“Ya ampun, Fan! Ternyata sudah selama itu kamu punya perasaan khusus sama Koko? Kenapa enggak bilang?” tanya Niel setelah Fanny juga mengungkapkan perasaannya.
Keduanya kini duduk berdampingan di sofa panjang. Niel meminta Fanny untuk pindah ke sisinya setelah ia mengetahui kalau perasaannya berbalas. Lengan Niel yang bersih dari tato melingkari bahu Fanny sementara kepala wanita berambut cokelat tua itu bersandar di bahunya.
Namun, begitu mendengar pertanyaan Niel, wanita itu langsung menegakkan tubuh dan menatap Niel dengan cemberut. “Gimana mau bilang kalau Koko selalu anggap aku anak kecil? Aku pikir Koko benar-benar nggak punya perasaan apa-apa selain kakak ke adik. Padahal, aku sudah sering kasih kode! Apa yang kulakukan buat Koko selama ini nggak pernah sekali pun dianggap lebih dari sekadar perhatian adik ke kakak sama Koko, ‘kan?”
William tengah menyantap makan malam bersama dengan sang kekasih di sebuah resto berkelas saat ponsel wanitanya berbunyi. Namun, Debby tak kunjung menerima panggilan tersebut hingga deringnya berhenti dengan sendirinya.Setelah menelan potongan daging steak yang diberi saus jamur, William pun bertanya, “Kenapa gak diterima, Baby? Siapa tahu penting. Oh! Apa mungkin itu panggilan teror lagi?”Debby yang sedang menelan makanan hanya menggoyangkan tangannya sebentar. “Santai aja, Ko. Itu dari Fanny kok,” ucapnya kemudian setelah meneguk minuman. “Tanggung, Ko, makanannya tinggal sedikit. Kalau omong sama Fanny biasanya nggak cukup satu-dua menit.” Debby menyengir.William pun tersenyum maklum. Ia kembali melanjutkan menyantap makan malamnya yang juga tinggal sedikit.“Aku menelepon Fanny d
“Hush! Kamu omong apa sih, Baby?” William melambaikan tangannya. Ia berusaha menenangkan sang kekasih. “Sudah, Koko gak apa-apa kok. Kamu juga pasti punya alasan sendiri, ‘kan, kenapa sampai simpan nomor kontak Koko pakai nama seperti itu?”“Memang. Dulu, waktu awal-awal Koko gencar mendekatiku, aku merasa Koko kayak gitu. Aku sampai jengkel banget, tahu!”William terkekeh. “Ah! Ya, ya! Tapi kalau sekarang?” pancing William dengan senyum menggoda.Bukannya menjawab, Debby justru mengerucutkan bibir. “Koko sudah tahu, ‘kan? Kenapa mesti tanya lagi sih?”Lelaki berambut hitam itu semakin tergelak. “Jawab aja, Baby. Koko pengin dengar langsung dari mulut kamu.”Meskipun sempat mencebik lagi, Debby akhirnya menyahut, “Kala
Debby menggeram sebal setelah terpaku menatap layar ponsel lebih lama dari yang diperlukan. Otaknya berputar menerka-nerka. Biasanya Debby tak pernah mempermasalahkan siapa penelepon tak dikenal yang menghubunginya. Itu sudah menjadi salah satu konsekuensi dari pekerjaannya. Namun, gara-gara ulah seseorang, sekarang ia jadi paranoid dengan nomor tak dikenal.“Sial! Kamu benar-benar pengganggu!” sungut Debby sembari menyimpan laptop ke dalam tas dan merapikan berkas-berkas di atas meja. Coretan-coretan tangan hasil diskusi dengan klien dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam map L plastik warna merah.Pada akhirnya, Debby memutuskan untuk menunggu saja. Panggilan terakhir itu memang sudah berlalu sekitar empat puluh menit. Namun, melihat orang itu beberapa kali menghubunginya, ada kemungkinan orang tersebut akan menghubunginya lagi. Jika benar, mau tak mau Debby mesti menerimanya nanti.
Napas Debby seperti disedot dari rongga dadanya saat mendapati tatapan mendalam yang sangat intens dari lelaki di sampingnya. Pipinya semakin memanas. Buru-buru Debby mengalihkan pandangan, kembali menatap botol kaca di tangannya.“Boleh kucoba?”“Ya, bolehlah. Koko bikin kan biar kamu pakai, bukan buat dimuseumkan.”Debby langsung tergelak. Ia membuka tutup botol berbentuk kupu-kupu. Botol kacanya sendiri berbentuk seperti kubah dengan lekuk-lekuk membujur berdiameter kira-kira lima sentimeter.“Botolnya lucu. Aku suka.” Wanita itu lantas menyemprotkan parfum itu ke pergelangan tangan sebelah dalam dan langsung menghidunya.“Hmm. Wanginya enak, Ko,” puji Debby dengan senyum merekah.William ikut tersenyum. “Sabar. Ditunggu dulu, Baby. Itu ma
Debby sempat menjengit, tetapi rasa malunya mengalahkan rasa terkejutnya. Ia membiarkan saja sang kekasih mendekap tubuhnya dengan erat. Tangannya sekarang terimpit di antara wajahnya sendiri dan bahu lelaki itu yang terasa lebar. Debby merasa lebih baik seperti ini daripada harus menatap wajah sang kekasih.“Oh, Baby,” gumam William di tengah-tengah tawanya. “Apa yang tadi Koko bilang itu benaran, lo. Koko benar-benar gak menyadari kalau Koko ternyata semenarik itu di matamu, ya?”“Koko!” desis Debby dengan geram. Punggung tangannya menekan bahu William dengan kekuatan ala kadarnya. Sebisanya Debby menekan dari posisinya yang terimpit saat ini.William kembali terkekeh. Tubuh kekarnya sedikit bergetar. “Ya, ya. Koko gak akan menggodamu lagi. Oh, Tuhan. Koko sayang banget sama kamu. I love you, Baby
“Sudah, gak usah dipikir sekarang gak apa-apa, Baby,” ucap William saat melihat sang kekasih masih tercenung setelah beberapa waktu berlalu. “Kamu bisa pertimbangkan nanti di rumah. Koko gak maksa sih, tapi Koko berharap banget kamu bisa ikut ….”“Ck! Itu sih sama aja, Ko!” potong Debby cepat.William tergelak. Ia gemas melihat kekasihnya mulai mengerucutkan bibir lagi. “Jangan manyun gitu. Koko nanti jadi kepengin ….” William sengaja menggantung kalimatnya. Ia semakin tergelak melihat Debby semakin sewot.Tak ingin membuat wanita itu semakin kesal, William pun berusaha berhenti menggoda. “Ya, sudah. Gak usah mikir soal acara peluncuran itu dulu. Sekarang, Koko masih pengin berduaan sama kamu. Ayo, mana senyumnya?” bujuk William.Kentara sekali kalau Debby masih sebal meskipun
William tertawa lepas. Auranya dipenuhi dengan kebahagiaan. Tadinya ia mengira kalau indra pendengarannya salah tangkap. Namun, ternyata masih berfungsi dengan sangat baik.“Ya ampun, Baby! Kamu benar-benar paling bisa bikin Koko tertawa bahagia. Kamu sendiri juga selalu penuh kejutan,” ucap William di tengah-tengah usahanya membelah jalanan ibu kota.“Tapi memang benar kok,” gumam Debby dengan suara lirih meski tak sepelan sebelumnya. “Malam ini Koko juga kelihatan lebih ganteng, apalagi dasinya juga ternyata cocok dipakai sama Ko Billy.”Senyum William semakin merekah mendengar pujian yang diulang dari mulut kekasihnya, apalagi sekarang ditambah komentar positif soal aksesoris yang ia kenakan. Ia pun langsung melirik sang kekasih. Petinggi Raksi Indonesia itu gemas melihat gestur wanitanya yang terang-terangan memujinya, tetapi panda
“Ah, kelamaan, Ko. Lagian aku masih bisa buka sendiri kok. Buat apa merepotkan Koko?” sanggah Debby santai seraya menaiki anak tangga dengan pelan.“Ya ampun, Baby! Siapa bilang itu merepotkan Koko?” seru William dengan kesiap tertahan. Ditatapnya sang kekasih dengan netra melebar. “Kenapa kamu bisa bilang gitu? Astaga! Kamu ini, lo!” William sampai menggeleng-gelengkan kepala.Giliran Debby yang terperangah. “Kenapa reaksi Koko kayak gitu? Apa itu jadi masalah buat Koko? Aku nggak masalah kok buka pintu sendiri.”William langsung mengerang frustrasi dalam hati. Namun, lelaki itu berusaha untuk mengerti sikap sang kekasih dengan mengingat lagi bagaimana kehidupan wanita itu sebelum dekat dengan dirinya.“Oh, itu salah satu buatanku,” celetuk Debby tiba-tiba dengan nada ceria.William mengikuti arah pandang kekasihnya. Di sebelah kanan pintu masuk, terdapat roll up banner ukuran delapan puluh kali dua ratus sentimeter yang berisi informasi acara peluncuran parfum malam ini. William meng
Yeay!!! 🎉🎉Cerita “Wanita Incaran CEO Arogan” akhirnya sampai di penghujung juga. Ini merupakan cerita pertama saya dalam bentuk novel. Gak nyangka bakal bisa sepanjang ini, bahkan sampai dua season. Biasanya pendek-pendek. 😄Perjalanan yang panjang dan gak selalu mulus, tapi menyenangkan 😄. Sudah sama aja kayak lika-liku kisah cintanya William dan Debby yang gak selalu mulus tapi happy ending ... eaakkk ....Saya pribadi sangat menikmati proses penulisan kisah cinta William dan Debby ini. Meskipun sudah dibuat outline-nya, beberapa kali muncul ide secara tiba-tiba di tengah-tengah saya tengah mengetik yang belum terpikirkan sebelumnya saat membuat outline. Adegan-adegan tersebut memang diperlukan, tapi waktu bikin outline masih belum ada bayangan nanti adegannya bakal seperti apa. Ups, buka kartu deh! 🤭😁Tak lupa saya ucapkan terima kasih buat para pembaca yang baik hati, yang sudah bersedia mampir ke lapak saya, dan terutama yang sudah memberikan gem buat William dan Debby. Ter
“Sssh! Jangan nangis, Sayang.” William buru-buru menenangkan si sulung. Ini bukan kali pertama si sulung merengek minta adik bayi di perut maminya perempuan. “Laki-laki apa perempuan sama aja, Sayang. Di mata Papi sama Mami, kalian semua anak-anak kesayangan Papi sama Mami. Gak ada yang dibeda-bedain.” William juga meminta anak lelakinya untuk mendekat.“Cici juga harus sayang sama dedek bayi yang masih ada di perut Mami, sama seperti Cici sayang sama Dedek Ello. Cici sayang ‘kan sama Dedek Ello?”“Sayang, Pi.”“Nah, kalau gitu, jangan bilang kayak tadi lagi, ya. Kalau gak, Dedek bayinya nanti sedih, lo. Apa Cici senang kalau Shelin bilang gak suka atau gak mau temanan lagi sama Cici di sekolah?”“Nggak senang. Tapi kalau dedek bayinya kayak Dedek Ello, nanti aku nggak punya teman di rumah, Pi,” rengek Grace lagi dengan bibir mungilnya maju beberapa senti.
Warning!!! Episode ini mengandung adegan dewasa yang mungkin tidak cocok atau membuat tidak nyaman bagi sebagian pembaca.Harap kebijakannya dalam membaca episode ini.*****Bukannya berhenti, sang istri justru berpindah ke titik sensitif lainnya.“Baby, please,” desis William lagi dengan gelisah.Tangannya kini mencengkeram pergelangan sang istri. “Koko gak mau sampai lepas kendali.”“Ssst! Kalau gitu, jangan ditahan-tahan, Ko. Aku sengaja kok mau kasih kompensasi buat Koko,” terang Debby sambil tangannya memainkan salah satu kepik tak bersayap milik William. “Jadi, Koko rileks aja. Serahkan semuanya sama aku. Aku bakal kasih servis yang memuaskan malam ini.”“Tunggu, tunggu! Kompensasi buat apa?” tanya William di antara giginya yang kembali bera
William menunggu sejenak hingga anak perempuannya memusatkan perhatian padanya.“Ya, Pi,” sahut Grace.“Cici bantuin Papi sama Mami jagain Dedek Ello sementara waktu, ya.”“Siap, Pi,” sahut Grace dengan antusias. Kepalanya manggut-manggut dengan cepat.“Anak pintar,” puji William sambil mengacungkan ibu jari. “Ya sudah, kalian bobo sekarang. Papi sama Mami sayang kalian. Peluk cium buat kalian berdua. Selamat bobo dan mimpi indah, malaikat-malaikat kecil kesayangannya Papi sama Mami.”“Oh, Tuhan! Aku sudah kangen sama anak-anak, Ko,” ucap Debby begitu panggilan video terputus.“Bukan cuma kamu aja, Baby,” timpal William. Sesaat, ia jadi teringat ketika siang tadi, ia dan sang istri mengantar anak-anak ke rumah ka
“Happy wedding anniversary, Baby!” ucap William dengan sangat mesra. Lelaki itu mencium punggung tangan sang istri dengan sangat lembut.Mereka baru saja selesai makan malam romantis yang sengaja disiapkan oleh William. Sayangnya, kebahagiaan William bercampur dengan rasa jengkel setiap kali ada pria yang memandang istrinya hingga dua kali. Tak ingin membagi pesona sang istri dengan orang lain, William pun buru-buru mengajak wanita itu untuk kembali ke kamar suite yang khusus dipesan untuk momen istimewa ini.William tak bosan-bosannya memandangi sang istri. Hingga detik ini, ia masih dan selalu saja terpukau dengan sosok sang istri yang tak banyak berubah selain bertambah cantik sejak ia menikahinya, apalagi malam ini. Berbalut busana malam warna merah menyala dengan bahu terbuka dan belahan gaun setinggi setengah paha yang menampilkan lekuk tubuh di tempat-tempat yang tep
“Koko kenapa? Masuk angin?” tanya Debby dengan panik. Wanita itu tahu-tahu sudah ada di sampingnya. Satu tangan memijat-mijat tengkuknya sementara tangan yang lain meraba keningnya.Perutnya kembali bergolak. Namun, William mencoba mengabaikannya. Tak berani membuka mulut, lelaki itu hanya bisa menggeleng sembari menghentikan apa pun niat Debby saat ini dengan isyarat tangan.Ketika Debby menyingkir, William sedikit merasa lega. Ia menghirup napas dalam-dalam sambil bertumpu pada dinding. William mengerutkan kening dengan perasaan tak enak.Setelah perutnya berhenti bergolak, William melangkah ke wastafel. Ia menatap sekilas pantulan dirinya di cermin, lalu membasuh wajahnya. Saat menegakkan tubuh, sang istri kembali muncul di sisinya dengan membawa botol minyak kayu putih.“Gak perlu, Baby. Koko gak apa-apa kok,&rdquo
“I love you too, Baby. My Love. My Wife. Now and forever,” sahut William dengan senyum mesra terpampang di wajah. Lelaki itu pun balas mencium Debby di beberapa titik di wajah.Setelah mendapatkan ciuman di kening, kedua pipi, dan bibir, Debby lantas menghirup napas dalam-dalam sambil memejamkan mata sejenak. Saat membuka mata, ada kebulatan tekad dan keberanian yang bersemayam di hati.“Aku percaya sama Koko. Kalau sikap Koko kayak gitu, mana mungkin aku tega membuat Koko berharap lama-lama. Aku nggak bakal minta Koko buat nunda kehamilan. Kalau Tuhan kasih kepercayaan itu sama kita sekarang, aku bakal menerima dan menjalaninya.”“Oh, Baby! Kamu serius? Kamu benar gak apa-apa?”Debby mengiyakan dengan mantap. Kepalanya ikut mengangguk untuk meyakinkan suaminya.&ldqu
Seringai jahil sang suami semakin lebar saja. Lelaki itu kemudian bertanya, “Apa kamu sadar, Baby, kalau nanti ada yang kebakaran lagi seperti dulu, sekarang sudah gak perlu bingung-bingung lagi buat cari pemadamnya?”“Ish! Koko ini, lo!” pekik Debby. Tangannya pun langsung mencubit daging terdekat.William sontak mengaduh kesakitan dan menggosok-gosok dada kirinya. “Astaga, Baby! Jarimu pedas juga, ya.”“Hmm! Siapa suruh godain terus?” rajuk Debby. Namun, sesaat kemudian Debby kembali berujar, “Tapi sori, ya, Ko, aku baru bisa kasih semalam.”“Hush! Kamu ini omong apaan sih! Setelah pemberkatan di gereja dan resepsi dengan segitu banyak tamu, kita kan sama-sama kecapaian, Baby. Kamu jangan omong gitu, ah. Meskipun Koko pengin, Koko juga gak mau ma
Warning!!! Episode ini mengandung adegan dewasa yang mungkin tidak cocok atau membuat tidak nyaman bagi sebagian pembaca.Harap kebijakannya dalam membaca episode ini.*****Selagi Debby menerka-nerka siapa sosok yang dengan lancang berani memanggil-manggil nama suaminya, tiba-tiba suara William yang terdengar parau menembus gendang telinga Debby. “Lepaskan, Baby. Lepaskan.”“Ko Billy!” jerit Debby putus asa. ‘Ah! Kenapa suara yang keluar sama dengan yang tadi? Apa tadi itu suaraku sendiri?’“Ya, Baby, ya. Ayo, jangan ditahan lagi. Koko pengin lihat kamu, Baby,” ucap William terus menyemangati.Tak ingin mengecewakan lelaki itu, Debby berusaha menuruti kata-katanya. Dengan sedikit takut, dorongan yang semula ia tahan-tahan kini ia biarkan lepas mengalir begitu sa