Dina memandang mereka bergantian, Aksa yang begitu marah memandang Papa dan ibu tirinya, sedangkan di sana sang Papa masih tertawa bahagia bersama istri barunya. Hati Dina sakit tentu saja, sampai sesak rasanya tapi dia tahu kalau sakit hatinya belum ada apa-apanya dibandingkan rasa sakit yang dirasakan oleh Aksa putranya.
“Aksa, Bukunya sudah disiapkan semua, Sayang?” tanya Dina mencoba mengalihkan perhatian Aksa agar tidak selalu memandang mereka yang sedang tertawa bahagia.Dina rasanya ingin menangis melihat semua ini, di sana Angga sedang tertawa bahagia menyambut kehadiran calon anggota baru keluarganya, sedangkan di sini putranya sedang menahan sakit hati dan kecewa pada papanya.Tidakkah Angga memiliki sedikit empati padanya dan juga anak-anak. Mengapa mereka tak lewat pintu samping saja agar tak perlu menyakiti mereka semua.Aksa mengalihkan pandangannya dari kedua orang itu dan menatap Dina, dengan senyum yang jelaDina membuka pounch make upnya mengambil sebuah kaca kecil yang tersimpan di sana, wajahnya masih terlihat pucat dan kuyu, efek kurang tidur memang membuat penampilannya berantakan. Sejenak dia menimbang sebentar, haruskah dia memakai lipstik warna merah supaya wajahnya terlihat lebih segar? Selama ini dia hanya menggunakan warna lipstik nude saja itupun hanya dia aplikasikan tipis saja. “Baiklah apa salahnya mencoba,” gumamnya pelan, lalu mengaplikasikan lipstik merah ke bibirnya. Sekarang dia akan menutupi kantung matanya, Dina akan memoleskan concelar. Sejenak Dina mengamati wajahnya sendiri, sudah cukup sepertinya, bawangan hitam di bawah matanya telah menghilang dan mukanya terlihat lebih segar, efek make up memang luar biasa. Syukurlah Pak Amin mengemudikan mobilnya dengan tenang jadi dia bisa berdandan dalam mobil dengan baik, seharusnya memang lebih baik berdandan di rumah, tapi Dina begitu malas mendengar koment
Mengikuti Brian ke gedung milik yayasan, artinya Dina harus bersiap-siap kakinya serasa patah. Laki-laki itu tipe pekerja keras dan perfeksionis, jadi dia akan dengan teliti mengecek satu per satu fasilitas yang ada dengan mata kepalanya sendiri. Jadi tidak mengherankan kalau Brian berkeliling semua gedung untuk melakukan pengecekan.Untuk sekolah luar biasa saja, mereka harus mengecek lima puluh ruangan yang kesemuanya memiliki fasilitas yang tidak sedikit, belum lagi kalau mereka harus menanyai penanggung jawab masing-masing ruangan dan menanyakan apa saja yang mereka butuhkan dan apa saja barang yeng tidak perlu ada. Tak jarang kabar yang beredar Pak Brian akan menanyai anak-anak langsung apa yang mereka butuhkan. Lalu Dina nanti juga harus membuat laporan barang apa saja yang memang benar-benar diperlukan dan sesuai dengan buget yang ada. Yang Dina syukuri adalah hari ini dia tidak memakai sepatu dengan hak tinggi, hanya sebuah flat shoes berwarna krem yang membungkus kakinya.
Dina menggendong Ara yang tertidur, dan meletakkannya di bangku penumpang dengan kepala anak itu ada di pangkuannya. Tubuhnya lelah luar biasa dan yang pasti dia sangat mengantuk, benar saja mengikuti Brian yang seperti mainan dengan baterai full membuat tubuhnya seperti mau rontok semua.Dedikasi laki-laki itu pada pekerjaan memang luar biasa, Dina yakin di masa depan yayasan tempatnya bekerja akan semakin maju jika berada di tangan Brian, apalagi laki-laki itu memang terlihat sangat tulus menyukai anak-anak, jadi dia pasti akan melakukan yang terbaik untuk membuat anak-anak betah dan nyaman belajar di sana, bukan hanya mementingkan keuntungan semata.“Pelan-pelan saja, Pak, saya juga mau tiduran bentar nanti kalau sudah sampai bangunkan saya,” kata Dina pada Pak Amin yang sudah bersiap di balik kemudi. “Baik, Nyonya.” Tubuhnya memang lelah luar biasa karena dihajar pekerjaan yang seolah tak ada habisnya hari
Hari sudah semakin sore saat mereka sampai di area pemakaman. Pemakaman umum ini begitu terawat dan memiliki pemandangan yang indah. Pasti keluarga almarhum dan almarhumah di sini mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk mendapatkan satu kapling di tempat ini. Dina ingat Angga pernah bercerita kalau Laras sangat menyukai pemandangan bukit dengan berbagai pepohonan yang ada di dalamnya. Dan Angga mewujudkan keinginan Laras untuk selalu bisa melihat perbukitan yang menampilkan pemandangan yang elok.Dina menyebut ini pekuburan karena banyak kuburan yang ada di dalamnya, tapi tidak seperti kuburan pada umumnya yang menimbulkan suasana seram, kesan pertama yang ditangkap di sini adalah indah dan tenang. Ini memang kali bukan pertama kalinya Dina mengunjungi makam istri pertama suaminya itu, sebelum menikah, Angga pernah mengajak Dina kemari untuk menunjukkan makam orang yang masih dicintai laki-laki itu, setelah sehari sebelumnya mengatakan
“Kenapa Papa meminta kita menunggunya, Bunda?” tanya Aksa setelah papanya berlalu. “Bunda juga nggak tahu,” jawab Dina. Dia memang tidak tahu kenapa Angga memintanya menunggu laki-laki itu, mereka membawa mobil masing-masing dan tujuan mereka pun berbeda, Dina dan anak-anak akan pulang ke rumah sedangkan Angga tentunya akan kembali ke kantornya, mengingat hari masih sore. “Bunda!” “lho kok Ara di sini?” “Iya tadi sama Papa,” jawab anak itu dengan centilnya. Dina menerima pelukan putrinya sambil matanya terus mengarah ke bagian dalam mobil, apa Keira juga ikut? Tapi kenapa tidak turun?“Kok Ara ditinggal, Bunda, Kak Arsyi dan Mas Aksa mau jalan-jalan sendiri ya?” tanya anak itu dengan sebal, bibirnya sampai maju dan pipinya yang gembil digembungkan membuat Dina gemas ingin mencubitnya. “Kan adek tidur tadi, kita nggak jalan-jalan, cuma mau ke makamnya mamanya Kak Arsyi dan Mas aksa.” “Mamanya tinggal di sini Bunda? Tapi kok nggak ada rumahnya?” tanya anak itu dengan heran. Di
“Kasihan pada Keira karena anak hasil perselingkuhan Kalian tidak akan diakui, begitu?” “Aku tidak pernah selingkuh, Din, kehamilan Keira itu tidak seperti, suatu hari aku akan jelaskan, tapi tidak sekarang.” “Kenapa tidak sekarang?” tantang Dina. Alih-alih menanggapi Dina, Angga malah mengeluarkan tiga buah ponselnya.“Aku sudah matikan ponsel untuk Keira supaya dia tidak bisa menelepon, dan dua ponselku lainnya kamu yang pegang saja, kamu yang akan menentukan itu penting atau tidak.”Dina memandang heran suaminya yang bisa mengantongi tiga buah ponsel ke mana-mana, dia saja yang hanya menggunakan satu ponsel kadang lupa membalas pesan apalagi tiga. Dina segera menggelengkan kepalanya menghalau semua pikiran tak penting yang masuk dalam kepalanya. “Dan kamu akan menyalahkanku kalau ada telepon yang kamu anggap penting aku abaikan?”“Ya Tuhan, aku janji tidak akan melakukannya bukankah a
Malam itu Angga mengemudikan mobilnya dalam perjalanan pulang dengan tenang, di sebelahnya Dina sesekali menghadap ke belakang untuk memantau anak-anak yang bernyanyi riang di bangku belakang, tepatnya Arsyi dan Ara yang sedang bernyanyi sedangkan Aksa hanya duduk diam memandangi kedua adeknya itu, meski begitu dapat terlihat sinar kebahagiaan terpancar di matanya. “Mas Aksa nggak ikut nyanyi?” tanya Dina iseng. “Aksa sudah gede masak nyanyi balonku Bunda,” katanya dengan wajah cemberut.“Jadi mau nyanyi apa?” “Aksa mau jadi pendengar saja, biar mereka yang nyanyi,” jawab Aksa ngeles. “Mas Aksa suara jelek Bunda makanya nggak mau nyanyi.” “Enak saja.” “Ok kalau begitu Arsyi dan Ara nyanyi lagi, apa perlu kita putar lagu?”“Boleh Bunda.” Mereka lalu berebut mengatakan lagu apa yang ingin di putar, dan baru berhenti saat Dina memutuskan akan memutar lagu
Angin dingin menerpa tubuhnya membuatnya sedikit menggigil, Dina juga heran sendiri dari mana datangnya angin itu, padahal tadi saat dia masih di luar tidak terasa dingin. Ah mungkin karena aku barusan mandi, batin Dina menenangkan. Dari tempatnya berdiri Dina bisa melihat Mama mertuanya itu sedang bicara dengan marah pada dua orang yang sedang menunduk di depanya, bahkan sesekali telunjuknya mengarah pada dua orang itu dengan garang, Dina mempercepat langkahnya ingin tahu apa yang terjadi. “Ada apa kenapa semua diam? Apa aku mengganggu?” tanya Dina, yang mendapati keadaan berubah menjadi sunyi saat kakinya melangkah memasuki bangunan ini. Dina memandang wajah-wajah di hadapannya dengan penasaran ada apa lagi kejutan yang akan terjadi di rumah ini. Akhir-akhir ini rumah tempatnya tinggal ini memang banyak memberikan kejutan yang membuatnya terkejut luar biasa, untung saja jantungnya begitu kuat masih mau berdetak pada tempatnya. Dina masih memandang lekat-lekat wajah-wajah di dep