"Mas tidak bisakah, Mas tetap di sini?" tanya Keira, dengan takut-takut dia melirik Dina.
"Tidak, kamu bersamaku di sini, aku juga tidak berniat memakanmu." Dina justru yang menjawab bukan Angga."Ya sudah aku pergi dulu, Aku ingin bicara bentar, Din," kata Angga lembut tapi tegas.Dina segera mengikuti Angga untuk keluar sebentar dari ruang rawat Keira, Dina hanya melirik sedikit pada Keira yang tersenyum senang mungkin dia mengira kalau Angga akan memarahinya, tapi kalau dipikir-pikir mungkin dia memang sudah kurang ajar menakut-nakuti Keira seperti itu, tapi istri muda suaminya yang kekanak-kanakan membuatnya sebal bukan main.“Kenapa?” tanya Dina saat mereka sudah di luar ruang rawat Keira.“Kamu bisa nggak, Din, lembut dikit sama Keira dia lagi sakit lho?”“Kalau anak-anak yang sakit aku juga judesin mereka.”“Tapi dia bukan anak-anak.”“Yakin? Itu karena kamu sud"Ara kangen Papa?" "Iya, pengen dibacain cerita sama Papa, Ara juga mau tunjukin boneka baru Ara yang dibelikan Oma." Untuk ukuran anak berusia empat tahun Ara memang tergolong banyak bicara tapi Dina suka sekali dengan itu, dia selalu merasa punya teman ngobrol yang tak ada habisnya. Hiburan yang menyenangkan di tengah kehidupannya yang menyebalkan. "Papanya lagi kerja, nanti kalau sudah pulang pasti main sama Ara sekarang main sama Bunda dulu, ok?" "Ok, Bunda," Jawab Ara dengan nada menggemaskan. Ara bersorak gembira begitu melihat sosok papanya memasuki ruang keluarga tempatnya sedang menggambar ditemani sang bunda. Dina segera berdiri dan mengambil tas serta jas yang dikenakan sang suami, kebiasaan yang selalu dia lakukan sejak dulu entah Dina lupa menonton di sinetron mana? Tidak memiliki contoh sebuah keluarga membuatnya harus b
Sejarah percintaan Dina memang sangat gersang, sebagai anak panti asuhan yang tidak tahu siapa ayah maupun ibunya dia lebih berfokus pada urusan mencari uang dan menamatkan pendidikannya. Beberapa teman kuliahnya yang coba mendekati hanya berakhir dengan hubungan tak jelas saat tahu status Dina atau karena ketidakpeduliannya pada hubungan itu, saat datang Bu Dara, menawarkan pernikahan dengan anaknya yang duda dengan dua orang anak, Dina sebenarnya ingin menolak tapi saat bertemu kedua anak itu hatinya tak tega dan menyetujui kesepakatan itu, apalagi saat bertemu Angga, dia tak bisa bohong kalau dia tertarik padanya, laki-laki tampan, yang sudah mapan dan matang secara emosional.Tidak berpengalaman menjalin hubungan dengan laki-laki membuat Dina harus banyak belajar bagaimana menjadi seorang istri yang baik, apalagi dia menikahi duda yang tak mungkin dia ajak jalan-jalan berdua keliling mall mencari barang diskon atau hanya sekedar pamer di sosmed. Usi
Bekerja adalah salah satu cara Dina untuk melarikan diri dari beban hidup yang kadang menyesakkan dada.Dulu sebelum menikah Dina bekerja keras, disamping untuk mencari uang juga untuk mengusir rasa sepi karena tak ada yang akan bisa dia temui di kamar kos kecilnya, bahkan saat musim libur tiba dia harus menahan iri, karena banyak teman-temannya yang memilih pulang kampung mengunjungi keluarga. Sekarang setelah menikah dia juga menjadikan pekerjaan sebagai alasan untuk melarikan diri dari rasa tak diinginkan. Pagi ini Dina bangun dengan tubuh yang lelah, semalam setelah pembicaraan yang tidak menghasilkan apa pun, Dina akhirnya tidur di kamar Ara karena anak itu merengek terus, Angga yang berniat ingin menemani di sini, dia tolak mentah-mentah, jadilah laki-laki itu tidur di kamar mereka karena menolak ke kamar Keira. Dina yang sedang tak ingin berdebat lagi hanya memilih diam.Jam dinding masih menunjukkan pukul l
Dina hanya menatap heran atasannya yang sudah berlalu menuju ruangannya. Ada ya atasan yang selesaikan tugas bawahannya, kok kesannya kurang ajar banget itu bawahan? Batin Dina bingung. "Dia barusan putus sama tunangannya, Din, kabarnya tunangannya selingkuh." Dina hanya bisa melongo bengong, Mbak Sasa berjalan melewatinya sambil membawa setumpuk dokumen.'Hah! Lalu apa urusannya sama aku?' batin Dina gemas.Dia hanya mengangkat bahu dan melanjutkan kembali pekerjaannya, setidaknya dia ada pekerjaan yang bisa dia gunakan untuk melanjutkan hidup kalau nanti dia sudah tak bisa lagi mempertahankan rumah tangganya.Dia memang bukan tipe orang yang sangat update terhadap gosip-gosip yang berseliweran, bukan juga tipe yang cuek sama sekali, beberapa kali dia akan pergi hangout dengan beberapa karyawan wanita yang sudah berteman akrab dengannya. Saat seperti itu apalagi yang bisa mereka la
Sore itu Dina pulang kerja dengan tubuh yang lelah luar biasa. Godaan untuk merebahkan diri di ranjang empuk seolah tak terbendung lagi. tapi dia masih punya kewajiban lain yang harus dia lakukan. Sebagai seorang ibu dan istri dia tak bisa begitu saja langsung tidur setelah pulang kerja apalagi dia punya anak yang masih kecil yang harus dia perhatikan. Kekesalannya pada sang suami tak membuat Dina mengabaikan anak-anaknya, bagi Dina anak-anak juga korban dari semua ini dia tak ingin menjadi orang yang naif dengan melampiaskan kemarahannya pada anak-anak. Mereka anak-anaknya juga setidaknya untuk saat ini, saat dia masih terikat pernikahan yang sah dengan Angga. Saat memutuskan menikah dengan Angga dulu dia sudah mengatakan “Iya” untuk masuk ke dalam kehidupan Angga yang rumit, jadi sekarang dia akan berusaha bertahan dengan caranya sendiri. Ini hidupnya, Angga memang suaminya tapi laki-laki itu sama sekali tak berhak m
“Apa tidak bisa Mas Angga mengusahakannya?” “Itu hanya acara sekolah, Din, aku datang atau tidak, tidak akan ada pengaruhnya acara akan berjalan seperti biasa.” Dina menarik nafas panjang, dia berusaha meredamkan emosinya dengan meremas kedua tangannya,dia rasanya ingin mengangkat kursi riasnya dan memukul kepala Angga dengan itu, tapi dia urungkan karena mungkin hal itu akan membuatnya jadi janda dan anak-anak menjadi yatim. “Kenapa Aksa tadi bilang, Mas akan usahakan? Sepertinya kita sudah sepakat tidak akan membuat kebohongan meski alasannya untuk kebaikan termasuk juga pada anak-anak,” kata Dina tajam. "Haruskah kita bertengkar masalah ini, Din, aku hanya berpikir praktis saja." "Praktis seperti apa?" tanya Dina tidak mengerti dengan ucapan suaminya. "Aku pikir kamu bisa handle itu." "Jadi karena aku bisa melakukannya jadi kamu bisa biark
“Apa maksudmu? Mama memang meninggal karena sakitkan?” tanya Dina dengan heran, setidaknya itulah yang dia dengar dari mertuanya, Angga sendiri tak pernah menceritakan tentang istri pertamanya itu, dia hanya bilang sangat mencintai sang istri dan belum bisa membuka hati untuk wanita lain. “Aku sering lihat, Papa ribut sama Mama, lalu Mama sering nangis, kata Nenek kalau sedih terus bisa sakit, makanya aku nggak mau karena aku Bunda nangis terus sakit,” kata Aksa lirih, nadanya yang terdengar getir membuat Dina tak sampai hati melihatnya, anak sekecil ini harus melihat hal yang tidak seharusnya dia lihat. Dina tak tahu harus menanggapi apa dengan cerita Aksa, dia tak tahu mana apa yang sebenarnya terjadi, sejak awal Angga juga sudah memberi batas padanya untuk tidak menggantikan posisi Mama mereka, dan Dina pun setuju dia memang merasa sosok ibu kandung tak bisa digantikan oleh siapapun, dan lagi dia memang membatasi diri untuk tidak bertanya hal yang da
“Dan apa maksudmu menguping seperti itu, kamu takut aku akan mengajarkan hal yang tidak baik pada putramu?” tanya Dina berang, kenapa Angga bersikap seolah dia orang licik yang perlu diawasi dengan ketat. Angga bergerak mendekat pada Dina. “Aku hanya penasaran dengan pembicaraan kalian, selama ini Aksa lebih nyaman bicara denganmu dari pada aku ayah kandungnya sendiri.”“Apa itu salahku?” Dina menyipitkan matanya, Angga memang bukan sosok ayah yang dingin dan tak peduli pada anak-anaknya, tapi diantara mereka Dina selalu merasa ada jarak tak kasat mata yang membatasi , Aksa tak pernah sekalipun membanggakan Angga sebagai Papanya begitupun Arsyi, seolah Angga hanya sebuah simbol yang harus dihormati. Dina tak tahu apa keadaan ini normal untuk interaksi ayah dan anak, dia sendiri tidak tahu role model seorang ayah bagi anaknya, selain apa yang telah dia baca atau yang dia lihat di televisi.Angga menggeleng. “Ten