William sudah tidak sabar ingin segera sampai di rumah Debby. Sudah beberapa hari ini mereka tidak bertatap muka secara langsung. Meskipun komunikasi melalui pesan percakapan maupun panggilan telepon tetap terjalin, William tidak pernah merasa puas. “Aku sudah sangat merindukanmu, Baby,” ucap William seraya tangannya memegang roda kemudi. Sejak Debby sembuh dari sakit, wanita itu sudah sedikit melunak. Komunikasi di antara mereka sudah lebih baik dari sebelumnya meskipun tetap saja diwarnai dengan argumen dan perdebatan. William selalu tersenyum setiap kali mengingat interaksi mereka. Beberapa kali, lelaki itu menyambangi rumah Debby meski wanita itu sudah melarang sebelumnya. Kalau ia tiba-tiba sudah muncul di depan rumah wanita itu, sang desainer grafis memang selalu mempersilakan William untuk masuk. Namun, William hampir yakin kalau Debby melakukannya dengan setengah hati. Ia juga menyadari, entah disengaja atau tidak, setiap kali ada kesempatan wanita itu selalu berusaha menent
William tertegun sejenak. Mata sipitnya melebar dan senyum cerah langsung mengembang di wajahnya. “Maksudmu, kamu sengaja bikin kukis ini buatku? Menurut seleraku? Kamu mengingat pesanku kalau aku gak suka makanan yang terlalu manis?” Debby mengiyakan, tetapi tetap dengan raut cemberut. Hati William langsung berbunga-bunga. Ujung-ujung bibirnya sudah membelah wajahnya dari telinga kiri hingga telinga kanan. Tak masalah jika Debby berekspresi seperti itu. Wanita itu justru semakin terlihat menggemaskan di mata William. “Ya ampun, Baby!” seru William kemudian. Suaranya sarat kegembiraan. Lagi-lagi ia mendapat kejutan malam ini. “Kalau kamu seperti ini terus kan, aku jadi makin cin … eh, sayang sama kamu.” William lalu memasukkan sisa biskuit yang ada di tangannya ke dalam mulut. “Kamu gak akan kulepas,” ucapnya lagi, bahkan sebelum mulutnya kosong. Debby malah berdecak. Cemberutnya semakin bertambah. William
“Jangan mengubah topik pembicaraan, Baby!” William meraih tangan wanita itu dan mengguncangnya pelan. “Ah, dan aku gak mau tambah apa-apa. Aku maunya kamu. Duduklah lagi, Baby,” pinta William dengan lembut. Debby lagi-lagi mengembuskan napas panjang dan kembali duduk. “Maaf, aku nggak mau bahas soal ini maupun orang itu! Bisa ganti topik aja, Pak?” Debby meminta dengan tatapan sendu. Hati William lagi-lagi tertohok mendengar permintaan dan melihat wanita yang disayanginya seperti itu. “Baiklah, tapi tolong jawab dulu pertanyaanku dengan jujur. Apa orang ini sudah menyakitimu?” Kepala Debby menoleh menatap William. “Kenapa memangnya, Pak?” William menggeleng sekali. “Jawab aja. Please?” Wanita itu kembali memalingkan wajahnya. Setelah menunggu beberapa saat, barulah terdengar suara lirih dari bibir Debby. “Bukan secara fisik.” William langsung memejamkan mata dan mengembuskan napas. Hatinya menggelegak mengetahui wanita yang disayanginya merasa tersakiti. Tinjunya terkepal erat di
Sudah lebih dari seminggu, William masih belum berhasil membujuk Debby untuk menjadwalkan ulang rencana makan bersama mereka. Setiap kali William menyinggungnya, wanita itu selalu mengelak atau mengubah topik pembicaraan. Berkali-kali, ia jadi menyalahkan diri sendiri karena sudah gegabah dalam berbicara dengan wanita itu. Setelah berinteraksi secara langsung beberapa kali, lelaki berkulit kuning langsat itu kini sudah mulai lebih memahami sang desainer grafis. Namun, entah kenapa, setiap kali bersinggungan dengan wanita itu, William tidak bisa menyaring kata-kata yang keluar dari mulutnya supaya tidak menyulut emosi wanita itu. William jadi teringat lagi pada percakapan mereka dua malam sebelumnya setelah ia kembali gagal membujuk Debby. “Maaf, Baby, kalau kemarin aku sudah menyinggungmu. Tapi semua perkataanku selama ini itu serius, termasuk tentang pikiranku yang buatmu mungkin terlalu jauh ke depan. Ga
William membalik kertas biru seukuran kartu nama itu dan mendapati tulisan tangan yang rapi tertera di sana. Saat William membaca tulisan tersebut, netra sipitnya seketika membeliak. Tawa gembira kembali terdengar tak lama kemudian. “Ya ampun, Baby! Kamu benar-benar penuh kejutan!” seru William kegirangan. Sambil memeluk isi paket di tangan kiri, dibacanya lagi dan lagi tulisan tangan yang tersusun rapi itu hingga beberapa kali seolah William tidak pernah puas membacanya. Setelah beberapa kali membaca, tiba-tiba William menyadari sesuatu. “Eh … tanggal ini!” Lelaki itu langsung menghitung mundur dalam hati. Ketika William sampai pada kesimpulan, ledakan kebahagiaan langsung memenuhi hatinya. Ia tertawa lepas. Rasanya ingin memeluk wanita itu saat ini juga, tetapi keadaan tidak memungkinkan. William mencoba menghubungi wanita itu lagi. Sayangnya, panggilan teleponnya masih belum diter
Setelah membuat janji dengan William, Debby meneruskan kegiatannya membereskan barang-barang bawaannya. Suara ketukan di pintu disusul dengan munculnya kepala sang papi dari balik pintu tak menghentikan gerakan Debby. Wanita itu hanya mendongak sambil tersenyum.“Belum selesai?” tanya sang papi sambil melangkah ke dalam kamar.“Belum, Pi.”“Pakaianmu kenapa gak kamu tinggal saja di sini sebagian kalau kamu berencana balik tiap minggu? Minggu depan kamu bawa baju ganti agak banyak sekalian. Jadi, gak bolak-balik selalu bawa,” saran Gunawan seraya duduk di tepi pembaringan.“Ya, Pi. Rencanaku juga gitu.”“Kenapa gak pulang agak sorean saja? Matahari sudah gak panas banget, ‘kan kalau sore?”“Nanti malam aku ada janji sama teman, Pi. Kalau kesorean, nanti buru-buru.”
“Sudah berangkat, Baby?” “Baru mau jalan, Pak.” “Oke, hati-hati kalau gitu. Aku sudah di jalan ini.” “Ya, Pak. Bapak juga hati-hati. Sampai ketemu di sana.” “Siap, Baby.” Sepanjang jalan—oh, lebih tepatnya sejak menerima paket dan membaca memo kemarin, raut bahagia senantiasa terpancar pada wajah William. Senyumnya sebentar-sebentar muncul setiap kali William mengingat wanita itu atau apa yang sudah wanita itu lakukan untuknya. Sejak kemarin, lelaki berdagu belah itu sudah tidak sabar untuk segera bertemu dengan sang pujaan hati, apalagi ia tidak mendapat kabar apa-apa hingga siang tadi selain pesan balasan yang dikirim wanita itu kemarin sore. Pesan balasan darinya pun tidak dibalas lagi, hanya dibaca meski itu setelah beberapa jam kemudian. Proyek kecil yang sedang ia tangani pun masih berkaitan dengan sang desainer grafis. Jad
Obrolan Debby dan William kembali berlanjut setelah pesanan dicatat oleh pramusaji. William banyak bertanya soal kunjungan Debby ke rumah orang tuanya belakangan ini. Ia jadi tahu kalau Debby sekarang tengah mempelajari bisnis yang dijalankan oleh papinya. Bidang usaha yang jauh berbeda dengan pekerjaan yang sekarang ini digeluti oleh wanita itu. William bahkan sampai menawarkan diri untuk membantu Debby jika wanita itu merasa kesulitan. Ia ingin memberi dukungan dan membagikan pengalamannya sendiri saat belajar bisnis, bidang yang juga jauh berbeda dengan ilmu yang dipelajarinya saat duduk di bangku kuliah strata satu. “Makasih buat tawaran bantuannya, Pak, tapi kayaknya sih nggak perlu,” tolak Debby. “Ya, gak harus sekarang gak apa-apa. Siapa tahu suatu saat nanti kamu ternyata mengalami kesulitan atau ada yang gak kamu pahami, bilang aja. Kalau aku tahu, pasti aku bantu.” “Ya, ya. Sekali l
Jantung William tak bisa berhenti berdebar kencang. Meskipun ia sudah mengatur napas sedemikian rupa, tetap saja jantungnya masih bertingkah dengan brutal. Keempat jari tangan kanannya pun tak berhenti berderap di atas meja. Sebentar-sebentar netra sipitnya melirik arlojinya.“Ya, Tuhan! Kenapa kamu belum sampai juga, Baby?” desah William untuk ke sekian kalinya sejak lima menit yang lalu.Selain melirik arloji, lelaki itu juga berkali-kali menatap ke arah pintu. Pemandangan 360 derajat di sekelilingnya yang menampilkan gemerlap lampu ibu kota dari atap gedung tak mampu mengalihkan perhatian William.“Ya, Tuhan! Kalau tahu akan seperti ini, Koko gak akan mau menuruti permintaanmu tadi, Baby. Argh! Kenapa kamu gak mau Koko jemput aja sih?” gerutu William.Setelah gelisah hingga lima menit kemudian, akhirn
“Eh, Papi!” seru William dan Debby berbarengan.Keduanya sama-sama terkejut. William langsung menghentikan gerakan tangannya yang tengah menjepit dan memainkan bibir bawah kekasihnya. Tangan itu pun sontak menjauh dari bibir menggemaskan putri semata wayang Gunawan.“Maaf, Pi,” ucap William sambil sedikit menundukkan kepala sekaligus merutuki kelancangan tangannya dalam hati.“Hmm,” timpal Gunawan dengan suara sekaligus ekspresi datar. Lelaki paruh baya itu pun mendekat dan duduk di sofa.William melirik kekasihnya saat wanita itu menggeser duduknya sedikit menjauh. Wajahnya sudah seperti kepiting rebus saja. William kembali menyesali tangannya yang tak bisa diam hingga membuat wanita itu harus menanggung malu di hadapan orang tuanya sendiri.“Sori,” bisik William tatkala Gunawan tak memperh
William sangat terkejut mendengar penuturan Debby. Ia sama sekali tak mengira jika kekasihnya memiliki ketakutan sampai seperti itu. William mengulurkan tangan hendak menenangkan sang kekasih yang kembali berderai air mata. Ia terenyuh melihat wanita itu bahkan bernapas dengan tersengal-sengal.Namun, belum sempat merengkuh sang kekasih, William kembali dikejutkan dengan suara jeritan histeris yang terdengar tiba-tiba. William dan Debby yang masih menangis sontak menoleh berbarengan ke sumber suara.“Jangan lagi, ya, Tuhan! Jangan lagi!” desis seseorang yang baru saja tiba hingga berkali-kali.Dalam sekejap, suara tangis di sisi William pun lenyap, berganti dengan kesiap tajam. Lelaki itu pun tak kalah terperanjat saat menatap kedua sosok yang tiba-tiba sudah berdiri di ambang pintu. Satu orang memapah yang lainnya yang tampak tak baik-baik saja. Buru-buru William ban
“Apa maksudmu, Baby?!” tuntut William yang kaget setengah mati.Jantungnya langsung menggila mendengar keputusan sepihak yang meluncur dari bibir mungil sang kekasih. Hati William menolak keras untuk mencerna maksud yang terkandung di dalamnya. Namun, otaknya jelas-jelas menerima pesan tersebut dengan sangat gamblang. Seketika, otaknya dipenuhi dengan kata-kata keramat yang sangat dihindari oleh lelaki itu.William pun langsung menyambar tangan Debby yang keburu membelakanginya. Namun, sebelum tubuh kekasihnya berbalik sepenuhnya, William masih sempat melihat kekasihnya menutup mulut dan mendengar suara isakan lirih. William langsung mengernyit. Hatinya sedikit terusik dengan sikap dan omongan Debby yang lagi-lagi saling bertolak belakang di saat bersamaan.“Baby?” panggil William dengan lebih lembut saat wanita itu tetap me
William berusaha keras untuk tidak menyentuh wanita yang duduk di sampingnya—meski tak sedekat biasanya, apalagi saat wanita itu mengangguk tak mantap sambil menggigit bibir bawahnya.“Kurang lebih,” jawab Debby. “Aku sadar kalau aku selalu menghindar tiap kali Koko memintaku buat melangkah ke jenjang yang lebih serius. Kupikir aku bisa kayak gitu dulu buat sementara waktu. Tapi ternyata yang terakhir kemarin itu ....”Debby mengangkat bahu sambil tersenyum sendu sementara William agak terusik dengan sesuatu yang diucapkan kekasihnya. Ia pun menautkan kedua alisnya meski berusaha untuk tak menyela.“Aku nggak tahu apa yang terakhir itu yang paling parah,” lanjut Debby, “atau justru saking banyaknya Koko nimbun kekesalan jadi bikin Koko jaga jarak sama aku. Tapi apa pun itu, yang jelas aku mau minta maaf sama Koko soal ini. Bolak-balik aku selalu mengecewakan Koko. M
“Wow!” seru Debby yang masih takjub dengan kabar bahagia yang dibawa oleh sahabatnya. Ujung-ujung bibir Debby sudah terangkat sejak tadi.“Jadi, benar ini dari Ko Niel?” tanya Debby lagi sembari mencermati sebentuk cincin bermata berlian tunggal yang tersemat pada jari manis tangan Fanny.Wanita berambut sebahu itu sekarang sudah duduk di hadapannya. Namun, Debby belum melepas genggaman tangannya sejak dirinya melihat kilau sebuah cincin baru yang ia tahu belum pernah dikenakan oleh Fanny sebelumnya.Debby ikut berbahagia untuk Fanny yang senyumnya juga tak pernah lekang dari wajah perseginya sejak muncul di hadapan Debby. “Aku benar-benar ikut senang, Fan. Ya ampun. Selamat, ya, Say. Selamat. Omong-omong, kapan Ko Niel melamar?”“Uhm ... baru hari Sabtu kemarin sih,” ucap Fanny dengan pipi merona.
Di hadapan William, kini tersaji semangkuk bubur ayam tanpa kuah bumbu. Hanya ada bubur nasi yang sudah bercampur dengan potongan daging ayam dengan pugasan kulit pangsit goreng, irisan seledri, tongcai, dan cakwe. Kekasihnya bahkan juga menyediakan kecap asin di mangkuk terpisah yang ukurannya jauh lebih kecil.William kembali termangu sambil menatap sajian itu. Hatinya benar-benar terbelah dua. Ia merasa sangat bahagia sekaligus frustrasi. Baru kali ini, ia dilayani untuk sarapan sampai sedemikian rupa, apalagi oleh wanita yang sangat dicintai dan diinginkannya. Selain sosok sang mami tentu saja.“Kenapa cuma dilihat aja, Ko? Oh, astaga! Apa Koko nggak suka bubur ayam?”Suara merdu sang kekasih menyentak angan William. Ia gelagapan sesaat sebelum menimpali, “Oh, gak apa-apa kok, Baby. Siapa bilang Koko gak suka bubur ayam? Koko cuma lagi
William memang memutuskan untuk bersikap biasa saja sebelum mengetahui dengan pasti apa keinginan kekasihnya dari hubungan mereka ini. Namun, tetap saja lelaki itu tak bisa menahan ujung-ujung bibirnya yang mulai terangkat setelah mendengar pesan suara dari Debby. Ia pun melempar tubuhnya ke matras sambil terkekeh kecil.“Ya, Tuhan. Seperti ini nih yang bikin Koko gak bisa berpaling dari kamu, Baby. Bagaimana kelak Koko bisa hidup tanpamu?”Tiba-tiba ponselnya kembali berbunyi. Ada satu lagi pesan suara yang masuk dari kekasihnya.“Ko Billy? Koko baik-baik aja? Kenapa nggak ada respons, Ko? Aku tahu Koko sudah buka pesan suaraku. Jangan nakut-nakutin aku, Ko. Aku mencemaskan Koko. Kalau Koko butuh aku, bilang aja. Aku bakal menemani Koko. Aku sayang sama Koko.”Lagi-lagi William tak bisa menahan senyum. Namun, se
William terjun ke dalam air dan langsung menghilang di bawah permukaan air yang seketika bergolak seakan baru saja terjadi gempa bumi. Setelah satu-dua menit, tiba-tiba William kembali muncul ke permukaan dengan gerakan yang kembali mengentak keras. Permukaan air pun kembali berguncang sementara air memercik ke mana-mana saat kepala William menengadah ke langit malam dengan gerakan cepat.Bibir William langsung terbuka lebar dengan suara tarikan napas yang terdengar sangat jelas. Sejurus kemudian, dadanya bergerak naik turun dengan sangat cepat. Ia sengaja menahan napas selama berada di dalam air. Egonya tengah tertantang untuk menguji batas kemampuan dirinya.Tanpa mengambil jeda untuk menetralkan debar jantungnya yang masih menggila, William kembali masuk ke dalam air setelah menghirup napas dalam-dalam. Kali ini, ia meluncur dengan cepat seperti ikan di bawah permukaan air yang langs