William kegirangan saat mendengar Debby mau memasakkan sesuatu untuknya. Ini kali kedua Debby membuatkan sesuatu untuknya sejak William mulai bertandang ke rumah wanita itu meskipun yang pertama ia tidak melihatnya langsung. Namun, bukannya membantu seperti yang dikatakannya tadi, lelaki itu justru sibuk memeriksa isi dapur setelah mendapat izin dari sang empunya dapur.
“Ya ampun, Pak! Bapak ini kayak lagi inspeksi aja! Buat apa sih?” Wanita yang mulai sibuk menyiapkan bahan-bahan untuk membuat hidangan makan malam hanya bisa menggelengkan kepala.
“Gak ada apa-apa sih. Cuma pengin tahu letak-letaknya aja. Aku kan jarang ke dapurmu kalau lagi main ke sini. Siapa tahu suatu saat nanti aku harus cari apa gitu di sini waktu kamu gak bisa, ‘kan aku jadi gak bingung?”
“Ck! Nggak usah cari-cari alasan deh, Pak. Memangnya Bapak butuh apa?” tanya Debby dengan tangan terus bergerak lincah. Semua gerak-gerik wanita itu pun ta
“Siapa sih yang dibicarakan sama mereka? Feeling-ku kok laki-laki, ya,” batin William yang semakin diliputi rasa penasaran. Sekarang, bahkan ada rasa ... tidak suka! “Gak suka?” ulang William dalam hati. Ia sudah tidak berusaha untuk menguping pembicaraan antara ayah dan anak itu lagi. “Benar. Kalau yang mereka bicarakan itu laki-laki, ya ampun, aku benar-benar merasa iri,” keluh William dalam hati. Ia lalu mendesah. “Ya ampun, Will! Kamu itu apa-apaan sih? Bisa-bisanya kamu iri! Jangan seperti anak kecil! Lagian apa yang mereka bicarakan itu bukan urusanmu. Hah! Belum. Belum jadi urusanku!” tukas William dalam hati. Satu tangannya yang bertumpu pada meja bar memijat pangkal hidungnya. Kedua matanya terpejam erat dengan kerutan menghiasi area di antara kedua alisnya. “Tapi … astaga! Aku benar-benar iri! Siapa pun orang itu! Ya, Tuhan. Aku benar-benar gak suka sama situasi ini. Kenapa aku merasa buruk berad
Lagi-lagi telinga William langsung menangkap pekikan sebal dari bibir mungil Debby. “Pak!”William rela jika telinganya bakal terus berdenging sepanjang malam ini asalkan bisa melihat lagi ekspresi yang baru saja diperlihatkan oleh Debby. Jiwa usilnya sudah kegirangan seperti anak kecil mendapat hadiah.William terus mengamati wanita itu. Ia bahkan bisa melihat mata sipit Debby mengintip dari sela-sela jari tangannya. Ia semakin terkekeh.“Jangan menatapku kayak gitu, Pak!” protes Debby seraya memutar tubuh dan menjauh.“Eh, kamu mau ke mana, Baby? Jangan pergi dulu! Obrolan menarik kita belum selesai. Aku kan pengin tahu jawabanmu, Baby,” seru William semakin jahil.Meskipun menjauh, Debby ternyata tidak meninggalkan dapur. Ia kemudian menyahut dengan nada sebal, “Ya ampun, Pak! Kenapa topiknya jadi menyerempet ke sana
“Kalau seperti ini terus sih, mungkin memang sebaiknya aku pulang aja deh,” pikir William. Ia sangat frustrasi. Setelah membisu beberapa saat, akhirnya Debby berkata, “Aku nggak suka, ya, Bapak curi-curi kesempatan kayak tadi! Sudah beberapa kali Bapak kayak gitu, lo! Kalau Bapak masih kayak gitu terus, mending Bapak nggak usah ke sini lagi!” “Baby!” potong William dengan kaget. Jantungnya berasa langsung terjun bebas ke perut. Debby mengangkat tangan dan menghentikan segala protes yang hendak dilontarkan William. “Bapak tadi bilang kita sama-sama belajar, ‘kan? Aku belajar memercayai Bapak. Bapak belajar sabar dan menahan diri. Tapi ini apa?” beber Debby sambil membuka satu telapak tangan di atas meja. Debby mendengkus sebal. “Belum juga lewat 24 jam, lo, Pak,” kritik Debby lebih lanjut. “Kalau Bapak kayak gitu terus, gimana aku mau memercayai Bapak? Hah, kayaknya aku sudah nggak bisa nerima Bapak di rumah ini lagi! Bapak nggak usah lagi menghubungiku! Hubungan kerja kita toh jug
“Hah! Bukan cuma karena itu, Pak!” sahut Debby dengan sewot. Semburat merah lagi-lagi muncul meski hanya di pipi. “Bapak ini selalu aja membalikkan keadaan, tahu! Berapa kali aku menolak atau mengusir Bapak, tapi Bapak selalu berhasil membalik keadaan lewat kata-kata Bapak! Menyebalkan!”William terkekeh. “Aku kan sudah bilang gak akan melepasmu, Baby. Jadi, bagaimana?”Lagi-lagi lelaki itu harus menunggu. Dalam hati, ia berdoa supaya Debby menyetujui usulnya dan mau terbuka padanya. Ia menanti dengan sabar meski dalam hati sudah ketar-ketir.“Hah, aku nggak bisa jawab sekarang, Pak,” ucap Debby pada akhirnya. “Beri aku waktu buat berpikir.”William menimbang-nimbang sejenak. “Baiklah kalau itu yang kamu butuhkan, Baby. Aku akan kasih waktu sebanyak yang kamu butuhkan, tapi jangan terlalu lama. Aku bisa semakin gila k
Debby melebarkan daun pintu pagar. Rasa isengnya yang muncul sejak lelaki itu mendeklarasikan perasaan cemburunya masih bertahan hingga sekarang. Sambil tersenyum manis dengan niat menggoda, wanita itu berujar, “Karena Bapak sudah sering bikin aku nggak nyaman, apalagi malam ini sudah bikin aku malu sampai beberapa kali. Sekarang, giliran Bapak yang merasakan. Adil, ‘kan?” Selesai berbicara, Debby langsung membuka telapak tangannya ke arah jalan raya.“Ya, Tuhan! Baru kali ini, aku lihat sisimu yang ini. Ternyata kamu pendendam, ya?” William terkekeh.“Oh, itu khusus buat Bapak. Baru tahu?” Debby berbicara seolah-olah itu hal biasa, bukan sesuatu yang buruk, dan tetap menampilkan senyum manis.William langsung terbahak-bahak. “Haruskah aku tersanjung?”Debby hanya mengangkat bahu dengan senyum tetap terkembang dan tidak mengatakan apa-apa lagi.
Netra Debby langsung melebar mendengar pertanyaan sang papi. Namun, detik berikutnya, bibir Debby langsung mengerucut.“Ish! Papi ini, lo! Aku tahu maksud Papi!” protes Debby sambil menggelayut manja pada lengan lelaki paruh baya di sampingnya. Keduanya lantas berjalan bersisian ke dalam rumah. “Masa anak sendiri pulang yang ditanya malah anak orang lain sih?”Gunawan sontak terbahak-bahak. “Lo, kamu kan sudah di depan Papi. Buat apa Papi tanya kamu lagi? Lagian kondisimu juga terlihat baik-baik saja.“Kalau Papi tanya anak orang lain, itu kan karena Papi sudah mengingatkan kamu supaya mengajak anak itu ke rumah. Tapi sampai sekarang malah gak kelihatan batang hidungnya. Jadi, wajar ‘kan kalau Papi menanyakan keberadaannya?”Gunawan semakin terkekeh ketika Debby semakin memberengut. Kepala berambut hitam lurus dengan banyak uban di sana sini itu lantas menggeleng-geleng pelan.“Duh, anak Papi! Ya, sudah! Ya, sudah! Gimana kabarmu? Capai, gak? Ayo, sini duduk dulu.” Gunawan menarik Debb
“Tebakan Papi betul. Aku dulu menyukainya, Pi. Sangat-sangat menyukainya. Dia juga selalu baik sama Debby. Papi ingat jepit rambut kupu-kupu yang ada satu set itu? Itu pemberian darinya. Tapi … satu saat, tiba-tiba dia menghilang.” Debby langsung menunduk. Gunawan semakin curiga. “Jangan bilang kalau gara-gara kejadian itu, kamu jadi takut berpacaran.” Debby kembali menghela napas. “Kurang lebih memang kayak gitu, Pi.” “Astaga! Papi pikir cuma cinta monyet. Waktu itu, kamu memang sering nangis, tapi karena lambat laun kamu kembali ceria, Papi pikir kamu sudah melupakannya.” Debby menggeleng dengan pelan. “Ya, Tuhan! Jadi, gara-gara itu juga sampai kamu gak mau menikah? Dan sekarang ini, kamu juga lagi ketakutan kalau kejadian itu terulang lagi?” Debby lagi-lagi hanya mengangguk. “Ya, Tuhan!” Keheningan
William tengah duduk di ruang kerjanya di apartemen pribadinya. Punggung dan kepalanya bersandar dengan santai di sandaran kursi. Salah satu tangannya tengah memegang ponsel yang diangkat cukup tinggi di atas kepala. Tangannya yang lain memeluk ringan sebuah guling yang diletakkan di atas tubuhnya. Sebuah guling ukuran standar berwarna kuning dan oranye dengan salah satu ujungnya berbentuk kepala singa yang tampak imut. Bagian kepalanya berada di atas dada William, sedangkan ujung yang lain dijepit di antara kedua pahanya. Meskipun tubuhnya santai, tidak demikian halnya dengan raut mukanya. Kerutan menghiasi wajah tampannya di antara kedua alisnya. Tatapannya juga terarah lurus pada ponselnya. “Kamu kenapa, Baby? Kenapa aku merasa kalau kamu lagi menghindariku lagi? Rasanya seperti kembali ke awal lagi.” William mengembuskan napas panjang. Tangan yang memeluk guling mengusap-us
William sangat terkejut mendengar penuturan Debby. Ia sama sekali tak mengira jika kekasihnya memiliki ketakutan sampai seperti itu. William mengulurkan tangan hendak menenangkan sang kekasih yang kembali berderai air mata. Ia terenyuh melihat wanita itu bahkan bernapas dengan tersengal-sengal.Namun, belum sempat merengkuh sang kekasih, William kembali dikejutkan dengan suara jeritan histeris yang terdengar tiba-tiba. William dan Debby yang masih menangis sontak menoleh berbarengan ke sumber suara.“Jangan lagi, ya, Tuhan! Jangan lagi!” desis seseorang yang baru saja tiba hingga berkali-kali.Dalam sekejap, suara tangis di sisi William pun lenyap, berganti dengan kesiap tajam. Lelaki itu pun tak kalah terperanjat saat menatap kedua sosok yang tiba-tiba sudah berdiri di ambang pintu. Satu orang memapah yang lainnya yang tampak tak baik-baik saja. Buru-buru William ban
“Apa maksudmu, Baby?!” tuntut William yang kaget setengah mati.Jantungnya langsung menggila mendengar keputusan sepihak yang meluncur dari bibir mungil sang kekasih. Hati William menolak keras untuk mencerna maksud yang terkandung di dalamnya. Namun, otaknya jelas-jelas menerima pesan tersebut dengan sangat gamblang. Seketika, otaknya dipenuhi dengan kata-kata keramat yang sangat dihindari oleh lelaki itu.William pun langsung menyambar tangan Debby yang keburu membelakanginya. Namun, sebelum tubuh kekasihnya berbalik sepenuhnya, William masih sempat melihat kekasihnya menutup mulut dan mendengar suara isakan lirih. William langsung mengernyit. Hatinya sedikit terusik dengan sikap dan omongan Debby yang lagi-lagi saling bertolak belakang di saat bersamaan.“Baby?” panggil William dengan lebih lembut saat wanita itu tetap me
William berusaha keras untuk tidak menyentuh wanita yang duduk di sampingnya—meski tak sedekat biasanya, apalagi saat wanita itu mengangguk tak mantap sambil menggigit bibir bawahnya.“Kurang lebih,” jawab Debby. “Aku sadar kalau aku selalu menghindar tiap kali Koko memintaku buat melangkah ke jenjang yang lebih serius. Kupikir aku bisa kayak gitu dulu buat sementara waktu. Tapi ternyata yang terakhir kemarin itu ....”Debby mengangkat bahu sambil tersenyum sendu sementara William agak terusik dengan sesuatu yang diucapkan kekasihnya. Ia pun menautkan kedua alisnya meski berusaha untuk tak menyela.“Aku nggak tahu apa yang terakhir itu yang paling parah,” lanjut Debby, “atau justru saking banyaknya Koko nimbun kekesalan jadi bikin Koko jaga jarak sama aku. Tapi apa pun itu, yang jelas aku mau minta maaf sama Koko soal ini. Bolak-balik aku selalu mengecewakan Koko. M
“Wow!” seru Debby yang masih takjub dengan kabar bahagia yang dibawa oleh sahabatnya. Ujung-ujung bibir Debby sudah terangkat sejak tadi.“Jadi, benar ini dari Ko Niel?” tanya Debby lagi sembari mencermati sebentuk cincin bermata berlian tunggal yang tersemat pada jari manis tangan Fanny.Wanita berambut sebahu itu sekarang sudah duduk di hadapannya. Namun, Debby belum melepas genggaman tangannya sejak dirinya melihat kilau sebuah cincin baru yang ia tahu belum pernah dikenakan oleh Fanny sebelumnya.Debby ikut berbahagia untuk Fanny yang senyumnya juga tak pernah lekang dari wajah perseginya sejak muncul di hadapan Debby. “Aku benar-benar ikut senang, Fan. Ya ampun. Selamat, ya, Say. Selamat. Omong-omong, kapan Ko Niel melamar?”“Uhm ... baru hari Sabtu kemarin sih,” ucap Fanny dengan pipi merona.
Di hadapan William, kini tersaji semangkuk bubur ayam tanpa kuah bumbu. Hanya ada bubur nasi yang sudah bercampur dengan potongan daging ayam dengan pugasan kulit pangsit goreng, irisan seledri, tongcai, dan cakwe. Kekasihnya bahkan juga menyediakan kecap asin di mangkuk terpisah yang ukurannya jauh lebih kecil.William kembali termangu sambil menatap sajian itu. Hatinya benar-benar terbelah dua. Ia merasa sangat bahagia sekaligus frustrasi. Baru kali ini, ia dilayani untuk sarapan sampai sedemikian rupa, apalagi oleh wanita yang sangat dicintai dan diinginkannya. Selain sosok sang mami tentu saja.“Kenapa cuma dilihat aja, Ko? Oh, astaga! Apa Koko nggak suka bubur ayam?”Suara merdu sang kekasih menyentak angan William. Ia gelagapan sesaat sebelum menimpali, “Oh, gak apa-apa kok, Baby. Siapa bilang Koko gak suka bubur ayam? Koko cuma lagi
William memang memutuskan untuk bersikap biasa saja sebelum mengetahui dengan pasti apa keinginan kekasihnya dari hubungan mereka ini. Namun, tetap saja lelaki itu tak bisa menahan ujung-ujung bibirnya yang mulai terangkat setelah mendengar pesan suara dari Debby. Ia pun melempar tubuhnya ke matras sambil terkekeh kecil.“Ya, Tuhan. Seperti ini nih yang bikin Koko gak bisa berpaling dari kamu, Baby. Bagaimana kelak Koko bisa hidup tanpamu?”Tiba-tiba ponselnya kembali berbunyi. Ada satu lagi pesan suara yang masuk dari kekasihnya.“Ko Billy? Koko baik-baik aja? Kenapa nggak ada respons, Ko? Aku tahu Koko sudah buka pesan suaraku. Jangan nakut-nakutin aku, Ko. Aku mencemaskan Koko. Kalau Koko butuh aku, bilang aja. Aku bakal menemani Koko. Aku sayang sama Koko.”Lagi-lagi William tak bisa menahan senyum. Namun, se
William terjun ke dalam air dan langsung menghilang di bawah permukaan air yang seketika bergolak seakan baru saja terjadi gempa bumi. Setelah satu-dua menit, tiba-tiba William kembali muncul ke permukaan dengan gerakan yang kembali mengentak keras. Permukaan air pun kembali berguncang sementara air memercik ke mana-mana saat kepala William menengadah ke langit malam dengan gerakan cepat.Bibir William langsung terbuka lebar dengan suara tarikan napas yang terdengar sangat jelas. Sejurus kemudian, dadanya bergerak naik turun dengan sangat cepat. Ia sengaja menahan napas selama berada di dalam air. Egonya tengah tertantang untuk menguji batas kemampuan dirinya.Tanpa mengambil jeda untuk menetralkan debar jantungnya yang masih menggila, William kembali masuk ke dalam air setelah menghirup napas dalam-dalam. Kali ini, ia meluncur dengan cepat seperti ikan di bawah permukaan air yang langs
Debby menatap sosok laki-laki yang pada suatu waktu dahulu sangat dikaguminya, tetapi juga sekaligus sosok yang menorehkan luka yang dalam di hatinya. Debby menghela napas sambil menautkan tangan pada jari jemari William.“Ko Yuyun,” panggil Debby dengan penuh kesabaran, “aku benar-benar sudah memaafkan Koko. Tapi tolong jangan buat aku menyesali keputusanku ini. Berhentilah meminta sesuatu yang sudah nggak bisa kuberikan lagi. Aku berusaha buat menghormati Koko lagi sekarang.“Tapi kalau Koko terus-terusan memaksa, jangan salahkan aku kalau aku akhirnya benar-benar kehilangan respek sama Koko. Hal yang bisa kuberi saat ini cuma maaf buat Koko, nggak lebih. Jadi, tolong mengertilah, Ko. Aku nggak mungkin balik lagi sama Koko.”Untuk sesaat, Yunan hanya menatap Debby lurus-lurus dengan bibir membentuk garis lurus. Lelaki berambut gondrong itu diam seribu bahasa, hany
Warning!!! Mengandung adegan kekerasan! Mohon bijak dalam menyikapi!*****Urat kendali diri William benar-benar sudah super tegang. Rasanya hanya butuh sentuhan ringan saja untuk memutus tali tak kasatmata itu. Ia bisa meledak kapan saja. William sampai ketakutan dengan dirinya sendiri. Ia seperti tak mengenali lagi sosoknya sendiri.Sebelum mengenal Debby, ia tak pernah lepas kendali. Namun, sekarang ini rasa-rasanya ia sanggup dan bersedia menghancurkan seseorang demi orang yang dikasihinya. Ia siap bertarung habis-habisan dengan siapa pun tanpa peduli risikonya!William benar-benar tak terima kekasihnya hendak diserobot dengan terang-terangan di bawah hidungnya!“Lebih baik diselesaikan sekarang aja, Ko, biar nggak berlarut-larut. Aku juga nggak mau terus-terusan kayak gini. Tolong percaya sama aku, Ko,&rd