“Apa maksudmu? Mama memang meninggal karena sakitkan?” tanya Dina dengan heran, setidaknya itulah yang dia dengar dari mertuanya, Angga sendiri tak pernah menceritakan tentang istri pertamanya itu, dia hanya bilang sangat mencintai sang istri dan belum bisa membuka hati untuk wanita lain.
“Aku sering lihat, Papa ribut sama Mama, lalu Mama sering nangis, kata Nenek kalau sedih terus bisa sakit, makanya aku nggak mau karena aku Bunda nangis terus sakit,” kata Aksa lirih, nadanya yang terdengar getir membuat Dina tak sampai hati melihatnya, anak sekecil ini harus melihat hal yang tidak seharusnya dia lihat.Dina tak tahu harus menanggapi apa dengan cerita Aksa, dia tak tahu mana apa yang sebenarnya terjadi, sejak awal Angga juga sudah memberi batas padanya untuk tidak menggantikan posisi Mama mereka, dan Dina pun setuju dia memang merasa sosok ibu kandung tak bisa digantikan oleh siapapun, dan lagi dia memang membatasi diri untuk tidak bertanya hal yang da“Dan apa maksudmu menguping seperti itu, kamu takut aku akan mengajarkan hal yang tidak baik pada putramu?” tanya Dina berang, kenapa Angga bersikap seolah dia orang licik yang perlu diawasi dengan ketat. Angga bergerak mendekat pada Dina. “Aku hanya penasaran dengan pembicaraan kalian, selama ini Aksa lebih nyaman bicara denganmu dari pada aku ayah kandungnya sendiri.”“Apa itu salahku?” Dina menyipitkan matanya, Angga memang bukan sosok ayah yang dingin dan tak peduli pada anak-anaknya, tapi diantara mereka Dina selalu merasa ada jarak tak kasat mata yang membatasi , Aksa tak pernah sekalipun membanggakan Angga sebagai Papanya begitupun Arsyi, seolah Angga hanya sebuah simbol yang harus dihormati. Dina tak tahu apa keadaan ini normal untuk interaksi ayah dan anak, dia sendiri tidak tahu role model seorang ayah bagi anaknya, selain apa yang telah dia baca atau yang dia lihat di televisi.Angga menggeleng. “Ten
Dina bergegas bangun dari ranjangnya saat matahari sudah menampakkan diri, saking paniknya dia lupa ada manusia yang tidur di sampingnya."Ada apa? Ada apa, Din?" Angga yang tidur di sampingnya spontan terbangun karena terkejut guling hidup yang dipeluknya semalam menghempaskan tangannya dengan kasar, diikuti suara orang berlari.Dina yang baru saja melangkah ke kamar mandi hanya nyengir melihat kepanikan suaminya. "Ayam jago sudah bangun, Mas, takut rejekiku ikut dipatuk," jawabnya iseng."Hah! Ayam siapa? Kita tidak pelihara ayam?" tanyanya masih bingung."Cepetan bangun, Mas, nanti aku kasih tahu ayam siapa?" Dina segera melesat ke kamar mandi untuk cuci muka, tak peduli lagi pada suaminya yang masih kebingungan.Dia sudah terlambat bangun, jangan sampai nanti anak-anak juga ikut terlambat ke sekolah. Ini semua gara-gara suaminya yang memaksanya untuk bangun sampai dini hari, batin
Angga bergerak turun saat sampai di depan kantor Dina, laki-laki itu lalu membukakan pintu mobil untuk sang istri, bahkan menggenggam tangan Dina lembut untuk membantunya turun dari mobil. Pagi tadi setelah pertengkaran mereka, Angga tiba-tiba memaksa Dina untuk berangkat bersamanya, karena hari sudah semakin siang dan dia akan telat jika harus mengantar anak-anak ke sekolah terlebih dahulu. Meski sedikit kesal tapi Dina tak bisa menolak.Dina hanya memandang tajam suaminya, tapi tak melepaskan pegangan tangan mereka, bagaimanapun sekarang sedang banyak mata yang sedang melihat ke arah mereka, dia tidak akan merusak harga diri laki-laki yang masih sah sebagai suaminya. Dia juga tak tahu sandiwara apa yang sedang dilakoni Angga dengan mempertontonkan kemesraan mereka di depan orang banyak, mereka hanya tinggal di kota kecil jadi berita tentang pernikahan kedua Angga sudah pasti menyebar luas, apalagi Angga dikenal juga sebagai salah satu d
Pagi ini seperti biasa Dina harus bertarung dengan berbagai kegiatan paginya, wanita itu bahkan sudah berpakaian rapi dan menyiapkan enam buah piring di atas meja. Anak-anak juga sudah duduk rapi di kursi mereka masing-masing, sedangkan Angga masih menjemput Keira untuk makan bersama mereka. Aksa tersenyum senang saat papanya mengatakan akan datang ke pesta perpisahannya bersama bundanya, dia dengan baik hatinya membantu Dina menyiapkan adik-adiknya. Bahkan dengan semangatnya anak itu menceritakan pada adik-adiknya apa yang nanti akan dia tampilkan .“Nanti Mas Aksa akan menyanyi?” tanya Ara yang belum mengerti kenapa kakaknya bilang akan naik panggung. “Bukan menyanyi, Mas akan bermain drum,” jawab Aksa dengan bangga. Ara mengerutkan keningnya tanda dia sedang berpikir keras. “Tapi Mas Aksa nggak punya drum, mau pinjam punya Ara?” tanya Ara polos, menawarkan mainan drum yang memang dia miliki.“
Dulu Dina selalu berpikir sebagai anak panti asuhan, dia akan menemukan pria baik yang sederhana, yang mencintai dia apa adanya, meski mungkin mereka hanya tinggal di rumah petak, Dina akan tetap bersyukur asal keluarga mereka bisa tetap tertawa bersama.Seperti Tuhan punya rencana sendiri yang sangat jauh dari prediksi, dia harus menikah dengan Angga, laki-laki tampan dengan kekayaan melimpah, bukan rumah petak yang mereka tinggali tapi rumah megah bak istana lengkap dengan pelayan di dalamnya, tapi tanpa rasa cinta di dalamnya.Apa Dina kecewa?Mungkin tidak sepenuhnya, dia akan menjadi manusia yang terlihat tidak bersyukur kalau mengatakan itu, meski menikah tanpa cinta nyatanya Angga tidak pernah berlaku buruk padanya, laki-laki itu memperlakukannya seperti sahabat dekat dan juga pengasuh anak-anaknya, meletakkan semua kepercayaan mengelola rumah pada Dina, Angga tak pernah protes tentang apa yang dilakukan Dina untuk rumahnya, Dina adal
“Maaf ya anak-anak, Papa harus pulang dulu.” Angga beralih pada anak-anaknya tanpa menanggapi keberatan Dina. “Nanti kalian dijemput Pak Amin, Tan–.” Dina masih memandang tidak suka pada sang suami, bagaimana mungkin laki-laki ini tega meninggalkannya dengan tiga orang anak yang masih kecil, Apa Keira bahkan tidak bisa menunggu barang sejenak saja? Demi Tuhan mereka baru saja, menyuapkan beberapa sendok makanan. Dia memandang anak-anak dengan muram mereka juga memandang papa mereka dengan penasaran, ada pandangan kecewa. Tapi sepertinya Angga tak melihat itu atau tak mau melihat entahlah. Dina masih ingin meminta suaminya menunggu sebentar, tapi sebuah suara tak disangka-sangka membuatnya tak mampu lagi bicara. “Papa pergi saja kami punya Bunda yang selalu menemani,” sahut Aksa dingin, bahkan anak itu tak perlu repot-repot memandang ayahnya. Dengan sengaja dia mengajak adik dan Bundanya ngobrol mengabaikan
“Dina? Sudah mau pulang?” sebuah suara yang sangat dikenal Dina membuatnya menoleh ke belakang. Pak Brian berdiri di sana dengan tersenyum ramah. Laki-laki itu terlihat tampan seperti biasa dengan kemeja biru lengan panjang yang digulung sesiku dan dasi yang telah dilonggarkan. “Pak Brian?” tanya Dina keheranan yang mendapati atasannya ini sudah ada di sini, padahal restoran ini letaknya lumayan jauh dari kantor mereka. Tapi Dina hanya menelan pertanyaannya itu, bukan urusannya kalau Pak Brian mau makan siang di singapura sekalipun, asal dia bisa kembali ke kantor tepat waktu, batinnya, berusaha memadamkan rasa penasaran yang menggerogoti jiwanya. “Iya, Din, ini aku, kenapa kamu terlihat heran begitu? kayak lihat setan saja,” Pak Brian tersenyum geli melihat expresi Dina.“Eh, nggak apa-apa, Pak,” jawab Dina salah tingkah. “Sudah mau pulang, dijemput?” eh kenapa dia seakan tahu kalau Angga tadi meninggalkan mereka, Apa
"Kasian anak-anak kamu mereka terlihat lelah, biar aku antar saja, hubungi sopirmu tidak perlu menjemput."Dina melihat anak-anaknya yang memang lelah, sejenak Dina memandang Aksa, anak itu mengangguk menyetujui usul Brian. Dina tak tahu apa yang akan terjadi nanti, pulang malam dengan diantar atasannya, apalagi fakta Brian yang menggantikan Angga menemani anak-anak bermain. Dina hanya berfikir bagaimana nanti reaksi suaminya? Apa Angga akan marah padanya? Atau bersikap biasa-biasa saja? Dina tidak ingin Angga marah padanya meski dia dan Brian tidak terlibat hubungan apapun, tapi di sisi lain dia juga akan sakit hati kalau Angga bersikap biasa-biasa saja dan membuktikan kalau tak ada cinta sedikitpun di hatinya, itu akan semakin membuat Dina terluka."Kenapa diam saja, Din?" tanya Brian."Saya tidak tahu harus bicara apa? Yang jelas saya berterima kasih sekali karena kamu mau repot-repot menemani