William dibuat terkesiap saat tangan yang baru saja meletakkan gelas langsung digenggam Debby.
“Tangan Koko nggak apa-apa?” tanyanya penuh kekhawatiran. Wanita itu bahkan membolak-balik telapak tangannya.
William langsung terkekeh sekaligus tersentuh. Tangan yang bebas pun mengusap-usap puncak kepala Debby. “Ya ampun, Baby. Bisa-bisanya kamu masih memikirkan orang lain di saat seperti ini. Tangan Koko gak apa-apa. Justru tanganmu itu, sakit apa gak? Kenapa tadi ikut-ikutan menampar sih?”
“Aku nggak tahan sama omongannya, Ko!” geram Debby.
“Memang sih.” William menghela napas berat. Ia balik menggenggam tangan Debby.
“Dari mana Koko tahu soal laki-laki itu? Koko tahu maksudku, ‘kan? Aku nggak sudi menyebut namanya!”
“Bagus! Koko juga gak mau kamu menyebut nama laki-laki lain di de
William langsung menindaklanjuti apa yang sudah diputuskannya saat masih berada di rumah Debby tadi begitu tiba di apartemen. Ia bahkan sampai menghabiskan waktu lebih dari satu jam untuk mematangkan apa yang terlintas di kepalanya tadi. Ia juga memikirkan dan menambahkan alternatif lain yang bisa digunakan untuk meningkatkan keamanan sang kekasih. William benar-benar memikirkan dengan cermat semua kemungkinan yang bisa ia gunakan untuk mencapai tujuannya.Kini, setelah segala upaya yang mungkin dilakukan sudah dipikirkan dan direncanakan sedemikian rupa, William bisa sedikit mengendurkan kewaspadaan. Esok hari, tinggal menjalankan rencana yang bisa ia kerjakan sendiri sementara yang membutuhkan pihak lain akan ia diskusikan dengan pihak-pihak terkait.Meski ia tidak puas dengan pengaturan seperti itu, ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Status mereka saat ini yang masih pasangan kekasih cukup membatasi bentuk perlindungan yang William ingin
“Dua atau tiga hari lagi Papi akan antar Bi Siti ke rumahmu,” ucap Gunawan dari seberang telepon.“Buat apa, Pi? Bi Siti kan lebih diperlukan di rumah daripada di sini,” tolak Debby pada rencana sang papi yang disampaikan secara tiba-tiba itu.“Ya, buat menemani kamulah. Kamu di sana kan sendirian. Soal di sini gak usah kamu khawatirkan. Masih ada orang yang bisa bantu di sini. Papi lebih khawatir sama kamu di sana.”Debby mendesah. “Apa ini karena ancaman yang Debby tunjukkan ke Papi minggu lalu? Kayaknya itu cuma gertakan aja kok, Pi. Nggak ada apa-apa juga selama ini,” kecoh Debby.Gunawan langsung berdecak. “Jangan bohong, Sayang. Papi sudah tahu soal kemarin malam. Ferdinand datang lagi ke rumahmu, ‘kan?”Debby mengernyit. “Dari mana Papi tahu?”“Hah! Anaknya sendiri yang laporan sama Mami tadi siang. Huh. Mami benar-benar keras kepala, padahal Papi sudah larang supaya jangan berhubungan dulu sama anak itu buat sementara waktu, tapi … hah!”“Kenapa, Pi? Memangnya dia laporan apa s
Debby terlonjak kaget saat ponselnya berdering. Namun, detik berikutnya, embusan napas lega langsung terlontar dari bibir mungilnya. “Ugh! Kukira Mami. Sialan! Gara-gara orang itu aku jadi waswas kapan Mami meledak. Hah! Kalau cuma aku sih nggak masalah, tapi kalau Koko sampai kena omel juga … huff!” gerundel Debby dalam hati.“Halo, Fan,” sahut Debby setelah tombol hijau digeser. “Ada apa?”“Kamu lagi apa, Say? Mau menginap di tempatku beberapa hari? Atau mau kutemani?” tanya Fanny tanpa basa-basi.“Eh?” Debby langsung menoleh pada William dengan mata memicing. “Koko bilang sama Fanny?” tanya Debby tanpa suara. Tangannya yang bebas ikut bergerak, menunjuk dada William kemudian menunjuk ponsel yang masih menempel di telinga.Melihat lelaki itu hanya menyengir, membuat Debby langsun
Beberapa hari berlalu begitu saja. Kemarahan maminya masih belum reda. Sekarang, sang mami bahkan tengah mendiamkan dirinya.Wanita itu hanya mengangkat bahu saat William bertanya bagaimana perasaannya saat ini. “Hah, biasa aja sih, Ko. Itu bukan hal baru buatku. Lagi nggak berantem aja nggak dekat, apalagi sekarang situasinya kayak gini.”Debby bahkan sampai menganggukkan kepala saat melihat sang kekasih melebarkan mata dan mengangkat alis. “Koko sendiri pernah bilang, ‘kan, kalau menurut penilaian Koko waktu itu aku dekat sama Papi tapi nggak dekat sama Mami? Yah, itu memang benar.”“Hmm,” gumam William terdengar ragu-ragu. Bola matanya yang beriris cokelat tua tampak bergerak-gerak menyelisik wajah Debby.“Koko mau tanya apa?”William meminta tangan Debby dan langsung menggenggamnya
Giliran Debby yang sekarang mengernyitkan kening. Hatinya langsung terasa sakit mendengar omongan William yang terakhir. Apa yang dituduhkan lelaki itu tidaklah benar. Ia benar-benar ingin bersama dengan lelaki itu. Apa yang sudah ia lakukan selama ini untuk lelaki itu pun tulus dari hati meski mungkin tidak seberapa nilainya. Namun, ia tidak mungkin mengungkapkan itu semua saat ini.Debby lagi-lagi mengeraskan hati. “Maaf, Ko. Aku tahu aku sudah menyakiti Koko duluan. Tapi karena sudah telanjur kayak gini, mungkin ini justru lebih baik. Koko jadi bisa menjauh dengan sendirinya,” batin Debby.“Terserah Koko mau bilang apa, tapi sekarang aku benar-benar pengin sendiri dulu. Maaf, Ko.”Namun, jauh di dalam lubuk hatinya, Debby tetap saja menyesal sudah menyakiti lelaki itu hingga sedemikian rupa, apalagi melihat ekspresi yang ditampilkan oleh sang kekasih. R
Debby memeluk erat sosok lelaki yang terhuyung mundur karena dorongannya itu.“Astaga! Hati-hati, Princess!” seru lelaki itu. Satu tangan langsung merengkuh tubuh Debby, sedangkan yang lain menggapai dinding terdekat.Debby yang terus tersedu-sedu merasakan sedikit dorongan pada bahunya. Ia langsung menggelengkan kepala dan mengetatkan pelukan pada pinggang lelaki itu.Helaan napas terlontar dari bibir pria itu bersamaan dengan elusan ringan di punggung Debby. “Ada apa, Princess? Kenapa menangis?”Debby masih belum bersedia menjawab. Wanita itu masih betah sesenggukan, mengeluarkan semua emosi yang tengah berkecamuk dalam hatinya. Ia senang dengan kehadiran sosok dalam pelukannya saat ini yang tak disangka-sangka. Namun, ia juga merasa sengsara saat mengingat respons sang kekasih. Di sisi lain, keberadaan sosok menger
Fanny langsung meringis mendengar pertanyaan Hendy yang dilontarkan dengan nada menggoda. “Bukan, Ko.” “Bukan?” beo Hendy. “Lantas?” Fanny memberikan lirikan secepat kilat pada Debby. Wanita itu hanya bisa mengerang dalam hati. “Ayo, duduk dulu, Fan! Kebetulan kamu datang di waktu yang tepat. Ko Hendy bawa oleh-oleh makanan nih!” timbrung Debby seraya menunjuk beberapa makanan di atas meja bar. “Ada apa dengan kalian?” Suara Hendy penuh tuntutan. “Kalian menyembunyikan sesuatu dari Koko?” Debby pura-pura tidak tahu kalau satu-satunya sosok berparas tampan di rumah itu tengah menatapnya lekat-lekat. Ia justru sibuk memindahkan sebagian popcorn dari kaleng ke mangkuk, lalu menyodorkannya ke hadapan Fanny. “Nih! Ayo dimakan, Fan! Eh, cuci tangan dulu tapi!” Fanny tampak menyengir ke arah Hendy sebelum akhirnya melangkah menuju tempat cuci piring. Sejurus kemudian, wanita berwajah persegi itu mendekati meja bar dan menarik kursi. “Makasih, Ko. Aku jadi ikut kecipratan oleh-oleh,” ujar
“Oh, Tuhan!” seru Fanny begitu Debby selesai menceritakan secara garis besar apa yang sudah dialaminya di masa lalu. Fanny bahkan menggeser duduknya dan merangkul Debby dari samping hingga sisi kepala mereka saling beradu. “Itu pasti hal yang sangat mengerikan di usiamu saat itu!” lontar Fanny kemudian. “Memang.” Debby menerima saja perlakuan sahabatnya. Sekarang, ia justru merasa lega setelah mengungkapkan rahasia masa lalunya. Setidaknya saat ini, ada seseorang yang bisa dijadikan tempat berbagi cerita. Dahulu, ada tante dan kakak sepupu yang bisa jadi tempat curahan hati kala memori lama itu mengusik hatinya. Namun, setelah kepergian sang tante dan keberadaan kakak sepupu yang paling mengerti dirinya mulai sering menghilang karena tuntutan pekerjaan, ia jadi tidak punya siapa-siapa lagi untuk berbagi cerita. “Untung aku masih bisa selamat saat itu, tapi itu semua sudah telanjur meninggalkan bekas yang sangat dalam, bahkan sampai sekarang. Kamu sudah lihat sendiri, ‘kan selama ki
William sangat terkejut mendengar penuturan Debby. Ia sama sekali tak mengira jika kekasihnya memiliki ketakutan sampai seperti itu. William mengulurkan tangan hendak menenangkan sang kekasih yang kembali berderai air mata. Ia terenyuh melihat wanita itu bahkan bernapas dengan tersengal-sengal.Namun, belum sempat merengkuh sang kekasih, William kembali dikejutkan dengan suara jeritan histeris yang terdengar tiba-tiba. William dan Debby yang masih menangis sontak menoleh berbarengan ke sumber suara.“Jangan lagi, ya, Tuhan! Jangan lagi!” desis seseorang yang baru saja tiba hingga berkali-kali.Dalam sekejap, suara tangis di sisi William pun lenyap, berganti dengan kesiap tajam. Lelaki itu pun tak kalah terperanjat saat menatap kedua sosok yang tiba-tiba sudah berdiri di ambang pintu. Satu orang memapah yang lainnya yang tampak tak baik-baik saja. Buru-buru William ban
“Apa maksudmu, Baby?!” tuntut William yang kaget setengah mati.Jantungnya langsung menggila mendengar keputusan sepihak yang meluncur dari bibir mungil sang kekasih. Hati William menolak keras untuk mencerna maksud yang terkandung di dalamnya. Namun, otaknya jelas-jelas menerima pesan tersebut dengan sangat gamblang. Seketika, otaknya dipenuhi dengan kata-kata keramat yang sangat dihindari oleh lelaki itu.William pun langsung menyambar tangan Debby yang keburu membelakanginya. Namun, sebelum tubuh kekasihnya berbalik sepenuhnya, William masih sempat melihat kekasihnya menutup mulut dan mendengar suara isakan lirih. William langsung mengernyit. Hatinya sedikit terusik dengan sikap dan omongan Debby yang lagi-lagi saling bertolak belakang di saat bersamaan.“Baby?” panggil William dengan lebih lembut saat wanita itu tetap me
William berusaha keras untuk tidak menyentuh wanita yang duduk di sampingnya—meski tak sedekat biasanya, apalagi saat wanita itu mengangguk tak mantap sambil menggigit bibir bawahnya.“Kurang lebih,” jawab Debby. “Aku sadar kalau aku selalu menghindar tiap kali Koko memintaku buat melangkah ke jenjang yang lebih serius. Kupikir aku bisa kayak gitu dulu buat sementara waktu. Tapi ternyata yang terakhir kemarin itu ....”Debby mengangkat bahu sambil tersenyum sendu sementara William agak terusik dengan sesuatu yang diucapkan kekasihnya. Ia pun menautkan kedua alisnya meski berusaha untuk tak menyela.“Aku nggak tahu apa yang terakhir itu yang paling parah,” lanjut Debby, “atau justru saking banyaknya Koko nimbun kekesalan jadi bikin Koko jaga jarak sama aku. Tapi apa pun itu, yang jelas aku mau minta maaf sama Koko soal ini. Bolak-balik aku selalu mengecewakan Koko. M
“Wow!” seru Debby yang masih takjub dengan kabar bahagia yang dibawa oleh sahabatnya. Ujung-ujung bibir Debby sudah terangkat sejak tadi.“Jadi, benar ini dari Ko Niel?” tanya Debby lagi sembari mencermati sebentuk cincin bermata berlian tunggal yang tersemat pada jari manis tangan Fanny.Wanita berambut sebahu itu sekarang sudah duduk di hadapannya. Namun, Debby belum melepas genggaman tangannya sejak dirinya melihat kilau sebuah cincin baru yang ia tahu belum pernah dikenakan oleh Fanny sebelumnya.Debby ikut berbahagia untuk Fanny yang senyumnya juga tak pernah lekang dari wajah perseginya sejak muncul di hadapan Debby. “Aku benar-benar ikut senang, Fan. Ya ampun. Selamat, ya, Say. Selamat. Omong-omong, kapan Ko Niel melamar?”“Uhm ... baru hari Sabtu kemarin sih,” ucap Fanny dengan pipi merona.
Di hadapan William, kini tersaji semangkuk bubur ayam tanpa kuah bumbu. Hanya ada bubur nasi yang sudah bercampur dengan potongan daging ayam dengan pugasan kulit pangsit goreng, irisan seledri, tongcai, dan cakwe. Kekasihnya bahkan juga menyediakan kecap asin di mangkuk terpisah yang ukurannya jauh lebih kecil.William kembali termangu sambil menatap sajian itu. Hatinya benar-benar terbelah dua. Ia merasa sangat bahagia sekaligus frustrasi. Baru kali ini, ia dilayani untuk sarapan sampai sedemikian rupa, apalagi oleh wanita yang sangat dicintai dan diinginkannya. Selain sosok sang mami tentu saja.“Kenapa cuma dilihat aja, Ko? Oh, astaga! Apa Koko nggak suka bubur ayam?”Suara merdu sang kekasih menyentak angan William. Ia gelagapan sesaat sebelum menimpali, “Oh, gak apa-apa kok, Baby. Siapa bilang Koko gak suka bubur ayam? Koko cuma lagi
William memang memutuskan untuk bersikap biasa saja sebelum mengetahui dengan pasti apa keinginan kekasihnya dari hubungan mereka ini. Namun, tetap saja lelaki itu tak bisa menahan ujung-ujung bibirnya yang mulai terangkat setelah mendengar pesan suara dari Debby. Ia pun melempar tubuhnya ke matras sambil terkekeh kecil.“Ya, Tuhan. Seperti ini nih yang bikin Koko gak bisa berpaling dari kamu, Baby. Bagaimana kelak Koko bisa hidup tanpamu?”Tiba-tiba ponselnya kembali berbunyi. Ada satu lagi pesan suara yang masuk dari kekasihnya.“Ko Billy? Koko baik-baik aja? Kenapa nggak ada respons, Ko? Aku tahu Koko sudah buka pesan suaraku. Jangan nakut-nakutin aku, Ko. Aku mencemaskan Koko. Kalau Koko butuh aku, bilang aja. Aku bakal menemani Koko. Aku sayang sama Koko.”Lagi-lagi William tak bisa menahan senyum. Namun, se
William terjun ke dalam air dan langsung menghilang di bawah permukaan air yang seketika bergolak seakan baru saja terjadi gempa bumi. Setelah satu-dua menit, tiba-tiba William kembali muncul ke permukaan dengan gerakan yang kembali mengentak keras. Permukaan air pun kembali berguncang sementara air memercik ke mana-mana saat kepala William menengadah ke langit malam dengan gerakan cepat.Bibir William langsung terbuka lebar dengan suara tarikan napas yang terdengar sangat jelas. Sejurus kemudian, dadanya bergerak naik turun dengan sangat cepat. Ia sengaja menahan napas selama berada di dalam air. Egonya tengah tertantang untuk menguji batas kemampuan dirinya.Tanpa mengambil jeda untuk menetralkan debar jantungnya yang masih menggila, William kembali masuk ke dalam air setelah menghirup napas dalam-dalam. Kali ini, ia meluncur dengan cepat seperti ikan di bawah permukaan air yang langs
Debby menatap sosok laki-laki yang pada suatu waktu dahulu sangat dikaguminya, tetapi juga sekaligus sosok yang menorehkan luka yang dalam di hatinya. Debby menghela napas sambil menautkan tangan pada jari jemari William.“Ko Yuyun,” panggil Debby dengan penuh kesabaran, “aku benar-benar sudah memaafkan Koko. Tapi tolong jangan buat aku menyesali keputusanku ini. Berhentilah meminta sesuatu yang sudah nggak bisa kuberikan lagi. Aku berusaha buat menghormati Koko lagi sekarang.“Tapi kalau Koko terus-terusan memaksa, jangan salahkan aku kalau aku akhirnya benar-benar kehilangan respek sama Koko. Hal yang bisa kuberi saat ini cuma maaf buat Koko, nggak lebih. Jadi, tolong mengertilah, Ko. Aku nggak mungkin balik lagi sama Koko.”Untuk sesaat, Yunan hanya menatap Debby lurus-lurus dengan bibir membentuk garis lurus. Lelaki berambut gondrong itu diam seribu bahasa, hany
Warning!!! Mengandung adegan kekerasan! Mohon bijak dalam menyikapi!*****Urat kendali diri William benar-benar sudah super tegang. Rasanya hanya butuh sentuhan ringan saja untuk memutus tali tak kasatmata itu. Ia bisa meledak kapan saja. William sampai ketakutan dengan dirinya sendiri. Ia seperti tak mengenali lagi sosoknya sendiri.Sebelum mengenal Debby, ia tak pernah lepas kendali. Namun, sekarang ini rasa-rasanya ia sanggup dan bersedia menghancurkan seseorang demi orang yang dikasihinya. Ia siap bertarung habis-habisan dengan siapa pun tanpa peduli risikonya!William benar-benar tak terima kekasihnya hendak diserobot dengan terang-terangan di bawah hidungnya!“Lebih baik diselesaikan sekarang aja, Ko, biar nggak berlarut-larut. Aku juga nggak mau terus-terusan kayak gini. Tolong percaya sama aku, Ko,&rd