William tertawa lepas. Auranya dipenuhi dengan kebahagiaan. Tadinya ia mengira kalau indra pendengarannya salah tangkap. Namun, ternyata masih berfungsi dengan sangat baik.
“Ya ampun, Baby! Kamu benar-benar paling bisa bikin Koko tertawa bahagia. Kamu sendiri juga selalu penuh kejutan,” ucap William di tengah-tengah usahanya membelah jalanan ibu kota.
“Tapi memang benar kok,” gumam Debby dengan suara lirih meski tak sepelan sebelumnya. “Malam ini Koko juga kelihatan lebih ganteng, apalagi dasinya juga ternyata cocok dipakai sama Ko Billy.”
Senyum William semakin merekah mendengar pujian yang diulang dari mulut kekasihnya, apalagi sekarang ditambah komentar positif soal aksesoris yang ia kenakan. Ia pun langsung melirik sang kekasih. Petinggi Raksi Indonesia itu gemas melihat gestur wanitanya yang terang-terangan memujinya, tetapi panda
“Ah, kelamaan, Ko. Lagian aku masih bisa buka sendiri kok. Buat apa merepotkan Koko?” sanggah Debby santai seraya menaiki anak tangga dengan pelan.“Ya ampun, Baby! Siapa bilang itu merepotkan Koko?” seru William dengan kesiap tertahan. Ditatapnya sang kekasih dengan netra melebar. “Kenapa kamu bisa bilang gitu? Astaga! Kamu ini, lo!” William sampai menggeleng-gelengkan kepala.Giliran Debby yang terperangah. “Kenapa reaksi Koko kayak gitu? Apa itu jadi masalah buat Koko? Aku nggak masalah kok buka pintu sendiri.”William langsung mengerang frustrasi dalam hati. Namun, lelaki itu berusaha untuk mengerti sikap sang kekasih dengan mengingat lagi bagaimana kehidupan wanita itu sebelum dekat dengan dirinya.“Oh, itu salah satu buatanku,” celetuk Debby tiba-tiba dengan nada ceria.William mengikuti arah pandang kekasihnya. Di sebelah kanan pintu masuk, terdapat roll up banner ukuran delapan puluh kali dua ratus sentimeter yang berisi informasi acara peluncuran parfum malam ini. William meng
Bukannya langsung menjawab pertanyaan kekasihnya yang kini tengah menuntunnya ke pojok ruangan, Debby justru mengajukan protes, “Ko Billy kenapa malah minta Chen-Chen buat pergi sih? Kasihan Chen-Chen, pasti tambah merasa bersalah. Padahal, aku nggak apa-apa kok, Ko. Aku malah jadi nggak enak sama Chen-Chen.”“Kamu gak usah merasa gak enakan sama Chen-Chen, Baby. Dia akan baik-baik aja kok. Nanti, biar Koko yang omong sama Chen-Chen. Sekarang, jawab pertanyaan Koko tadi,” tuntut William dengan tegas meski nadanya tetap lembut.“Aku benar nggak apa-apa, Ko. Ayo, sebaiknya kita temui papi sama maminya Koko dulu,” ajak Debby seraya menoleh ke balik bahunya. Meski ia sudah pernah diperlihatkan foto mereka sekali, saat ini ia tidak tahu persis di mana posisi mereka.“Sudah sampai sini masa nggak langsung menyapa,” sambung Debby.
Selagi Debby berjuang mengendalikan diri sembari menatap wanita yang sudah menghadirkan sang kekasih ke dunia ini, tiba-tiba dua sosok maskulin beda generasi yang berada di dekatnya buka suara berbarengan. Sosok yang lebih tua menegur lembut istrinya sementara panggilan William pada sang mami terdengar seperti protes di telinga Debby.“Mi, jangan nakut-nakutin calon mantu kita. Bisa-bisa dia kabur nanti.”‘Eh?’ Seketika Debby menoleh ke arah papinya William dengan terkejut.“Ish! Papi ini sok-sok negur, padahal sama aja. Siapa coba yang kemarin memelototi Johan waktu diajak ke rumah sama Chen-Chen?” protes maminya William dengan tampang sedikit cemberut yang langsung disambut kekehan sang suami.Debby yang menyaksikan interaksi pasangan paruh baya itu sampai terpana. Ia langsung lupa dengan perasaan gamang yang sempat menyergapnya tadi. Ia melirik kekasihnya yang ternyata tengah menatapnya juga. William langsung mengulas senyum menenangkan. Bersamaan itu, Debby juga merasakan gerakan m
Sejak acara makan malam di rumah keluarga William, hubungan Debby dengan anggota keluarga William yang lain pun semakin dekat. Bukan saja dengan Chen-Chen yang sedari awal memang sudah lumayan dekat, tetapi juga dengan maminya William dan bahkan juga dengan Linda. Sesekali, mereka mengobrol melalui panggilan telepon atau video atau hanya melalui pesan percakapan saja.Meski kadang kala obrolan mereka simpang siur dan bahkan terkesan hanya buang-buang waktu saja saat trio ipar berkumpul di dunia maya, Debby tetap sangat menikmatinya. Ia yang tidak memiliki saudara perempuan sangat menghargai momen-momen tersebut.Debby tengah terkekeh sehabis membaca komentar lucu yang dilontarkan oleh Chen-Chen di grup percakapan ketika sebuah panggilan dari nomor kontak Fanny masuk ke ponselnya. Dengan sigap, Debby langsung menerima panggilan tersebut.“Ya, Fan?” sahut
Melihat wanita yang dikasihinya tertawa bahagia sejak mereka tiba di restoran membuat William puas dengan keputusannya minggu lalu yang menyetujui usul Fanny ini. Bahkan William bisa mengatakan kalau Debby juga sebetulnya sama antusiasnya dengan Fanny saat kedua sahabat itu tengah mempersiapkan acara hari ini. Meski lelaki itu tak pernah meminta kekasihnya untuk bercerita, nyatanya William bisa tahu persis apa saja yang sudah mereka persiapkan dari hari ke hari.William tak bisa menghentikan ujung-ujung bibirnya setiap kali mengingat bagaimana semangatnya sang kekasih saat membagikan hari-harinya selama seminggu terakhir ini. William juga semakin bahagia mengetahui sang kekasih bisa berbaur dengan baik dengan anggota keluarganya yang lain.Kenyataan kalau lelaki yang kini duduk di hadapannya itu pernah mengutarakan isi hatinya pada Debby pun tak mengusik William. Lelaki itu bisa melihat dengan jelas bagaimana perasaan lelaki bertato harimau itu pada Fanny meski ia baru melihatnya beber
Hingga beberapa saat, William terus mendekap tubuh Debby, mengusap-usap kepala berambut burgundi itu sambil membisikkan kata-kata yang menenangkan. Wanita itu sendiri pun masih sesenggukan. Namun, tak lama kemudian, William merasakan ada yang berbeda. Ia tak lagi merasakan pergerakan dari sosok yang dipeluknya. Bahkan suara tangis pun menghilang.William langsung mengurai pelukannya dan mendorong tubuh Debby sedikit menjauh. Begitu tak ada yang menopang tubuh wanita itu selain cengkeraman tangan William, tubuh Debby langsung terkulai lemas. Kepalanya jatuh ke satu sisi.“Oh, Tuhan! Baby!” seru William yang langsung menopang kepala sang kekasih yang ternyata jatuh pingsan. William akhirnya mendudukkan lagi kekasihnya di kursi penumpang dan memasang sabuk pengaman. “Baby, sadarlah!” panggil William lagi sambil menepuk-nepuk pelan pipi Debby.
William serta-merta meloncat dari sofa dan memelesat ke arah kamar tidur Debby. Fanny sudah membuka pintu kamar lebar-lebar. Wanita berambut sebahu itu kini tengah duduk bersimpuh di atas matras, berusaha untuk menangkap tangan Debby.“Ada apa, Fan?” tanya William panik. Lelaki itu langsung meneliti kekasihnya yang masih terbaring di atas matras.Celana pendek bepergiannya sudah berganti dengan celana tidur selutut. Namun, baju atasnya masih sama seperti sebelumnya. Tangan wanita itu bergerak ke sana kemari tak tentu arah. Dari bibirnya, terdengar rintihan, “Jangan … jangan ….”“Debby terus mengigau, Ko. Tadi, waktu aku mengganti celana pendeknya masih nggak apa-apa. Dia diam aja meski mulai menggumam nggak jelas juga. Tapi waktu aku mau coba lepas baju atasnya Debby langsung meronta,” tutur Fanny. “Aku jadi nggak bisa melepas bajunya. Gimana ini, Ko?”William langsung berlutut di sisi pembaringan dengan jantung bertalu-talu. Tangannya berusaha menggapai tangan Debby yang terus bergera
“Oh, Tuhan! Kamu sudah bangun, Baby? Kenapa gak bangunin Koko? Apa yang kamu rasakan sekarang?” William serta-merta mencondongkan tubuh ke depan dan meraba kening Debby lagi.“Ck! Bukannya balas salam, malah balik tanya,” ucap Debby setengah tersenyum setengah mengomel.William langsung terkekeh. “Ya, ya. Sori. Habis, Koko kaget sih tadi.” Dada William sontak mengembang. Lelaki itu memandangi kekasihnya dengan perasaan bahagia yang tiba-tiba muncul dengan meluap-luap. “Selamat pagi, My Baby.” William mengangkat setengah tubuhnya dan membungkuk. Dikecupnya kening sang kekasih dengan sepenuh perasaan, lalu kembali duduk di bangku rias.“Koko senang banget lihat kamu sudah bisa tersenyum lagi seperti ini,” sambung William. Lelaki itu lalu mengulang lagi pertanyaan sebelumnya.“Su
Yeay!!! 🎉🎉Cerita “Wanita Incaran CEO Arogan” akhirnya sampai di penghujung juga. Ini merupakan cerita pertama saya dalam bentuk novel. Gak nyangka bakal bisa sepanjang ini, bahkan sampai dua season. Biasanya pendek-pendek. 😄Perjalanan yang panjang dan gak selalu mulus, tapi menyenangkan 😄. Sudah sama aja kayak lika-liku kisah cintanya William dan Debby yang gak selalu mulus tapi happy ending ... eaakkk ....Saya pribadi sangat menikmati proses penulisan kisah cinta William dan Debby ini. Meskipun sudah dibuat outline-nya, beberapa kali muncul ide secara tiba-tiba di tengah-tengah saya tengah mengetik yang belum terpikirkan sebelumnya saat membuat outline. Adegan-adegan tersebut memang diperlukan, tapi waktu bikin outline masih belum ada bayangan nanti adegannya bakal seperti apa. Ups, buka kartu deh! 🤭😁Tak lupa saya ucapkan terima kasih buat para pembaca yang baik hati, yang sudah bersedia mampir ke lapak saya, dan terutama yang sudah memberikan gem buat William dan Debby. Ter
“Sssh! Jangan nangis, Sayang.” William buru-buru menenangkan si sulung. Ini bukan kali pertama si sulung merengek minta adik bayi di perut maminya perempuan. “Laki-laki apa perempuan sama aja, Sayang. Di mata Papi sama Mami, kalian semua anak-anak kesayangan Papi sama Mami. Gak ada yang dibeda-bedain.” William juga meminta anak lelakinya untuk mendekat.“Cici juga harus sayang sama dedek bayi yang masih ada di perut Mami, sama seperti Cici sayang sama Dedek Ello. Cici sayang ‘kan sama Dedek Ello?”“Sayang, Pi.”“Nah, kalau gitu, jangan bilang kayak tadi lagi, ya. Kalau gak, Dedek bayinya nanti sedih, lo. Apa Cici senang kalau Shelin bilang gak suka atau gak mau temanan lagi sama Cici di sekolah?”“Nggak senang. Tapi kalau dedek bayinya kayak Dedek Ello, nanti aku nggak punya teman di rumah, Pi,” rengek Grace lagi dengan bibir mungilnya maju beberapa senti.
Warning!!! Episode ini mengandung adegan dewasa yang mungkin tidak cocok atau membuat tidak nyaman bagi sebagian pembaca.Harap kebijakannya dalam membaca episode ini.*****Bukannya berhenti, sang istri justru berpindah ke titik sensitif lainnya.“Baby, please,” desis William lagi dengan gelisah.Tangannya kini mencengkeram pergelangan sang istri. “Koko gak mau sampai lepas kendali.”“Ssst! Kalau gitu, jangan ditahan-tahan, Ko. Aku sengaja kok mau kasih kompensasi buat Koko,” terang Debby sambil tangannya memainkan salah satu kepik tak bersayap milik William. “Jadi, Koko rileks aja. Serahkan semuanya sama aku. Aku bakal kasih servis yang memuaskan malam ini.”“Tunggu, tunggu! Kompensasi buat apa?” tanya William di antara giginya yang kembali bera
William menunggu sejenak hingga anak perempuannya memusatkan perhatian padanya.“Ya, Pi,” sahut Grace.“Cici bantuin Papi sama Mami jagain Dedek Ello sementara waktu, ya.”“Siap, Pi,” sahut Grace dengan antusias. Kepalanya manggut-manggut dengan cepat.“Anak pintar,” puji William sambil mengacungkan ibu jari. “Ya sudah, kalian bobo sekarang. Papi sama Mami sayang kalian. Peluk cium buat kalian berdua. Selamat bobo dan mimpi indah, malaikat-malaikat kecil kesayangannya Papi sama Mami.”“Oh, Tuhan! Aku sudah kangen sama anak-anak, Ko,” ucap Debby begitu panggilan video terputus.“Bukan cuma kamu aja, Baby,” timpal William. Sesaat, ia jadi teringat ketika siang tadi, ia dan sang istri mengantar anak-anak ke rumah ka
“Happy wedding anniversary, Baby!” ucap William dengan sangat mesra. Lelaki itu mencium punggung tangan sang istri dengan sangat lembut.Mereka baru saja selesai makan malam romantis yang sengaja disiapkan oleh William. Sayangnya, kebahagiaan William bercampur dengan rasa jengkel setiap kali ada pria yang memandang istrinya hingga dua kali. Tak ingin membagi pesona sang istri dengan orang lain, William pun buru-buru mengajak wanita itu untuk kembali ke kamar suite yang khusus dipesan untuk momen istimewa ini.William tak bosan-bosannya memandangi sang istri. Hingga detik ini, ia masih dan selalu saja terpukau dengan sosok sang istri yang tak banyak berubah selain bertambah cantik sejak ia menikahinya, apalagi malam ini. Berbalut busana malam warna merah menyala dengan bahu terbuka dan belahan gaun setinggi setengah paha yang menampilkan lekuk tubuh di tempat-tempat yang tep
“Koko kenapa? Masuk angin?” tanya Debby dengan panik. Wanita itu tahu-tahu sudah ada di sampingnya. Satu tangan memijat-mijat tengkuknya sementara tangan yang lain meraba keningnya.Perutnya kembali bergolak. Namun, William mencoba mengabaikannya. Tak berani membuka mulut, lelaki itu hanya bisa menggeleng sembari menghentikan apa pun niat Debby saat ini dengan isyarat tangan.Ketika Debby menyingkir, William sedikit merasa lega. Ia menghirup napas dalam-dalam sambil bertumpu pada dinding. William mengerutkan kening dengan perasaan tak enak.Setelah perutnya berhenti bergolak, William melangkah ke wastafel. Ia menatap sekilas pantulan dirinya di cermin, lalu membasuh wajahnya. Saat menegakkan tubuh, sang istri kembali muncul di sisinya dengan membawa botol minyak kayu putih.“Gak perlu, Baby. Koko gak apa-apa kok,&rdquo
“I love you too, Baby. My Love. My Wife. Now and forever,” sahut William dengan senyum mesra terpampang di wajah. Lelaki itu pun balas mencium Debby di beberapa titik di wajah.Setelah mendapatkan ciuman di kening, kedua pipi, dan bibir, Debby lantas menghirup napas dalam-dalam sambil memejamkan mata sejenak. Saat membuka mata, ada kebulatan tekad dan keberanian yang bersemayam di hati.“Aku percaya sama Koko. Kalau sikap Koko kayak gitu, mana mungkin aku tega membuat Koko berharap lama-lama. Aku nggak bakal minta Koko buat nunda kehamilan. Kalau Tuhan kasih kepercayaan itu sama kita sekarang, aku bakal menerima dan menjalaninya.”“Oh, Baby! Kamu serius? Kamu benar gak apa-apa?”Debby mengiyakan dengan mantap. Kepalanya ikut mengangguk untuk meyakinkan suaminya.&ldqu
Seringai jahil sang suami semakin lebar saja. Lelaki itu kemudian bertanya, “Apa kamu sadar, Baby, kalau nanti ada yang kebakaran lagi seperti dulu, sekarang sudah gak perlu bingung-bingung lagi buat cari pemadamnya?”“Ish! Koko ini, lo!” pekik Debby. Tangannya pun langsung mencubit daging terdekat.William sontak mengaduh kesakitan dan menggosok-gosok dada kirinya. “Astaga, Baby! Jarimu pedas juga, ya.”“Hmm! Siapa suruh godain terus?” rajuk Debby. Namun, sesaat kemudian Debby kembali berujar, “Tapi sori, ya, Ko, aku baru bisa kasih semalam.”“Hush! Kamu ini omong apaan sih! Setelah pemberkatan di gereja dan resepsi dengan segitu banyak tamu, kita kan sama-sama kecapaian, Baby. Kamu jangan omong gitu, ah. Meskipun Koko pengin, Koko juga gak mau ma
Warning!!! Episode ini mengandung adegan dewasa yang mungkin tidak cocok atau membuat tidak nyaman bagi sebagian pembaca.Harap kebijakannya dalam membaca episode ini.*****Selagi Debby menerka-nerka siapa sosok yang dengan lancang berani memanggil-manggil nama suaminya, tiba-tiba suara William yang terdengar parau menembus gendang telinga Debby. “Lepaskan, Baby. Lepaskan.”“Ko Billy!” jerit Debby putus asa. ‘Ah! Kenapa suara yang keluar sama dengan yang tadi? Apa tadi itu suaraku sendiri?’“Ya, Baby, ya. Ayo, jangan ditahan lagi. Koko pengin lihat kamu, Baby,” ucap William terus menyemangati.Tak ingin mengecewakan lelaki itu, Debby berusaha menuruti kata-katanya. Dengan sedikit takut, dorongan yang semula ia tahan-tahan kini ia biarkan lepas mengalir begitu sa