Ting..
Dentingan gelas terus beradu, memenuhi ruangan dengan suara yang halus namun penuh dengan kemewahan. Lova tetap berada di sisi Caid, mengikuti setiap gerakannya dengan penuh ketenangan. Saat itu, seorang pria lain mendekati mereka, membawa dua gelas minuman berkilauan. Dia mengulurkan salah satunya kepada Caid dengan senyum penuh hormat.
“Mr. Walton, selamat atas pencapaianmu” katanya sambil memberikan gelas tersebut.
Lova dengan cepat mengambil gelas itu dari tangannya “Izinkan aku yang meneguknya lebih dulu” ucap Lova, suaranya lembut namun tegas.
“Oh silahkan..” Pria yang membawa gelas itu menatap Lova dengan senyum senang.
Mereka nampak berbincang sejenak sebelum pria itu pergi meninggalkan mereka
“Namanya Riki Yamazaki, dia keturunan Jepang” Caid mengenalkan pria yang tadi menyapanya
Lova mengangguk pelan. Sejak tadi Caid memang selalu memberitahu nama orang-orang yang menyap
“Hidupmu terlalu merepotkan” celetuk Lova dengan nada setengah bercanda setelah Steve dan putrinya menjauh.Caid tertawa kecil, senyum tpis yang mengejek menghiasi wajahnya yang tampan. “Bukankah hidupmu jauh lebih merepotkan” Caid menjeda sejenak, dia meraih gelas alcohol yang dibawakan oleh seorang pelayan “Hidup dengan dua identitas yang berbeda”“Aku menyukainya” Jawab Lova singkatCaid tersenyum tipis lalu menyesap minumannya dan Lova memperhatikan Caid“Bukannya kau bilang ingin tetap sadar?” Tanyanya“Satu gelas tidak akan membuatku mabuk”Lova mengangkat alisnya dengan sedikit skeptis, tetapi tidak berkata apa-apa. Dia tahu Caid cukup kuat untuk menahan satu atau bahkan puluhan gelas minuman tanpa kehilangan kendali, namun tetap saja, dia tidak bisa menahan diri untuk tidak mengamati gerak-gerik Caid dengan lebih seksama.“Yakin? Kau tampaknya cukup
Aleandro Broker, pria berusia 43 tahun itu adalah rekan kerja Calton, ayah Caid. Pria itu datang sebagai CEO perusahaan yang memenangkan tender untuk perumahan elite yang Caid resmikan malam iniDengan setelan jas mahal dan aura old money, Aleandro berjalan menuju sang tokoh utama malam ini, Caid Walton.Awalnya ekspresi wajahnya tenang dan nampak ramah, namun ketika melihat siapa wanita yang mendampingi Caid, ekspresi ramahnya digantikan dengan amarah dan kekesalanLangkahnya menuju Caid semakin cepat dan kuat“Selamat malam Mr Walton” Aleandro menyapa tetapi pandangannya fokus pada Lova“Aleandro…” Lova bergumam pelan namun Caid masih bisa mendengarnyaCaid, yang tidak melewatkan perubahan ekspresi Aleandro dan kegelisahan Lova, tersenyum tipis.Bukankah Aleandro Broker ini salah satu pelanggan Angelic, bagaimana perasaan pria itu melihat Angelic berakhir dengannya, pasti sangat menyenangkan.De
Lova tetap melakukan tugasnya dengan menggantikan Caid minum namun kali ini dia minum bukan untuk formalitas belaka, melainkan untuk melenyapkan bayang-bayang Aleandro dipikirannya.Hati Lova sakit.Aleandro menolaknya.Dan seharusnya Lova tahu jika dari dulu Aleandro hanya menganggapnya anak kecil yang harus dijaga, bukan wanita sejati seperti julukannya Angelic, sang primadona“Hey, kau masih sadar?” Suara Caid sayup-sayup di pendengaran Lova, tetapi kata-katanya seperti menghilang dalam kekacauan pikirannya.“Angelic”“Caid?” Lova berbalik, tetapi pandangannya samar. “Kenapa kau di sini? Kenapa kau tidak pergi bersama paman tua itu?” Suaranya sedikit terngangah, memunculkan kekacauan dalam dirinya.Caid menatapnya “Jangan bilang kau sudah minum terlalu banyak. Kau tidak boleh begini, masih ada tamu yang akan menyapa” ucapnya, berusaha menahan Lova agar tidak terjatuh.
‘Terima kasih... ternyata kau lebih baik dari yang kukira’“Sepertinya ada yang sangat bahagia malam ini”Caid tersentak dari pikirannya ketika Dylan menepuk pundaknya, menariknya kembali ke kenyataan. Senyuman jahil terukir di wajah Dylan, sementara sahabat-sahabat lainnya, Dayn, Lucius dan Enid duduk mengelilingi meja, tampak penasaran dengan apa yang baru saja terjadi.“Apa?” Caid memasang ekspresi tenang dan nada datarnya“Jangan berpura-pura, Caid. Kami semua melihat caramu keluar dari kamar itu dengan ekspresi yang... ya, kita semua tahu apa artinya,” kata Dayn, terkekeh pelan.Caid mengerutkan kening, merasa sedikit terganggu dengan godaan teman-temannya. “Lalu?” jawabnya datar“Ck, tidak menyenangkan sekali” Lucius berdecak sedangkan Enid tetap diam sambil menahan kesal“bagaimana rasanya?” tanya Dylan“Manis”
Lova terbangun kala merasakan perih di perutnya. Tubuhnya terasa lemas dan kepalanya terasa berat seolah-olah dunia berputar di sekitarnya.Dengan susah payah, dia duduk di tepi ranjang, mencoba menenangkan diri, tapi rasa mual yang semakin parah membuatnya terpaksa bergegas mencari kamar mandi.Di sana, Lova muntah dengan perasaan yang bercampur aduk antara ketidaknyamanan fisik dan emosi yang kacau. Ketika akhirnya rasa mual itu mereda, dia berdiri di depan wastafel, menatap cermin, mencoba memahami apa yang terjadi.“Kau bodoh Lova” Lova memaki dirinya sendiri yang terus minum hingga berharap bisa melupakan AleandroTatapannya kemudian beralih ke sekitar kamar mandi yang luas dan mewah, perlahan menyadari bahwa ini bukanlah tempat yang bisa dia kunjungiLova berjalan kembali ke kamar, memperhatikan dekorasi mewah dan detail-detail elegan yang membuat ruangan itu terasa seperti milik seorang konglomerat. Kemudian ingatannya mulai puli
Di sebuah mansion yang sangat mewah itu terdapat seorang wanita yang tengah asik menyesap wine-nya. Suara pintu yang terbuka membuat bibirnya yang dilapisi lipstick berwarna merah menyala itu tersenyum lebar.Dengan cepat wanita itu meletakkan gelas kacanya dimeja dan mendekati sosok pria rupawan yang baru memasuki kamar tempatnya berada“Aku sudah menunggumu” Ucap wanita itu sambil membuka bathrobe nya, menampakan tubuh yang tidak tertutupi apapun. Ia berjalan mendekati Caid dengan tatapan menggoda sambil memainkan tangannya pada tubuhnya sendiri, mengedipkan sebelah mata dan menggigit bibirnya, menggoda sosok pria tampan di depannya ini.“Bagaimana pestanya kemarin?” tanyanya yang tidak mendapatkan jawaban dari Caid, pria itu justru mengeluarkan kalimatnya yang membuatnya tertegun“Kau harus meninggalkan tempat ini sebelum malam, Jess” Seruan datar dan dingin itu membuat langkah wanita itu berhenti sebelum kembali mel
DOR!Suara tembakan menggelegar di kamar itu, menggema di antara dinding-dinding mewah. Jess terhuyung. Dia jatuh ke lantai, napasnya tersengal-sengal, matanya masih menatap Caid dengan tatapan tak percaya.Caid menurunkan pistolnya perlahan, seringai lebar terpatri dibibirnya “Lemah, sepertinya aku keliru memilihmu dulu”“M-maaf” Jess merintih, dia bersyukur Caid tidak benar-benar menembaknya melainkan menembak atap mansionnyaCaid mendekat, seringai lebar masih menghiasi wajahnya. "Kau bilang aku tidak akan dicintai?" ucapnya dengan nada mengejek, sambil menunduk mendekati Jess yang hampir lemas tak berdaya. "Banyak wanita yang menginginkanku, Jess. Mereka semua berebut untuk bisa berada di posisimu. Kau bukanlah yang pertama, dan tentu saja bukan yang terakhir.”Jess mencoba membuka mulutnya, seakan ingin mengucapkan sesuatu, tapi suaranya hanya keluar sebagai bisikan lemah."Namun, sayangnya bagi mereka…" lanjut Caid, suaranya kini lebih rendah dan mengintimidasi, "Aku hanya memili
"Masuklah, biar aku antar" suara berat seorang pria memecah keheningan pagi di depan gedung apartemen Lova. Gadis itu baru saja hendak melangkah ke kampus ketika ia melihat mobil mewah berhenti di depannya.Lova mengerjapkan matanya, sedikit terkejut dengan kemunculan pria yang baru bersamanya dua hari lalu ”Caid Walton?" gumam Lova setengah tidak percaya. Dia menatap pria itu yang keluar dari mobilnya dengan percaya diri, mengenakan setelan kemeja abu yang sangat rapi.“Ya, aku Caid. Dan aku sedang menawarkan tumpangan, jadi masuklah, nona Luvena” Caid mengulangi dengan nada yang tidak memberi ruang untuk penolakan.Lova masih ragu, tatapannya beralih antara Caid dan pintu mobil yang terbuka "Kenapa kau disini?" tanyanya akhirnya, mencoba mencari alasan di balik tawaran tak terduga itu.Caid tersenyum tipis, ekspresinya tenang tapi dengan mata yang memancarkan tekad "Aku punya urusan di kampusmu hari ini. Dan kebetulan aku melihatmu dis
Ophelia tersenyum samar, menatap ke arah Caid dan Lova yang tampak begitu nyaman dalam pelukan di atas ranjang. Ada sesuatu yang hangat dan penuh perhatian antara keduanya, meskipun situasi itu terasa sedikit tidak biasa."Apa mereka selalu begitu?" tanya Ophelia dengan suara lembut, namun matanya tidak lepas dari pemandangan itu.Emily, yang berdiri di samping Ophelia, tampak sedikit canggung. Dia menelan saliva sebelum menjawab, "Sepertinya, tapi memang Mr Walton yang mengincar Lova sejak awal." Emily merasa sedikit takut akan salah bicara, takut jika pengakuannya akan membuat Ophelia berpikir berbeda tentang hubungan mereka.Ophelia memandang Emily sejenak dengan ekspresi yang sulit dibaca, seolah merenung. "Caid memang selalu seperti itu" jawabnya perlahan. "Tapi, Lova tampaknya bisa menghadapinya dengan baik."Emily mengangguk ragu, matanya kembali melirik ke arah Caid dan Lova. "Mereka... berbeda dari yang saya bayangkan sebelumnya" kata Emily pelan
Caid membuka pintu ruang perawatan dengan langkah tegas, wajahnya dingin dan tak terbaca. Meskipun penampilannya agak berantakan, maklum dia begitu tergesa kembali ke New York karena takut dengan ancaman perceraian dari Lova. Dia tak ingin menduda disaat penikahan mereka bahkan belum 24 jam terjadi.Caid tak peduli pada pandangan aneh perawat dan dokter yang ia lewati di koridor rumah sakit. Yang ada di benaknya hanyalah wajah Lova yang marah dan dingin. Ancaman perceraian itu seperti pisau yang terus menusuk dadanya.Saat pintu ruangan Lova terbuka, mata abu itu tertuju pada Lova yang duduk di tempat tidur dengan posisi bersandar, wajahnya menunjukkan ekspresi lelah bercampur kesal. Gaun pengantinnya sudah berganti menjadi baju piyama pasien rumah sakit yang longgar“Kau terlambat 1 jam 34 menit, Caid Walton”“Love” panggil Caid pelan, agak takut sebenarnyaLova sudah menunggunya, wajahnya pucat tetapi sorot matanya tajam d
Dayn mengamati pergerakan dari kejauhan melalui teropong khusus miliknya “Mereka terlihat terlalu tenang. Apa menurutmu mereka tahu kita datang?”Caid, yang berdiri di sebelahnya, menyeringai dingin. “Biar saja mereka tenang. Mereka tidak tahu apa yang akan menghantam mereka setelah ini.”“Kau yakin akan meledakan gedung itu?” tanya Dylan tak yakin“Jika dia masih bersembunyi layaknya tikus, aku tak punya pilihan lain”“Banyak manusia tak bersalah disana” tambah Dylan menasehatiDayn menurunkan teropongnya, melirik pada saudara kembarnya lalu menatap Caid dengan ekspresi serius. “Dylan benar. Jika kau meledakkan gedung itu, kau tidak hanya akan menargetkan mereka yang bersalah. Ada banyak nyawa di sana. Apa kau benar-benar siap menanggung akibatnya?”Caid memandang Dylan dan Dayn dengan dingin, rahangnya mengeras. “Aku tidak meminta persetujuan kalian. Aku sudah memberikan mereka cukup banyak waktu untuk menyerah. Kalau mereka memilih bersembunyi di balik perisai manusia tak bersalah,
Virginia, Markas CIAMeredith melangkah dengan tergesa-gesa ke kantor Louis Belucci, salah satu petinggi tertinggi di CIA yang selama ini menjadi sekutunya. Wajahnya memerah karena marah, dan napasnya tersengal. Dia hampir menerobos pintu tanpa mengetuk, tetapi dua pengawal Louis segera menghadangnya.“Louis, aku butuh bantuan!” serunya, suaranya hampir histeris.Pintu terbuka dengan perlahan, dan Louis duduk dengan sikap tenang di balik meja kayu besar, kedua tangannya terlipat di depan dada. Wajahnya tampak tidak terganggu, tetapi ada kilatan dingin di matanya yang memperingatkan.“Biarkan dia masuk” katanya singkat, mengisyaratkan pengawalnya untuk membiarkan Meredith masuk.Begitu pintu ditutup, Meredith langsung meledak. “Apa kau tahu apa yang sedang terjadi? Walton dan kelompoknya akan menyerang kita! Ini gila! Kita butuh pasukan tambahan, sistem pertahanan yang lebih kuat—apa kau mendengarku?”Louis memandang Meredith dengan tenang, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang m
New York Memorial HospitalCaid terus menggenggam tangan Lova, tidak peduli dengan noda darah di bajunya. Dokter dan perawat bergerak cepat, membawa Lova ke ruang operasi darurat."Dia kehilangan banyak darah" ujar salah satu dokter. "Kita harus segera melakukan tindakan."Caid mencoba mengikuti mereka, tetapi seorang perawat menghalangi jalannya. "Maaf, Tuan, Anda harus menunggu di luar.""Tidak! Aku tidak akan meninggalkannya!" sergah Caid, matanya dipenuhi kemarahan.Calton, yang baru tiba di rumah sakit bersama Ophelia, mendekati Caid dan meletakkan tangan di bahunya. "Biarkan mereka bekerja, Caid. Kau harus mempercayai mereka."Dengan enggan, Caid mundur, meskipun matanya tetap tertuju pada pintu ruang operasi. Dia merasa tidak berdaya, sesuatu yang jarang dia rasakan dalam hidupnya.“Harusnya aku langsung membunuh wanita jalang itu sejak dulu” Caid menggeram, menyalahkan dirinya sendiri. Dia menatap
Dor!Tembakan menggema di aula, menghentikan musik dan percakapan. Jeritan tamu terdengar bersahut-sahutan, menciptakan kepanikan yang langsung menyebar. Lova terhuyung, tangan kanannya bergerak memegang dadanya yang mulai berwarna merah."Lova!" teriak Caid, menangkap tubuhnya sebelum terjatuh. Dia memeluk istrinya erat-erat, ekspresinya campuran antara keterkejutan dan kemarahan.Calton segera bergerak, berlari ke arah mereka sementara Ophelia dengan sigap mencari perlindungan di balik meja, memandang situasi dengan tatapan penuh ketegangan.Para pengawal dengan badge Walton yang berada di sekitar aula langsung bereaksi. Salah satu dari mereka berhasil melumpuhkan pria bersenjata itu sebelum dia bisa melepaskan tembakan lagi."Lova, tetap bersamaku" bisik Caid panik, menekan luka di dada Lova untuk menghentikan pendarahan. Matanya menatap penuh rasa takut, sesuatu yang jarang terlihat dari seorang pria seperti dia.Lova mencoba tersenyum,
Hari pernikahan yang sangat ditunggu oleh Caid akhirnya tiba dengan segala kemegahannya. Sebuah aula besar di pusat kota New York disulap menjadi tempat yang tampak seperti diambil dari mimpi: lampu kristal bergemerlapan, bunga-bunga eksotis menghiasi setiap sudut, dan lantunan musik klasik mengalun lembut di udara.Lova berdiri di ruangan rias, mengenakan gaun putih yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Wajahnya yang cantik terlihat dingin, tapi ada sorot mata yang menunjukkan kegelisahan.Dia... .. ragu"Anda cantik sekali nona" ujar salah satu asisten riasnya.Lova hanya tersenyum tipis, lalu menatap bayangan dirinya di cermin. Dalam hati, ia masih bertanya-tanya apakah keputusan ini adalah langkah yang tepat. Tapi kemudian, bayangan Caid melintas di pikirannya, dan entah kenapa, hal itu memberinya sedikit keberanian.Di luar, Caid berdiri di ujung altar, mengenakan setelan hitam yang membuat auranya semakin mendominasi. Tatapannya terus tertu
Lova perlahan membuka matanya, kebingungannya terlihat jelas di wajahnya. Cahaya lampu ruangan rumah sakit terasa terlalu terang untuk matanya yang baru saja terbuka. Dia mencoba menggerakkan tangannya, tetapi merasakan genggaman kuat di tangannya."Love..." suara Caid terdengar lembut, namun penuh dengan nada emosional yang jarang ia tunjukkan. Matanya yang biasanya tajam kini dipenuhi rasa khawatir yang sulit disembunyikan. "Kau sadar."Lova mencoba tersenyum tipis, meskipun wajahnya terlihat lelah. "Apa yang terjadi?" tanyanya pelan, suaranya hampir seperti bisikan."Kau pingsan" jawab Caid sambil menatapnya dengan penuh perhatian.Lova terdiam sejenak, mengingat kilasan terakhir yang ia lihat sebelum kehilangan kesadaran. Gambar tubuh Robertino yang tergeletak di lantai kembali menghantui pikirannya. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan diri."Maaf" gumamnya pelan. "Aku tidak tahu apa yang terjadi... semuanya terlalu berat."C
“Jika ku katakan sekarang semuanya ada dalam kendali Caid Walton, apa kau akan percaya, Relova?”Lova merasa hatinya bergetar. Robertino menyebutkan nama Caid dengan cara yang jauh lebih dalam dan penuh makna. Ada kebenaran di balik kata-kata pria ini, meskipun dia tahu bahwa Robertino adalah seorang yang berbahaya dan manipulatif. Namun, semakin banyak yang diungkap, semakin banyak pertanyaan yang muncul dalam benaknya."Apa yang ingin kau katakan?" suara Lova menjadi lebih tegas, meski masih ada kekhawatiran yang mendera. "Kau mengungkapkan hal-hal yang tidak mudah dipercaya begitu saja.""Percayalah, Relova." Robertino menatapnya dengan mata yang penuh perasaan. "Caid Walton sudah memiliki kendali penuh atas semua permainan ini. Dia bukan hanya kepala kudeta, dia adalah otak di balik semuanya. Semua yang terjadi di sekitar kita... Ada dua sisi dari koin, dan kau baru saja terjebak di salah satunya. Pikirkan baik-baik, dia tidak mungkin bisa menggu