Lagi-lagi telinga William langsung menangkap pekikan sebal dari bibir mungil Debby. “Pak!”
William rela jika telinganya bakal terus berdenging sepanjang malam ini asalkan bisa melihat lagi ekspresi yang baru saja diperlihatkan oleh Debby. Jiwa usilnya sudah kegirangan seperti anak kecil mendapat hadiah.
William terus mengamati wanita itu. Ia bahkan bisa melihat mata sipit Debby mengintip dari sela-sela jari tangannya. Ia semakin terkekeh.
“Jangan menatapku kayak gitu, Pak!” protes Debby seraya memutar tubuh dan menjauh.
“Eh, kamu mau ke mana, Baby? Jangan pergi dulu! Obrolan menarik kita belum selesai. Aku kan pengin tahu jawabanmu, Baby,” seru William semakin jahil.
Meskipun menjauh, Debby ternyata tidak meninggalkan dapur. Ia kemudian menyahut dengan nada sebal, “Ya ampun, Pak! Kenapa topiknya jadi menyerempet ke sana
“Kalau seperti ini terus sih, mungkin memang sebaiknya aku pulang aja deh,” pikir William. Ia sangat frustrasi. Setelah membisu beberapa saat, akhirnya Debby berkata, “Aku nggak suka, ya, Bapak curi-curi kesempatan kayak tadi! Sudah beberapa kali Bapak kayak gitu, lo! Kalau Bapak masih kayak gitu terus, mending Bapak nggak usah ke sini lagi!” “Baby!” potong William dengan kaget. Jantungnya berasa langsung terjun bebas ke perut. Debby mengangkat tangan dan menghentikan segala protes yang hendak dilontarkan William. “Bapak tadi bilang kita sama-sama belajar, ‘kan? Aku belajar memercayai Bapak. Bapak belajar sabar dan menahan diri. Tapi ini apa?” beber Debby sambil membuka satu telapak tangan di atas meja. Debby mendengkus sebal. “Belum juga lewat 24 jam, lo, Pak,” kritik Debby lebih lanjut. “Kalau Bapak kayak gitu terus, gimana aku mau memercayai Bapak? Hah, kayaknya aku sudah nggak bisa nerima Bapak di rumah ini lagi! Bapak nggak usah lagi menghubungiku! Hubungan kerja kita toh jug
“Hah! Bukan cuma karena itu, Pak!” sahut Debby dengan sewot. Semburat merah lagi-lagi muncul meski hanya di pipi. “Bapak ini selalu aja membalikkan keadaan, tahu! Berapa kali aku menolak atau mengusir Bapak, tapi Bapak selalu berhasil membalik keadaan lewat kata-kata Bapak! Menyebalkan!”William terkekeh. “Aku kan sudah bilang gak akan melepasmu, Baby. Jadi, bagaimana?”Lagi-lagi lelaki itu harus menunggu. Dalam hati, ia berdoa supaya Debby menyetujui usulnya dan mau terbuka padanya. Ia menanti dengan sabar meski dalam hati sudah ketar-ketir.“Hah, aku nggak bisa jawab sekarang, Pak,” ucap Debby pada akhirnya. “Beri aku waktu buat berpikir.”William menimbang-nimbang sejenak. “Baiklah kalau itu yang kamu butuhkan, Baby. Aku akan kasih waktu sebanyak yang kamu butuhkan, tapi jangan terlalu lama. Aku bisa semakin gila k
Debby melebarkan daun pintu pagar. Rasa isengnya yang muncul sejak lelaki itu mendeklarasikan perasaan cemburunya masih bertahan hingga sekarang. Sambil tersenyum manis dengan niat menggoda, wanita itu berujar, “Karena Bapak sudah sering bikin aku nggak nyaman, apalagi malam ini sudah bikin aku malu sampai beberapa kali. Sekarang, giliran Bapak yang merasakan. Adil, ‘kan?” Selesai berbicara, Debby langsung membuka telapak tangannya ke arah jalan raya.“Ya, Tuhan! Baru kali ini, aku lihat sisimu yang ini. Ternyata kamu pendendam, ya?” William terkekeh.“Oh, itu khusus buat Bapak. Baru tahu?” Debby berbicara seolah-olah itu hal biasa, bukan sesuatu yang buruk, dan tetap menampilkan senyum manis.William langsung terbahak-bahak. “Haruskah aku tersanjung?”Debby hanya mengangkat bahu dengan senyum tetap terkembang dan tidak mengatakan apa-apa lagi.
Netra Debby langsung melebar mendengar pertanyaan sang papi. Namun, detik berikutnya, bibir Debby langsung mengerucut.“Ish! Papi ini, lo! Aku tahu maksud Papi!” protes Debby sambil menggelayut manja pada lengan lelaki paruh baya di sampingnya. Keduanya lantas berjalan bersisian ke dalam rumah. “Masa anak sendiri pulang yang ditanya malah anak orang lain sih?”Gunawan sontak terbahak-bahak. “Lo, kamu kan sudah di depan Papi. Buat apa Papi tanya kamu lagi? Lagian kondisimu juga terlihat baik-baik saja.“Kalau Papi tanya anak orang lain, itu kan karena Papi sudah mengingatkan kamu supaya mengajak anak itu ke rumah. Tapi sampai sekarang malah gak kelihatan batang hidungnya. Jadi, wajar ‘kan kalau Papi menanyakan keberadaannya?”Gunawan semakin terkekeh ketika Debby semakin memberengut. Kepala berambut hitam lurus dengan banyak uban di sana sini itu lantas menggeleng-geleng pelan.“Duh, anak Papi! Ya, sudah! Ya, sudah! Gimana kabarmu? Capai, gak? Ayo, sini duduk dulu.” Gunawan menarik Debb
“Tebakan Papi betul. Aku dulu menyukainya, Pi. Sangat-sangat menyukainya. Dia juga selalu baik sama Debby. Papi ingat jepit rambut kupu-kupu yang ada satu set itu? Itu pemberian darinya. Tapi … satu saat, tiba-tiba dia menghilang.” Debby langsung menunduk. Gunawan semakin curiga. “Jangan bilang kalau gara-gara kejadian itu, kamu jadi takut berpacaran.” Debby kembali menghela napas. “Kurang lebih memang kayak gitu, Pi.” “Astaga! Papi pikir cuma cinta monyet. Waktu itu, kamu memang sering nangis, tapi karena lambat laun kamu kembali ceria, Papi pikir kamu sudah melupakannya.” Debby menggeleng dengan pelan. “Ya, Tuhan! Jadi, gara-gara itu juga sampai kamu gak mau menikah? Dan sekarang ini, kamu juga lagi ketakutan kalau kejadian itu terulang lagi?” Debby lagi-lagi hanya mengangguk. “Ya, Tuhan!” Keheningan
William tengah duduk di ruang kerjanya di apartemen pribadinya. Punggung dan kepalanya bersandar dengan santai di sandaran kursi. Salah satu tangannya tengah memegang ponsel yang diangkat cukup tinggi di atas kepala. Tangannya yang lain memeluk ringan sebuah guling yang diletakkan di atas tubuhnya. Sebuah guling ukuran standar berwarna kuning dan oranye dengan salah satu ujungnya berbentuk kepala singa yang tampak imut. Bagian kepalanya berada di atas dada William, sedangkan ujung yang lain dijepit di antara kedua pahanya. Meskipun tubuhnya santai, tidak demikian halnya dengan raut mukanya. Kerutan menghiasi wajah tampannya di antara kedua alisnya. Tatapannya juga terarah lurus pada ponselnya. “Kamu kenapa, Baby? Kenapa aku merasa kalau kamu lagi menghindariku lagi? Rasanya seperti kembali ke awal lagi.” William mengembuskan napas panjang. Tangan yang memeluk guling mengusap-us
Suara terbahak-bahak yang sangat keras langsung terdengar begitu William menunduk ke bawah. Debby semakin sebal mendengarnya, apalagi layar ponselnya sesekali menampilkan sekelebat dada telanjang lelaki itu. Debby akhirnya hanya diam menunggu dengan bibir mengerucut dan wajah dijauhkan dari ponsel. Untung Debby tak perlu menunggu lama sebelum suara terbahak-bahak itu menghilang dalam sekejap dan berganti menjadi suara panik bercampur suara napas yang memburu. “Baby? Baby, kamu di mana? Kok menghilang?” “Gara-gara siapa?” sahut Debby masih sedikit sebal. Kepalanya menoleh ke arah ponsel yang diletakkan di atas matras. Debby sendiri dalam posisi setengah berbaring dengan telapak kaki masih menjejak bumi. “Sudah pakai baju belum?” tanya Debby lagi untuk memastikan sebelum meraih ponsel. “Kepiknya sudah kabur. Kamu gak usah khawatir lagi,” timpal William s
“Hah! Aku memang nggak respek sama dia kok, Mi! Aku nggak mau sama Ferdi! Jadi, Mami nggak usah repot-repot menjodoh-jodohkan kami lagi.” “Kamu ini ...!” “Sudah, Mi,” potong Gunawan. “Sekali-sekali, dengarkan kemauan anak apa salahnya sih? Lagian kalau anaknya gak mau, ya, jangan dipaksa. Yang bakal menjalani itu mereka bukan kita. Kita punya urusan sendiri nanti. Ya, ‘kan?” Debby lagi-lagi terperangah melihat sang papi kembali merayu maminya. Kedua alis Gunawan naik turun. Namun, saat tangan sang papi hendak meraih tangan maminya, Liliana justru menepuk keras punggung tangan Gunawan. “Papi ini! Jangan genit! Ingat umur, Pi! Dan jangan selalu membela anakmu itu kenapa sih? Debby jadi melonjak, tahu!” protes Liliana. Netra Debby semakin membelalak mendengar nada suara sang mami yang kali ini terdengar lain dari biasanya. Indra pendengaran Debby menangkap nada merajuk sekaligus manja dalam suara sang mami. “Ha? Apa aku nggak salah dengar nih?” batin Debby terkesima. “Dia itu anakmu
Warning!!! Episode ini mengandung adegan dewasa yang mungkin tidak cocok atau membuat tidak nyaman bagi sebagian pembaca.Harap kebijakannya dalam membaca episode ini.*****Bukannya berhenti, sang istri justru berpindah ke titik sensitif lainnya.“Baby, please,” desis William lagi dengan gelisah.Tangannya kini mencengkeram pergelangan sang istri. “Koko gak mau sampai lepas kendali.”“Ssst! Kalau gitu, jangan ditahan-tahan, Ko. Aku sengaja kok mau kasih kompensasi buat Koko,” terang Debby sambil tangannya memainkan salah satu kepik tak bersayap milik William. “Jadi, Koko rileks aja. Serahkan semuanya sama aku. Aku bakal kasih servis yang memuaskan malam ini.”“Tunggu, tunggu! Kompensasi buat apa?” tanya William di antara giginya yang kembali bera
William menunggu sejenak hingga anak perempuannya memusatkan perhatian padanya.“Ya, Pi,” sahut Grace.“Cici bantuin Papi sama Mami jagain Dedek Ello sementara waktu, ya.”“Siap, Pi,” sahut Grace dengan antusias. Kepalanya manggut-manggut dengan cepat.“Anak pintar,” puji William sambil mengacungkan ibu jari. “Ya sudah, kalian bobo sekarang. Papi sama Mami sayang kalian. Peluk cium buat kalian berdua. Selamat bobo dan mimpi indah, malaikat-malaikat kecil kesayangannya Papi sama Mami.”“Oh, Tuhan! Aku sudah kangen sama anak-anak, Ko,” ucap Debby begitu panggilan video terputus.“Bukan cuma kamu aja, Baby,” timpal William. Sesaat, ia jadi teringat ketika siang tadi, ia dan sang istri mengantar anak-anak ke rumah ka
“Happy wedding anniversary, Baby!” ucap William dengan sangat mesra. Lelaki itu mencium punggung tangan sang istri dengan sangat lembut.Mereka baru saja selesai makan malam romantis yang sengaja disiapkan oleh William. Sayangnya, kebahagiaan William bercampur dengan rasa jengkel setiap kali ada pria yang memandang istrinya hingga dua kali. Tak ingin membagi pesona sang istri dengan orang lain, William pun buru-buru mengajak wanita itu untuk kembali ke kamar suite yang khusus dipesan untuk momen istimewa ini.William tak bosan-bosannya memandangi sang istri. Hingga detik ini, ia masih dan selalu saja terpukau dengan sosok sang istri yang tak banyak berubah selain bertambah cantik sejak ia menikahinya, apalagi malam ini. Berbalut busana malam warna merah menyala dengan bahu terbuka dan belahan gaun setinggi setengah paha yang menampilkan lekuk tubuh di tempat-tempat yang tep
“Koko kenapa? Masuk angin?” tanya Debby dengan panik. Wanita itu tahu-tahu sudah ada di sampingnya. Satu tangan memijat-mijat tengkuknya sementara tangan yang lain meraba keningnya.Perutnya kembali bergolak. Namun, William mencoba mengabaikannya. Tak berani membuka mulut, lelaki itu hanya bisa menggeleng sembari menghentikan apa pun niat Debby saat ini dengan isyarat tangan.Ketika Debby menyingkir, William sedikit merasa lega. Ia menghirup napas dalam-dalam sambil bertumpu pada dinding. William mengerutkan kening dengan perasaan tak enak.Setelah perutnya berhenti bergolak, William melangkah ke wastafel. Ia menatap sekilas pantulan dirinya di cermin, lalu membasuh wajahnya. Saat menegakkan tubuh, sang istri kembali muncul di sisinya dengan membawa botol minyak kayu putih.“Gak perlu, Baby. Koko gak apa-apa kok,&rdquo
“I love you too, Baby. My Love. My Wife. Now and forever,” sahut William dengan senyum mesra terpampang di wajah. Lelaki itu pun balas mencium Debby di beberapa titik di wajah.Setelah mendapatkan ciuman di kening, kedua pipi, dan bibir, Debby lantas menghirup napas dalam-dalam sambil memejamkan mata sejenak. Saat membuka mata, ada kebulatan tekad dan keberanian yang bersemayam di hati.“Aku percaya sama Koko. Kalau sikap Koko kayak gitu, mana mungkin aku tega membuat Koko berharap lama-lama. Aku nggak bakal minta Koko buat nunda kehamilan. Kalau Tuhan kasih kepercayaan itu sama kita sekarang, aku bakal menerima dan menjalaninya.”“Oh, Baby! Kamu serius? Kamu benar gak apa-apa?”Debby mengiyakan dengan mantap. Kepalanya ikut mengangguk untuk meyakinkan suaminya.&ldqu
Seringai jahil sang suami semakin lebar saja. Lelaki itu kemudian bertanya, “Apa kamu sadar, Baby, kalau nanti ada yang kebakaran lagi seperti dulu, sekarang sudah gak perlu bingung-bingung lagi buat cari pemadamnya?”“Ish! Koko ini, lo!” pekik Debby. Tangannya pun langsung mencubit daging terdekat.William sontak mengaduh kesakitan dan menggosok-gosok dada kirinya. “Astaga, Baby! Jarimu pedas juga, ya.”“Hmm! Siapa suruh godain terus?” rajuk Debby. Namun, sesaat kemudian Debby kembali berujar, “Tapi sori, ya, Ko, aku baru bisa kasih semalam.”“Hush! Kamu ini omong apaan sih! Setelah pemberkatan di gereja dan resepsi dengan segitu banyak tamu, kita kan sama-sama kecapaian, Baby. Kamu jangan omong gitu, ah. Meskipun Koko pengin, Koko juga gak mau ma
Warning!!! Episode ini mengandung adegan dewasa yang mungkin tidak cocok atau membuat tidak nyaman bagi sebagian pembaca.Harap kebijakannya dalam membaca episode ini.*****Selagi Debby menerka-nerka siapa sosok yang dengan lancang berani memanggil-manggil nama suaminya, tiba-tiba suara William yang terdengar parau menembus gendang telinga Debby. “Lepaskan, Baby. Lepaskan.”“Ko Billy!” jerit Debby putus asa. ‘Ah! Kenapa suara yang keluar sama dengan yang tadi? Apa tadi itu suaraku sendiri?’“Ya, Baby, ya. Ayo, jangan ditahan lagi. Koko pengin lihat kamu, Baby,” ucap William terus menyemangati.Tak ingin mengecewakan lelaki itu, Debby berusaha menuruti kata-katanya. Dengan sedikit takut, dorongan yang semula ia tahan-tahan kini ia biarkan lepas mengalir begitu sa
Warning!!! Episode ini mengandung adegan dewasa yang mungkin tidak cocok atau membuat tidak nyaman bagi sebagian pembaca.Harap kebijakannya dalam membaca episode ini.*****“Umm!” gumam Debby sambil menggeliat. Namun, jerit tertahan langsung menyusul detik berikutnya. Tubuh wanita itu langsung mematung kaku. Kelopak mata tanpa lipatan yang semula susah dibuka seperti habis diberi lem pun langsung terbuka lebar-lebar.Kerutan halus muncul tak lama kemudian di antara kedua alis hitam melengkungnya. Saat Debby mencoba untuk kembali meregangkan tubuh, suara desisan panjang langsung meluncur dari bibirnya. Otaknya pun langsung menggali ingatan.“Oh, Tuhan!” seru Debby begitu berhasil mengumpulkan semua memori tentang semalam. Ia langsung menarik selimut hingga menutupi seluruh wajahnya yang kini terasa panas.Suara kekehan maskuli
Jantung William tak bisa berhenti berdebar kencang. Meskipun ia sudah mengatur napas sedemikian rupa, tetap saja jantungnya masih bertingkah dengan brutal. Keempat jari tangan kanannya pun tak berhenti berderap di atas meja. Sebentar-sebentar netra sipitnya melirik arlojinya.“Ya, Tuhan! Kenapa kamu belum sampai juga, Baby?” desah William untuk ke sekian kalinya sejak lima menit yang lalu.Selain melirik arloji, lelaki itu juga berkali-kali menatap ke arah pintu. Pemandangan 360 derajat di sekelilingnya yang menampilkan gemerlap lampu ibu kota dari atap gedung tak mampu mengalihkan perhatian William.“Ya, Tuhan! Kalau tahu akan seperti ini, Koko gak akan mau menuruti permintaanmu tadi, Baby. Argh! Kenapa kamu gak mau Koko jemput aja sih?” gerutu William.Setelah gelisah hingga lima menit kemudian, akhirnya sosok yang dinanti-nanti tiba juga. William buru-buru bangkit berdiri sambil tersenyum semringah meski langsung berusaha ia redam. Ia masih tak tahu pasti apa yang akan terjadi malam