Share

2. Caid Walton

President Private Suite Room, Hotel in Milan, Italia

03.32 AM

“Shit!” Pria dengan tubuh atletis itu mengumpat sambil mendorong wanita seksi yang berada di depannya dengan kasar. Mata abu-abu itu menatap penuh amarah

“Sudah ku bilang jangan pernah menciumku!” Pria itu mengusap bibirnya dengan punggung tangan, seakan jijik dengan tingkah wanita yang baru saja mencium dirinya. Membuat wanita itu menatapnya dengan bingung akan penolakan sang pria

“Bukankah kita harus berciuman sebelum bermain, Caid?” Seru wanita berpakaian minim yang sudah nyaris terbuka bagian depannya.

“Kau sudah melanggar persyaratan nya Georgina” Suara berat dan sarat akan aura berbahaya itu sontak membuat tubuh Georgina memanas. Matanya menatap sosok Caid dengan penuh damba, dia mendekat dengan sensual lalu memeluk tubuh Caid dan mengusap dada pria itu.

“Itu hanya ciuman Caid, kenapa kau sensitive sekali” Ucap Georgina dengan suara yang dibuat manja.

Jika pria lain mungkin mereka akan langsung menerjang Georgina secara spontan, terlebih lagi wanita itu sudah bermain pada area sensitif seorang pria yang masih tertutup pakaian.

Namun berbeda dengan Caid, pria yang sangat rupawan itu menyorotkan mata abu-abu dalamnya pada si wanita murahan yang baru saja di bawanya dari sebuah club ternama di Milan.

“Lepas!” Suara beratnya kembali terdengar

“Tidak mau! Kita bahkan belum memulainya” Georgina memeluk tubuh Caid semakin erat, dia menempelkan dadanya pada Caid, tubuhnya bergerak menggesek bagian sensitive tubuh Caid, merangsang pria itu agar mau menyerangnya.

“Pergi! Aku akan tetap mengirimkan uangnya padamu” Caid menggeram. Dia melepaskan tangan wanita itu dan menepisnya kasar hingga Georgina menampakan raut tak terima. Jelas dia tidak terima jika ini adalah kesempatan emasnya untuk menjadi wanita Caid Walton, pewaris Walton grup.

“Tapi kenapa? Kita belum melakukannya, kau juga belum puas denganku kan?” Tanya Georgina, dia menatap Caid dengan mengigit bibir merahnya, berusaha menggoda pria berkemeja hitam dengan dua kancing yang sengaja dibuka menampakan tubuh sempurna pria itu.

Caid mengabaikan Georgina, dia melangkah menuju balkon dan menyalakan rokoknya. Kepulan asap keluar dari bibir tebal seksi Caid, dia menghembuskan asap itu sambil menatap kota Milan yang sangat terang meskipun cuaca hari ini sangat dingin.

Kegiatan Caid terhenti kala sepasang tangan melingkari pinggangnya, tanpa menolehpun Caid tau jika itu adalah Georgina. “Disini dingin, ayo masuk, aku akan menghangatkanmu” Ucap Georgina dengan mendayu. Dia menempelkan tubuh terbukanya yang tidak mengenakan pakaian apapun agar aksinya berjalan lancar.

“Telingamu itu hanya pajangan ya?” tanya Caid tanpa menghentikan kegiatan menatap kota Milan sambil menyesap rokoknya.

“Telingaku masih berfungsi dengan baik apalagi jika bisa mendengar geramanmu yang terus menerjangku dengan kasar.. Uh aku bahkan tidak sanggup membayangkannya” Ucap Georgina dengan erotis, tubuhnya sudah terlalu mendamba sosok Caid. Pria paling sempurna yang menjadi incaran kaum hawa di benua eropa ini.

“Kau sangat liar dan keras kepala, Georgina. Dan kau tau…” Caid membalik tubuhnya, dia menatap Georgina dengan sebelah sudut bibir yang terangkat, membentuk seringaian yang justru membuat tubuh Georgina semakin meremang.

“Yes Caid” Jawab Georgina lemah terlebih saat tangan kekar mengelus lehernya

“Aku selalu menghabisi orang yang telah mengabaikan ucapanku!” Caid bisa melihat Georgina yang menegang. Dia menatap tubuh telanjang wanita itu dengan tatapan menilai lalu mendekatkan kepalanya di samping wajah Georgina. Tangannya mencengram leher wanita itu

“Harusnya kau pergi saat aku memaafkanmu karena melanggar persyaratan kita tapi kau justru mengabaikan ucapanku!” Bisik Caid pada telinga Georgina. Seringain Caid semakin melebar saat tubuh wanita itu mulai bergetar di bawah kendalinya. Dengan kasar dia menarik Georgina masuk ke dalam kamar hotel.

Dia melemparkan Georgina pada ranjang. Rintihan kesakitan wanita itu tak menghentikan aksi kejinya. Caid menyalurkan bakat melukisnya pada tubuh Georgina. Penyiksaan itu berakhir dengan seprai yang terpenuhi oleh warna merah, warna kesukaan seorang Caid Walton. Senyum lebar terpatri dibibirnya saat melihat sosok Georgina yang terkapar tak berdaya.

“Kau lemah sekali, sepertinya aku harus mencari hiburan baru” dia menampakan senyum meremehkan lalu menjauh dari ranjang sambil melepaskan kemejanya yang dipenuhi darah milik Georgina

“Brain, bersihkan kamar hotelku” Perintahnya pada seorang pria yang menunggu tepat di lorong kamar hotel. Caid melewati lorong hotel itu dengan santai, lorong itu sepi tanpa seorang pun dilantai tersebut.

-

Boston, Amerika

Seorang reporter di dalam telivisi tengah membacakan script mengenai berita kematian. Yang tewas adalah seorang wanita muda dan diketahui sebagai wanita penghibur. Namun bukan identitas sang korban yang menjadi bahan pembicaraan melainkan lokasi wanita itu yang ditemukan pada sebuah kamar hotel mewah milik keluarga Walton.

“Dimana Caid?” Pria berumur akhir 50 tahunan itu bertanya pada seorang pria berjas hitam yang berdiri di dekatnya

“Tuan muda belum kembali dari Milan, Tuan” Pria berjas itu menjawab pertanyaan dari tuannya

“Ah, anak itu” Pria tua itu melepaskan kacamatanya dan memijit pangkal hidungnya. Dia meraih ponselnya dan menelpon sang putra yang berada di negara bagian lain

“Kau benar-benar ingin membuatku bangkrut ya” Ucap Calton, Ayah Caid begitu panggilan telponnya terhubung

“Ayolah itu cuma sekali, Dad. Lagipula jika Daddy bangkrut pun aku masih bisa menghidupi Daddy” Jawab Caid di sebrang sana.

“Cuma sekali dalam bulan ini. Jangan lupa kau sudah banyak membuat nyawa orang menghilang, Caid” Calton menghela nafas. Ia tahu betul sudah berapa banyak nyawa yang diambil oleh putranya itu.

Caid tertawa pelan “Bukannya itu ajaran Daddy” Seru Caid dengan nada berat, ada banyak emosi tertahan dalam ucapannya namun tatapan pria itu sangat jauh berbeda dari perasaannya yang tersembunyi.

Calton terdiam. Dia memang mengajarkan Caid untuk memberantas para penganggu yang berani mengusiknya, didikan yang Calton berikan tergolong keras dan kejam karena Calton ingin putranya itu dapat berdiri dengan kokoh tanpa goyah. Namun dia tidak menyangka jika putranya yang sekarang itu bagaikan mesin pembunuh.

“Mommymu pasti akan marah jika tahu”

“Mommy tidak akan tahu Dad, selama aku ataupun Daddy tidak memberitahukannya”

“Dengar Caid, kau tidak seharusnya melakukan hal itu, kontrol emosimu dengan benar”

“Jadi maksud Daddy aku tidak bisa mengontrol emosi, begitu?” Tanya Caid dengan tawa kering. Calton menghela nafas, dia sendiri bahkan tidak bisa menebak bagaimana sosok asli putranya itu dan sekarang dia seolah ingin berperan sebagai ayah yang baik, hah lucu sekali.

“Jadi kapan kau akan mengambil alih perusahaan?” Akhirnya hanya pikirkan itulah yang mampu Calton ucapkan

Bukannya Dad sudah mengubah kepemilikan perusahaan atas namaku” Sela Caid

“Dari mana kau tau?” Tanya Calton dengan semirk di bibirnya

“Aku menerima undangan dari kampus, katanya untuk CEO Walton Grup” Seru Caid dengan nada mengejek hingga membuat Calton tertawa.

“Jadi kapan kau akan ke Boston?“

“Aku kembali lusa setelah membereskan beberapa hama yang sudah menggelapkan uangku disini”

“Baiklah, bersenang-senanglah di sana sebelum kau disibukkan dengan tugas sebagai CEO Walton grup” Pada akhirnya Calton selalu mendukung apa yang putranya lakukan bahkan jika putranya lebih memilih untuk menghabisi musuhnya secara langsung dari pada memasukkannya ke penjara.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status