"I Liliana Yudsir take you Aleandro Broker, for my husband, to have and to hold from this day forward, for better, for worse, for richer, for poorer, in sickness and health, until death do us part."
Mata Lova berkaca-kaca saat dua orang didepan altar saling mengucapkan janji suci lalu setelahnya dia memalingkan muka saat ciuman itu terjadi"Ingin menangis litte Kit?"Dengan cepat Lova menoleh ke samping kanan, Caid duduk disebelahnya dengan seringai miring, seolah mentertawakan dirinya"Untuk apa menangis?" Lova berucap pelan, takut jika suaranya akan terdengar orang lain di gereja itu"Karena pria yang kau cintai menikah dengan wanita lain"Lova menahan napas, mencoba meredam emosi yang bergolak di dalam dadanya. "Aku tidak menangis" jawabnya dengan suara bergetar, meskipun hatinya terasa remuk. Dia tak bisa menyangkal, pemandangan di depan altar itu seperti pisau yang menancap di hatinya.Caid terkekeh pelan, lalu mendekatkan diri sedikit ke arah Lova."Jadi, sudah kau dapatkan buktinya?" Suara tegas seorang wanita dari seberang langsung menyapanya begitu dia mengangkatnya Lova menggigit bibir bawahnya, menahan ketegangan yang tiba-tiba merambat dalam dirinya. “Belum. Tapi aku hampir mendapatkannya.” "Waktumu hampir habis R11" Suara itu dingin dan penuh tuntutan "Aku tau" Lova melirik ke arah Caid yang berdiri tak jauh darinya, pria itu sedang berbicara dengan tamu lainnya, dari ekspresi Caid, Lova bisa menebak jika pria itu tak menyimak hingga akhirnya netra abu itu bersitatap dengannya Lova merasakan jantungnya berdetak lebih kencang saat tatapannya bertemu dengan Caid. Dia segera memalingkan wajahnya, mencoba menjaga ketenangan. Suara di telepon masih bergaung di telinganya, dingin dan penuh tekanan. "Aku tidak peduli bagaimana kau melakukannyamelakukannya" suara wanita itu kembali terdengar. "Pastikan kau mendapatkannya, atau kau tahu apa yang akan te
Lova terbangun dengan rasa pegal yang menusuk di sekujur tubuhnya. Semua ototnya terasa kaku, hasil dari malam yang panjang dan penuh serangan tanpa henti dari Caid.Menggeliat pelan di atas kasur, ia sadar dirinya sudah berada di apartemennya. Bau khas selimut yang familiar dan pemandangan langit-langit putih yang biasa ia lihat mengonfirmasi hal tersebut, terlebih Caid sendiri yang menggendongnya kesini dan menyetubuhinya kembaliKepalanya berdenyut pelan saat ia berusaha duduk. Tubuhnya seolah memprotes setiap gerakan yang ia lakukan, seakan-akan meminta istirahat lebih lama.Tapi pikiran Lova tak bisa tenang. Ada rasa penasaran yang mengganggu pikirannya, sebuah pertanyaan yang tak bisa diabaikanDengan hati-hati, Lova turun dari tempat tidur, melangkah keluar dari kamar tidurnya dengan langkah lambat. Suasana di luar kamar terasa sepi, tapi ada sesuatu yang berbeda. Suara samar terdengar dari dapur. Sebuah desisan pelan—seperti suara daging yang digoreng di atas
Manhattan, New York CityLova melangkah dengan tenang memasuki kantor pusat CIA, gedung megah yang tersembunyi di antara hiruk-pikuk kota. Penampilannya sederhana, jaket kulit hitam dan jeans, namun auranya memancarkan ketegasan.Dia melewati beberapa petugas keamanan, menunjukkan lencana identitasnya sebelum akhirnya sampai di ruang kerja Meredith, atasannya.Meredith, seorang wanita paruh baya dengan rambut coklat keemasan dan tatapan tajam, sedang duduk di belakang mejanya, membaca beberapa laporan intelijen terbaru. Begitu Lova masuk, tatapan Meredith langsung tertuju padanya "Kau dapat buktinya?" tanyanya tanpa basa-basi Lova menarik napas panjang. Mendapatkan akses ke data-data penting dari pria itu bukanlah tugas yang mudah, apalagi saat dia harus terus berhadapan dengan permainan manipulatifnya.Bahkan Lova rasa Caid sudah tau tentang identitasnya. Lova tidak bisa melupakan ekspresi Caid kemarin saat mereka sarapan dan Caid bertanya padanyaCai
Hebrew Orphan, salah satu panti asuhan terpencil di pinggiran kota New York yang memiliki banyak anakBegitu ia melangkah masuk ke halaman panti, sorakan riang anak-anak langsung terdengar. "Kak Lova datang!" seru salah satu dari mereka, dan seketika, segerombolan anak-anak berlarian menghampirinya.Lova tersenyum tipis, menunduk sedikit untuk menyambut pelukan anak-anak itu. "Hei, kalian sudah besar sajasaja" ujarnya sambil membelai kepala salah satu anak perempuan kecil."Kak Lova, kapan kita main lagi?" tanya seorang anak lelaki dengan mata penuh harap.Lova tertawa kecil. "Kapan pun kalian mau. Tapi hari ini, aku hanya mampir sebentar. Bagaimana kabar kalian?"Anak-anak itu berlomba-lomba menceritakan kisah mereka. Ada yang bercerita tentang permainan baru yang mereka buat, ada juga yang memamerkan hasil karya gambar mereka. Lova mendengarkan dengan sabar, senyumnya tetap menghiasi wajah, hanya ini satu-satunya tempat yang membuat Lova merasa damai"Apa K
"Jadi..?" Dyan bertanya dengan nada menggantungCaid meletakan ponselnya, sebuah senyum samar tercipta dibibirnya saat tau pesan yang dikirimkannya 10 menit lalu sudah terbaca oleh Lova"Aku semakin tak paham denganmu, Caid. Sudah jelas Angelic yang membuatku merugi" Endi berbicara dengan nada kesal yang ketara "kau bilang akan mencarinya dan membuatnya membayar kerugianku" Tambahnya"Memang benar kubilang akan mencarinya, tapi tidak bagi kalian untuk menyentuhnya" Jawab Caid tak terbantahDylan menatap Caid, tatapannya dalam seolah mencoba membaca perasaan yang tersembunyi dibalik ekspresinyaSemenjak mengetahui jika Angelic adalah R11, anehnya hubungan pertemanan mereka menjadi canggungAda perang dingin diantara mereka atau lebih tepatnya antara Enid dan Caid. Enid yang ingin menghabisi Angelic karena membuatnya merugi dan Caid yang mengklaim Angelic sebagai wanitanya dan melindunginya bahkan Caid sendiri yang mengganti kerugian Endi karena Angelic
Lova kira hari ini dia bisa menemui Caid namun saat mendatangi panthousenya, Caid tidk ada disana Jujur saja Lova ingin bertanya apa maksud Caid memilih daerah pinggiran kota New York yang sepi untuk membuat perumahan elitnya, kenapa Caid harus menggusur panti asuhan itu dan kenapa Caid mengiriminya pesan itu Berkali-kali Lova mencoba menghubungi Caid namun pria itu tak menjawab, Lova duga Caid sengaja melakukannya Akhirnya Lova kembali ke apartemen, dia membuka laptop hendak mencoba melacak titik koordinat Caid namun saat hendak masuk, Lova sadar akan sesuatu Lova menatap layar laptopnya dengan pandangan tajam. Setiap file dan folder masih tampak pada tempatnya, namun ada sesuatu yang tidak beres. Data enkripsinya terbuka, dan akses terakhir menunjukkan waktu yang tidak sesuai dengan aktivitasnya. Ada seseorang yang sudah menggunakan perangkatnya "Caid Walton.. " Gumam Lova rendah Tak lama dia terkekeh hambar, Lo
"Enggh" Lova melenguh. Caid menekan tombol agar kursinya menjadi mundur setelahnya dia menarik Lova lebih dekat, tangannya meremas pinggangnya dengan kekuatan yang membuat Lova sulit bernapas.Ciumannya penuh gairah dan dominasi, seolah-olah ingin membuktikan sesuatu, bahwa dia memegang kendali penuh atas situasi ini.Lova mencoba memberontak, tapi Caid terlalu kuat. Di tengah kekalutan, pikirannya berputar, mencoba mencari cara untuk melepaskan diri dari situasi ini.Belum sempat berpikir, Caid melepaskan kancing celana kain Lova, meloloskannya hingga sebatas lutut Lova, tanganya tanpa permisi menyusup di balik celana dalam LovaLova tersentak, jari tengah Caid masuk di intinya, cairannya mulai keluar, membasahi celana dalam yang Lova kenakan"C-caid!"Ketika Caid akhirnya melepaskannya, napas Lova tersengal-sengal. Dia mengangkat wajahnya, menatap Caid. Sungguh berbanding terbalik dengan ekspresi arogan pria itu"Jawabanmu mengecewakanku, Love"
"Apa yang kau lakukan, Caid. Kau tidak pernah bilang jika menjalin hubungan dengan orang seperti itu!!" Caid menjauhkan ponselnya dari telinga, sudah cukup lama sejak dia mendengar sang daddy semarah ini, Caid tebak pasti kata-kata ayahnya yang melaporkan hal ini pada CaltonMatanya menatap ponselnya dengan tenang, meskipun di seberang sana sang ayah terus berteriak. "Tenang, Dad," jawabnya dengan suara datar, seolah kemarahan ayahnya bukan sesuatu yang luar biasa. "Tidak ada kerugian disini""Kau gila? Dari semua wanita kenapa kau malah terlibat skandal dengan wanita yang punya hubungan dengan agen CIA?!!!" Suara ayahnya masih menggema di telinganya, penuh kemarahan yang nyaris tidak terkendali.Caid menghela napas, mengusap tengkuknya dengan malas. "Dia tidak berhubungan dengan siapa pun. Aku sudah memastikan semuanya. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.""Kau sudah terlalu banyak bermain-main, Caid! Ini bisa menghancurkanmu, dan semua yang kita bangun!"
New York Memorial HospitalCaid terus menggenggam tangan Lova, tidak peduli dengan noda darah di bajunya. Dokter dan perawat bergerak cepat, membawa Lova ke ruang operasi darurat."Dia kehilangan banyak darah" ujar salah satu dokter. "Kita harus segera melakukan tindakan."Caid mencoba mengikuti mereka, tetapi seorang perawat menghalangi jalannya. "Maaf, Tuan, Anda harus menunggu di luar.""Tidak! Aku tidak akan meninggalkannya!" sergah Caid, matanya dipenuhi kemarahan.Calton, yang baru tiba di rumah sakit bersama Ophelia, mendekati Caid dan meletakkan tangan di bahunya. "Biarkan mereka bekerja, Caid. Kau harus mempercayai mereka."Dengan enggan, Caid mundur, meskipun matanya tetap tertuju pada pintu ruang operasi. Dia merasa tidak berdaya, sesuatu yang jarang dia rasakan dalam hidupnya.“Harusnya aku langsung membunuh wanita jalang itu sejak dulu” Caid menggeram, menyalahkan dirinya sendiri. Dia menatap
Dor!Tembakan menggema di aula, menghentikan musik dan percakapan. Jeritan tamu terdengar bersahut-sahutan, menciptakan kepanikan yang langsung menyebar. Lova terhuyung, tangan kanannya bergerak memegang dadanya yang mulai berwarna merah."Lova!" teriak Caid, menangkap tubuhnya sebelum terjatuh. Dia memeluk istrinya erat-erat, ekspresinya campuran antara keterkejutan dan kemarahan.Calton segera bergerak, berlari ke arah mereka sementara Ophelia dengan sigap mencari perlindungan di balik meja, memandang situasi dengan tatapan penuh ketegangan.Para pengawal dengan badge Walton yang berada di sekitar aula langsung bereaksi. Salah satu dari mereka berhasil melumpuhkan pria bersenjata itu sebelum dia bisa melepaskan tembakan lagi."Lova, tetap bersamaku" bisik Caid panik, menekan luka di dada Lova untuk menghentikan pendarahan. Matanya menatap penuh rasa takut, sesuatu yang jarang terlihat dari seorang pria seperti dia.Lova mencoba tersenyum,
Hari pernikahan yang sangat ditunggu oleh Caid akhirnya tiba dengan segala kemegahannya. Sebuah aula besar di pusat kota New York disulap menjadi tempat yang tampak seperti diambil dari mimpi: lampu kristal bergemerlapan, bunga-bunga eksotis menghiasi setiap sudut, dan lantunan musik klasik mengalun lembut di udara.Lova berdiri di ruangan rias, mengenakan gaun putih yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Wajahnya yang cantik terlihat dingin, tapi ada sorot mata yang menunjukkan kegelisahan.Dia... .. ragu"Anda cantik sekali nona" ujar salah satu asisten riasnya.Lova hanya tersenyum tipis, lalu menatap bayangan dirinya di cermin. Dalam hati, ia masih bertanya-tanya apakah keputusan ini adalah langkah yang tepat. Tapi kemudian, bayangan Caid melintas di pikirannya, dan entah kenapa, hal itu memberinya sedikit keberanian.Di luar, Caid berdiri di ujung altar, mengenakan setelan hitam yang membuat auranya semakin mendominasi. Tatapannya terus tertu
Lova perlahan membuka matanya, kebingungannya terlihat jelas di wajahnya. Cahaya lampu ruangan rumah sakit terasa terlalu terang untuk matanya yang baru saja terbuka. Dia mencoba menggerakkan tangannya, tetapi merasakan genggaman kuat di tangannya."Love..." suara Caid terdengar lembut, namun penuh dengan nada emosional yang jarang ia tunjukkan. Matanya yang biasanya tajam kini dipenuhi rasa khawatir yang sulit disembunyikan. "Kau sadar."Lova mencoba tersenyum tipis, meskipun wajahnya terlihat lelah. "Apa yang terjadi?" tanyanya pelan, suaranya hampir seperti bisikan."Kau pingsan" jawab Caid sambil menatapnya dengan penuh perhatian.Lova terdiam sejenak, mengingat kilasan terakhir yang ia lihat sebelum kehilangan kesadaran. Gambar tubuh Robertino yang tergeletak di lantai kembali menghantui pikirannya. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan diri."Maaf" gumamnya pelan. "Aku tidak tahu apa yang terjadi... semuanya terlalu berat."C
“Jika ku katakan sekarang semuanya ada dalam kendali Caid Walton, apa kau akan percaya, Relova?”Lova merasa hatinya bergetar. Robertino menyebutkan nama Caid dengan cara yang jauh lebih dalam dan penuh makna. Ada kebenaran di balik kata-kata pria ini, meskipun dia tahu bahwa Robertino adalah seorang yang berbahaya dan manipulatif. Namun, semakin banyak yang diungkap, semakin banyak pertanyaan yang muncul dalam benaknya."Apa yang ingin kau katakan?" suara Lova menjadi lebih tegas, meski masih ada kekhawatiran yang mendera. "Kau mengungkapkan hal-hal yang tidak mudah dipercaya begitu saja.""Percayalah, Relova." Robertino menatapnya dengan mata yang penuh perasaan. "Caid Walton sudah memiliki kendali penuh atas semua permainan ini. Dia bukan hanya kepala kudeta, dia adalah otak di balik semuanya. Semua yang terjadi di sekitar kita... Ada dua sisi dari koin, dan kau baru saja terjebak di salah satunya. Pikirkan baik-baik, dia tidak mungkin bisa menggu
Lova sudah pernah mengatakan jika dia diterlantarkan oleh orang tuanya, kan? Hal itu benar, meskipun alasan dibalik penelantaran itu adalah karena ayahnya menjadi buronan CIATak mengherankan Lova bisa masuk CIA disaat usianya masih 16 tahun dan masuk unit khusus diusia 19 tahun, hal itu karena dirinya adalah putri agen terbaik, kemampuan ayahnya secara tidak langsung menurun pada Lova. Sayangnya, Logan tidak hanya mewariskan kemampuannya tapi juga pengkhinatan ayahnya“Aku ingat sekali dulu dia mengajak bekerja sama dengan Walton dan Kingston untuk mengulingkanku” kekehnya bernostalgia "Dan kau tahu apa yang terjadi pada mereka, bukan?Robertino kembali terkekeh sebelum menjawab “Walton kacau karena Calton dan Kingston dalam masalah karena bisnis narkobanya tercium keamanan dan kau jelas tahu apa yang terjadi pada ayahmu kan? Relova?”Lova menatap tajam Robertino, seakan kata-katanya menyentuh sisi yang dalam, yang hampir tak ingi
Montrouge, Paris, PerancisCaid mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi. Kali ini tujuan mereka bukanlah sebuah klub seperti dulu, melainkan pada sebuah villa terpencil di pinggiran kota Montrouge“Kau memindahkannya?” Lova bertanya pelan“Hmm, aku tak mau kau datang ke klub itu” Jawab CaidLova melirik Caid dari sudut matanya, alisnya sedikit terangkat. "Oh? Kenapa? Takut aku menggoda pelangganmu lagi?" tanyanya dengan nada penuh sindiran.Caid hanya tersenyum samar, matanya tetap fokus ketika gerbang dibuka oleh seorang penjaga. "Aku hanya tidak ingin kau berada di tempat seperti itu. Bukan tempat yang tepat untuk seseorang sepertimu" jawabnya dengan nada tenang tetapi tegas.“Tumben? Sebelumnya kau tidak bicara begini saat membawaku kesana tanpa pikir panjang”Caid memarkir mobil di depan villa, mesinnya dimatikan dengan gerakan santai tetapi penuh kontrol. Dia menatap Lova sejenak, senyum tipis di wajahnya. "Setelah melihatmu ditatap oleh para bajingan itu. Aku berubah pikiran"
“I’ll burn the world for you” ikrar caidLova terkekeh pelan “Ngomong-ngomong aku belum selesai bicara tadi” ucapnya membuat Caid menarik diri. Dia menatap Lova dengan alis yang sedikit terangkat."Belum selesai bicara? Apa lagi yang kau tuntut dariku, Love?" Lova menghela napas, mencoba menenangkan dirinya sebelum mengutarakan apa yang ia pikirkan. "Aku akan menikah denganmu, nanti" katanya pelan namun tegas. "Tapi ada syaratnya" lanjut Lova, tatapannya tajam seperti pisau. Caid melipat tangannya di dada, wajahnya tenang namun sedikit waspada. "Katakan saja. Apa pun itu, aku bisa mengatasinya.”Lova mengambil langkah mendekat, hanya beberapa inci dari wajah Caid. "Bawa aku menemui Robertino." Tatapan Caid langsung berubah, dingin dan tajam seperti baja. "Robertino?" gumamnya, suaranya hampir tak terdengar. "Untuk apa kau ingin bertemu dengan pemimpin monarki yang sudah dilengserkan itu?" “Aku ingin bertanya padanya” Jawab Lova, baru sekarang dia bisa memikirkan hal itu, sebelum
Lova tercengang, dia tak menyangka jika seorang Meredith adalah selingkuhan Calton WaltonSosok wanita yang selama ini ia anggap tegas, profesional, dan tak tersentuh ternyata memiliki hubungan kelam dengan ayah dari pria yang kini memonopoli pikirannya.“Dia tampak sangat… berbeda dari apa yang kuduga” gumam Lova, hampir berbicara kepada dirinya sendiri. Meredith seperti sosok ibu baginya, sejak awal bergabung dengan CIA, Meredith tak pernah terlibat dengan pria manapun, dia bahkan selalu menggunakan logika dalam menentukan pilihanTunggu...Ada beberapa momen saat Meredith tak bisa ditemui atau menghilang sesaat"Kau harus melihat wajahmu" Calton tertawa kecil melihat reaksi Lova yang tampak kaget sekaligus bingung. Dia berucap santai dengan senyum menyiratkan bahwa dia menikmati kekacauan kecil yang baru saja ia ciptakan.Caid, di sisi lain, memijat pelipisnya dengan ekspresi kesal. "Dad, serius? Haruskah kau selalu membuat semuanya terasa seperti lelucon murahan?"Calton melirik pu