Sorakan terdengar semakin keras saat Caid Walton menyelesaikan sambutannya, Lova ikut bertepuk tangan sebagai formalitas. Lova sadar jika dari tadi pria itu selalu menatap ke arahnya.
Lova tidak masalah dengan hal itu, yang mengusiknya bukanlah tatapan Caid melainkan pekikan wanita pirang di sebelahnya saat wanita itu mengira jika Caid menatap kearah mereka. Mau menjelaskan jika yang ditatap adalah dirinya? Hey nanti yang ada Lova dikira terlalu percaya diri.
Sang MC kembali berdiri di tengah panggung sambil terus berbicara. Lova tidak terlalu memperhatikan karena wanita pirang di sebelahnya itu sangat hiperaktif. Merasakan jika telinganya mulai sakit, Lova menghela nafas pelan dan menatap wanita itu
“Permisi” Wanita itu menoleh, dari tatapannya saja Lova bisa menebak jika wanita itu tau tentang dirinya ”Bisa pelankan sedikit suaramu, itu mengangguku” Lova berucap dengan nada manisnya
“Oh Lo-lova, maaf menganggumu” Wanita itu mencicit. Lova yakin jika dia baru sadar jika Lova sudah duduk di sebelahnya sejak 40 menit yang lalu.
“It’s oke” Lova kembali tersenyum tipis membuat wanita itu terperangah
“Aku Kimberly dan ini Sharon, aku tidak menyangka kita bertemu di sini”
“Aku Relova”
“Tentu saja aku tau. Siapa sih yang tidak kenal dengan jenius informatika kita ini” Kimberly berucap heboh membuat Sharon malu sendiri saat tatapan orang di sekitarnya tertuju pada mereka.
“Emm Kim, bisa pelankan suaramu” Bisik Sharon yang membuat Kimberly langsung menutup mulutnya. Lova kembali mengulas senyum tipis sama-samar dia mendengar MC yang menyebutkan sesuatu yang familiar di telinganya.
“Mari kita sambut mahasiswi kebanggaan Boston University yang berhasil menerima beasiswa…..” seruan MC tidak lagi Lova dengar karena rasa gugup yang melandanya, bukan, Lova bukan panik hanya saja perasaannya tiba-tiba menjadi buruk
“Relova Luvena” Namanya yang disebut disertai suara tepuk tangan membawa Lova melangkah menuju panggung.
Tidak ada rasa canggung yang Lova rasakan karena ini bukan pertama kali dirinya berada di panggung ini. Tetapi disisi lain Lova merasa akan ada sesuatu yang akan mengusiknya nanti.
Lova berdiri di atas panggung, mata hazelnya menyorot pada kursi khusus di bagian depan, pada seorang pria yang tadi menabraknya lalu beralih pada sosok wanita cantik berambut merah yang terus menatap pria itu.
“Penghargaan ini akan diberikan oleh Mr. Walton. Silahkan Mr. Walton”
Lova menatap pria yang kembali menaiki panggung lalu memberikan penghargaan sambil berjabat tangan. Tangan besar Caid menggenggam tangan mungil Lova agak lama, Lova tersenyum tipis. Jabatan tangan mereka baru terlepas saat sang MC memberikan arahan untuk berfoto bersama.
Tubuh keduanya hampir menempel dengan tangan Lova yang memegang sebuah buket bunga. Lova terdiam dengan tindakan pria itu yang merangkul pundaknya. Hanya sebentar namun mampu membuat Lova merasa tak nyaman. Mata abu-abu itu seperti mengintainya dan Lova harus lari darinya.
AH, mungkin inilah yang membuat parasaan Lova buruk sejak tadi.
Setelah sesi foto selesai, Lova turun dari panggung dan kembali ke kursinya. Dia duduk dengan diam mengabaikan Kimberly dan Sharon yang memekik bertanya padanya tentang bagaimana perasaannya saat melihat dan bersentuhan dengan Caid Walton.
Acara masih terus berlanjut hingga 30 menit kemudian sang MC pamit undur diri. Lova berdiri lalu keluar dari auditorium itu. Dia kembali ke apartemennya saat hari mulai gelap.
Lova membersihkan tubuhnya lalu duduk di depan meja rias. Dia memoleskan wajahnya dengan makeup dan terakhir meng-curly rambut coklatnya dan menggunakan dress satin berwarna abu-abu gelap tanpa lengan tak lupa kaki jenjangnya juga dihiasi dengan heels berwarna serupa.
Lova menuju basement dan menjalankan mobilnya ke tempat yang telah di janjikan. Begitu sampai di sana sosok Enid Malkin sudah menyambutnya. Lova tersenyum manis.
“Ku kira kau tidak jadi datang” ucap Enid sambil mengecup punggung tangan Lova
“Tidak mungkin aku membuat Tuan muda Malkin kecewa” Enid tersenyum lebar lalu mengusap pipi Lova pelan. Pria itu mengalihkan tangannya pada pinggang Lova dan mengajak wanita itu untuk duduk di kursi.
“Ini berlebihan” Ucap Lova. Dia menatap meja bundar yang ditata dengan nuansa romantis. Tak lupa sebotol wine yang Lova perkirakan sangat mahal.
“Tidak berlebihan untuk Angelic. Ngomong-ngomong aku sudah mengirimkan bayaran untuk waktu mu malam ini”
Lova tersenyum tipis “aku sudah menerimanya, itu terlalu banyak tapi terima kasih” Lova menuangkan wine pada gelas Enid, dentingan gelas keduanya terdengar bersamaan dengan Lova yang menyesap minuman itu dengan senyum tipisnya.
Makan malam mereka hampir selesai saat Enid berdiri dan izin ke toilet. Melihat kepergian Enid, Lova langsung meraih handphone Enid yang berada dimeja, dengan mudahnya Lova bisa mengetahui pin handphone Enid lalu mentransfer beberapa data yang Lova perlukan. Setelahnya Lova meletakan Handphone itu seperti sedia kala.
“Apa aku membuatmu menunggu?” Tanya Enid selang 5 menit setelah Lova meletakan Handphone itu
“Tidak sama sekali” Lova tersenyum tipis
Caid bergerak kearah Lova. Tangannya bergerak merangkul pinggang ramping wanita itu dengan erat
“Ingin bersamaku malam ini” Tanya Enid dengan maksud yang dapat Lova pahami.
Wanita itu tersenyum tipis lalu secara perlahan melepaskan tangan Enid yang berada di pinggangnya. Lova tersenyum tipis lalu mengecup pipi Enid.
“Angelic”
Panggilan itu membuat Enid menoleh ke belakang, menatap seorang pria yang berusia sekitar 45 tahunan di depannya. Jelas bukan Enid subjek yang ditatap pria itu melainkan wanita cantik dengan dress abu-abu disebelah Enid.
“Mr. Broker” Enid Menyapa dengan senyum tipis yang ditanggapi Mr. Broker dengan anggukan
“Sudah cukup bermainnya, Angelic.” Suara Mr. Broker terdengar berat
“Oh ya, kebetulan aku sudah selesai dengannya” Ucap Lova sambil tersenyum riang. Dengan santainya Lova berjalan kearah Mr. broker dan merangkul lengan pria itu mesra.
“Terima kasih atas makan malamnya, Pretty boy” ucap Lova. Mereka meninggalkan Enid di restoran itu.
“Ku kira kau tidak akan kemari? Bukannya kau sudah mendapatkan mainan baru?” Dayn bertanya pada seorang pria dengan setelan kemeja hitam yang dipadukan dengan celana kain dengan warna serupa yang baru saja duduk di kursi ruangan mereka, pria itu tidak lain adalah Caid WaltonSetelah sibuk dengan semua jadwalnya akhirnya Caid dapat merilekskan dirinya di club malam ini. Tapi jangan salah, tempat yang di datanginya bukanlah club malam biasa, tidak sembarang orang bisa masuk ke tempat seperti ini.Hanya orang-orang dari kelas tertentu yang bisa kemari, hal itu kerena semua identitas baik para tamu, penghibur, bahkan pelayan sekalipun menjadi rahasia yang tidak bisa disebarluaskan.“Dia sudah mati” Sahut Caid santai. Lucius tertawa pelan. Dia tau jika Georgina pasti akan memancing amarah seorang Caid“Sepertinya memang Jess yang terbaik untukmu” Sahut Dayn membuat Caid mendengus.“Sayang sekali kau pergi ke Italia kemarin padahal jika kau berada disini kau bisa bertemu Angelic” Seru Luci
Jemari Lova bergerak dengan lihai pada keyboard laptopnya. Cahaya dari layar laptop memantul di wajahnya, menampilkan fokus dan konsentrasi yang mendalam. Di layar, baris-baris kode dan jaringan keamanan sebuah perusahaan mulai muncul.Clik.. bunyi sistem keamanan yang berhasil Lova bobol membuat bibirnya tersenyum lebar"Mari kita lihat apa yang sebenarnya mereka sembunyikan." Lova bergumam dengan senyum lebar dibibirnyaLova telah menghabiskan waktu terakhir untuk mempelajari sistem keamanan perusahaan Malkin, sebuah perusahaan besar yang dikenal di bidang eksport import minyak bumi.Secara kebetulan Malkin bukan hanya nama perusahaan, tapi juga nama belakang dari pria yang berkencan dengannya minggu lalu. Atau lebih tepatnya, pria yang mengundangnya untuk makan malam dalam rangkaian "kencan" nya."Wah, mereka benar-benar buruk" gumam Lova, matanya menyipit saat dia mulai membaca beberapa dokumen yang dia temukan di folder rahasia perusahaan. Isi dokumen itu mengejutkan. Di dalamnya
“Ada apa denganmu?” tanya Dylan yang menyadari perubahan ekspresi wajah CaidCaid menoleh ke arah Dylan dengan mata yang berkilat. Jari telunjuknya bergerak mengetuk meja dengan seringaian lebar"Penyusup ini... dia sangat terampil. Melihat cara dia menembus sistem kita, dia bukan hacker sembarangan. Ini semacam seni baginya."Dylan mengerutkan kening, mencoba memahami maksud Caid sebelum akhirnya melotot tak percaya "Jadi kau kagum pada orang yang merugikan kita?"Caid mengangguk, masih dengan seringai di wajahnya. "Ya, harus kuakui, sedikit kagum. Banyak orang yang mencoba menembus sistem kita, baik kembaranmu, Enid maupun Lucius, kita semua memiliki kemampuan dan keamanan diatas rata-rata, tapi ini adalah salah satu serangan yang paling tajam yang pernah kulihat. Siapapun dia, dia tahu apa yang dia lakukan dan itu membuatku tertarik." Caid menjelaskan dengan panjang hingga membuat Dylan tercengang. Dylan terkejut karena Caid tidak pernah me
Relova Luvena, berbicara tentang masa lalunya hanya akan dipenuhi dengan kisah sedih. Kisah tentang bagaimana ayah dan ibunya selalu bertengker lalu berpisah. Kisah tentang Lova yang ditinggalkan hingga berakhir dipanti asuhan. Dan kisah bagaimana bodohnya dia mencintai seorang duda berusia 43 tahun, Aleandro Broker.Meskipun ditolak berulang kali, Lova tetap setia mencintai pria matang itu.Pesona Angelic mungkin berguna bagi banyak pria namun tidak untuk Andro, pria itu memperlakukan dirinya sebagai anak kecil yang butuh perlindungan dan itulah yang membuat Lova jatuh cinta padanya“Angelic” suara Chosette terdengar tegas, namun dengan nada yang lembut, membangunkan Lova dari lamunannya.Chosette, dengan penampilannya yang selalu rapi dan seksi, adalah sosok yang dikenal sangat tegas di klub. Dia adalah penanggung jawab yang memastikan semuanya berjalan lancar dan memastikan kerahasiaan semua pengunjung. Di balik sikapnya yang keras, Lova ta
Setelah malam mencekam itu, hari-hari Lova berlalu seperti biasa, dia tetap kuliah dan berusaha mempertahankan citra sebagai mahasiswa teladan. Namun, perbedaannya adalah selama seminggu ini, dia tidak mengunjungi klub malam lagi. Ketidakpastian dan ketakutan menghantui pikirannya, membuatnya merasa seperti terjebak dalam situasi yang tidak pernah diinginkannya.Ada sedikit penyesalan dalam diri Lova, menyesal karena tidak bisa menolong wanita itu.Satu-satunya hal yang membuatnya merasa sedikit lebih tenang adalah saat dia bisa berbicara dengan Aleandro, yang selalu memberikan nasihat dan dukungan. Meski Aleandro tidak bisa benar-benar memberikan perlindungan fisik, kehadirannya memberikan sedikit rasa aman.“Tenanglah, ini hanya paranoia” Lova berbisik pada dirinya sendiri, mencoba menenangkan hati yang berdebar.Telpon Lova berdering, kali ini Emily yang menelponnya“halo em, sudah menemukan pelakunya?” Tanya Lova
Lova mengenakan gaun hitam elegan yang dipilih dengan hati-hati, memastikan penampilannya sempurna. Dia tiba di hotel bintang lima, tempat yang mewah dan megah, mengindikasikan bahwa tamu yang akan dia temui malam ini benar-benar memiliki kekayaan dan pengaruh.Ketika dia memasuki lobi, seorang pelayan menyambutnya dan mengantarnya ke restoran eksklusif di lantai atas. Lova merasa sedikit gugup, meskipun dia terbiasa dengan situasi semacam ini. Namun, kali ini ada perasaan aneh yang mengganjal di hatinya, perasaannya menjadi buruk.Setibanya di restoran itu, Lova nampak terhenti sejenak, tempat itu sepi, tidak ada satupun pengunjung disana“Nona Angelic?” Seorang pelayan yang menyambutnya bertanya dengan sopan“Ya” Jawab Lova“Silahkan ikuti saya nona”Lova mengikuti pelayan yang memandunya menuju tangga melingkar yang mengarah pada lantai dua“Apa pria itu yang melakukannya? Membuat tempat in
Setelah pertemuan yang intens di restoran mewah, Lova kembali ke apartemennya dengan pikiran yang penuh. Meskipun dia berhasil mempertahankan perannya sebagai Angelic, ada momen-momen selama makan malam di mana dia merasa Caid terlalu dekat pada kebenaran.Bahkan saat dalam perjalanan pulang, Lova merasa harus memilih jalan memutar agar orang yang mengikutinya tidak tahu di mana lokasinya“Sungguh sial!!”Lova melepas sepatu hak tingginya dan melempar tasnya ke sofa "Apa pria itu tau?" gumamnya pada diri sendiriAndai Lova tahu jika pelanggannya malam ini adalah Caid Walton, Lova jelas akan langsung menolaknya. Caid bukan orang sembarangan; dia cerdas dan penuh perhatian, lebih dari yang Lova perkirakan sebelumnya.Lova berjalan ke jendela besar apartemennya, menatap keluar ke pemandangan kota yang gemerlap di malam hari. Lova mencoba menenangkan pikirannya, mengingat percakapan mereka dan mencari tahu bagian mana yang mungkin telah mem
Suasana hati Love cukup tenang, mengingat sudah 2 hari tidak ada masalah apapun dengan identitasnya sebagai Relova Luvena maupun Angelic. Dia juga tidak berurusan dengan Caid Walton, yang Lova tahu pria itu sibuk berkencan dengan seorang model, itulah berita yang sedang heboh belakangan iniLova masuk ke ruang rektor, dia disambut oleh rektor yang duduk di belakang meja kerjanya yang besar dan megah.“Ah, Lova, terima kasih sudah datang” Sang Rektor menyambut Lova dengan senyum ramahLova membalas dengan senyum yang tak kalah ramah, dia cukup akrab dengan Hudson karena pria itu tahu jika Lova adalah mahasiswa terbaik di universitas Boston ini.“Saya ingin meminta bantuanmu untuk sesuatu yang agak mendesak.”Lova mengangguk, mencoba terlihat profesional. “Tentu, Sir. Apa yang bisa saya bantu?” tanyanya sambil tersenyumRektor memulai dengan nada yang agak serius “Salah satu donatur besar k
Kediaman Hilton yang luas dan elegan terlihat semakin hidup hari itu. Di ruang tengah yang mewah, suara tawa dan obrolan lembut bercampur dengan tangisan kecil bayi yang sesekali terdengar.“Akhirnya kalian datang juga. Lumia sudah menunggu” kata Dylan sambil mengarahkan pandangannya ke Matthias. “Dan siapa ini? Calon kakak besar yang gagah, ya?”Matthias tersenyum lebar, jelas sekali jika dia senang mendapat perhatian dan menjadi pusat perhatian “Uncle Dylan! Mana bayinya?” tanyanya tanpa basa-basi.Dylan tertawa kecil dan mengangguk. “Di sana, dengan Aunty. Tapi hati-hati, ya. Dia masih sangat kecil.”Matthias mengangguk penuh semangat. Dengan panduan Lova, ia berjalan ke arah sofa besar tempat Lumia duduk. Wanita muda itu terlihat anggun meskipun kelelahan, mengenakan gaun sederhana yang nyaman. Di pelukannya, seorang bayi mungil dengan kulit kemerahan sedang tidur nyenyak.“Lova, terima kasih sudah datang” sapa Lumia dengan senyum lembut. Matanya berbinar saat melihat Matthias mend
Matahari bersinar hangat di atas taman hijau yang luas. Angin lembut menerpa rambut Lova yang tergerai, membuatnya merasa lebih damai dari biasanya. Dia duduk di atas tikar piknik yang empuk, mengenakan gaun longgar yang menonjolkan perut besarnya. Di sebelahnya, Matthias tertidur pulas dengan kepala di pangkuannya, tangannya kecilnya masih menyentuh perut Lova seolah sedang mencoba merasakan gerakan adik kecilnya.Lova tersenyum lembut, mengusap rambut Matthias dengan penuh kasih. Pandangannya lalu beralih ke Caid, yang duduk di sebelahnya, tangan kekarnya melingkar di pinggangnya dengan erat. Matanya yang gelap tampak lebih lembut hari itu, penuh perhatian saat menatap istri dan anaknya."Dia sudah tidak sabar, ya," gumam Caid sambil menyentuh tangan Matthias yang masih berada di perut Lova. "Setiap hari dia bertanya kapan adiknya keluar."Lova terkekeh pelan, matanya bersinar bahagia. "Dia memang sangat antusias. Tapi aku juga tidak kalah senangnya. Akhirnya,
Lova duduk di kursi makan dengan ekspresi tenang, tetapi jantungnya berdebar kencang. Dia telah menyiapkan sarapan untuk Matthias, yang sedang menggambar sesuatu di buku kecilnya. Caid duduk di seberangnya, membaca laporan di tablet, terlihat seperti biasa: tenang, mendominasi, dan mengendalikan segalanya."Aku hamil" kata Lova tiba-tiba, memecah keheningan dengan suaranya yang terdengar datar tapi penuh tekad.Caid menghentikan gerakan tangannya yang hendak mengambil secangkir kopi. Mata gelapnya beralih dari tablet ke wajah Lova, terpaku pada ucapan yang baru saja keluar dari bibirnya. Sekilas, ia tampak bingung, seolah otaknya membutuhkan waktu untuk mencerna informasi itu.“Aku hamil” Lova mengulang lagiKeheningan yang terjadi setelah kata-kata itu terasa berat, seperti udara di sekitar mereka mendadak berubah. Caid menatap Lova lekat-lekat, ekspresi wajahnya sulit ditebak. Jari-jarinya yang masih menggenggam tablet perlahan melonggar, hi
Caid menghentakan miliknya, memompa inti Lova hingga sampai pada klimaksnya. Dihentakannya dalam-dalam pinggangnya sekali lagi, tubuh mereka bergetar dalam gelombang gairah yang saling memenuhi.Ditariknya benda panjang nan berurat itu kemudian melepaskan pengaman yang berisi cairan putih kental miliknya.Keringat menetes di pelipis keduanya, namun hanya satu yang terlihat puas. Lova mendengus keras, matanya menyipit tajam saat menatap pria di atasnya.“Kenapa kau selalu main aman?” Lova bertanya dengan nada kesal, napasnya masih memburu. “Aku ingin anak lagi, Caid. Apa kau bahkan memikirkannya?”Caid menundukkan kepala, menyentuh wajah Lova dengan lembut, tetapi senyumnya yang santai hanya membuat Lova semakin frustrasi. “Matthias baru tiga tahun, Love. Kau serius ingin anak lagi sekarang?”“Ya! Aku serius” tegas Lova, menyingkirkan tangan Caid dari wajahnya.Caid tertawa kecil mendengar
3 tahun kemudian..."Di mana Matthias?" Lova memutar tubuhnya, mencari putranya yang seharusnya berada di kamar bermain.Seorang pelayan mendekat dengan ekspresi cemas. "Nyonya, saya baru saja melihat tuan muda keluar melalui pintu belakang."Jantung Lova berdebar keras. Matthias jarang sekali pergi tanpa memberitahu. Ia tahu putranya yang berusia empat tahun itu pintar dan penuh rasa ingin tahu, tapi naluri keibuannya langsung membuatnya khawatir.Lova melangkah keluar dengan tergesa, sepatu haknya membuat suara berirama di lantai. Ketika ia mencapai taman belakang, ia mendengar suara sesuatu yang mencurigakan.Bang!Lova terhenti. Suara itu adalah tembakan—dan itu berasal dari arah taman yang lebih dalam. Jantungnya seolah berhenti sejenak. Tanpa berpikir panjang, ia berlari ke arah suara itu.Di sana, Matthias berdiri dengan sebuah pistol kecil di tangannya. Tubuh mungilnya berdiri tegak, matanya yan
Setelah pernikahan yang menguras emosi, Dylan membawa Lumia ke sebuah tempat yang sejak awal ia siapkan dengan hati-hati. Sebuah mobil meluncur melewati jalan kecil yang diapit oleh pepohonan, sebelum akhirnya berhenti di depan sebuah rumah yang megah namun terasa hangat.Lumia turun dari mobil dengan perlahan, matanya terfokus pada rumah di depannya. Ia berdiri diam beberapa saat, mencoba mencerna perasaannya. Rumah itu terasa aneh baginya—familiar namun seperti mimpi yang lama terkubur.“Dylan...” panggilnya pelan, suaranya hampir bergetar. “Ini...?”Dylan mendekatinya, menyelipkan tangan ke pinggangnya dengan lembut. “Masuklah. Lihatlah lebih dekat.”Lumia mengikuti Dylan memasuki rumah itu, langkahnya terasa berat karena perasaan gugup yang membuncah. Begitu pintu utama terbuka, ia langsung disambut oleh interior yang begitu detail, hingga membuat dadanya berdebar kencang. Setiap sudut rumah itu terasa seperti
Kamar Lumia dipenuhi aroma bunga segar dan suara gemerisik sutra. Lumia berdiri di depan cermin besar, mengenakan gaun putih sederhana namun elegan, dengan renda yang menjuntai hingga lantai. Cahaya matahari pagi menyinari rambutnya yang dibiarkan tergerai, memberikan kilauan keemasan yang membuatnya tampak memukau."Kau terlihat seperti malaikat, sangat cantik" ujar seorang wanita yang membantu menyempurnakan veil pengantinnya.Lumia hanya tersenyum kecil, tetapi ada kilatan gugup di matanya.Pintu terbuka, ayahnya, Petrus, muncul dengan setelan kemeja putih rapi yang dipadukan dengan jas abu-abu tua. Wajahnya tampak serius, tetapi sorot matanya menyiratkan kebanggaan yang sulit disembunyikan.“Lumia” panggilnya lembut, suaranya sedikit serak. Ia berjalan mendekat, memperhatikan putrinya yang kini terlihat begitu dewasa dan cantik“Papa..” Lumia berseru lirih. Rasanya dia hendak menangis namun dia tak enak dengan perias yan
Lumia menatap cincin di jari manisnya dengan campuran perasaan yang sulit dijelaskan. Cincin itu tidak berkilau mewah, tetapi desainnya elegan, seolah-olah Dylan tahu bahwa ia tidak menyukai sesuatu yang berlebihan.Namun, yang lebih membuatnya gelisah adalah momen ketika cincin itu dipakaikan ke jarinya—begitu mendadak, tanpa persiapan, tanpa janji, dan di depan ayahnya yang sakit.Ia menghela napas panjang, pikirannya melayang ke detik-detik itu.Dylan berdiri di hadapannya dengan raut serius, sementara Petrus mengangguk kecil, memberikan persetujuannya tanpa banyak bicara. Lumia bahkan tidak sempat memproses semuanya sebelum Dylan berlutut, mengeluarkan cincin dari sakunya, dan menatap matanya dengan intens.Lumia bahkan belum mengenal siapa pun dari keluarga Dylan. Orang tua pria itu, saudara, bahkan masa lalunya yang lebih dalam—semuanya adalah misteri baginya. Lumia mengerti bahwa Dylan bukan tipe orang yang suka membuka diri, tetapi jik
Lumia tak bisa tenang selama disekolah, karena itu baru 10 menit sejak kelas pertama, dia langsung izin untuk pulang untuk menemani papa-nya. Namun apa yang didengarnya setelah sampai dirumah sungguh membuat dunia terasa hampaPapanya sakit dan Lumia tak tahu sama sekali“Mia...”“Apa yang sebenarnya terjadi, Pa?” tanyanya akhirnya, suaranya serak, hampir berbisik. Air mata yang ia tahan mulai memburamkan pandangannya. “Kenapa Papa tidak bilang apa-apa padaku?”Petrus menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan lelah. “Papa tidak ingin kau khawatir, sayang. Kau masih muda, masih punya banyak hal yang harus kau pikirkan. Papa tidak ingin menjadi beban untukmu.”“Beban?” suara Lumia meninggi, nada protes yang bercampur kesedihan. “Papa bukan beban! Aku ini anak Papa, aku berhak tahu! Aku bisa membantu! Kenapa Papa malah menyembunyikan ini dariku? Apa papa akan pergi t