New york, USA
Lova menggandeng tangan Caid memasuki ballroom sebuah hotel mewah yang Lova yakini 100 persen adalah milik keluarga Walton. Hal itu karena nama hotel ini adalah Wtons, singkatan dari nama belakang Caid
Ballroom itu dipenuhi dengan para tamu yang mengenakan gaun dan jas glamor. Ketika mereka memasuki ruangan, suasana seketika berubah, dan banyak mata tertuju pada mereka.
Caid, dengan sikap percaya dirinya yang khas dan gaun Lova yang anggun, membuat mereka menjadi pusat perhatian malam itu.
Di tengah kerumunan, Caid mengangkat tangan dan melambai kepada seorang pria tua yang berdiri bersama beberapa orang lainnya. Pria itu, Calton, adalah ayah Caid. Calton adalah pria yang berwibawa dengan rambut abu-abu dan mata yang tajam, mengenakan jas yang elegan namun sederhana.
“Dad!” seru Caid sambil melangkah mendekat
Calton tersenyum dan mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Caid. “Caid, putraku. Selamat
Ting..Dentingan gelas terus beradu, memenuhi ruangan dengan suara yang halus namun penuh dengan kemewahan. Lova tetap berada di sisi Caid, mengikuti setiap gerakannya dengan penuh ketenangan. Saat itu, seorang pria lain mendekati mereka, membawa dua gelas minuman berkilauan. Dia mengulurkan salah satunya kepada Caid dengan senyum penuh hormat.“Mr. Walton, selamat atas pencapaianmu” katanya sambil memberikan gelas tersebut.Lova dengan cepat mengambil gelas itu dari tangannya “Izinkan aku yang meneguknya lebih dulu” ucap Lova, suaranya lembut namun tegas.“Oh silahkan..” Pria yang membawa gelas itu menatap Lova dengan senyum senang.Mereka nampak berbincang sejenak sebelum pria itu pergi meninggalkan mereka“Namanya Riki Yamazaki, dia keturunan Jepang” Caid mengenalkan pria yang tadi menyapanyaLova mengangguk pelan. Sejak tadi Caid memang selalu memberitahu nama orang-orang yang menyap
“Hidupmu terlalu merepotkan” celetuk Lova dengan nada setengah bercanda setelah Steve dan putrinya menjauh.Caid tertawa kecil, senyum tpis yang mengejek menghiasi wajahnya yang tampan. “Bukankah hidupmu jauh lebih merepotkan” Caid menjeda sejenak, dia meraih gelas alcohol yang dibawakan oleh seorang pelayan “Hidup dengan dua identitas yang berbeda”“Aku menyukainya” Jawab Lova singkatCaid tersenyum tipis lalu menyesap minumannya dan Lova memperhatikan Caid“Bukannya kau bilang ingin tetap sadar?” Tanyanya“Satu gelas tidak akan membuatku mabuk”Lova mengangkat alisnya dengan sedikit skeptis, tetapi tidak berkata apa-apa. Dia tahu Caid cukup kuat untuk menahan satu atau bahkan puluhan gelas minuman tanpa kehilangan kendali, namun tetap saja, dia tidak bisa menahan diri untuk tidak mengamati gerak-gerik Caid dengan lebih seksama.“Yakin? Kau tampaknya cukup
Aleandro Broker, pria berusia 43 tahun itu adalah rekan kerja Calton, ayah Caid. Pria itu datang sebagai CEO perusahaan yang memenangkan tender untuk perumahan elite yang Caid resmikan malam iniDengan setelan jas mahal dan aura old money, Aleandro berjalan menuju sang tokoh utama malam ini, Caid Walton.Awalnya ekspresi wajahnya tenang dan nampak ramah, namun ketika melihat siapa wanita yang mendampingi Caid, ekspresi ramahnya digantikan dengan amarah dan kekesalanLangkahnya menuju Caid semakin cepat dan kuat“Selamat malam Mr Walton” Aleandro menyapa tetapi pandangannya fokus pada Lova“Aleandro…” Lova bergumam pelan namun Caid masih bisa mendengarnyaCaid, yang tidak melewatkan perubahan ekspresi Aleandro dan kegelisahan Lova, tersenyum tipis.Bukankah Aleandro Broker ini salah satu pelanggan Angelic, bagaimana perasaan pria itu melihat Angelic berakhir dengannya, pasti sangat menyenangkan.De
Lova tetap melakukan tugasnya dengan menggantikan Caid minum namun kali ini dia minum bukan untuk formalitas belaka, melainkan untuk melenyapkan bayang-bayang Aleandro dipikirannya.Hati Lova sakit.Aleandro menolaknya.Dan seharusnya Lova tahu jika dari dulu Aleandro hanya menganggapnya anak kecil yang harus dijaga, bukan wanita sejati seperti julukannya Angelic, sang primadona“Hey, kau masih sadar?” Suara Caid sayup-sayup di pendengaran Lova, tetapi kata-katanya seperti menghilang dalam kekacauan pikirannya.“Angelic”“Caid?” Lova berbalik, tetapi pandangannya samar. “Kenapa kau di sini? Kenapa kau tidak pergi bersama paman tua itu?” Suaranya sedikit terngangah, memunculkan kekacauan dalam dirinya.Caid menatapnya “Jangan bilang kau sudah minum terlalu banyak. Kau tidak boleh begini, masih ada tamu yang akan menyapa” ucapnya, berusaha menahan Lova agar tidak terjatuh.
‘Terima kasih... ternyata kau lebih baik dari yang kukira’“Sepertinya ada yang sangat bahagia malam ini”Caid tersentak dari pikirannya ketika Dylan menepuk pundaknya, menariknya kembali ke kenyataan. Senyuman jahil terukir di wajah Dylan, sementara sahabat-sahabat lainnya, Dayn, Lucius dan Enid duduk mengelilingi meja, tampak penasaran dengan apa yang baru saja terjadi.“Apa?” Caid memasang ekspresi tenang dan nada datarnya“Jangan berpura-pura, Caid. Kami semua melihat caramu keluar dari kamar itu dengan ekspresi yang... ya, kita semua tahu apa artinya,” kata Dayn, terkekeh pelan.Caid mengerutkan kening, merasa sedikit terganggu dengan godaan teman-temannya. “Lalu?” jawabnya datar“Ck, tidak menyenangkan sekali” Lucius berdecak sedangkan Enid tetap diam sambil menahan kesal“bagaimana rasanya?” tanya Dylan“Manis”
Lova terbangun kala merasakan perih di perutnya. Tubuhnya terasa lemas dan kepalanya terasa berat seolah-olah dunia berputar di sekitarnya.Dengan susah payah, dia duduk di tepi ranjang, mencoba menenangkan diri, tapi rasa mual yang semakin parah membuatnya terpaksa bergegas mencari kamar mandi.Di sana, Lova muntah dengan perasaan yang bercampur aduk antara ketidaknyamanan fisik dan emosi yang kacau. Ketika akhirnya rasa mual itu mereda, dia berdiri di depan wastafel, menatap cermin, mencoba memahami apa yang terjadi.“Kau bodoh Lova” Lova memaki dirinya sendiri yang terus minum hingga berharap bisa melupakan AleandroTatapannya kemudian beralih ke sekitar kamar mandi yang luas dan mewah, perlahan menyadari bahwa ini bukanlah tempat yang bisa dia kunjungiLova berjalan kembali ke kamar, memperhatikan dekorasi mewah dan detail-detail elegan yang membuat ruangan itu terasa seperti milik seorang konglomerat. Kemudian ingatannya mulai puli
Di sebuah mansion yang sangat mewah itu terdapat seorang wanita yang tengah asik menyesap wine-nya. Suara pintu yang terbuka membuat bibirnya yang dilapisi lipstick berwarna merah menyala itu tersenyum lebar.Dengan cepat wanita itu meletakkan gelas kacanya dimeja dan mendekati sosok pria rupawan yang baru memasuki kamar tempatnya berada“Aku sudah menunggumu” Ucap wanita itu sambil membuka bathrobe nya, menampakan tubuh yang tidak tertutupi apapun. Ia berjalan mendekati Caid dengan tatapan menggoda sambil memainkan tangannya pada tubuhnya sendiri, mengedipkan sebelah mata dan menggigit bibirnya, menggoda sosok pria tampan di depannya ini.“Bagaimana pestanya kemarin?” tanyanya yang tidak mendapatkan jawaban dari Caid, pria itu justru mengeluarkan kalimatnya yang membuatnya tertegun“Kau harus meninggalkan tempat ini sebelum malam, Jess” Seruan datar dan dingin itu membuat langkah wanita itu berhenti sebelum kembali mel
DOR!Suara tembakan menggelegar di kamar itu, menggema di antara dinding-dinding mewah. Jess terhuyung. Dia jatuh ke lantai, napasnya tersengal-sengal, matanya masih menatap Caid dengan tatapan tak percaya.Caid menurunkan pistolnya perlahan, seringai lebar terpatri dibibirnya “Lemah, sepertinya aku keliru memilihmu dulu”“M-maaf” Jess merintih, dia bersyukur Caid tidak benar-benar menembaknya melainkan menembak atap mansionnyaCaid mendekat, seringai lebar masih menghiasi wajahnya. "Kau bilang aku tidak akan dicintai?" ucapnya dengan nada mengejek, sambil menunduk mendekati Jess yang hampir lemas tak berdaya. "Banyak wanita yang menginginkanku, Jess. Mereka semua berebut untuk bisa berada di posisimu. Kau bukanlah yang pertama, dan tentu saja bukan yang terakhir.”Jess mencoba membuka mulutnya, seakan ingin mengucapkan sesuatu, tapi suaranya hanya keluar sebagai bisikan lemah."Namun, sayangnya bagi mereka…" lanjut Caid, suaranya kini lebih rendah dan mengintimidasi, "Aku hanya memili
Kediaman Hilton yang luas dan elegan terlihat semakin hidup hari itu. Di ruang tengah yang mewah, suara tawa dan obrolan lembut bercampur dengan tangisan kecil bayi yang sesekali terdengar.“Akhirnya kalian datang juga. Lumia sudah menunggu” kata Dylan sambil mengarahkan pandangannya ke Matthias. “Dan siapa ini? Calon kakak besar yang gagah, ya?”Matthias tersenyum lebar, jelas sekali jika dia senang mendapat perhatian dan menjadi pusat perhatian “Uncle Dylan! Mana bayinya?” tanyanya tanpa basa-basi.Dylan tertawa kecil dan mengangguk. “Di sana, dengan Aunty. Tapi hati-hati, ya. Dia masih sangat kecil.”Matthias mengangguk penuh semangat. Dengan panduan Lova, ia berjalan ke arah sofa besar tempat Lumia duduk. Wanita muda itu terlihat anggun meskipun kelelahan, mengenakan gaun sederhana yang nyaman. Di pelukannya, seorang bayi mungil dengan kulit kemerahan sedang tidur nyenyak.“Lova, terima kasih sudah datang” sapa Lumia dengan senyum lembut. Matanya berbinar saat melihat Matthias mend
Matahari bersinar hangat di atas taman hijau yang luas. Angin lembut menerpa rambut Lova yang tergerai, membuatnya merasa lebih damai dari biasanya. Dia duduk di atas tikar piknik yang empuk, mengenakan gaun longgar yang menonjolkan perut besarnya. Di sebelahnya, Matthias tertidur pulas dengan kepala di pangkuannya, tangannya kecilnya masih menyentuh perut Lova seolah sedang mencoba merasakan gerakan adik kecilnya.Lova tersenyum lembut, mengusap rambut Matthias dengan penuh kasih. Pandangannya lalu beralih ke Caid, yang duduk di sebelahnya, tangan kekarnya melingkar di pinggangnya dengan erat. Matanya yang gelap tampak lebih lembut hari itu, penuh perhatian saat menatap istri dan anaknya."Dia sudah tidak sabar, ya," gumam Caid sambil menyentuh tangan Matthias yang masih berada di perut Lova. "Setiap hari dia bertanya kapan adiknya keluar."Lova terkekeh pelan, matanya bersinar bahagia. "Dia memang sangat antusias. Tapi aku juga tidak kalah senangnya. Akhirnya,
Lova duduk di kursi makan dengan ekspresi tenang, tetapi jantungnya berdebar kencang. Dia telah menyiapkan sarapan untuk Matthias, yang sedang menggambar sesuatu di buku kecilnya. Caid duduk di seberangnya, membaca laporan di tablet, terlihat seperti biasa: tenang, mendominasi, dan mengendalikan segalanya."Aku hamil" kata Lova tiba-tiba, memecah keheningan dengan suaranya yang terdengar datar tapi penuh tekad.Caid menghentikan gerakan tangannya yang hendak mengambil secangkir kopi. Mata gelapnya beralih dari tablet ke wajah Lova, terpaku pada ucapan yang baru saja keluar dari bibirnya. Sekilas, ia tampak bingung, seolah otaknya membutuhkan waktu untuk mencerna informasi itu.“Aku hamil” Lova mengulang lagiKeheningan yang terjadi setelah kata-kata itu terasa berat, seperti udara di sekitar mereka mendadak berubah. Caid menatap Lova lekat-lekat, ekspresi wajahnya sulit ditebak. Jari-jarinya yang masih menggenggam tablet perlahan melonggar, hi
Caid menghentakan miliknya, memompa inti Lova hingga sampai pada klimaksnya. Dihentakannya dalam-dalam pinggangnya sekali lagi, tubuh mereka bergetar dalam gelombang gairah yang saling memenuhi.Ditariknya benda panjang nan berurat itu kemudian melepaskan pengaman yang berisi cairan putih kental miliknya.Keringat menetes di pelipis keduanya, namun hanya satu yang terlihat puas. Lova mendengus keras, matanya menyipit tajam saat menatap pria di atasnya.“Kenapa kau selalu main aman?” Lova bertanya dengan nada kesal, napasnya masih memburu. “Aku ingin anak lagi, Caid. Apa kau bahkan memikirkannya?”Caid menundukkan kepala, menyentuh wajah Lova dengan lembut, tetapi senyumnya yang santai hanya membuat Lova semakin frustrasi. “Matthias baru tiga tahun, Love. Kau serius ingin anak lagi sekarang?”“Ya! Aku serius” tegas Lova, menyingkirkan tangan Caid dari wajahnya.Caid tertawa kecil mendengar
3 tahun kemudian..."Di mana Matthias?" Lova memutar tubuhnya, mencari putranya yang seharusnya berada di kamar bermain.Seorang pelayan mendekat dengan ekspresi cemas. "Nyonya, saya baru saja melihat tuan muda keluar melalui pintu belakang."Jantung Lova berdebar keras. Matthias jarang sekali pergi tanpa memberitahu. Ia tahu putranya yang berusia empat tahun itu pintar dan penuh rasa ingin tahu, tapi naluri keibuannya langsung membuatnya khawatir.Lova melangkah keluar dengan tergesa, sepatu haknya membuat suara berirama di lantai. Ketika ia mencapai taman belakang, ia mendengar suara sesuatu yang mencurigakan.Bang!Lova terhenti. Suara itu adalah tembakan—dan itu berasal dari arah taman yang lebih dalam. Jantungnya seolah berhenti sejenak. Tanpa berpikir panjang, ia berlari ke arah suara itu.Di sana, Matthias berdiri dengan sebuah pistol kecil di tangannya. Tubuh mungilnya berdiri tegak, matanya yan
Setelah pernikahan yang menguras emosi, Dylan membawa Lumia ke sebuah tempat yang sejak awal ia siapkan dengan hati-hati. Sebuah mobil meluncur melewati jalan kecil yang diapit oleh pepohonan, sebelum akhirnya berhenti di depan sebuah rumah yang megah namun terasa hangat.Lumia turun dari mobil dengan perlahan, matanya terfokus pada rumah di depannya. Ia berdiri diam beberapa saat, mencoba mencerna perasaannya. Rumah itu terasa aneh baginya—familiar namun seperti mimpi yang lama terkubur.“Dylan...” panggilnya pelan, suaranya hampir bergetar. “Ini...?”Dylan mendekatinya, menyelipkan tangan ke pinggangnya dengan lembut. “Masuklah. Lihatlah lebih dekat.”Lumia mengikuti Dylan memasuki rumah itu, langkahnya terasa berat karena perasaan gugup yang membuncah. Begitu pintu utama terbuka, ia langsung disambut oleh interior yang begitu detail, hingga membuat dadanya berdebar kencang. Setiap sudut rumah itu terasa seperti
Kamar Lumia dipenuhi aroma bunga segar dan suara gemerisik sutra. Lumia berdiri di depan cermin besar, mengenakan gaun putih sederhana namun elegan, dengan renda yang menjuntai hingga lantai. Cahaya matahari pagi menyinari rambutnya yang dibiarkan tergerai, memberikan kilauan keemasan yang membuatnya tampak memukau."Kau terlihat seperti malaikat, sangat cantik" ujar seorang wanita yang membantu menyempurnakan veil pengantinnya.Lumia hanya tersenyum kecil, tetapi ada kilatan gugup di matanya.Pintu terbuka, ayahnya, Petrus, muncul dengan setelan kemeja putih rapi yang dipadukan dengan jas abu-abu tua. Wajahnya tampak serius, tetapi sorot matanya menyiratkan kebanggaan yang sulit disembunyikan.“Lumia” panggilnya lembut, suaranya sedikit serak. Ia berjalan mendekat, memperhatikan putrinya yang kini terlihat begitu dewasa dan cantik“Papa..” Lumia berseru lirih. Rasanya dia hendak menangis namun dia tak enak dengan perias yan
Lumia menatap cincin di jari manisnya dengan campuran perasaan yang sulit dijelaskan. Cincin itu tidak berkilau mewah, tetapi desainnya elegan, seolah-olah Dylan tahu bahwa ia tidak menyukai sesuatu yang berlebihan.Namun, yang lebih membuatnya gelisah adalah momen ketika cincin itu dipakaikan ke jarinya—begitu mendadak, tanpa persiapan, tanpa janji, dan di depan ayahnya yang sakit.Ia menghela napas panjang, pikirannya melayang ke detik-detik itu.Dylan berdiri di hadapannya dengan raut serius, sementara Petrus mengangguk kecil, memberikan persetujuannya tanpa banyak bicara. Lumia bahkan tidak sempat memproses semuanya sebelum Dylan berlutut, mengeluarkan cincin dari sakunya, dan menatap matanya dengan intens.Lumia bahkan belum mengenal siapa pun dari keluarga Dylan. Orang tua pria itu, saudara, bahkan masa lalunya yang lebih dalam—semuanya adalah misteri baginya. Lumia mengerti bahwa Dylan bukan tipe orang yang suka membuka diri, tetapi jik
Lumia tak bisa tenang selama disekolah, karena itu baru 10 menit sejak kelas pertama, dia langsung izin untuk pulang untuk menemani papa-nya. Namun apa yang didengarnya setelah sampai dirumah sungguh membuat dunia terasa hampaPapanya sakit dan Lumia tak tahu sama sekali“Mia...”“Apa yang sebenarnya terjadi, Pa?” tanyanya akhirnya, suaranya serak, hampir berbisik. Air mata yang ia tahan mulai memburamkan pandangannya. “Kenapa Papa tidak bilang apa-apa padaku?”Petrus menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan lelah. “Papa tidak ingin kau khawatir, sayang. Kau masih muda, masih punya banyak hal yang harus kau pikirkan. Papa tidak ingin menjadi beban untukmu.”“Beban?” suara Lumia meninggi, nada protes yang bercampur kesedihan. “Papa bukan beban! Aku ini anak Papa, aku berhak tahu! Aku bisa membantu! Kenapa Papa malah menyembunyikan ini dariku? Apa papa akan pergi t