William membalik kertas biru seukuran kartu nama itu dan mendapati tulisan tangan yang rapi tertera di sana. Saat William membaca tulisan tersebut, netra sipitnya seketika membeliak. Tawa gembira kembali terdengar tak lama kemudian.
“Ya ampun, Baby! Kamu benar-benar penuh kejutan!” seru William kegirangan.
Sambil memeluk isi paket di tangan kiri, dibacanya lagi dan lagi tulisan tangan yang tersusun rapi itu hingga beberapa kali seolah William tidak pernah puas membacanya. Setelah beberapa kali membaca, tiba-tiba William menyadari sesuatu. “Eh … tanggal ini!”
Lelaki itu langsung menghitung mundur dalam hati. Ketika William sampai pada kesimpulan, ledakan kebahagiaan langsung memenuhi hatinya. Ia tertawa lepas. Rasanya ingin memeluk wanita itu saat ini juga, tetapi keadaan tidak memungkinkan.
William mencoba menghubungi wanita itu lagi. Sayangnya, panggilan teleponnya masih belum diter
Setelah membuat janji dengan William, Debby meneruskan kegiatannya membereskan barang-barang bawaannya. Suara ketukan di pintu disusul dengan munculnya kepala sang papi dari balik pintu tak menghentikan gerakan Debby. Wanita itu hanya mendongak sambil tersenyum.“Belum selesai?” tanya sang papi sambil melangkah ke dalam kamar.“Belum, Pi.”“Pakaianmu kenapa gak kamu tinggal saja di sini sebagian kalau kamu berencana balik tiap minggu? Minggu depan kamu bawa baju ganti agak banyak sekalian. Jadi, gak bolak-balik selalu bawa,” saran Gunawan seraya duduk di tepi pembaringan.“Ya, Pi. Rencanaku juga gitu.”“Kenapa gak pulang agak sorean saja? Matahari sudah gak panas banget, ‘kan kalau sore?”“Nanti malam aku ada janji sama teman, Pi. Kalau kesorean, nanti buru-buru.”
“Sudah berangkat, Baby?” “Baru mau jalan, Pak.” “Oke, hati-hati kalau gitu. Aku sudah di jalan ini.” “Ya, Pak. Bapak juga hati-hati. Sampai ketemu di sana.” “Siap, Baby.” Sepanjang jalan—oh, lebih tepatnya sejak menerima paket dan membaca memo kemarin, raut bahagia senantiasa terpancar pada wajah William. Senyumnya sebentar-sebentar muncul setiap kali William mengingat wanita itu atau apa yang sudah wanita itu lakukan untuknya. Sejak kemarin, lelaki berdagu belah itu sudah tidak sabar untuk segera bertemu dengan sang pujaan hati, apalagi ia tidak mendapat kabar apa-apa hingga siang tadi selain pesan balasan yang dikirim wanita itu kemarin sore. Pesan balasan darinya pun tidak dibalas lagi, hanya dibaca meski itu setelah beberapa jam kemudian. Proyek kecil yang sedang ia tangani pun masih berkaitan dengan sang desainer grafis. Jad
Obrolan Debby dan William kembali berlanjut setelah pesanan dicatat oleh pramusaji. William banyak bertanya soal kunjungan Debby ke rumah orang tuanya belakangan ini. Ia jadi tahu kalau Debby sekarang tengah mempelajari bisnis yang dijalankan oleh papinya. Bidang usaha yang jauh berbeda dengan pekerjaan yang sekarang ini digeluti oleh wanita itu. William bahkan sampai menawarkan diri untuk membantu Debby jika wanita itu merasa kesulitan. Ia ingin memberi dukungan dan membagikan pengalamannya sendiri saat belajar bisnis, bidang yang juga jauh berbeda dengan ilmu yang dipelajarinya saat duduk di bangku kuliah strata satu. “Makasih buat tawaran bantuannya, Pak, tapi kayaknya sih nggak perlu,” tolak Debby. “Ya, gak harus sekarang gak apa-apa. Siapa tahu suatu saat nanti kamu ternyata mengalami kesulitan atau ada yang gak kamu pahami, bilang aja. Kalau aku tahu, pasti aku bantu.” “Ya, ya. Sekali l
Debby terlihat memutar bola matanya. “Mau ke kasir dululah, Pak. Masa langsung pulang, nggak dibayar dulu. Nanti dicegat satpam apa nggak malu?” William terkekeh. “Sudah, gak perlu! Semuanya sudah dimasukkan ke tagihanku kok.” William akhirnya bangkit berdiri. “Ayo!” “Lo? Kok jadi Bapak yang bayar sih? ‘Kan aku yang mau bayar utang, kenapa jadi Bapak yang bayar?” “Sudah, gak apa-apa. Kamu akhirnya mau makan bareng aku aja itu sudah kuanggap cukup sebagai bayaran. Jadi pulang, gak?” William bertanya karena keduanya hanya berdiri saja di sisi meja tanpa ada yang melangkah. “Ck! Utangku kan malah jadi tambah banyak nih! Gimana sih, Pak?” gerundel Debby dengan wajah cemberut, tetapi digerakkannya juga kakinya menjauhi meja. “Sudah! Kamu gak punya utang apa-apa lagi kok! Please, jangan bahas itu lagi, ya!” William langsung menyejajarkan langkah di samping wanita itu. Rasanya ingin menggandeng tangan wanita itu, tetapi lagi-lagi William harus menahan diri. “Kenapa sih tadi gak mau dij
Debby baru saja menutup pintu mobil ketika indra pendengarannya menangkap suara maskulin memanggil namanya. Buru-buru ia berbalik dan netranya langsung membola saat melihat sosok di hadapannya. “Kamu? Ngapain kamu di sini? Kenapa juga masih di sini? Mamiku bilang kamu sudah mau pergi? Apa kamu bohong sama Mami?” cecar Debby. “Hah! Harusnya aku yang tanya! Dari mana kamu? Aku menunggumu sejak tadi, tahu! Berikan ponselmu!” Begitu berada di hadapan Debby, sosok pria itu langsung menarik tas tangan Debby. Namun, tangan yang terulur itu langsung ditampar oleh wanita itu. “Jangan kurang ajar, ya!” bentak Debby. “Buat apa minta ponselku?” Sayangnya, pria berambut cepak itu tak mengindahkan seruan Debby dan lagi-lagi tangannya terulur ke depan. Kali ini, bahkan mencengkeram pergelangan tangan Debby. “Ck! Aku sudah hilang kesabaran dengan tingkahmu yang memblokir nomorku! Ayo, masuk! Buruan buka paga
Lelaki yang duduk di samping Debby itu tidak langsung menyahut. Wanita itu justru mendengar helaan napas panjang yang keluar dari bibir William. “Aku tahu kamu pasti masih terguncang saat ini. Sebenarnya, ada banyak pertanyaan yang mau kuajukan sama kamu. Tapi aku akan membiarkanmu istirahat dulu malam ini. Kita bicarakan ini besok saat kondisimu sudah lebih baik. Jangan menghindar!” tandas William cepat saat Debby baru akan membuka mulut lagi untuk melayangkan protes lain. “Aku mau tahu semuanya!” “Ck!” decak Debby sebal. “Apa kamu bisa minta Fanny untuk menemanimu malam ini?” Debby kembali menoleh dengan cepat. Ditatapnya lelaki itu lurus-lurus. “Nggak perlu merepotkan orang lain, Pak! Aku nggak apa-apa kok!” “Bibirmu mungkin bisa bilang nggak apa-apa, tapi di dalam sana siapa yang tahu selain kamu, ha?” ucap lelaki itu sembari menunjuk ke arah organ hati Debby berada
William sudah gatal ingin segera menanyai Debby perihal laki-laki yang sudah bersikap kurang ajar pada wanita itu tadi. Namun, ia bisa melihat kalau Debby masih terguncang. Ia juga tidak tenang meninggalkan wanita itu sendirian. Sayangnya, wanita itu benar-benar keras kepala. William gelisah sepanjang malam. Tubuhnya dibolak-balik di atas pembaringan. Rasanya tidak ada posisi yang nyaman untuk tidur, padahal biasanya ia gampang tertidur. Netra sipit beriris cokelat tua itu pun enggan terpejam. Ia masih memikirkan tentang Debby. “Apakah kamu bisa tidur, Sayang? Bagaimana keadaanmu sekarang? Apakah tidurmu nyenyak?” gumam William seraya menatap langit-langit kamar. Tiba-tiba William mengangkat tubuh dan menyalakan lampu tidur di atas nakas. Ia kemudian meraih ponsel. Jam digital yang muncul di layar menunjukkan pukul dua dini hari kurang beberapa menit. Ia lalu mengatur bantal di kepala ranjang. Setelah bimbang sejenak, William akhirnya nekat mengirim pesan. “Baby, apa kamu sudah tid
Selama beberapa hari berikutnya, Debby selalu berusaha menghindari pembicaraan mengenai Ferdinand setiap kali William bertanya. Ia tahu lelaki itu mulai kesal meski tidak diutarakan. “Maaf, Pak, aku benar-benar belum bisa cerita,” sesal Debby ketika William kembali bertanya malam ini. “Aku tahu Bapak pasti kecewa, tapi aku juga bukannya tenang-tenang aja, Pak. Aku juga stres.” “Stres kenapa, Baby?” William bertanya dengan kening berkerut. “Aku tahu Bapak tulus padaku. Tapi semua yang Bapak minta selama ini meski berupa candaan, itu semua membebaniku. Semua yang Bapak minta itu merupakan langkah besar buatku dan aku belum siap mengambil langkah sebesar itu. Aku juga bukannya nggak mau memercayai Bapak. Aku mau. Aku mau, Pak,” ucap Debby seraya menganggukkan kepala. Selama berbicara tatapan matanya terus tertuju pada William. “Rasanya sudah lelah menanggung beban selama ini sendirian,” bisik Debby sambil menunduk. Namun, detik berikutnya, kepalanya kembali terangkat. “Tapi setengah h
William sangat terkejut mendengar penuturan Debby. Ia sama sekali tak mengira jika kekasihnya memiliki ketakutan sampai seperti itu. William mengulurkan tangan hendak menenangkan sang kekasih yang kembali berderai air mata. Ia terenyuh melihat wanita itu bahkan bernapas dengan tersengal-sengal.Namun, belum sempat merengkuh sang kekasih, William kembali dikejutkan dengan suara jeritan histeris yang terdengar tiba-tiba. William dan Debby yang masih menangis sontak menoleh berbarengan ke sumber suara.“Jangan lagi, ya, Tuhan! Jangan lagi!” desis seseorang yang baru saja tiba hingga berkali-kali.Dalam sekejap, suara tangis di sisi William pun lenyap, berganti dengan kesiap tajam. Lelaki itu pun tak kalah terperanjat saat menatap kedua sosok yang tiba-tiba sudah berdiri di ambang pintu. Satu orang memapah yang lainnya yang tampak tak baik-baik saja. Buru-buru William ban
“Apa maksudmu, Baby?!” tuntut William yang kaget setengah mati.Jantungnya langsung menggila mendengar keputusan sepihak yang meluncur dari bibir mungil sang kekasih. Hati William menolak keras untuk mencerna maksud yang terkandung di dalamnya. Namun, otaknya jelas-jelas menerima pesan tersebut dengan sangat gamblang. Seketika, otaknya dipenuhi dengan kata-kata keramat yang sangat dihindari oleh lelaki itu.William pun langsung menyambar tangan Debby yang keburu membelakanginya. Namun, sebelum tubuh kekasihnya berbalik sepenuhnya, William masih sempat melihat kekasihnya menutup mulut dan mendengar suara isakan lirih. William langsung mengernyit. Hatinya sedikit terusik dengan sikap dan omongan Debby yang lagi-lagi saling bertolak belakang di saat bersamaan.“Baby?” panggil William dengan lebih lembut saat wanita itu tetap me
William berusaha keras untuk tidak menyentuh wanita yang duduk di sampingnya—meski tak sedekat biasanya, apalagi saat wanita itu mengangguk tak mantap sambil menggigit bibir bawahnya.“Kurang lebih,” jawab Debby. “Aku sadar kalau aku selalu menghindar tiap kali Koko memintaku buat melangkah ke jenjang yang lebih serius. Kupikir aku bisa kayak gitu dulu buat sementara waktu. Tapi ternyata yang terakhir kemarin itu ....”Debby mengangkat bahu sambil tersenyum sendu sementara William agak terusik dengan sesuatu yang diucapkan kekasihnya. Ia pun menautkan kedua alisnya meski berusaha untuk tak menyela.“Aku nggak tahu apa yang terakhir itu yang paling parah,” lanjut Debby, “atau justru saking banyaknya Koko nimbun kekesalan jadi bikin Koko jaga jarak sama aku. Tapi apa pun itu, yang jelas aku mau minta maaf sama Koko soal ini. Bolak-balik aku selalu mengecewakan Koko. M
“Wow!” seru Debby yang masih takjub dengan kabar bahagia yang dibawa oleh sahabatnya. Ujung-ujung bibir Debby sudah terangkat sejak tadi.“Jadi, benar ini dari Ko Niel?” tanya Debby lagi sembari mencermati sebentuk cincin bermata berlian tunggal yang tersemat pada jari manis tangan Fanny.Wanita berambut sebahu itu sekarang sudah duduk di hadapannya. Namun, Debby belum melepas genggaman tangannya sejak dirinya melihat kilau sebuah cincin baru yang ia tahu belum pernah dikenakan oleh Fanny sebelumnya.Debby ikut berbahagia untuk Fanny yang senyumnya juga tak pernah lekang dari wajah perseginya sejak muncul di hadapan Debby. “Aku benar-benar ikut senang, Fan. Ya ampun. Selamat, ya, Say. Selamat. Omong-omong, kapan Ko Niel melamar?”“Uhm ... baru hari Sabtu kemarin sih,” ucap Fanny dengan pipi merona.
Di hadapan William, kini tersaji semangkuk bubur ayam tanpa kuah bumbu. Hanya ada bubur nasi yang sudah bercampur dengan potongan daging ayam dengan pugasan kulit pangsit goreng, irisan seledri, tongcai, dan cakwe. Kekasihnya bahkan juga menyediakan kecap asin di mangkuk terpisah yang ukurannya jauh lebih kecil.William kembali termangu sambil menatap sajian itu. Hatinya benar-benar terbelah dua. Ia merasa sangat bahagia sekaligus frustrasi. Baru kali ini, ia dilayani untuk sarapan sampai sedemikian rupa, apalagi oleh wanita yang sangat dicintai dan diinginkannya. Selain sosok sang mami tentu saja.“Kenapa cuma dilihat aja, Ko? Oh, astaga! Apa Koko nggak suka bubur ayam?”Suara merdu sang kekasih menyentak angan William. Ia gelagapan sesaat sebelum menimpali, “Oh, gak apa-apa kok, Baby. Siapa bilang Koko gak suka bubur ayam? Koko cuma lagi
William memang memutuskan untuk bersikap biasa saja sebelum mengetahui dengan pasti apa keinginan kekasihnya dari hubungan mereka ini. Namun, tetap saja lelaki itu tak bisa menahan ujung-ujung bibirnya yang mulai terangkat setelah mendengar pesan suara dari Debby. Ia pun melempar tubuhnya ke matras sambil terkekeh kecil.“Ya, Tuhan. Seperti ini nih yang bikin Koko gak bisa berpaling dari kamu, Baby. Bagaimana kelak Koko bisa hidup tanpamu?”Tiba-tiba ponselnya kembali berbunyi. Ada satu lagi pesan suara yang masuk dari kekasihnya.“Ko Billy? Koko baik-baik aja? Kenapa nggak ada respons, Ko? Aku tahu Koko sudah buka pesan suaraku. Jangan nakut-nakutin aku, Ko. Aku mencemaskan Koko. Kalau Koko butuh aku, bilang aja. Aku bakal menemani Koko. Aku sayang sama Koko.”Lagi-lagi William tak bisa menahan senyum. Namun, se
William terjun ke dalam air dan langsung menghilang di bawah permukaan air yang seketika bergolak seakan baru saja terjadi gempa bumi. Setelah satu-dua menit, tiba-tiba William kembali muncul ke permukaan dengan gerakan yang kembali mengentak keras. Permukaan air pun kembali berguncang sementara air memercik ke mana-mana saat kepala William menengadah ke langit malam dengan gerakan cepat.Bibir William langsung terbuka lebar dengan suara tarikan napas yang terdengar sangat jelas. Sejurus kemudian, dadanya bergerak naik turun dengan sangat cepat. Ia sengaja menahan napas selama berada di dalam air. Egonya tengah tertantang untuk menguji batas kemampuan dirinya.Tanpa mengambil jeda untuk menetralkan debar jantungnya yang masih menggila, William kembali masuk ke dalam air setelah menghirup napas dalam-dalam. Kali ini, ia meluncur dengan cepat seperti ikan di bawah permukaan air yang langs
Debby menatap sosok laki-laki yang pada suatu waktu dahulu sangat dikaguminya, tetapi juga sekaligus sosok yang menorehkan luka yang dalam di hatinya. Debby menghela napas sambil menautkan tangan pada jari jemari William.“Ko Yuyun,” panggil Debby dengan penuh kesabaran, “aku benar-benar sudah memaafkan Koko. Tapi tolong jangan buat aku menyesali keputusanku ini. Berhentilah meminta sesuatu yang sudah nggak bisa kuberikan lagi. Aku berusaha buat menghormati Koko lagi sekarang.“Tapi kalau Koko terus-terusan memaksa, jangan salahkan aku kalau aku akhirnya benar-benar kehilangan respek sama Koko. Hal yang bisa kuberi saat ini cuma maaf buat Koko, nggak lebih. Jadi, tolong mengertilah, Ko. Aku nggak mungkin balik lagi sama Koko.”Untuk sesaat, Yunan hanya menatap Debby lurus-lurus dengan bibir membentuk garis lurus. Lelaki berambut gondrong itu diam seribu bahasa, hany
Warning!!! Mengandung adegan kekerasan! Mohon bijak dalam menyikapi!*****Urat kendali diri William benar-benar sudah super tegang. Rasanya hanya butuh sentuhan ringan saja untuk memutus tali tak kasatmata itu. Ia bisa meledak kapan saja. William sampai ketakutan dengan dirinya sendiri. Ia seperti tak mengenali lagi sosoknya sendiri.Sebelum mengenal Debby, ia tak pernah lepas kendali. Namun, sekarang ini rasa-rasanya ia sanggup dan bersedia menghancurkan seseorang demi orang yang dikasihinya. Ia siap bertarung habis-habisan dengan siapa pun tanpa peduli risikonya!William benar-benar tak terima kekasihnya hendak diserobot dengan terang-terangan di bawah hidungnya!“Lebih baik diselesaikan sekarang aja, Ko, biar nggak berlarut-larut. Aku juga nggak mau terus-terusan kayak gini. Tolong percaya sama aku, Ko,&rd