“Gak bisa, Baby,” gumam William sepanjang jalan.
Sesampainya di rumah Debby, ia mengernyitkan kening saat melihat sebuah mobil terparkir di depan rumah dan pintu pagar sedikit terbuka. Perasaannya mulai tak tenang.
Tidak ada siapa-siapa di teras, tetapi pintu depannya terbuka lebar. William bergegas menuju pintu depan. Darahnya seketika mendidih.
“Baby?! Apa-apaan ini?! Apa kamu melarang Koko ke sini karena ini?! Kamu mau berduaan sama laki-laki lain?! Siapa laki-laki ini?! Apa penolakan-penolakanmu kemarin juga karena laki-laki ini?!” berondong William dengan gigi yang saling beradu. Kedua tangannya terkepal erat di sisi tubuh. Hatinya remuk redam dan kepalanya terasa seperti akan meledak saja.
“Ko Billy? Kenapa ke sini?” cicit Debby dengan tergagap. Wanita yang tengah dipeluk oleh seseorang
William mengernyit sementara Debby langsung menunduk dan menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Bahu wanitanya bergetar, begitu juga dengan suara yang keluar kemudian. “Aku sayang sama Koko. Aku nggak mau Koko sampai kenapa-kenapa. Jadi, tolong Koko jangan bilang kayak gitu. Itu menyakitkan.” Isak tangis lirih mulai terdengar.William kembali merasa seperti habis ditinju dengan sangat keras. Bahkan lebih keras dari sebelumnya. “Baby, maaf!” sesal William serta-merta. Satu tangannya menyentuh lutut Debby. “Maaf, Koko sudah omong sembarangan dan membentakmu. Koko gak bermaksud … ah, sudahlah. Tetap aja Koko yang salah. Maafkan, Koko.”William langsung merasakan hatinya seperti diremas-remas saat wanita itu menolak rengkuhan tangannya dengan terang-terangan. Namun, William juga tak mau melepasnya begitu saja. Ia kembali merengkuh tubuh yang semakin gem
William melepas penyuara telinga milik Debby yang diminta oleh wanita itu untuk dipakainya saat mendengarkan rekaman percakapan antara kekasihnya dengan Ferdinand. Air muka William sangat keruh. Keningnya berkerut-kerut.“Tadinya aku nggak percaya sama omongannya walaupun awalnya kaget juga.” Wanita itu mendesah lesu. Tangan Debby yang tidak digenggam oleh William kembali meraih ponsel dari atas meja.Dengan satu tangan, Debby kembali mengutak-atik layar ponsel kemudian menyerahkan lagi benda pipih itu pada William. Lelaki itu menerimanya dan langsung memusatkan perhatian pada layar ponsel.“Foto-foto yang dia kirim setelah sambungan terputus memang menunjukkan kalau itu Koko. Ko Billy bisa lihat sendiri, ‘kan? Tapi setelah kupikir-pikir lagi, mungkin aja dia dapat dari internet. Foto-foto itu kelihatan formal. Gitu juga sama informasi seputa
“Ya, Fan. Ada apa?”William yang menatap Debby dari samping mendengarkan sebentar percakapan sepasang sahabat itu. Namun, rambut panjang Debby lebih menarik perhatiannya daripada isi percakapan mereka. Tangannya mengelus rambut burgundi itu dari puncak kepala hingga ujung rambut yang berakhir di punggung.Debby menoleh dengan netra melebar. William memberi isyarat dengan dagu agar wanita itu jangan memedulikan dirinya. Setelah Debby berbalik, tangannya kembali bergerak untuk menyatukan rambut panjang itu dan meletakkannya ke depan bahu.“Koko mau sentuh kamu,” bisik William tepat di telinga Debby. Wanita itu langsung menggelinjang dan kembali menoleh.“Sssh!” desis William cepat dan sangat pelan.Di saat yang sama, telapak tangan William sudah diletakkan di tengkuk Debby dan mulai membuat gerakan memija
Sang desainer grafis menggigit bibir bawahnya sejenak sebelum dengan tiba-tiba melepasnya. Wanita itu melirik sekilas pada William dengan rona merah mulai menjalar di pipi.“Ya, Tuhan! Kamu benar-benar menggemaskan, Baby,” batin William seraya terkekeh.Setelah berdeham, Debby akhirnya menjawab, “Kasih hadiah ‘kan nggak harus nunggu ada momen khusus dulu, Ko. Tadinya mau kukasih awal minggu ini bareng kue keju, tapi gara-gara paket itu semuanya jadi ambyar.”Perasaan William campur aduk seiring penjelasan sang kekasih yang memberitahunya tentang niat awal wanita itu dan bagaimana niat itu berakhir. Bahagia dan tersanjung, jelas! Terharu, sudah pasti. Namun, geram dan dongkol pada Ferdinand juga tak kalah sedikit porsinya.“Maaf, Ko, kuenya nggak jadi kubikin dan hadiahnya juga nggak kubungkus. Aku nggak tahu kapan bisa kasih itu semua ke Koko. Jadi, yah ….”“Sssh! Gak apa-apa, Baby. Tahu niatmu aja Koko sudah senang banget, toh sudah ada dasi juga. Ada dua set lagi.”“Itu karena aku bi
Begitu tiba di depan kamar kecil, Niel langsung membuka pintu bersamaan dengan seseorang yang hendak keluar. Ia menyingkir sejenak untuk memberi jalan. Beruntung di dalam ruangan yang tak seberapa luas—tetapi terlihat bersih itu—hanya ada sosok yang tengah dibuntutinya, yang saat ini tengah mengosongkan kandung kemih.Niel berjalan menuju wastafel dan mencuci tangan. Ia sengaja menanti sampai sosok yang dibuntutinya selesai dengan urusannya. Saat mengetahui sosok itu telah berbalik dan hendak menuju wastafel, barulah Niel ikut berbalik dan pura-pura menuju urinoar.“Hei! Kayaknya aku pernah melihatmu sebelumnya,” sapa Niel datar tanpa senyum. Hatinya sudah panas, tetapi ia mencoba bersabar. “Kukira aku tadi salah mengenali.”Sosok yang disapa hanya mengernyitkan kening keheranan. “Maaf?”“Benar! Aku pernah melihatmu bersama dengan Fanny! Kamu pacar Fanny, ‘kan? Tapi siapa wanita di luar sana yang bersamamu saat ini?” cecar Niel dengan jari telunjuk mengarah ruang makan di dalam kafe. N
Niel langsung tertegun mendengar omelan Fanny. Matanya hanya berkedip-kedip memandang wanita itu. Niel tak pernah melihat Fanny yang seperti ini. Bukan berarti Fanny tak pernah menggerutu di depannya, tetapi kali ini terasa berbeda. Biasanya terdengar manja seperti anak kecil tengah mengambek, tetapi yang ini terasa seperti marah sungguhan.Saat Fanny menanyakan lagi keperluan Niel yang terkesan mendesak barulah lelaki itu tersadar. Namun, Niel tak menghiraukan pertanyaan itu. Ia justru mempertanyakan kembali respons Fanny.“Ck! Enggak mungkin mukamu ditekuk kayak gitu kalau cuma gara-gara itu. Pasti ada hal lain. Iya, ‘kan? Ada masalah apa memangnya? Kenapa kamu enggak kasih tahu Koko?” desak Niel seraya membuntuti Fanny yang sudah berjalan ke ruang duduk.“Nggak ada apa-apa, cuma urusan kerjaan kok!”“Jangan
“Ya ampun, Fan! Ternyata sudah selama itu kamu punya perasaan khusus sama Koko? Kenapa enggak bilang?” tanya Niel setelah Fanny juga mengungkapkan perasaannya.Keduanya kini duduk berdampingan di sofa panjang. Niel meminta Fanny untuk pindah ke sisinya setelah ia mengetahui kalau perasaannya berbalas. Lengan Niel yang bersih dari tato melingkari bahu Fanny sementara kepala wanita berambut cokelat tua itu bersandar di bahunya.Namun, begitu mendengar pertanyaan Niel, wanita itu langsung menegakkan tubuh dan menatap Niel dengan cemberut. “Gimana mau bilang kalau Koko selalu anggap aku anak kecil? Aku pikir Koko benar-benar nggak punya perasaan apa-apa selain kakak ke adik. Padahal, aku sudah sering kasih kode! Apa yang kulakukan buat Koko selama ini nggak pernah sekali pun dianggap lebih dari sekadar perhatian adik ke kakak sama Koko, ‘kan?”
William tengah menyantap makan malam bersama dengan sang kekasih di sebuah resto berkelas saat ponsel wanitanya berbunyi. Namun, Debby tak kunjung menerima panggilan tersebut hingga deringnya berhenti dengan sendirinya.Setelah menelan potongan daging steak yang diberi saus jamur, William pun bertanya, “Kenapa gak diterima, Baby? Siapa tahu penting. Oh! Apa mungkin itu panggilan teror lagi?”Debby yang sedang menelan makanan hanya menggoyangkan tangannya sebentar. “Santai aja, Ko. Itu dari Fanny kok,” ucapnya kemudian setelah meneguk minuman. “Tanggung, Ko, makanannya tinggal sedikit. Kalau omong sama Fanny biasanya nggak cukup satu-dua menit.” Debby menyengir.William pun tersenyum maklum. Ia kembali melanjutkan menyantap makan malamnya yang juga tinggal sedikit.“Aku menelepon Fanny d
Yeay!!! 🎉🎉Cerita “Wanita Incaran CEO Arogan” akhirnya sampai di penghujung juga. Ini merupakan cerita pertama saya dalam bentuk novel. Gak nyangka bakal bisa sepanjang ini, bahkan sampai dua season. Biasanya pendek-pendek. 😄Perjalanan yang panjang—hampir satu setengah tahun sejak tayang perdana—dan gak selalu mulus, tapi menyenangkan 😄. Sudah sama aja kayak lika-liku kisah cintanya William dan Debby yang gak selalu mulus tapi happy ending ... eaakkk ....Saya pribadi sangat menikmati proses penulisan kisah cinta William dan Debby ini. Meskipun sudah dibuat outline-nya, beberapa kali muncul ide secara tiba-tiba di tengah-tengah saya tengah mengetik yang belum terpikirkan sebelumnya saat membuat outline. Adegan-adegan tersebut memang diperlukan, tapi waktu bikin outline masih belum ada bayangan nanti adegannya bakal seperti apa. Ups, buka kartu deh! 🤭😁Tak lupa saya ucapkan terima kasih buat para pembaca yang baik hati, yang sudah bersedia mampir ke lapak saya, dan terutama yang
“Sssh! Jangan nangis, Sayang.” William buru-buru menenangkan si sulung. Ini bukan kali pertama si sulung merengek minta adik bayi di perut maminya perempuan. “Laki-laki apa perempuan sama aja, Sayang. Di mata Papi sama Mami, kalian semua anak-anak kesayangan Papi sama Mami. Gak ada yang dibeda-bedain.” William juga meminta anak lelakinya untuk mendekat.“Cici juga harus sayang sama dedek bayi yang masih ada di perut Mami, sama seperti Cici sayang sama Dedek Ello. Cici sayang ‘kan sama Dedek Ello?”“Sayang, Pi.”“Nah, kalau gitu, jangan bilang kayak tadi lagi, ya. Kalau gak, Dedek bayinya nanti sedih, lo. Apa Cici senang kalau Shelin bilang gak suka atau gak mau temanan lagi sama Cici di sekolah?”“Nggak senang. Tapi kalau dedek bayinya kayak Dedek Ello, nanti aku nggak punya teman di rumah, Pi,” rengek Grace lagi dengan bibir mungilnya maju beberapa senti.
Warning!!! Episode ini mengandung adegan dewasa yang mungkin tidak cocok atau membuat tidak nyaman bagi sebagian pembaca.Harap kebijakannya dalam membaca episode ini.*****Bukannya berhenti, sang istri justru berpindah ke titik sensitif lainnya.“Baby, please,” desis William lagi dengan gelisah.Tangannya kini mencengkeram pergelangan sang istri. “Koko gak mau sampai lepas kendali.”“Ssst! Kalau gitu, jangan ditahan-tahan, Ko. Aku sengaja kok mau kasih kompensasi buat Koko,” terang Debby sambil tangannya memainkan salah satu kepik tak bersayap milik William. “Jadi, Koko rileks aja. Serahkan semuanya sama aku. Aku bakal kasih servis yang memuaskan malam ini.”“Tunggu, tunggu! Kompensasi buat apa?” tanya William di antara giginya yang kembali bera
William menunggu sejenak hingga anak perempuannya memusatkan perhatian padanya.“Ya, Pi,” sahut Grace.“Cici bantuin Papi sama Mami jagain Dedek Ello sementara waktu, ya.”“Siap, Pi,” sahut Grace dengan antusias. Kepalanya manggut-manggut dengan cepat.“Anak pintar,” puji William sambil mengacungkan ibu jari. “Ya sudah, kalian bobo sekarang. Papi sama Mami sayang kalian. Peluk cium buat kalian berdua. Selamat bobo dan mimpi indah, malaikat-malaikat kecil kesayangannya Papi sama Mami.”“Oh, Tuhan! Aku sudah kangen sama anak-anak, Ko,” ucap Debby begitu panggilan video terputus.“Bukan cuma kamu aja, Baby,” timpal William. Sesaat, ia jadi teringat ketika siang tadi, ia dan sang istri mengantar anak-anak ke rumah ka
“Happy wedding anniversary, Baby!” ucap William dengan sangat mesra. Lelaki itu mencium punggung tangan sang istri dengan sangat lembut.Mereka baru saja selesai makan malam romantis yang sengaja disiapkan oleh William. Sayangnya, kebahagiaan William bercampur dengan rasa jengkel setiap kali ada pria yang memandang istrinya hingga dua kali. Tak ingin membagi pesona sang istri dengan orang lain, William pun buru-buru mengajak wanita itu untuk kembali ke kamar suite yang khusus dipesan untuk momen istimewa ini.William tak bosan-bosannya memandangi sang istri. Hingga detik ini, ia masih dan selalu saja terpukau dengan sosok sang istri yang tak banyak berubah selain bertambah cantik sejak ia menikahinya, apalagi malam ini. Berbalut busana malam warna merah menyala dengan bahu terbuka dan belahan gaun setinggi setengah paha yang menampilkan lekuk tubuh di tempat-tempat yang tep
“Koko kenapa? Masuk angin?” tanya Debby dengan panik. Wanita itu tahu-tahu sudah ada di sampingnya. Satu tangan memijat-mijat tengkuknya sementara tangan yang lain meraba keningnya.Perutnya kembali bergolak. Namun, William mencoba mengabaikannya. Tak berani membuka mulut, lelaki itu hanya bisa menggeleng sembari menghentikan apa pun niat Debby saat ini dengan isyarat tangan.Ketika Debby menyingkir, William sedikit merasa lega. Ia menghirup napas dalam-dalam sambil bertumpu pada dinding. William mengerutkan kening dengan perasaan tak enak.Setelah perutnya berhenti bergolak, William melangkah ke wastafel. Ia menatap sekilas pantulan dirinya di cermin, lalu membasuh wajahnya. Saat menegakkan tubuh, sang istri kembali muncul di sisinya dengan membawa botol minyak kayu putih.“Gak perlu, Baby. Koko gak apa-apa kok,&rdquo
“I love you too, Baby. My Love. My Wife. Now and forever,” sahut William dengan senyum mesra terpampang di wajah. Lelaki itu pun balas mencium Debby di beberapa titik di wajah.Setelah mendapatkan ciuman di kening, kedua pipi, dan bibir, Debby lantas menghirup napas dalam-dalam sambil memejamkan mata sejenak. Saat membuka mata, ada kebulatan tekad dan keberanian yang bersemayam di hati.“Aku percaya sama Koko. Kalau sikap Koko kayak gitu, mana mungkin aku tega membuat Koko berharap lama-lama. Aku nggak bakal minta Koko buat nunda kehamilan. Kalau Tuhan kasih kepercayaan itu sama kita sekarang, aku bakal menerima dan menjalaninya.”“Oh, Baby! Kamu serius? Kamu benar gak apa-apa?”Debby mengiyakan dengan mantap. Kepalanya ikut mengangguk untuk meyakinkan suaminya.&ldqu
Seringai jahil sang suami semakin lebar saja. Lelaki itu kemudian bertanya, “Apa kamu sadar, Baby, kalau nanti ada yang kebakaran lagi seperti dulu, sekarang sudah gak perlu bingung-bingung lagi buat cari pemadamnya?”“Ish! Koko ini, lo!” pekik Debby. Tangannya pun langsung mencubit daging terdekat.William sontak mengaduh kesakitan dan menggosok-gosok dada kirinya. “Astaga, Baby! Jarimu pedas juga, ya.”“Hmm! Siapa suruh godain terus?” rajuk Debby. Namun, sesaat kemudian Debby kembali berujar, “Tapi sori, ya, Ko, aku baru bisa kasih semalam.”“Hush! Kamu ini omong apaan sih! Setelah pemberkatan di gereja dan resepsi dengan segitu banyak tamu, kita kan sama-sama kecapaian, Baby. Kamu jangan omong gitu, ah. Meskipun Koko pengin, Koko juga gak mau ma
Warning!!! Episode ini mengandung adegan dewasa yang mungkin tidak cocok atau membuat tidak nyaman bagi sebagian pembaca.Harap kebijakannya dalam membaca episode ini.*****Selagi Debby menerka-nerka siapa sosok yang dengan lancang berani memanggil-manggil nama suaminya, tiba-tiba suara William yang terdengar parau menembus gendang telinga Debby. “Lepaskan, Baby. Lepaskan.”“Ko Billy!” jerit Debby putus asa. ‘Ah! Kenapa suara yang keluar sama dengan yang tadi? Apa tadi itu suaraku sendiri?’“Ya, Baby, ya. Ayo, jangan ditahan lagi. Koko pengin lihat kamu, Baby,” ucap William terus menyemangati.Tak ingin mengecewakan lelaki itu, Debby berusaha menuruti kata-katanya. Dengan sedikit takut, dorongan yang semula ia tahan-tahan kini ia biarkan lepas mengalir begitu sa