"Oh, ya sudah, Bi, saya ke kamar dulu."
Tanpa menoleh lagi Dina segera melangkah ke kamarnya. Tapi betapa terkejutnya dia saat mendapati Keira ada di kamarnya."Apa yang kamu lakukan di sini?" desisnya.Dina melihat wanita itu hanya diam, tangannya yang tadi membolak balik sebuah map di atas nakas terlihat kaku, yang entah sejak kapan ada di sana.Dina melangkah ke ranjang dan melemparkan tas tangannya di sana dengan masih menatap Keira tajam yang membuat wanita itu salah tingkah."Mas Angga minta tolong mengambilkan dokumennya yang tertinggal, jadi aku masuk ke sini," katanya sambil menunduk.Dina mengangkat alisnya."Mas Angga bilang nggak bisa menghubungi Mbak Dina jadi--""Sudah ketemu? Jika sudah silahkan pergi."Tak ingin lama-lama berdrama Dina segera memotong ucapan Keira."Eh belum, Mbak."Dina menyipitkan matanya dan mengambil tas yang tadi diMalam sudah semakin larut, Dina mengakhiri cerita yang dia bacakan saat melihat Ara sudah meringkuk nyaman di sampingnya. Diciumnya kening sang putri dengan sayang, kalau nanti dia terpaksa berpisah dengan Angga hanya Ara yang dia punya, tidak mungkin dia membawa serta Aksa dan Arsyi merski dia juga menyayangi anak-anak itu sama besarnya dengan Ara. Dia segera meninggalkan Ara setelah memastikan anak itu aman di bawah selimutnya dan bersiap untuk pergi.“Bunda mau ke mana?” Aksa tiba-tiba berdiri di belakangnya. “Oh, Bunda ada perlu sebentar. Kenapa belum tidur besok ke siangan, lho?” “Ini mau tidur, ambil minum dulu haus, Bun.” Dina tertawa dan mengacak rambut anak laki-laki yang beranjak remaja itu. “Ya sudah, segera tidur Bunda keluar sebentar.” “Dengan Papa?” tanya Aksa lagi saat Dina sudah berjalan menjauh. “Iya nanti ketemu Papa di sana.” “Mau kencan ya, Bun?”
“Senang mengetahui ada satu hal yang kamu suka dariku,” sahut Dina sambil lalu, yang membuat Angga terdiam. “Din, bukan maksudku–““Aku tahu,” potong Dina cepat. “Sejak awal aku memang bukan pilihanmu, jadi aku tahu diri, tapi itu tidak penting ada hal yang lebih mendesak ingin aku bicarakan terlebih dahulu.” Dina memandang suaminya tajam, yang dibalas Angga dengan tajam pula. “Dan hal mendesak itu adalah?” Dina sudah siap membuka mulutnya saat pelayan yang mengantarkan pesanan mereka datang. “Terima kasih, Mbak,” Dina tersenyum manis pada pelayan itu. “Makan dulu, Mas.” Dina menyerahkan semangkuk salad yang terlihat lezat pada Angga. Dia sendiri menikmati cangkir kedua coklatnya. “Coklat lagi? barusan bukannya minum coklat?” “Iya, coklat di sini enak aku suka.” Dina memandang secangkir coklat di hadapannya dengan berbinar-binar, membuat Angga ta
Hari-hari Dina berjalan dengan cepat, kini hubungannya dengan Keira mulai agak melunak, dia sudah sedikit berhasil membujuk hatinya untuk baik-baik saja meski ada wanita lain yang harus mendapatkan perhatian yang sama dari sang suami bahkan mungkin lebih, Dina hanya ingin fokus pada anak-anaknya. Dia tak ingin anak-anak mengetahui kisruh rumah tangga orang tuanya. Mereka belum cukup mengerti akan permasalahan orang dewasa, dan Dina sama sekali tak ingin mereka tumbuh dewasa sebelum waktunya. Pembicaraan dengan Angga malam itu memang membuahkan hasil, setidaknya Keira tak pernah berani lagi masuk ke kamar yang biasa ditempati Dina dan Angga, begitu pun Dina tak pernah sekali pun bertandang ke paviliun yang ditempati oleh Keira. Mereka seolah terpisah jarak yang sangat jauh meski sejatinya mereka berada dalam satu rumah.Angga pun cukup bijak untuk tidak memaksa Dina mengurusi Keira lagi, dia mempekerjakan seorang perawat khusus yang akan me
“Boleh pinjam ponselnya, Mbak aku akan telepon Mas Angga sendiri, dia pasti akan langsung datang.” Dina mengerutkan kening apa Keira lupa kalau kemarin Angga ke luar kota dan akan kembali besok, setelah meeting. Bahkan kalau pun ingin Angga tak punya sayap untuk terbang kemari, pesawat akan ada jadwal penerbangan esok hari dan dia tidak memiliki heli seperti bos-bos pada umumnya. Tak ingin berpikir lebih jauh, Dina hanya memberikan ponselnya pada Keira. “Pakai nama apa, Mbak?” “Nama biasa aku manggil,” jawab Dina yang tau maksud Keira. “Mbak kok nggak romantis, sih, aku aja ngasih nama Mas Angga, Honey di ponselku.”Wanita ini sedang ngomongin apa sebenarnya? Nggak penting banget, sia-sia dia khawatir tadi. sudah bisa menyebalkan pasti sudah sembuh. “Terserah kamu, itu ponselmu,” jawab Dina gondok luar biasa. Sebenarnya suaminya ini menikahi anak umur berapa tahun?
Sungguh Dina tak ingin menangis, dia sangat jarang melakukan itu, semuanya tak bisa berubah hanya dengan air mata, tapi kali ini air mata itu jatuh tanpa permisi, meninggalkan jejak lara di hati, digigitnya bibir kuat-kuat mencegah isak yang lebih nyaring lolos dari mulutnya, dia masih membungkuk, saat dilihatnya sepasang sepatu mengkilap yang sangat dia kenali ada di hadapannya. “Ada apa, Din? Keira baik-baik saja, kan?” Dina mengangkat kepalanya, benar saja, Angga sudah berdiri di depannya, terlihat lelah. Sepertinya langsung ke mari setelah dari bandara. Sejenak Dina mengamati laki-laki yang sudah lima tahun menikahinya itu. Angga masih setampan lima tahun lalu saat mereka bertemu untuk pertama kali pada acara ulang tahun mamanya. Bahkan dia seolah tak menua dengan berjalannya usia. Rambutnya masih sehitam malam dan badannya ramping berotot, pantas saja gadis berusia awal dua puluhan seperti Keira mau menikah dengannya,
Sore itu Dina yang baru saja datang dari kantor, telepon genggamnya berdering dan menampilkan nama Angga yang memintanya kembali ke rumah sakit. “Ngapain lagi, sih aku di suruh ke sana, katanya sudah sembuh kenapa nggak pulang saja langsung,” gumamnya sebal, tapi Dina tak bisa begitu saja mengabaikan permintaan Angga jadi mau tidak mau dia harus ke sana. “Bi,” panggil Dina pelan pada wanita paruh baya yang sedang membersihkan ruang tamu. “Eh iya, Nya, maaf saya nggak tahu Nyonya sudah pulang.” “Iya, nggak apa-apa, Bi. Saya Cuma mau bilang mau keluar lagi Mas Angga minta saya ke rumah sakit, Bibi tolong masakin makan malam, menunya seperti saya bilang tadi pagi, bisakan, Bi?” “Siap, Nyonya bisa.” “Ya sudah sekalian tolong bilang Ara saya keluar sebentar nanti saya telepon anak-anak.” “Iya, baik.” Dina tersenyum puas saat assisten rumah tangganya mengerti maksudnya,
"Mas tidak bisakah, Mas tetap di sini?" tanya Keira, dengan takut-takut dia melirik Dina."Tidak, kamu bersamaku di sini, aku juga tidak berniat memakanmu." Dina justru yang menjawab bukan Angga."Ya sudah aku pergi dulu, Aku ingin bicara bentar, Din," kata Angga lembut tapi tegas. Dina segera mengikuti Angga untuk keluar sebentar dari ruang rawat Keira, Dina hanya melirik sedikit pada Keira yang tersenyum senang mungkin dia mengira kalau Angga akan memarahinya, tapi kalau dipikir-pikir mungkin dia memang sudah kurang ajar menakut-nakuti Keira seperti itu, tapi istri muda suaminya yang kekanak-kanakan membuatnya sebal bukan main. “Kenapa?” tanya Dina saat mereka sudah di luar ruang rawat Keira.“Kamu bisa nggak, Din, lembut dikit sama Keira dia lagi sakit lho?” “Kalau anak-anak yang sakit aku juga judesin mereka.”“Tapi dia bukan anak-anak.” “Yakin? Itu karena kamu sud
"Ara kangen Papa?" "Iya, pengen dibacain cerita sama Papa, Ara juga mau tunjukin boneka baru Ara yang dibelikan Oma." Untuk ukuran anak berusia empat tahun Ara memang tergolong banyak bicara tapi Dina suka sekali dengan itu, dia selalu merasa punya teman ngobrol yang tak ada habisnya. Hiburan yang menyenangkan di tengah kehidupannya yang menyebalkan. "Papanya lagi kerja, nanti kalau sudah pulang pasti main sama Ara sekarang main sama Bunda dulu, ok?" "Ok, Bunda," Jawab Ara dengan nada menggemaskan. Ara bersorak gembira begitu melihat sosok papanya memasuki ruang keluarga tempatnya sedang menggambar ditemani sang bunda. Dina segera berdiri dan mengambil tas serta jas yang dikenakan sang suami, kebiasaan yang selalu dia lakukan sejak dulu entah Dina lupa menonton di sinetron mana? Tidak memiliki contoh sebuah keluarga membuatnya harus b