“Kamu pergi dulu ke ruang rapat, aku akan menemani istriku sebentar.” Angga menekankan kata istri seolah ingin mempertegas pada Bara kalau wanita di sampingnya ini memang miliknya.
Masih dengan mengawasi tingkah Bara melalui ekor matanya, Angga mengajak Dina masuk ke ruanganya.“Istirahatlah dulu di sini, aku akan segera kembali.”“Iya, Mas, berangkat saja.”“Kamu ingin makan atau minum sesuatu?’ tanya Angga lagi.“Tidak terima kasih.”Angga segera meninggalkan Dina setelah memastikan sang istri nyaman di ruangannya.Dina sendiri langsung berdiri dari sofa dan berjalan melihat sekeliling ruangan. Tempat ini masih tetap sama tidak ada yang berubah seperti terakhir kali dia kemari. dina berjalan menuju meja kerja suaminya dan duduk di kursi yang terlihat nyaman itu.Di sana juga masih sama, ada beberapa dua buah foto yang menghiasi meja kerja suaminya. Foto dirinya dan tiga orangDina terdiam melihat Angga yang begitu marah padanya, tapi pantang baginya untuk mundur, Dina harus menyampaikan semuanya.Menceritakan beberapa peristiwa yang dia alami dan menyertakan beberapa bukti yang memang dia butuhkan. Dina tak butuh Angga mengantarkannya atau bersusah payah mencari dokter yang tepat dia hanya ingin laki-laki itu memberikan persetujuannya sebagai orang tua kandung Aksa."Dengan berbagai bukti dan penjelasanku apakah, Mas, masih belum percaya? Aku mengatakan ini karena tidak ingin hal buruk terjadi pada Aksa." Dina menatap suaminya tajam yang masih saja diam tak mengeluarkan sepatah katapun.Angga segera berdiri dan membuka pintu balkon hotel yang mereka sewa, duduk termenung di sana, tangannya mengeluarkan sebungkus rokok dari saku celananya dan menyalakannya. Sebenarnya Angga bukan perokok, hanya waktu-waktu tertentu saja dia membutuhkan benda itu. Termasuk sekarang,
"Wow untuk membela, wanita entah siapa itu kamu bahkan bisa bicara sebegitu panjang dengan lancar, jadi berapa hari kamu siapkan?" tanya Dina dengan nada mengejek.Angga tidak menjawab, sebagai gantinya laki-laki itu langsung bangkit, lalu merangkum pipi sang istri dan memberikan kecupan lembut di bibirnya, tak ada nafsu dalam kecupan itu, dia hanya ingin menyampaikan maksud hatinya dengan baik, bahwa dialah yang paling berharga untuknya. Dina sempat terbuai oleh kecupan lembut suaminya, tapi wanita itu segera tersadar dan mendorong bahu sang suami."Cukup," kata Dina sambil berusaha mengatur nafasnya. Angga melepas kecupannya dan sebagai gantinya laki-laki itu menempelkan kening mereka."Itu perasaanku yang sesungguhnya, aku tidak bisa tegak berdiri tanpa kamu di sisiku, aku bahkan tidak tahu apa yang aku mau jika bukan kamu yang mengarahkan, kamu yang selalu menerangi setiap jalanku.""Memangnya aku lampu," jawab Dina ketus.Bukannya marah Angga malah tertawa terbahak-bahak sambil
Dua hari sudah waktu berlalu, setelah Dina memberi tahukan kondisi Aksa pada sang suami tapi sampai sekarang Angga tak mengungkit masalah itu sama sekali. Padahal Dina berharap masalah ini cepat selesai paling tidak Aksa mendapatkan penanganan terbaik dari ahlinya. Sakit anak itu memang bukan tergolong gawat darurat yang membutuhkan penanganan di ruang UGD rumah sakit, tapi bukan berarti juga mereka bisa menunda-nunda pengobatannya. Dina menyebutnya pengobatan karena dia ingin Aksa sembuh dan terbebas dari bayang-bayang kelam yang menaunginya. Dina sama sekali tidak berpikir Aksa gila, wanita itu juga sudah meluruskan pendapat sang suami tentang hal itu, Aksa hanya butuh bimbingan, butuh terapi agar jiwanya yang terkoyak kembali sembuh. Psikeater bukan hanya tempat pengobatan orang gila, mereka ada untuk membantu orang-orang yang memiliki riwayat hidup tidak biasa agar bisa lebih baik lagi. Tapi sepertinya sang suami menganggap sepele masalah ini, dan Dina sudah patah semangat meya
Dalam hidupnya Dina bisa dikatakan belum pernah merasakan sakitnya penghianatan, masa muda Dina hanya dihabiskan untuk belajar, bekerja dan membantu Bu Rahmi di panti asuhan. Hidupnya memang beredar seputar itu, bukan Dina tak menarik. Bukan. Beberapa orang pernah menyatakan cinta pada Dina dulu saat dia masih di sekolah maupun kuliah. Tapi Dina selalu menolaknya dengan halus. Dia berpendapat pacaran di saat sekolah atau kuliah hanya akan menghambat pendidikannya, padahal dia harus selalu mendapat nilai bagus agar bisa mendapatkan beasiswa dan bisa terus sekolah. Hanya itu yang ada di pikirannya, dia tak mau seperti teman sekolahnya yang kebanyakan berangkat sekolah dengan mata sembab karena putus dengan pacarnya. Meski tak jarang Dina juga merasa iri saat malam minggu tiba dan teman-temannya kebanyakan akan nonton film atau sekedar jalan-jalan dengan pacar mereka, tapi Dina hanya bisa duduk di pojok kamarnya dengan bertemankan buku pelajaran. Kedua orang tuanyapun tak tentu
Dina tertawa haru, dia bersyukur masih ada orang yang mau menghiburnya meski dengan cara yang tidak biasa. “Kenapa kamu malah makan sendiri di sini, Din, bukankah seharusnya menemani Keira?” Dina mendongak menatap laki-laki yang sudah sangat dikenalnya. “Aku lapar jadi ingin makan, ada yang salah?” jawab Dina enteng. “Bukan begitu, aku lihat dari tadi kamu hanya tertawa-tawa di telepon sambil mengaduk makananmu, jadi siapa yang barusan bicara denganmu?” Dina menyingkirkan sotonya yang tidak lagi menggugah seleranya, lalu menatap laki-laki di depannya tajam. Minimnya pengalaman Dina dengan laki-laki membuatnya begitu naif dan buta, dia baru tahu ada laki-laki model begini, yang bisa memanfaatkan orang sebisanya dan mungkin akan membuangnya saat sudah tidak berguna dan menggantinya dengan yang baru. Salahnya juga yang begitu percaya dengan semua cerita manisnya. Terbuai dengan segala kenyamanan yang ditawarkan, sampai Dina lupa suatu hari dia juga harus kembali menghadapi kenyataa
Kesunyian yang mencekam memenuhi mobil yang melaju kencang itu, sang sopir berkali-kali melirik ke arah dua orang penumpangnya yang menurutnya sangat aneh. Yang wanita duduk dengan acuh di sudut kanan sedangkan yang laki-laki meski masih dengan muka datarnya duduk miring dan mencondongkan diri pada wanita itu dan sesekali tangannya meraih tangan sang wanita tapi ditepis dengan kasar membuat laki-laki itu begitu frustasi. Pengemudi mobil itu berusaha menyembunyikan tawa, dia seperti sedang menonton drama kesukaan istrinya di rumah bedanya kali ini tak ada kaca yang membatasi, dia bisa menonton langsung, mungkin ini juga yang membuat banyak orang rela jauh-jauh datang ke lokasi syuting sebuah film. Apalagi penampilan pasangan penumpangnya ini memang di atas rata-rata, yang wanita cantik sekali sedangkan yang laki-laki tampan dan berkarisma, cocok memang mereka kalau jadi bintang film, atau memang mereka sedang syuting film. Batinnya geli. Dina masih diam
“Dia tidak pernah mencintai saya, Bi, dia yang mengatakan sendiri, hanya almarhumah Mbak Laras yang masih dia cintai tapi mungkin sekarang sudah terisi dengan Keira,” jawab Dina sendu, bahkan dia tak dapat menahan air matanya, ini kali pertama dia menangis di depan orang lain selain Bu Rahmi. “Itu tidak benar percayalah pada saya, Dia mencintai Nyonya. Mungkin dia memang sangat memperhatikan Non Keira, tapi Bibi yakin Tuan tidak memiliki rasa cinta untuknya. Percayalah. Nyonya harus bertahan karena tempat Nyonya di sini di sisi tuan.” “Tapi itu sudah tidak berguna, Bi, nyatanya Mas Angga sudah berkhianat di belakang saya.” “Bibi tahu Nyonya, ini sulit tapi cobalah untuk bertahan demi anak-anak juga, saya yakin semuanya akan kembali baik-baik saja. Tolong pertimbangkanlah kembali.” Dina hanya menghela nafasnya, Dia tahu Bibi sangat menyayanginya juga Angga, tapi dia tidak akan mau terkurung pada sebuah pernikahan yang sama-s
Benar saja semalaman Dina hampir tidak tidur, wanita itu hanya duduk diam saja di ranjangnya. Dina sendiri juga bingung kenapa dia mau saja memikirkan kerumitan keluarga ini, bukankah akan lebih mudah kalau dia pergi saja, dan melepaskan semua beban, Aksa dan Arsyi bukan tanggung jawabnya lagi jika dia berpisah dengan Angga. Tapi jika itu yang terjadi, Dina sangat yakin seumur hidup dia akan hidup dalam penyesalan. Menyesal karena tidak memperjuangkan Angga, juga menyesal karena tidak bisa membantu seorang anak yang sangat membutuhkan bantuannya. Hidup Dina memang sudah sulit dari kecil karena itu dia tidak ingin menambah kesulitan itu dengan rasa bersalah karena mengabaikan seorang anak. Karena dia tahu benar bagaimana rasanya. Hari mulai beranjak pagi, tidak ada lagi waktu untuk tidur lagi. Dina butuh mandi, mungkin air dingin bisa membuat tubuhnya lebih segar, banyak hal yang harus di hadapinya pagi ini, terutama suaminya yang pasti akan menemuinya dengan berbagai hal yang membu