Dina membuka pounch make upnya mengambil sebuah kaca kecil yang tersimpan di sana, wajahnya masih terlihat pucat dan kuyu, efek kurang tidur memang membuat penampilannya berantakan.
Sejenak dia menimbang sebentar, haruskah dia memakai lipstik warna merah supaya wajahnya terlihat lebih segar? Selama ini dia hanya menggunakan warna lipstik nude saja itupun hanya dia aplikasikan tipis saja.“Baiklah apa salahnya mencoba,” gumamnya pelan, lalu mengaplikasikan lipstik merah ke bibirnya. Sekarang dia akan menutupi kantung matanya, Dina akan memoleskan concelar.Sejenak Dina mengamati wajahnya sendiri, sudah cukup sepertinya, bawangan hitam di bawah matanya telah menghilang dan mukanya terlihat lebih segar, efek make up memang luar biasa.Syukurlah Pak Amin mengemudikan mobilnya dengan tenang jadi dia bisa berdandan dalam mobil dengan baik, seharusnya memang lebih baik berdandan di rumah, tapi Dina begitu malas mendengar komentMengikuti Brian ke gedung milik yayasan, artinya Dina harus bersiap-siap kakinya serasa patah. Laki-laki itu tipe pekerja keras dan perfeksionis, jadi dia akan dengan teliti mengecek satu per satu fasilitas yang ada dengan mata kepalanya sendiri. Jadi tidak mengherankan kalau Brian berkeliling semua gedung untuk melakukan pengecekan.Untuk sekolah luar biasa saja, mereka harus mengecek lima puluh ruangan yang kesemuanya memiliki fasilitas yang tidak sedikit, belum lagi kalau mereka harus menanyai penanggung jawab masing-masing ruangan dan menanyakan apa saja yang mereka butuhkan dan apa saja barang yeng tidak perlu ada. Tak jarang kabar yang beredar Pak Brian akan menanyai anak-anak langsung apa yang mereka butuhkan. Lalu Dina nanti juga harus membuat laporan barang apa saja yang memang benar-benar diperlukan dan sesuai dengan buget yang ada. Yang Dina syukuri adalah hari ini dia tidak memakai sepatu dengan hak tinggi, hanya sebuah flat shoes berwarna krem yang membungkus kakinya.
Dina menggendong Ara yang tertidur, dan meletakkannya di bangku penumpang dengan kepala anak itu ada di pangkuannya. Tubuhnya lelah luar biasa dan yang pasti dia sangat mengantuk, benar saja mengikuti Brian yang seperti mainan dengan baterai full membuat tubuhnya seperti mau rontok semua.Dedikasi laki-laki itu pada pekerjaan memang luar biasa, Dina yakin di masa depan yayasan tempatnya bekerja akan semakin maju jika berada di tangan Brian, apalagi laki-laki itu memang terlihat sangat tulus menyukai anak-anak, jadi dia pasti akan melakukan yang terbaik untuk membuat anak-anak betah dan nyaman belajar di sana, bukan hanya mementingkan keuntungan semata.“Pelan-pelan saja, Pak, saya juga mau tiduran bentar nanti kalau sudah sampai bangunkan saya,” kata Dina pada Pak Amin yang sudah bersiap di balik kemudi. “Baik, Nyonya.” Tubuhnya memang lelah luar biasa karena dihajar pekerjaan yang seolah tak ada habisnya hari
Hari sudah semakin sore saat mereka sampai di area pemakaman. Pemakaman umum ini begitu terawat dan memiliki pemandangan yang indah. Pasti keluarga almarhum dan almarhumah di sini mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk mendapatkan satu kapling di tempat ini. Dina ingat Angga pernah bercerita kalau Laras sangat menyukai pemandangan bukit dengan berbagai pepohonan yang ada di dalamnya. Dan Angga mewujudkan keinginan Laras untuk selalu bisa melihat perbukitan yang menampilkan pemandangan yang elok.Dina menyebut ini pekuburan karena banyak kuburan yang ada di dalamnya, tapi tidak seperti kuburan pada umumnya yang menimbulkan suasana seram, kesan pertama yang ditangkap di sini adalah indah dan tenang. Ini memang kali bukan pertama kalinya Dina mengunjungi makam istri pertama suaminya itu, sebelum menikah, Angga pernah mengajak Dina kemari untuk menunjukkan makam orang yang masih dicintai laki-laki itu, setelah sehari sebelumnya mengatakan
“Kenapa Papa meminta kita menunggunya, Bunda?” tanya Aksa setelah papanya berlalu. “Bunda juga nggak tahu,” jawab Dina. Dia memang tidak tahu kenapa Angga memintanya menunggu laki-laki itu, mereka membawa mobil masing-masing dan tujuan mereka pun berbeda, Dina dan anak-anak akan pulang ke rumah sedangkan Angga tentunya akan kembali ke kantornya, mengingat hari masih sore. “Bunda!” “lho kok Ara di sini?” “Iya tadi sama Papa,” jawab anak itu dengan centilnya. Dina menerima pelukan putrinya sambil matanya terus mengarah ke bagian dalam mobil, apa Keira juga ikut? Tapi kenapa tidak turun?“Kok Ara ditinggal, Bunda, Kak Arsyi dan Mas Aksa mau jalan-jalan sendiri ya?” tanya anak itu dengan sebal, bibirnya sampai maju dan pipinya yang gembil digembungkan membuat Dina gemas ingin mencubitnya. “Kan adek tidur tadi, kita nggak jalan-jalan, cuma mau ke makamnya mamanya Kak Arsyi dan Mas aksa.” “Mamanya tinggal di sini Bunda? Tapi kok nggak ada rumahnya?” tanya anak itu dengan heran. Di
“Kasihan pada Keira karena anak hasil perselingkuhan Kalian tidak akan diakui, begitu?” “Aku tidak pernah selingkuh, Din, kehamilan Keira itu tidak seperti, suatu hari aku akan jelaskan, tapi tidak sekarang.” “Kenapa tidak sekarang?” tantang Dina. Alih-alih menanggapi Dina, Angga malah mengeluarkan tiga buah ponselnya.“Aku sudah matikan ponsel untuk Keira supaya dia tidak bisa menelepon, dan dua ponselku lainnya kamu yang pegang saja, kamu yang akan menentukan itu penting atau tidak.”Dina memandang heran suaminya yang bisa mengantongi tiga buah ponsel ke mana-mana, dia saja yang hanya menggunakan satu ponsel kadang lupa membalas pesan apalagi tiga. Dina segera menggelengkan kepalanya menghalau semua pikiran tak penting yang masuk dalam kepalanya. “Dan kamu akan menyalahkanku kalau ada telepon yang kamu anggap penting aku abaikan?”“Ya Tuhan, aku janji tidak akan melakukannya bukankah a
Malam itu Angga mengemudikan mobilnya dalam perjalanan pulang dengan tenang, di sebelahnya Dina sesekali menghadap ke belakang untuk memantau anak-anak yang bernyanyi riang di bangku belakang, tepatnya Arsyi dan Ara yang sedang bernyanyi sedangkan Aksa hanya duduk diam memandangi kedua adeknya itu, meski begitu dapat terlihat sinar kebahagiaan terpancar di matanya. “Mas Aksa nggak ikut nyanyi?” tanya Dina iseng. “Aksa sudah gede masak nyanyi balonku Bunda,” katanya dengan wajah cemberut.“Jadi mau nyanyi apa?” “Aksa mau jadi pendengar saja, biar mereka yang nyanyi,” jawab Aksa ngeles. “Mas Aksa suara jelek Bunda makanya nggak mau nyanyi.” “Enak saja.” “Ok kalau begitu Arsyi dan Ara nyanyi lagi, apa perlu kita putar lagu?”“Boleh Bunda.” Mereka lalu berebut mengatakan lagu apa yang ingin di putar, dan baru berhenti saat Dina memutuskan akan memutar lagu
Angin dingin menerpa tubuhnya membuatnya sedikit menggigil, Dina juga heran sendiri dari mana datangnya angin itu, padahal tadi saat dia masih di luar tidak terasa dingin. Ah mungkin karena aku barusan mandi, batin Dina menenangkan. Dari tempatnya berdiri Dina bisa melihat Mama mertuanya itu sedang bicara dengan marah pada dua orang yang sedang menunduk di depanya, bahkan sesekali telunjuknya mengarah pada dua orang itu dengan garang, Dina mempercepat langkahnya ingin tahu apa yang terjadi. “Ada apa kenapa semua diam? Apa aku mengganggu?” tanya Dina, yang mendapati keadaan berubah menjadi sunyi saat kakinya melangkah memasuki bangunan ini. Dina memandang wajah-wajah di hadapannya dengan penasaran ada apa lagi kejutan yang akan terjadi di rumah ini. Akhir-akhir ini rumah tempatnya tinggal ini memang banyak memberikan kejutan yang membuatnya terkejut luar biasa, untung saja jantungnya begitu kuat masih mau berdetak pada tempatnya. Dina masih memandang lekat-lekat wajah-wajah di dep
Dina berusaha meregangkan tubuhnya, tapi sebuah tangan memeluk pinggangnya erat. Berkali-kali dia berusaha melepaskan tangan itu tapi tak ada hasilnya tangan itu makin erat melilit pinggangnya. Dengan kesal Dina menghempaskan tangan itu kasar, membuat emounya tangan terbangun dengan geragapan. “Kamu sudah bangun, Din?” tanya Angga menatap dalam istrinya itu. “Kenapa kamu di sini, Mas?” “Memangnya aku harus ke mana ini kamarku juga.” Dina hanya menghembusakan nafasnya saja, percuma berdebat dengan pria ini hanya akan membuatnya makin kesal dan sakit hati. Dina membasuh wajahnya di wastafel, tubuhnya terasa lebih segar setelah tidur nyenyak sepanjang malam. Dia sendiri juga heran bagaimana dia bisa tidur saat sedang berdebat dengan orang-orang itu, entah karena dia terlalu lelah atau apa sehingga tak mau tahu keadaan sekitar, yang dia tahu hanya kegelapan yang menyergapnya ketika dia sudah memasrahkan semuanya
"Bu Dina dilarikan ke rumah sakit."Pesan salah satu anak buahnya, membuat Angga langsung meninggalkan semua pekerjaannya.Dia melangkah terburu-buru, ingin rasanya dia terbang supaya cepat sampai, dia merutuki dirinya sendiri kenapa harus ada masalah di kantor saat seperti ini, padahal dia sudah berusaha membereskan pekerjaannya dan menemani Dina yang sedang hamil tua. Syukurlah Bara sangat bisa diandalkan di saat seperti ini, dia juga meminjamkan sang istri, Hera untuk menjaga Dina."Bagaimana keadaan Dina?" tanya Angga tak sabar saat melihat Hera terduduk di kursi tunggu."Masih ditangani dokter."Tanpa membuang waktu Angga menuju ruangan yang ditunjuk Hera."Eh pak kita tunggu di sini saja nggak boleh masuk!" Tapi Angga tampaknya tak peduli."Sus, dimana istri saya?" tanyanya pada seorang perawat."Istri Bapak siapa?" tanya sang perawat bingung."Dina, Sus, istri saya yang akan melahirkan."Untunglah sang perawat punya kesabaran lebih
“Ciee mbak Dina... sebentar lagi akan jadi mertuanya Pak Brian.” Dina bahkan baru saja menginjakkan kakinya di lobi kantor, terdengar suara membahana Siska yang membuatnya melongo tak mengerti. Dia akan jadi mertuanya Pak Brian, seingatnya dia memang punya dua orang putri cantik Arsyi dan Ara dan usia keduanyapun masih anak-anak. Tak mungkinkan Brian mau menikahi salah satu dari dua bocilnya itu. Jadi anak yang mana yang dimaksud Siska?“Kamu belum sarapan ya, Sis, sana ke kantin dulu atau ke cafe depan, biar kamu lebih fokus ngomongnya,” kata dina sedikit jengkel. “Gratis, Mbak?” “Apanya?’ “Makannyalah katanya tadi suruh makan.” “Makannya gratis, tapi setelah itu kamu harus cuci piring.” “Mbak Dina kayak ibu tiri saja. kejam.” “Bahkan anak tiriku bilang aku baik hati.” “Ups aku lupa kalau memang mbak Dina ibu tiri.” Dina segera meneruskan langkahnya , ngobrol dengan Siska tak akan ada habisnya. “Eh, Mbak tunggu, tapi aku serius soal Pak Brian yang akan menikah dan jadi m
Brian memasuki kamarnya dengan hati bercabang, dia sebenarnya juga terkejut dengan keputusannya sendiri yang mengatakan kalau Sinta adalah calon istrinya. Dan lebih buruknya lagi dia mengatakannya di depan sang mama, wanita yang sangat dia sayangi dan tidak ingin dia kecewakan. Sekarang apa yang akan dia lakukan? Tetap menikahi Sinta seperti perkataannya tadi atau menjelaskan semuanya dengan resiko membuat mamanya kecewa. “Apa kamu yakin mau menjadikannya istri dan atas dasar apa keinginanmu itu?”Pertanyaan sang mama seolah terus terngiang di dalam otaknya membuatnya pusing luar biasa, dia bahkan tak bisa menjawab pertanyaan itu dan dengan pengecut, dia malah mengalihkan pembicaraan pada hal lain. Syukurlah sang mama cukup bijak untuk tak terus mendesaknya dan memberikan waktu untuknya menelaah rasa yang ada di hati.Tapi sekarang dia bingung sendiri apa yang harus dia katakan pada Sinta, gadis itu pasti juga membuatuhkan penjelasan darinya. Mulutnya kadang-
Mobil yang dikendarai Brian tiba di halaman rumah yang ditunjukkan Sinta. Dengan senyum terima kasih atas semua kebaikan Brian, gadis itu mengangguk dan turun dari dalam mobil.“Sin, tunggu.” Gadis itu menoleh dan terlihat Brian sudah turun dari mobil mewahnya. “Telepon aku jika kamu butuh tumpangan untuk pulang.” Sinta sudah akan membuka mulutnya menjawab tawaran Brian, tapi tubuhnya langsung tersentak saat sebuah gagang sapu memukul punggungnya dengan keras, sakit sekali. “Dasar anak tak tahu diuntung, sudah numpang bikin malu saja, berikan gajimu padaku.”Rasa sakit di punggungnya bahkan jadi tak terasa saat dia bersitatap dengan mata Brian yang memandang semua ini dengan tatapan tak percaya. “Iya, Bi, kita masuk dulu.... terima kasih sudah mengantar saya, Pak.” Sang Bibi memandang Brian dari atas sampai bawah, penampilan Brian yang sangat tampan dan juga semua benda yang melekat dalam tubuhnya meneriakkan kata mahal... dan jangan lupakan mobil me
Dalam kegelapan, Brian terduduk diam dalam mobilnya yang sewarna malam, matanya begitu tajam mengawasi seorang gadis yang terlihat tersenyum bersama teman-temannya di seberang sana. Sampai satu persatu gadis-gadis itu pergi dari sana, tinggallah Sinta, gadis mungil dengan kuncir ekor kuda yang sesekali melihat arloji di pergelangan tangannya. Brian terus mengamati dalam diam, bahkan sampai setengah jam, yang ditunggu gadis itu tak juga datang, tapi gadis itu tetap menunggu di sana. Malam yang kian beranjak membuat suasana menjadi sepi, bahkan semua toko yang tadi masih ramai dengan pembeli sudah membenahi barang dagangannya. “Apa dia tak takut semakam ini pulang sendiri,” gumam Brian tak senang. Dia sudah akan membuka pintu mobilnya, saat sebuah motor menghampirinya dan terlihat gadis itu menerima uluran helm dari si pengendara dan bergegas naik keboncengannya. Brian cepat-cepat menstater mobilnya untuk mengikuti motor itu sambil terus menjaga jarak ama
Setelah dengan penuh perjuangan mengantar Winda ke rumahnya, akhirnya Brian bisa bernapas lega dia bisa terbebas dari wanita itu, dia bahkan tak habis pikir bagaimana mamanya yang biasanya sangat kalem dan anggun itu bisa menyukai wanita agresif seperti itu untuk dikenalkan padanya. Apa dia terlihat setak laku itu, usianya baru tiga puluh dua tahun, usia yang belum terlalu tua untuk laki-laki sepertinya. Dan yang lebih menyebalkan lagi, wanita itu dengan tak tahu malunya mengambil hadiah yang akan dia berikan pada Sinta. Brian menghela napas dalam berusaha menetralkan perasaannya, dia ingin menemui Sinta, tapi tentu saja tidak dengan tangan kosong. “Ah! Dasar sialan,” maki Brian kesal. Dia harus memikirkan hadiah apa yang bisa dia bawa untuk Sinta, memang bukan keharusan, Sinta juga tidak sedang berulang tahun, tapi tetap saja, Brian merasa tak nyaman.Dengan tergesa dia meminggirkan mobilnya, sejenak dia menimbang apakah akan menghubungi Dina atau S
Brian menatap pita rambut itu dengan senyum terselit di bibirnya, dia bisa membayangkan Sinta pasti akan terlihat sangat manis mengenakan ini. Satu minggu sudah Brian ada di Bali, berlibur sekaligus bekerja, karena meski dia mengajukan cuti kerja, nyatanya pikirannya malah melayang kemana-mana. Bahkan saat mengikuti Arga melakukan pemotretan ke berbagai tempat dan melihat pemandangan yang sangat indah termasuk wanita-wanita cantik yang bertebaran tak membuatnya bisa melupakan bayangan wajah belia yang selalu menghantui pikirannya. Jadi dia memutuskan tetap bekerja di hari kedua cutinya, yang membuat sang paman yang menerima laporan entah dari siapa menghubunginya hanya untuk menertawakan keputusan anehnya. “Kamu memang tak pantas untuk cuti, sudahlah bekerja saja, sedekahkan cutimu untuk yang membutuhkan.”Brian hanya bisa tersenyum kecut, meski pamannya di seberang sana pasti tak bisa melihatnya, mau apalagi, tidak mungkinkan dia mengomel pada pamannya yang
Sebuah proyek pembangunan sekolah luar biasa di Bali. Brian memandang informasi yang baru saja masuk ke ponselnya dengan penuh pertimbangan. Ini memang bukan tugasnya untuk meninjau secara langsung, tapi dia bisa mengajukan diri untuk ikut meninjau ke sana, memastikan sarana dan prasarana apa yang dibutuhkan di sana. “Saya akan ikut ke sana.” Brian mengirimkan pesan balasan pada direktur utama yayasan tempatnya bekerja, yang tak lain adalah pamannya sendiri. “Kamu yakin, kamu sebenarnya hanya perlu mengirim salah seorang staffmu, lagipula pembangunan di sana juga belum selesai.” Sebuah pesan balasan masuk tak lama kemudian. “Aku sedang ada urusan di Bali jadi sekalian saja.” “Baiklah, lusa mereka akan berangkat, persiapkan dirimu.” Brian masih memandang ponselnya. Meski tak ada lagi pesan yang masuk. Tangannya tergoda untuk mengirim pesan pada Sinta, tapi dia kembali ragu, Kemarin setelah dia datang ke cafe Dina dan menemui Sinta di sana sikap
Bahkan saat bekerjapun bayangan Sinta memenuhi kepalanya. Membuatnya sulit untuk berkonsentrasi. “Kenapa kopi buatanmu rasanya jadi tidak karuan seperti ini, Sa?” gerutu Brian.Bahkan kopi yang biasa dibuatkan oleh Sasa, sekretarisnya terasa aneh dan tidak seperti biasanya. Suasana hati Brian benar-benar mengerikan sepagi ini bahkan sudah ada dua anak buahnya yang kena semprot. “Tapi saya buat dengan takaran yang biasa pak, satu sendok makan kopi hitam dan satu sendok teh gula, bapak biasanya tidak suka kopi manis jadi saya hanya memberi sedikit gula,” Sasa tentu saja tak terima dengan tuduhan Brian orang dia membuat kopi seperti biasa tak ada yang dikurangi ataupun ditambah. “Airnya belum matang mungkin atau ini bukan bubuk kopi yang biasanya.” Sasa membelalak tak percaya. “Saya merebusnya langsung di atas kompor bapak kan tidak mau air dispenser, dan saya sudah lebih dari tiga puluh tahun berpengalaman untuk masak air, dan tahu benar bagaimana air yang suda