Dina bukan pribadi yang suka berburuk sangka pada seseorang, apalagi seseorang yang sangat dia cintai seperti suaminya.
Suatu pernikahan tidak akan bisa berjalan hanya dengan cinta saja tapi ada bumbu lain yang bernama kepercayaan dan tanggung jawab yang wajib ada jika ingin tetap langgeng.Tapi Dina tahu saat ini dia sudah kehilangan dua bumbu utama itu, kehidupan rumah tangganya terasa hambar.Dan sakit hati yang dia rasakan saat ini, membuat pertahanannya makin goyah, kakinya serasa tak mampu menginjak lantai, kepalanya terasa pusing luar biasa."Bu Dina, Ibu baik-baik saja?" Hendra yang bersiap mengetuk pintu ruangan Angga, mendekati Dina dan bersiap kalau-kalau istri bosnya ini akan pingsan, wajahnya terlihat sangat pucat."Aku baik-baik saja cuma sedikit capek." Dina tersenyum sekedar meyakinkan sekretaris suaminya ini kalau semua baik-baik saja."Ibu masuk saja dulu biar saya buatkan teh hangat.""Terima kasihAkhirnya Dina tahu kenapa banyak wanita yang suka sekali bertengkar dengan wanita lain dengan menjambak rambutnya, dulu Dina berpendapat kalau mereka itu terlalu bar-bar, tapi saat dia melihat Vanya mengibaskan rambut panjangnya dengan angkuh meski sudah terhina sedemikian rupa, tangan Dina begitu gatal ingin menggunduli rambut itu, agar pemiliknya tak lagi bisa berkata dengan pongah. Tipe wanita yang sangat egois dan akan menghalalkan berbagai cara untuk mencapai tujuannya. Setelah wanita itu hilang ditelan pintu ruangan Dina berganti menatap tajam suaminya, mengamati sejenak laki-laki yang telah lima tahun berbagi kasur dengannya, seingat Dina tak ada yang aneh dengan cara berpikir Angga, dan suaminya itu bukan laki-laki yang memiliki gangguan mental atau memiliki otak di bawah standart. Angga adalah laki-laki yang cerdas, jadi dia sangat heran bagaimana laki-laki itu bisa terjebak dengan wanita seperti Vanya, dan bahkan mengatakan kalau kemungkinan laki-laki itu m
Jika Angga menyangka sang paman akan menerima usulannya untuk tidak lagi membuat masalah dengan kompensasi uang untuk melunasi utangnya yang bertumpuk, Angga tentu saja salah perhitungan, bahkan sampai batas waktu yang dia tentukan sang paman bahkan tak menampakkan batang hidungnya ataupun berkirim pesan menyampaikan kabar keputusannya. Bahkan saat Angga meminta Hendra menanyakan sang paman ke kantornya, sekretarisnya tidak bisa menjawab, karena laki-laki itu tidak masuk sejak dua hari yang lalu tanpa pemberitahuan yang jelas, bahkan ponselnya pun mati tak bisa dihubungi sejak kemarin. “Sudah bagus aku menawarkan solusi untuk masalahnya, kenapa dia malah acuh,” dumel Angga kesal. Masalah pribadinya sendiri ditambah dengan masalah perusahaan sudah cukup banyak, jika pamannya tidak mau menerima kebaikannya tentu itu bukan salahnya yang akan membekukan beberapa aset yang menjadi bagian pamannya, agar aman tersimpan, sebagai bekalnya nanti di hari tua, setidakn
Angga keluar ruangan Dina dengan diiringi senyum manis istrinya itu, membuat hatinya yang semua tak tentu arah kembali bisa tenang, mungkin memang nasib pernikahan mereka belum bisa ditentukan tapi perhatian sang istri dan juga dukungannya membuat Angga sedikit tenang. Saat ini memang dia benar-benar membutuhkan hal itu, berbagai masalah yang menumpuk dalam kehidupannya akhir-akhir ini membuat dia gila rasanya. Apalagi hari ini adalah salah satu hari yang berhasil menghancurkan moodnya, salah satunya sang paman yang tak bisa dihubungi sampai sekarang. Angga segera menuju ruang rapat dilantai lima. Sejenak dia memandang pada orang-orang yang akan membantunya dalam proses ini, mereka orang-orang pilihan yang sangat ahli dibidangnya. Dan Angga membayar mahal jasa mereka, dia berharap mereka memang seprofesional yang mereka gembar gemborkan, ta ada penyelewengan yang akan mereka lakukan. Rapat kali ini sangat rentan, mereka akan membahas masalah strategi ke
Angga masih mengamati mereka bergantian dengan bingung. Bara bukannya membantu Angga laki-laki itu malah dengan cueknya bermain ponselnya. Membuat Angga kesal."Maaf, aku ada janji dengan istriku," jawab Angga. Tak ingin semakin memperuncing suasana.Mungkin bagi sebagian orang memang bukan hal yang berlebihan Mungkin bagi sebagian orang memang buka hal yang berlebihan makan siang dengan teman kantor, tapi masalahnya adalah masa lalu mereka yang suram dan terlanjur mendapatkan noda hitam. Angga yang dulu pasti tidak akan berpikir dua kali untuk mengiyakan. Tapi sekarang banyak pertimbangan yang harus dia pikirkan. “Kamu berubah, Mas,” kata Vanya dengan kecewa dan sakit hati yang tidak dia tutupi. Syukurlah mereka berdiri di lorong yang sepi, jadi tidak ada orang lain yang akan ikut menyaksikan drama ini. Angga menoleh pada Bara, sikap Vanya yang begini membuatnya tak enak hati pada laki-laki itu, bagaimanapun, saat
Perut yang sudah terasa keroncongan, dan juga dukungan mood yang berantakan membuat Dina yang biasanya selalu menebarkan senyum pada semua orang kita malah berwajah masam, suasana hatinya benar-benar hancur berantakan. Dan itu disadari betul oleh Angga.Angga menggandeng tangan wanita itu dan membimbingnya ke ruangan khusus yang tadi sudah dipesan Bara. Kalau saja suasana hatinya sedang baik Dina akan dengan senang hati menikmati interior ruang yang sangat nyaman ini, sebuah ruangan dengan cat dinding berwarna kuning lembut menyapanya. Meja panjang yang di kelilingi sofa yang nyaman membuat siapapun pasti betah di sini, tidak heran memang ini restoran pilihan Vanya. Wanita itu tak akan main-main dalam memilih meski hanya tempat makan siang yang terbilang sangat santai. Dina bahkan berani bertaruh wanita itu pasti belum pernah makan di warung tenda pinggir jalan. Pikiran itu sedikit membuat senyum kecil muncul di sudut bibir Dina, tak bisa dipun
Hari ini Angga boleh bergembira, apa yang dia usahakan telah menampakkan hasil yang nyata, saham perusahaannya bisa melenggang ke lantai bursa. Dan keputusan para pemegang saham menetapkan dialah yang menjadi Ceo nya. Bukan tanpa masalah proses akusisi ini berjalan, ancaman yang ditujukan padanya ataupun pada keluaganya mulai berkurang. Dia bisa bernapas lega meski begitu Angga belum bisa mengendurkan kewaspadaannya. Bisa saja mereka memang menunggu saat dia lengah untuk kembali menyerangnya. Tapi masalah yang menurutnya sangat krusial belum juga menemukan titik terang, rumah tangganya dengan Dina , masih menggantung bak jemuran, istrinya itu sekarang lebih memilih diam jika bersamanya, bahkan sang istri juga kembali selalu memunggunginya saat tidur. Angga hanya diam, setidaknya dia ingin memberi sedikit ruang untuk Dina menenangkan diri. Angga mungkin manusia yang egois yang dengan kukuh ingin mempertahankan istrinya meskipun ada sisi hatinya yang masih unt
Dina mengerutkan kening tak mengerti, dia memandang Hendra yang terlihat tak nyaman duduk di kursinya antara takut tapi juga penuh harap. Laki-laki yang biasanya menampilkan wajah dingin tak terbaca itu untuk pertama kalinya kehilangan kendali dirinya. “Pak Angga di dalam?” tanya Dina. “Bu Dina… itu---itu, Bu,” jawabnya terbata dan salah tingkah Bara yang berdiri di belakang Dina ikut menatap laki-laki itu dengan heran, tidak biasanya laki-laki ini gugup padahal tadi jelas-jelas Hendra meneleponnya, memintanya segera ke sini untuk membantu Angga yang kerepotan memeriksa berkas pengalihan saham. Apa Angga berpesan untuk tidak boleh diganggu? Dan kehadiran Dina yang tiba-tiba membuat laki-laki itu tak enak hati mengatakannya, bagaimanapun Dina istri Angga, tapi tumben sekali Angga keberatan dengan kedatangan Dina. “Bicara yang jelas, sejak kapan kamu suka gagu,” Dina menatap tajam Hendra. “Apa aku akan menganggu Mas Angga jika masuk sekarang?” tiba-t
Bara berlari menyusul Dina yang berlari keluar dari ruangan Angga, sepanjang matanya memandang seluruh lantai ini, tak ditemukannya sosok Dina."Cepat sekali larinya," gumam Bara pelan. Laki-laki itu segera memasuki lift sejenak dia ragu untuk memilih ke atas atau ke bawah. "Coba di atas dulu." Lift khusus petinggi perusahaan selalu sepi, Bara menyandarkan tubuhnya di dinding, ada rasa marah, kasihan dan juga... Lega yang berkumpul jadi satu dalam dadanya. Bara tak tahu apa yang akan terjadi nanti, tapi satu yang pasti dia tidak akan membiarkan Dina terluka lagi. Bara langsung menuju lantai teratas gedung ini, dia yakin Dina tidak mungkin mampir ke lantai lain, Dina orang baru di sini dan belum mempunyai teman akrab. Suatu pikiran ajaib terlintas di otaknya, bagaimana kalau Dina ke atap gedung dan berniat bunuh diri. Dina sangat mencintai suaminya, bukannya tidak mungkin dia putus asa, dan berniat bunuh diri melompat da