William hanya diam saja sembari mengelap keringat di wajah dan lengan. Ia menggunakan bandana tipis warna biru tua untuk menahan rambut bagian depannya yang biasanya jatuh menutupi sebagian keningnya. Kaus olahraga yang dikenakannya juga sebagian sudah berubah warna menjadi lebih gelap.
“Gila, ya!” seru Leon ketika tidak mendapatkan respons apa-apa dari William. “Sudah dipanggil mendadak, main juga diserang habis-habisan! Ampun!” gerutu Leon tanpa jeda. “Nggak kasih kesempatan buat ambil napas lagi!”
“Lawanlah kalau gitu! Jangan melempem! Ayo!” ajak William sembari meletakkan handuk kecil di atas tas olahraga warna biru dongker dengan kombinasi putih.
“Astaga! Harus secepat ini?” sungut Leon. Namun, diturutinya juga permintaan William.
Meskipun lelaki berdagu belah itu berhasil mengalahkan Leon pada ronde pertama, tetapi William masih merasa
“Ini untukmu.” “Apa ini, Ko?” “Lihatlah sendiri!” “Wah! Cantik banget, Ko! Lucu-lucu!” “Kau suka?” tanya seorang pemuda pada seorang gadis muda dengan pita merah di rambutnya. “Kudengar kau suka sekali jepit rambut.” Gadis itu tersenyum lebar sambil mengangguk-angguk dengan penuh semangat. “Suka banget, Ko! Makasih banyak! Koko tahu dari siapa kalau aku suka jepit rambut? Wah, koleksiku jadi bertambah sekarang! Teman-teman pasti bakal iri!” Senyum gadis itu berubah menjadi tawa. Si pemuda ikut tertawa lepas. “Kau ini, baru juga dikasih hadiah seperti itu sudah kegirangan.” Lengan bertato terulur ke atas dan mengusap-usap puncak kepala gadis berpita merah itu. Gadis itu tak menampik dan kembali menunduk menatap hadiah yang baru saja diterimanya. Satu set jepit rambut berjumlah dua belas buah, berbentuk kuku-kupu dengan warna-warni cerah. Sayap kupu-kupu yang bergliter itu dihubungkan ke bagian badan dengan menggunakan per kecil-kecil, membuat sayap-sayap itu bisa bergoyang-goyang
Debby kembali ke rumah dengan perasaan kacau. Niat hati ingin mengembalikan suasana hati yang muram malah kembali dalam keadaan yang tidak lebih baik dari saat berangkat. Bahkan mungkin lebih buruk.Debby menggeram kesal. “Ya, ampun! Ini sih namanya gagal total!” sungut Debby sembari menjatuhkan tas olahraga ke atas sofa di ruang duduk. Tubuhnya menyusul dihempaskan di samping tas yang memiliki dua kompartemen utama itu. “Hah, sekarang aku harus apa?” Salah satu tangan mengusap-usap keningnya dan berakhir memegang puncak kepala dengan rambut yang masih basah.Setelah berdiam diri sejenak, Debby akhirnya bangkit dari sofa sembari menyambar tas olahraga menuju pintu belakang untuk mengeluarkan isi tas. Niatnya tak mau mengingat-ingat peristiwa memalukan yang terjadi di kolam renang dengan menyibukkan diri di ruang cuci. Namun, melihat pakaian basah yang dikeluarkan dari kompartemen khusus untuk barang-barang basah justr
“Ya, ini. Kamu ajak makan siang, tapi dadakan. Hmm ... kalau diingat-ingat lagi, kayaknya kamu belum pernah deh kasih usul apa gitu, tapi mendadak kayak gini. Biasa kan aku yang suka bikin acara dadakan. Kalau kamu, pasti selalu direncana dulu. Kenapa kali ini beda?” cerocos Fanny. “Tunggu dulu ...! Kamu baik-baik aja ‘kan, Deb?”Debby yang mendengarkan penuturan Fanny juga merasa terkesiap. Ia seperti baru disadarkan dari sesuatu. ‘Benar juga! Selama ini aku selalu terencana, tapi belakangan ini kayaknya banyak yang kacau deh.’ Debby hanya bisa mendesah.“Ada apa?” tanya Fanny dengan khawatir. “Oh! Apa kamu tengkar lagi sama Tante Lily? Aduh, gimana ini? Aku ke tempatmu aja, ya? Kamu di rumah, ‘kan? Tunggu sebentar, ya. Aku kasih tahu Ko Steven dulu.”“Nggak usah, Fan! Kamu nggak perlu sampai segitunya! Lagian aku juga bukan bertengkar sama Ma
William sudah menahan diri sepanjang hari untuk tidak menghubungi Debby cepat-cepat. Kalau mengikuti kata hati, sebenarnya ia tidak ingin berpisah dengan wanita itu saat sudah bertemu di kolam renang tadi pagi karena ini kesempatan langka, apalagi belum sempat mengobrol. Jarang-jarang mereka bisa bertemu di luar urusan pekerjaan dan bukan hanya bersinggungan jalan. Namun, melihat wanita itu tidak nyaman, William tidak ingin memaksakan diri. Lebih baik dirinya yang menderita karena menahan diri daripada melihat wanita itu kesulitan karena dirinya. Sayangnya, penderitaan William tidak berhenti sampai di situ saja. “Ah, sial, sial! Ayo, konsentrasi sama kerjaan dulu, Will!” perintahnya pada dirinya sendiri setiap kali ingatan di kolam renang muncul di kepalanya. Spontanitasnya untuk berbalik lagi demi menanggapi pernyataan Debby sebelumnya membuat William terguncang. Saat mendekati kolam renang, lelaki itu hanya sempat melihat Debby berenang sebentar sebelum wanita itu berhenti yang ke
Debby memejamkan mata sambil menyandarkan kepala di punggung sofa. Kerutan halus yang muncul di antara kedua alisnya sejak tadi belum juga sirna sampai sekarang. Desahan panjang juga lolos berkali-kali dari bibirnya yang mungil. “Kenapa nggak berhenti aja sih, Pak? Aku nggak mau menyakiti siapa pun!” Debby kembali mendesah dan membuka mata sipitnya. Tangannya meraih ponsel yang tergeletak di atas sofa di sisinya. Wanita berparas oriental itu membaca ulang pesan yang dikirim oleh William beberapa saat setelah panggilan telepon ia putus. “Sebenarnya aku masih ingin mengobrol lebih lama, tapi kalau Debby merasa itu sudah cukup untuk saat ini, oke, gak masalah. Aku akan mengikuti kecepatan langkahmu. Aku akan sabar menunggumu membuka hati. Terima kasih banyak sudah bersedia mengobrol malam ini.” Pesan itu lagi-lagi diakhiri dengan emotikon senyum. “Ya ampun, Pak! Kenapa Bapak nggak marah aja sih terus berhenti! Kalau kayak gini kan, aku malah jadi merasa bersalah!” desah Debby. Ponselny
Debby harus menunggu sejenak sebelum Fanny akhirnya menyahut, “Yah … mami kamu kan pengen banget kamu nikah sampai menjodoh-jodohkan segala. Kupikir kalau kamu nggak mau dijodoh-jodohkan, kenapa kamu nggak cari sendiri aja. Coba buka hati buat seseorang. Tapi ternyata ….” Fanny mengangkat bahu. “Jadi, yah, aku nggak bisa kasih saran gitu, ‘kan?”Debby mengangguk-anggukkan kepalanya lagi. Kali ini, giliran tangan Debby yang menutupi tangan Fanny dan menggenggamnya erat. Seulas senyum tulus ia berikan untuk sang sahabat. “Makasih banyak kamu sudah memikirkan aku.”“Makasih buat apa? Aku kan nggak bantu apa-apa.”“Tapi kamu sudah memikirkannya, ‘kan? Itu aja sudah cukup buatku.”“Ya, ya,” timpal Fanny seraya mengangguk-anggukkan kepalanya. “Hmm, padahal waktu aku keluar tadi, aku sempat kepikiran siap
“Ya ampun, kepalaku!” keluh Debby beberapa waktu setelah kepergian sang papi. Debby duduk berselonjor di ujung sofa hanya dengan kepala dan bahu saja yang bersandar di punggung sofa. Dengan ibu jari dan jari tengah yang direntangkan lebar-lebar, Debby memijat-mijat pelan kedua pelipisnya. Kedua netranya juga terpejam rapat-rapat.“Kenapa Papi datang-datang bawa kabar kayak gitu sih?” desah Debby.Rasanya baru sebentar merasakan kelegaan setelah beberapa hari yang lalu mengobrol dengan Fanny, wanita berwajah bulat telur itu kembali dihadapkan pada kenyataan yang selama ini mati-matian ia hindari. Selama tiga hari itu pula—semenjak insiden di kolam renang—Debby menjalani hari-harinya dengan cukup tenang. Meskipun William masih terus menghubunginya, baik melalui pesan percakapan atau panggilan telepon yang sekarang tidak tentu waktunya, Debby sanggup menghadapinya dengan lebih santai sekarang.
Langit tampak mendung sejak pagi, tetapi Debby tak terusik dengan cuaca tersebut. Sudah dua jam ini, ia berkutat di depan laptop. Kertas-kertas berisi coretan tangan sedikit berserakan di samping laptop.Suara dering ponsel membuyarkan konsentrasi Debby yang tengah menatap selembar kertas di tangan. Ia mengerang ketika melihat nama si penelepon, tetapi diraihnya juga benda pipih itu. Jarinya kemudian menggeser tombol hijau.“Halo, Mi,” sapa Debby. “Ada apa?”“Kapan kamu pulang?”Debby menghela napas sambil melepas kacamata yang bertengger di pangkal hidungnya. Setelah meletakkan kacamata di atas laptop, ia mendorong kursinya sedikit ke belakang. Kepalanya menengadah, bersandar di punggung kursi. Sejenak, ia memijit pelan pangkal hidungnya sembari memejamkan mata. Saat membuka mata, pandangannya terarah ke atas, menatap langit yang tampak sedikit dari balik jendela.
“Apa maksudmu, Baby?!” tuntut William yang kaget setengah mati.Jantungnya langsung menggila mendengar keputusan sepihak yang meluncur dari bibir mungil sang kekasih. Hati William menolak keras untuk mencerna maksud yang terkandung di dalamnya. Namun, otaknya jelas-jelas menerima pesan tersebut dengan sangat gamblang. Seketika, otaknya dipenuhi dengan kata-kata keramat yang sangat dihindari oleh lelaki itu.William pun langsung menyambar tangan Debby yang keburu membelakanginya. Namun, sebelum tubuh kekasihnya berbalik sepenuhnya, William masih sempat melihat kekasihnya menutup mulut dan mendengar suara isakan lirih. William langsung mengernyit. Hatinya sedikit terusik dengan sikap dan omongan Debby yang lagi-lagi saling bertolak belakang di saat bersamaan.“Baby?” panggil William dengan lebih lembut saat wanita itu tetap me
William berusaha keras untuk tidak menyentuh wanita yang duduk di sampingnya—meski tak sedekat biasanya, apalagi saat wanita itu mengangguk tak mantap sambil menggigit bibir bawahnya.“Kurang lebih,” jawab Debby. “Aku sadar kalau aku selalu menghindar tiap kali Koko memintaku buat melangkah ke jenjang yang lebih serius. Kupikir aku bisa kayak gitu dulu buat sementara waktu. Tapi ternyata yang terakhir kemarin itu ....”Debby mengangkat bahu sambil tersenyum sendu sementara William agak terusik dengan sesuatu yang diucapkan kekasihnya. Ia pun menautkan kedua alisnya meski berusaha untuk tak menyela.“Aku nggak tahu apa yang terakhir itu yang paling parah,” lanjut Debby, “atau justru saking banyaknya Koko nimbun kekesalan jadi bikin Koko jaga jarak sama aku. Tapi apa pun itu, yang jelas aku mau minta maaf sama Koko soal ini. Bolak-balik aku selalu mengecewakan Koko. M
“Wow!” seru Debby yang masih takjub dengan kabar bahagia yang dibawa oleh sahabatnya. Ujung-ujung bibir Debby sudah terangkat sejak tadi.“Jadi, benar ini dari Ko Niel?” tanya Debby lagi sembari mencermati sebentuk cincin bermata berlian tunggal yang tersemat pada jari manis tangan Fanny.Wanita berambut sebahu itu sekarang sudah duduk di hadapannya. Namun, Debby belum melepas genggaman tangannya sejak dirinya melihat kilau sebuah cincin baru yang ia tahu belum pernah dikenakan oleh Fanny sebelumnya.Debby ikut berbahagia untuk Fanny yang senyumnya juga tak pernah lekang dari wajah perseginya sejak muncul di hadapan Debby. “Aku benar-benar ikut senang, Fan. Ya ampun. Selamat, ya, Say. Selamat. Omong-omong, kapan Ko Niel melamar?”“Uhm ... baru hari Sabtu kemarin sih,” ucap Fanny dengan pipi merona.
Di hadapan William, kini tersaji semangkuk bubur ayam tanpa kuah bumbu. Hanya ada bubur nasi yang sudah bercampur dengan potongan daging ayam dengan pugasan kulit pangsit goreng, irisan seledri, tongcai, dan cakwe. Kekasihnya bahkan juga menyediakan kecap asin di mangkuk terpisah yang ukurannya jauh lebih kecil.William kembali termangu sambil menatap sajian itu. Hatinya benar-benar terbelah dua. Ia merasa sangat bahagia sekaligus frustrasi. Baru kali ini, ia dilayani untuk sarapan sampai sedemikian rupa, apalagi oleh wanita yang sangat dicintai dan diinginkannya. Selain sosok sang mami tentu saja.“Kenapa cuma dilihat aja, Ko? Oh, astaga! Apa Koko nggak suka bubur ayam?”Suara merdu sang kekasih menyentak angan William. Ia gelagapan sesaat sebelum menimpali, “Oh, gak apa-apa kok, Baby. Siapa bilang Koko gak suka bubur ayam? Koko cuma lagi
William memang memutuskan untuk bersikap biasa saja sebelum mengetahui dengan pasti apa keinginan kekasihnya dari hubungan mereka ini. Namun, tetap saja lelaki itu tak bisa menahan ujung-ujung bibirnya yang mulai terangkat setelah mendengar pesan suara dari Debby. Ia pun melempar tubuhnya ke matras sambil terkekeh kecil.“Ya, Tuhan. Seperti ini nih yang bikin Koko gak bisa berpaling dari kamu, Baby. Bagaimana kelak Koko bisa hidup tanpamu?”Tiba-tiba ponselnya kembali berbunyi. Ada satu lagi pesan suara yang masuk dari kekasihnya.“Ko Billy? Koko baik-baik aja? Kenapa nggak ada respons, Ko? Aku tahu Koko sudah buka pesan suaraku. Jangan nakut-nakutin aku, Ko. Aku mencemaskan Koko. Kalau Koko butuh aku, bilang aja. Aku bakal menemani Koko. Aku sayang sama Koko.”Lagi-lagi William tak bisa menahan senyum. Namun, se
William terjun ke dalam air dan langsung menghilang di bawah permukaan air yang seketika bergolak seakan baru saja terjadi gempa bumi. Setelah satu-dua menit, tiba-tiba William kembali muncul ke permukaan dengan gerakan yang kembali mengentak keras. Permukaan air pun kembali berguncang sementara air memercik ke mana-mana saat kepala William menengadah ke langit malam dengan gerakan cepat.Bibir William langsung terbuka lebar dengan suara tarikan napas yang terdengar sangat jelas. Sejurus kemudian, dadanya bergerak naik turun dengan sangat cepat. Ia sengaja menahan napas selama berada di dalam air. Egonya tengah tertantang untuk menguji batas kemampuan dirinya.Tanpa mengambil jeda untuk menetralkan debar jantungnya yang masih menggila, William kembali masuk ke dalam air setelah menghirup napas dalam-dalam. Kali ini, ia meluncur dengan cepat seperti ikan di bawah permukaan air yang langs
Debby menatap sosok laki-laki yang pada suatu waktu dahulu sangat dikaguminya, tetapi juga sekaligus sosok yang menorehkan luka yang dalam di hatinya. Debby menghela napas sambil menautkan tangan pada jari jemari William.“Ko Yuyun,” panggil Debby dengan penuh kesabaran, “aku benar-benar sudah memaafkan Koko. Tapi tolong jangan buat aku menyesali keputusanku ini. Berhentilah meminta sesuatu yang sudah nggak bisa kuberikan lagi. Aku berusaha buat menghormati Koko lagi sekarang.“Tapi kalau Koko terus-terusan memaksa, jangan salahkan aku kalau aku akhirnya benar-benar kehilangan respek sama Koko. Hal yang bisa kuberi saat ini cuma maaf buat Koko, nggak lebih. Jadi, tolong mengertilah, Ko. Aku nggak mungkin balik lagi sama Koko.”Untuk sesaat, Yunan hanya menatap Debby lurus-lurus dengan bibir membentuk garis lurus. Lelaki berambut gondrong itu diam seribu bahasa, hany
Warning!!! Mengandung adegan kekerasan! Mohon bijak dalam menyikapi!*****Urat kendali diri William benar-benar sudah super tegang. Rasanya hanya butuh sentuhan ringan saja untuk memutus tali tak kasatmata itu. Ia bisa meledak kapan saja. William sampai ketakutan dengan dirinya sendiri. Ia seperti tak mengenali lagi sosoknya sendiri.Sebelum mengenal Debby, ia tak pernah lepas kendali. Namun, sekarang ini rasa-rasanya ia sanggup dan bersedia menghancurkan seseorang demi orang yang dikasihinya. Ia siap bertarung habis-habisan dengan siapa pun tanpa peduli risikonya!William benar-benar tak terima kekasihnya hendak diserobot dengan terang-terangan di bawah hidungnya!“Lebih baik diselesaikan sekarang aja, Ko, biar nggak berlarut-larut. Aku juga nggak mau terus-terusan kayak gini. Tolong percaya sama aku, Ko,&rd
“Wah, ada angin apa Koko ke sini? Sendirian aja, Ko? Mana Fanny?” Debby tampak mencari-cari ke arah pintu pagar yang masih terbuka.Untuk sesaat, hati William kembali merasa terusik gara-gara sambutan hangat yang diberikan kekasihnya pada tamu tak diundang itu, apalagi melihat senyum manis yang menyertainya. William harus berjuang keras untuk meredam perasaan cemburu yang lagi-lagi menyeruak ke permukaan.“Astaga, Will! Kamu kenapa sih? Kenapa akhir-akhir ini kamu jadi sensitif gini? Ayo, kendalikan dirimu!” tegur William dalam hati.“Fanny enggak ikut,” sahut Niel. “Koko baru mau ke tempat Fanny nanti, setelah dari sini.”“Oh.”“Tamunya disuruh masuk dulu, Baby,” ucap William setelah berhasil mengendalikan perasaannya. Satu tangan