Nyonya, mau ke kamar, Non Ara? Saya baru saja memberinya susu dia bangun dan minta susu." "Terima kasih," jawab Dina ketus, membuat Mbak pengasuh Ara itu terkejut, tapi segera pergi takut kena semprot.Dina langsung membuka pintu kamar Ara, dan merosot ke lantai yang dingin, kakinya sudah tidak kuat menahan beban tubuhnya, tangannya bahkan bergetar hebat, bahkan tak mampu mengusap air mata yang dengan lancang jatuh membasahi pipinya. Dina benci ketakutan dan tak berdaya seperti ini. Dia takut sekali lagi akan dibuang seperti sampah yang tak berharga tapi dia juga tak mampu melawan andai Angga tak memiliki perasaan lebih padanya dan memutuskan memilih Keira sebagai sat
"Kamu baik-baik saja?" tanya Angga terlihat khawatir melihat wajah pucat istrinya. "Biar aku bantu ke ranjang."Tanpa menunggu persetujuan Dina, Angga menggendong tubuh lemas istrinya ke ranjang dan membaringkannya dengan hati-hati. "Jangan kerja dulu, kita ke dokter," kata Angga."Aku nggak apa-apa, ini cuma masuk angin saja, nanti juga sembuh aku hanya perlu minuman hangat," jawab Dina keras kepala."Jangan membantah, Din, kali ini saja turuti suamimu ini, masih banyak kesempatan jika kamu ingin bertemu Brian." Angga yang semula terlihat khawatir menjadi marah membuat Dina terperangah."Jangan menuduh sembarangan, aku tidak serendah itu," jawab Dina dengan tajam.Angga menghela nafas meredakan gejolak hatinya, istrinya sedang sakit tak pantas rasanya dia berkata begitu."Baiklah, maaf, tapi kamu tetap harus ke dokter, aku memang bukan ayah yang baik tapi aku tidak ingin terjadi apa-a
Dina menyandarkan kepalanya yang terasa berat di sandaran kursi. Kepalanya makin pusing memikirkan suami dan anaknya. Andai saja dia bisa memilih dia tidak ingin masuk dalam persoalan rumit ini. Dulu dia hanya berpikir praktis menikahi laki-laki yang telah ditinggal mati istrinya dan hanya perlu mengasuh dua orang anak. Terlihat mudah baginya apalagi Dina yang sudah terbiasa mengasuh adik -adik panti, dia hanya belajar menjadi istri yang baik. Sesimple itu dulu pikirannya. Dia tak pernah berpikir suatu pernikahan akan ada pengkhianatan akan ada saling hina dan caci antara keluarga. Semua itu pengalaman yang baru di hidup Dina, hidup damai dalam keluarga yang selama ini diinginkannya ternyata tidak seindah dongeng yang dia baca di buku yang semuanya akan hidup bahagia selamanya setelah menikah. Nyatanya sebuah pernikahan adalah gerbang awal untuk sebuah hidup baru. Harus menyesuaikan kebiasaan masing-masing, menekan ego sampai ke dasar hat
"Hanya feeling saja," jawab Dina enteng dan meneruskan langkah tapi Angga menahan tangannya."Dina, apa kamu tidak ingin mengandung anakku lagi?"Dina menghentikan langkahnya dan menatap suaminya tajam."Apa, Mas, masih menginginkan anak dariku?" Dina balik bertanya. Angga terdiam dia tahu benar maksud pertanyaan Dina, bukan soal ingin anak lagi atau tidak tapi tentang kesiapannya mempunyai seorang anak lagi, padahal kemarin dia dengan tega meninggalkan Dina dan anak-anaknya."Sebaiknya kita segera menemui dokter. Aku heran kamu ini sedang sakit tapi kata-katamu tetap saja tajam," keluh Angga."Malang sekali nasibmu beristrikan wanita bermulut tajam ini," ejek Dina."Mau bagaimana lagi, aku menyayangi wanita bermulut tajam ini dan tak akan melepasnya sampai kapanpun," kata Angga merangkul bahu Dina dan mengajak sang istri kembali berjalan.Dina hanya mendengus kesal, tapi tida