Lelaki yang duduk di samping Debby itu tidak langsung menyahut. Wanita itu justru mendengar helaan napas panjang yang keluar dari bibir William.
“Aku tahu kamu pasti masih terguncang saat ini. Sebenarnya, ada banyak pertanyaan yang mau kuajukan sama kamu. Tapi aku akan membiarkanmu istirahat dulu malam ini. Kita bicarakan ini besok saat kondisimu sudah lebih baik. Jangan menghindar!” tandas William cepat saat Debby baru akan membuka mulut lagi untuk melayangkan protes lain. “Aku mau tahu semuanya!”
“Ck!” decak Debby sebal.
“Apa kamu bisa minta Fanny untuk menemanimu malam ini?”
Debby kembali menoleh dengan cepat. Ditatapnya lelaki itu lurus-lurus. “Nggak perlu merepotkan orang lain, Pak! Aku nggak apa-apa kok!”
“Bibirmu mungkin bisa bilang nggak apa-apa, tapi di dalam sana siapa yang tahu selain kamu, ha?” ucap lelaki itu sembari menunjuk ke arah organ hati Debby berada
William sudah gatal ingin segera menanyai Debby perihal laki-laki yang sudah bersikap kurang ajar pada wanita itu tadi. Namun, ia bisa melihat kalau Debby masih terguncang. Ia juga tidak tenang meninggalkan wanita itu sendirian. Sayangnya, wanita itu benar-benar keras kepala. William gelisah sepanjang malam. Tubuhnya dibolak-balik di atas pembaringan. Rasanya tidak ada posisi yang nyaman untuk tidur, padahal biasanya ia gampang tertidur. Netra sipit beriris cokelat tua itu pun enggan terpejam. Ia masih memikirkan tentang Debby. “Apakah kamu bisa tidur, Sayang? Bagaimana keadaanmu sekarang? Apakah tidurmu nyenyak?” gumam William seraya menatap langit-langit kamar. Tiba-tiba William mengangkat tubuh dan menyalakan lampu tidur di atas nakas. Ia kemudian meraih ponsel. Jam digital yang muncul di layar menunjukkan pukul dua dini hari kurang beberapa menit. Ia lalu mengatur bantal di kepala ranjang. Setelah bimbang sejenak, William akhirnya nekat mengirim pesan. “Baby, apa kamu sudah tid
Selama beberapa hari berikutnya, Debby selalu berusaha menghindari pembicaraan mengenai Ferdinand setiap kali William bertanya. Ia tahu lelaki itu mulai kesal meski tidak diutarakan. “Maaf, Pak, aku benar-benar belum bisa cerita,” sesal Debby ketika William kembali bertanya malam ini. “Aku tahu Bapak pasti kecewa, tapi aku juga bukannya tenang-tenang aja, Pak. Aku juga stres.” “Stres kenapa, Baby?” William bertanya dengan kening berkerut. “Aku tahu Bapak tulus padaku. Tapi semua yang Bapak minta selama ini meski berupa candaan, itu semua membebaniku. Semua yang Bapak minta itu merupakan langkah besar buatku dan aku belum siap mengambil langkah sebesar itu. Aku juga bukannya nggak mau memercayai Bapak. Aku mau. Aku mau, Pak,” ucap Debby seraya menganggukkan kepala. Selama berbicara tatapan matanya terus tertuju pada William. “Rasanya sudah lelah menanggung beban selama ini sendirian,” bisik Debby sambil menunduk. Namun, detik berikutnya, kepalanya kembali terangkat. “Tapi setengah h
William kegirangan saat mendengar Debby mau memasakkan sesuatu untuknya. Ini kali kedua Debby membuatkan sesuatu untuknya sejak William mulai bertandang ke rumah wanita itu meskipun yang pertama ia tidak melihatnya langsung. Namun, bukannya membantu seperti yang dikatakannya tadi, lelaki itu justru sibuk memeriksa isi dapur setelah mendapat izin dari sang empunya dapur. “Ya ampun, Pak! Bapak ini kayak lagi inspeksi aja! Buat apa sih?” Wanita yang mulai sibuk menyiapkan bahan-bahan untuk membuat hidangan makan malam hanya bisa menggelengkan kepala. “Gak ada apa-apa sih. Cuma pengin tahu letak-letaknya aja. Aku kan jarang ke dapurmu kalau lagi main ke sini. Siapa tahu suatu saat nanti aku harus cari apa gitu di sini waktu kamu gak bisa, ‘kan aku jadi gak bingung?” “Ck! Nggak usah cari-cari alasan deh, Pak. Memangnya Bapak butuh apa?” tanya Debby dengan tangan terus bergerak lincah. Semua gerak-gerik wanita itu pun ta
“Siapa sih yang dibicarakan sama mereka? Feeling-ku kok laki-laki, ya,” batin William yang semakin diliputi rasa penasaran. Sekarang, bahkan ada rasa ... tidak suka! “Gak suka?” ulang William dalam hati. Ia sudah tidak berusaha untuk menguping pembicaraan antara ayah dan anak itu lagi. “Benar. Kalau yang mereka bicarakan itu laki-laki, ya ampun, aku benar-benar merasa iri,” keluh William dalam hati. Ia lalu mendesah. “Ya ampun, Will! Kamu itu apa-apaan sih? Bisa-bisanya kamu iri! Jangan seperti anak kecil! Lagian apa yang mereka bicarakan itu bukan urusanmu. Hah! Belum. Belum jadi urusanku!” tukas William dalam hati. Satu tangannya yang bertumpu pada meja bar memijat pangkal hidungnya. Kedua matanya terpejam erat dengan kerutan menghiasi area di antara kedua alisnya. “Tapi … astaga! Aku benar-benar iri! Siapa pun orang itu! Ya, Tuhan. Aku benar-benar gak suka sama situasi ini. Kenapa aku merasa buruk berad
Lagi-lagi telinga William langsung menangkap pekikan sebal dari bibir mungil Debby. “Pak!”William rela jika telinganya bakal terus berdenging sepanjang malam ini asalkan bisa melihat lagi ekspresi yang baru saja diperlihatkan oleh Debby. Jiwa usilnya sudah kegirangan seperti anak kecil mendapat hadiah.William terus mengamati wanita itu. Ia bahkan bisa melihat mata sipit Debby mengintip dari sela-sela jari tangannya. Ia semakin terkekeh.“Jangan menatapku kayak gitu, Pak!” protes Debby seraya memutar tubuh dan menjauh.“Eh, kamu mau ke mana, Baby? Jangan pergi dulu! Obrolan menarik kita belum selesai. Aku kan pengin tahu jawabanmu, Baby,” seru William semakin jahil.Meskipun menjauh, Debby ternyata tidak meninggalkan dapur. Ia kemudian menyahut dengan nada sebal, “Ya ampun, Pak! Kenapa topiknya jadi menyerempet ke sana
“Kalau seperti ini terus sih, mungkin memang sebaiknya aku pulang aja deh,” pikir William. Ia sangat frustrasi. Setelah membisu beberapa saat, akhirnya Debby berkata, “Aku nggak suka, ya, Bapak curi-curi kesempatan kayak tadi! Sudah beberapa kali Bapak kayak gitu, lo! Kalau Bapak masih kayak gitu terus, mending Bapak nggak usah ke sini lagi!” “Baby!” potong William dengan kaget. Jantungnya berasa langsung terjun bebas ke perut. Debby mengangkat tangan dan menghentikan segala protes yang hendak dilontarkan William. “Bapak tadi bilang kita sama-sama belajar, ‘kan? Aku belajar memercayai Bapak. Bapak belajar sabar dan menahan diri. Tapi ini apa?” beber Debby sambil membuka satu telapak tangan di atas meja. Debby mendengkus sebal. “Belum juga lewat 24 jam, lo, Pak,” kritik Debby lebih lanjut. “Kalau Bapak kayak gitu terus, gimana aku mau memercayai Bapak? Hah, kayaknya aku sudah nggak bisa nerima Bapak di rumah ini lagi! Bapak nggak usah lagi menghubungiku! Hubungan kerja kita toh jug
“Hah! Bukan cuma karena itu, Pak!” sahut Debby dengan sewot. Semburat merah lagi-lagi muncul meski hanya di pipi. “Bapak ini selalu aja membalikkan keadaan, tahu! Berapa kali aku menolak atau mengusir Bapak, tapi Bapak selalu berhasil membalik keadaan lewat kata-kata Bapak! Menyebalkan!”William terkekeh. “Aku kan sudah bilang gak akan melepasmu, Baby. Jadi, bagaimana?”Lagi-lagi lelaki itu harus menunggu. Dalam hati, ia berdoa supaya Debby menyetujui usulnya dan mau terbuka padanya. Ia menanti dengan sabar meski dalam hati sudah ketar-ketir.“Hah, aku nggak bisa jawab sekarang, Pak,” ucap Debby pada akhirnya. “Beri aku waktu buat berpikir.”William menimbang-nimbang sejenak. “Baiklah kalau itu yang kamu butuhkan, Baby. Aku akan kasih waktu sebanyak yang kamu butuhkan, tapi jangan terlalu lama. Aku bisa semakin gila k
Debby melebarkan daun pintu pagar. Rasa isengnya yang muncul sejak lelaki itu mendeklarasikan perasaan cemburunya masih bertahan hingga sekarang. Sambil tersenyum manis dengan niat menggoda, wanita itu berujar, “Karena Bapak sudah sering bikin aku nggak nyaman, apalagi malam ini sudah bikin aku malu sampai beberapa kali. Sekarang, giliran Bapak yang merasakan. Adil, ‘kan?” Selesai berbicara, Debby langsung membuka telapak tangannya ke arah jalan raya.“Ya, Tuhan! Baru kali ini, aku lihat sisimu yang ini. Ternyata kamu pendendam, ya?” William terkekeh.“Oh, itu khusus buat Bapak. Baru tahu?” Debby berbicara seolah-olah itu hal biasa, bukan sesuatu yang buruk, dan tetap menampilkan senyum manis.William langsung terbahak-bahak. “Haruskah aku tersanjung?”Debby hanya mengangkat bahu dengan senyum tetap terkembang dan tidak mengatakan apa-apa lagi.
Warning!!! Episode ini mengandung adegan dewasa yang mungkin tidak cocok atau membuat tidak nyaman bagi sebagian pembaca.Harap kebijakannya dalam membaca episode ini.*****Bukannya berhenti, sang istri justru berpindah ke titik sensitif lainnya.“Baby, please,” desis William lagi dengan gelisah.Tangannya kini mencengkeram pergelangan sang istri. “Koko gak mau sampai lepas kendali.”“Ssst! Kalau gitu, jangan ditahan-tahan, Ko. Aku sengaja kok mau kasih kompensasi buat Koko,” terang Debby sambil tangannya memainkan salah satu kepik tak bersayap milik William. “Jadi, Koko rileks aja. Serahkan semuanya sama aku. Aku bakal kasih servis yang memuaskan malam ini.”“Tunggu, tunggu! Kompensasi buat apa?” tanya William di antara giginya yang kembali bera
William menunggu sejenak hingga anak perempuannya memusatkan perhatian padanya.“Ya, Pi,” sahut Grace.“Cici bantuin Papi sama Mami jagain Dedek Ello sementara waktu, ya.”“Siap, Pi,” sahut Grace dengan antusias. Kepalanya manggut-manggut dengan cepat.“Anak pintar,” puji William sambil mengacungkan ibu jari. “Ya sudah, kalian bobo sekarang. Papi sama Mami sayang kalian. Peluk cium buat kalian berdua. Selamat bobo dan mimpi indah, malaikat-malaikat kecil kesayangannya Papi sama Mami.”“Oh, Tuhan! Aku sudah kangen sama anak-anak, Ko,” ucap Debby begitu panggilan video terputus.“Bukan cuma kamu aja, Baby,” timpal William. Sesaat, ia jadi teringat ketika siang tadi, ia dan sang istri mengantar anak-anak ke rumah ka
“Happy wedding anniversary, Baby!” ucap William dengan sangat mesra. Lelaki itu mencium punggung tangan sang istri dengan sangat lembut.Mereka baru saja selesai makan malam romantis yang sengaja disiapkan oleh William. Sayangnya, kebahagiaan William bercampur dengan rasa jengkel setiap kali ada pria yang memandang istrinya hingga dua kali. Tak ingin membagi pesona sang istri dengan orang lain, William pun buru-buru mengajak wanita itu untuk kembali ke kamar suite yang khusus dipesan untuk momen istimewa ini.William tak bosan-bosannya memandangi sang istri. Hingga detik ini, ia masih dan selalu saja terpukau dengan sosok sang istri yang tak banyak berubah selain bertambah cantik sejak ia menikahinya, apalagi malam ini. Berbalut busana malam warna merah menyala dengan bahu terbuka dan belahan gaun setinggi setengah paha yang menampilkan lekuk tubuh di tempat-tempat yang tep
“Koko kenapa? Masuk angin?” tanya Debby dengan panik. Wanita itu tahu-tahu sudah ada di sampingnya. Satu tangan memijat-mijat tengkuknya sementara tangan yang lain meraba keningnya.Perutnya kembali bergolak. Namun, William mencoba mengabaikannya. Tak berani membuka mulut, lelaki itu hanya bisa menggeleng sembari menghentikan apa pun niat Debby saat ini dengan isyarat tangan.Ketika Debby menyingkir, William sedikit merasa lega. Ia menghirup napas dalam-dalam sambil bertumpu pada dinding. William mengerutkan kening dengan perasaan tak enak.Setelah perutnya berhenti bergolak, William melangkah ke wastafel. Ia menatap sekilas pantulan dirinya di cermin, lalu membasuh wajahnya. Saat menegakkan tubuh, sang istri kembali muncul di sisinya dengan membawa botol minyak kayu putih.“Gak perlu, Baby. Koko gak apa-apa kok,&rdquo
“I love you too, Baby. My Love. My Wife. Now and forever,” sahut William dengan senyum mesra terpampang di wajah. Lelaki itu pun balas mencium Debby di beberapa titik di wajah.Setelah mendapatkan ciuman di kening, kedua pipi, dan bibir, Debby lantas menghirup napas dalam-dalam sambil memejamkan mata sejenak. Saat membuka mata, ada kebulatan tekad dan keberanian yang bersemayam di hati.“Aku percaya sama Koko. Kalau sikap Koko kayak gitu, mana mungkin aku tega membuat Koko berharap lama-lama. Aku nggak bakal minta Koko buat nunda kehamilan. Kalau Tuhan kasih kepercayaan itu sama kita sekarang, aku bakal menerima dan menjalaninya.”“Oh, Baby! Kamu serius? Kamu benar gak apa-apa?”Debby mengiyakan dengan mantap. Kepalanya ikut mengangguk untuk meyakinkan suaminya.&ldqu
Seringai jahil sang suami semakin lebar saja. Lelaki itu kemudian bertanya, “Apa kamu sadar, Baby, kalau nanti ada yang kebakaran lagi seperti dulu, sekarang sudah gak perlu bingung-bingung lagi buat cari pemadamnya?”“Ish! Koko ini, lo!” pekik Debby. Tangannya pun langsung mencubit daging terdekat.William sontak mengaduh kesakitan dan menggosok-gosok dada kirinya. “Astaga, Baby! Jarimu pedas juga, ya.”“Hmm! Siapa suruh godain terus?” rajuk Debby. Namun, sesaat kemudian Debby kembali berujar, “Tapi sori, ya, Ko, aku baru bisa kasih semalam.”“Hush! Kamu ini omong apaan sih! Setelah pemberkatan di gereja dan resepsi dengan segitu banyak tamu, kita kan sama-sama kecapaian, Baby. Kamu jangan omong gitu, ah. Meskipun Koko pengin, Koko juga gak mau ma
Warning!!! Episode ini mengandung adegan dewasa yang mungkin tidak cocok atau membuat tidak nyaman bagi sebagian pembaca.Harap kebijakannya dalam membaca episode ini.*****Selagi Debby menerka-nerka siapa sosok yang dengan lancang berani memanggil-manggil nama suaminya, tiba-tiba suara William yang terdengar parau menembus gendang telinga Debby. “Lepaskan, Baby. Lepaskan.”“Ko Billy!” jerit Debby putus asa. ‘Ah! Kenapa suara yang keluar sama dengan yang tadi? Apa tadi itu suaraku sendiri?’“Ya, Baby, ya. Ayo, jangan ditahan lagi. Koko pengin lihat kamu, Baby,” ucap William terus menyemangati.Tak ingin mengecewakan lelaki itu, Debby berusaha menuruti kata-katanya. Dengan sedikit takut, dorongan yang semula ia tahan-tahan kini ia biarkan lepas mengalir begitu sa
Warning!!! Episode ini mengandung adegan dewasa yang mungkin tidak cocok atau membuat tidak nyaman bagi sebagian pembaca.Harap kebijakannya dalam membaca episode ini.*****“Umm!” gumam Debby sambil menggeliat. Namun, jerit tertahan langsung menyusul detik berikutnya. Tubuh wanita itu langsung mematung kaku. Kelopak mata tanpa lipatan yang semula susah dibuka seperti habis diberi lem pun langsung terbuka lebar-lebar.Kerutan halus muncul tak lama kemudian di antara kedua alis hitam melengkungnya. Saat Debby mencoba untuk kembali meregangkan tubuh, suara desisan panjang langsung meluncur dari bibirnya. Otaknya pun langsung menggali ingatan.“Oh, Tuhan!” seru Debby begitu berhasil mengumpulkan semua memori tentang semalam. Ia langsung menarik selimut hingga menutupi seluruh wajahnya yang kini terasa panas.Suara kekehan maskuli
Jantung William tak bisa berhenti berdebar kencang. Meskipun ia sudah mengatur napas sedemikian rupa, tetap saja jantungnya masih bertingkah dengan brutal. Keempat jari tangan kanannya pun tak berhenti berderap di atas meja. Sebentar-sebentar netra sipitnya melirik arlojinya.“Ya, Tuhan! Kenapa kamu belum sampai juga, Baby?” desah William untuk ke sekian kalinya sejak lima menit yang lalu.Selain melirik arloji, lelaki itu juga berkali-kali menatap ke arah pintu. Pemandangan 360 derajat di sekelilingnya yang menampilkan gemerlap lampu ibu kota dari atap gedung tak mampu mengalihkan perhatian William.“Ya, Tuhan! Kalau tahu akan seperti ini, Koko gak akan mau menuruti permintaanmu tadi, Baby. Argh! Kenapa kamu gak mau Koko jemput aja sih?” gerutu William.Setelah gelisah hingga lima menit kemudian, akhirnya sosok yang dinanti-nanti tiba juga. William buru-buru bangkit berdiri sambil tersenyum semringah meski langsung berusaha ia redam. Ia masih tak tahu pasti apa yang akan terjadi malam