Bab 4 : Kehilangan barang
"Mas nggak menonton TV?" tanyaku.Mas Lucky yang baru saja masuk kaget melihatku. Lalu dengan pura-pura menguap melanjutkan langkahnya menuju kamar.
"Nggak, Mas mau tidur udah ngantuk! Kamu nggak tidur?" tanyanya balik.
"Ayu blom ngantuk, ya udah Mas dulu tidur sana!" ucapku bohong lalu menoleh kembali ke TV. Padahal aku penasaran kemana tadi Mas Lucky keluar setelah sholat. Lima menit, sepuluh menit hingga setengah jam sengaja aku menunggu agar Mas Lucky tertidur. Masuk ke kamar, aku pura-pura akan tidur dan mengetes Mas Lucky. Menggoyang tubuhnya tapi Mas Lucky tidak bangun juga. Segera aku sambar kunci mobil di meja dan menutup pintu kamar dengan pelan. Tiba di garasi, memasukkan kunci lalu pintu mobil terbuka gegas aku masuk ke dalam. Mengambil kotak coklat dan membukanya dengan berdebar. Lalu saat melihat isinya, aku terkejut dan mulut mendadak kelu. Kotak besar itu berisi pakaian seksi wanita, sebuah lingerie hitam. Begitu cantik dipadu celana dalam yang bolong sana sini. Aku bergidik melihat modelnya, bagaimana cara memakai bila semuanya bolong gini, gumamku heran. Untuk siapa Mas Lucky membeli ini, tidak mungkin untukku. Selama setahun menikah bahkan Mas Lucky tidak pernah membeli lingerie seksi. Palingan cuma daster yang murah karena katanya itu lebih cocok untukku. Mas Lucky pasti ingin memberikan ini pada Maya. Huh, semakin keterlaluan saja kamu Mas. Perhatian banget pada wanita lain tapi pada istri sendiri tidak. Awas kamu! Aku akan balas kalian berdua. Saat akan memasukkan lingerie ke dalam kotak, mataku terpaku pada kotak mungil di dalamnya. Apa ini? Dengan penasaran aku pun membukanya. Cahaya kemilau dari lingkar kecil itu menyilaukan mataku. Aku lebih terperanjat, ya aku melihat sebuah cincin berlian. Cincin itu aku ambil dan memasangkan ke jari manis. Pas! Aku pun mencoba menggoyangkan tangan, begitu cantiknya cincin ini di jariku. Sayangnya ini bukan untukku, tiba-tiba hatiku sedih. Sebagai istri Mas Lucky tidak pernah membelikan barang mahal, saat menikah hanya cincin emas biasa yang diberikannya. Tunggu, kalo aku tidak mendapatkannya maka Maya juga. Terlintas ide untuk mengambil cincin ini tanpa sepengetahuan Mas Lucky. Ya, aku lebih memilih cincin daripada lingerie. Karena aku lebih berhak daripada Maya. Dengan mengulum senyum, aku pun merapikan kembali seperti semula. Kemudian segera keluar dari mobil lalu menutup pintu dengan pelan. Masuk ke dalam rumah sudah tidak ada siapapun. Semua orang pasti sudah tidur termasuk Bi Inem. Sebelum masuk kamar, aku akan ke ruang kerja dulu untuk menghapus rekaman diriku yang menuju garasi. Untung saja pintu ruangan ini tak pernah dikunci karena Mas Lucky mengira aku bodoh dan tak tau apapun hingga dia merasa aman saja. Selesai dihapus tanpa meninggalkan jejak, aku masih duduk sebentar memikirkan di mana akan aku sembunyikan cincin berlian ini. Kalo disimpan kamar ibu maka ibu akan disiksa bila ketahuan. Tidak, aku harus cari tempat yang aman. Bagaimana kalo aku simpan di kamar Bi Inem saja. Mungkin dia akan menolak karena takut dipecat mertua. Akan tetapi, di kamarnya tempat yang paling aman. Semoga saja Bi Inem belum tidur. Dalam gelapnya ruangan, aku berjalan mengendap-endap ke kamar Bi Inem. Mengetuk pelan pintu lalu terdengar suaranya dari dalam. "Siapa?" "Ini aku Bi, Ayu!" jawabku pelan seperti berbisik. Pintu dibuka Bi Inem, gegas aku masuk dan menutup pintu. Mata Bu Inem yang sudah mengantuk mendadak bulat. "Non Ayu sedang apa?" tanyanya heran. "Sssttt, jangan kuat-kuat Bi!" kataku sambil meletakkan jari dibibir. "Ayu ingin minta tolong, Bi. Tolong simpan cincin berlian ini ya!" pintaku memohon. "Punya siapa, Non?" "Punya Ayu, Bi! Ini Ayu ambil dari mobil Mas Lucky." "Jangan, Non! Bibi takut entar Den Lucky dan Nyonya akan marah. Kalo dilaporkan ke polisi bagaimana, Bibi nggak mau dipenjara," tolak Bi Inem sambil menggeleng. "Tolonglah, Bi! Cuma di kamar Bibi yang aman. Mas Lucky nggak akan mencurigakan Bibi kan nggak mungkin Bibi bisa buka mobil," kataku menjelaskan sambil merayunya. Sekilas Bi Inem bergeming dan menatap cincin itu. Aku menangkupkan tangan tanda memohon. "Please, Bi! Apa Bibi nggak kasihan sama Ayu? Cincin ini akan Mas Lucky berikan pada Maya," Isak ku. Akhirnya Bi Inem mengangguk dan mencoba mencari tempat aman di kamarnya. Bi Inem lalu melongok ke kolong tempat tidur dan menggesernya. Bi Inem membuka sepetak keramik lalu terlihat sebuah tempat menyimpan barang. Aku terkejut melihatnya, ternyata di kamar Bi Inem ada tempat rahasia. "Ini Bibi temukan saat mulai kerja disini, saat itu Bibi juga ingin menyimpan barang kemudian menemukan ini. Mungkin sebelum Bibi disini pembantu sebelumnya yang membuat," jelas Bi Inem. Aku mengangguk lalu menyerahkan kotak mungil itu. Bi Inem menerimanya dan memasukkan ke dalam lalu menutup dengan keramik lagi dan menggeser tempat tidur ke semula. Bi Inem dan aku bernafas lega, akhirnya aman. Aku tersenyum dan menggenggam tangan Bi Inem. "Bi, makasih ya udah bantu Ayu. Cincin itu kelak berguna untuk kita bila suatu saat kita keluar dari sini." "Tapi, Non! Kalo Bibi keluar mau kerja di mana?" tanya Bi Inem galau. "Percayalah, Bi! Ayu nggak akan melupakan kebaikan Bibi dan akan membantu Bibi semampu Ayu," kataku lalu bangun. "Ayu mau ke kamar dulu ya! Kalo lama-lama ntar Mas Lucky curiga. Ini rahasia kita berdua." Bi Inem mengangguk kemudian menutup pintu saat aku keluar. Melewati kamar Ibu lalu membuka pintunya dan beliau sudah tidur. Sebelum masuk kamar aku juga mengambil minum di dapur dan membawanya masuk. Mas Lucky masih tertidur nyenyak, sudut bibirnya tersenyum mungkin lagi bermimpi Maya. Aku hanya tertawa dalam hati mengingat ekspresi Mas Lucky akan pucat setelah tau kehilangan cincin. Rasain kamu Mas! Pagi hari, usai sarapan Mas Lucky pamit kerja. Bi Inem membersihkan meja dan aku melihat Ibu. Sedangkan mertua yang mengantar Mas Lucky hingga ke depan. Mertua selalu melarang bila aku yang mengantar karena beralasan ingin mengenang almarhum Papa mertua. Daripada berdebat aku mengalah dan membantu Bi Inem di dapur. Keadaan ibu sudah sedikit membaik dan sudah bisa berjalan sendiri. Alhamdulillah, aku bersyukur ibu cepat pulih. "Bu, kita makan saja di dapur ya!" ajakku. Ibu mengangguk dan aku gandeng ke kamar mandi untuk bersihkan diri dulu baru makan. Namun, belum juga sampai di kamar mandi terdengar teriakan Mas Lucky memanggilku. "Ayu!" Akhirnya Mas Lucky menemuiku di dapur. "Ada apa, Mas? Blom pergi kerja?" tanyaku sambil mendudukkan ibu di kursi. "Apa tadi malam kamu masuk ke mobil?" selidik Mas Lucky. "Nggak kok, aku kan nonton TV trus tidur," jawabku tegas tapi di hati cekikan pasti Mas Lucky ingin menanyakan cincin. "Lalu kemana ya?" gumam Mas Lucky bicara sendiri. "Sudah dapat blom, Ky?" tanya mertua berjalan mendekat. Mas Lucky menggeleng frustasi, lalu mertua menatap ibu tajam. "Pasti ibu Ayu yang mengambilnya!"Bab 5 : Pengakuan "Sudah dapat blom, Ky?" tanya mertua berjalan mendekat. Mas Lucky menggeleng frustasi, lalu mertua menatap ibu tajam. "Pasti ibu Ayu yang mengambilnya!" Spontan ibu terkejut bila kejadian kemarin terulang kembali. "Tunggu, sebenarnya apa yang kalian cari sampai menuduh ibuku?" kataku berpura-pura marah. "Mas kehilangan barang di mobil dan itu sangat penting buat Mas," jawab Mas Lucky berang. "Mas, apa kamu nggak lihat kalo ibu aja susah berjalan bagaimana mungkin bisa mengambil barang di mobil. Lagian kunci mobil 'kan Mas yang simpan. Sebenarnya barang apa sih?" Aku terus merongrong agar Mas Lucky mau bicara.Mas Lucky tetap tidak mau jawab, aku akan menjebaknya. "Apa barang itu untuk Maya?" tanyaku ketus. "Bu-bukan! Ya udah kalo kamu nggak tau," ujar Mas Lucky. "Tunggu, Ky! Sebaiknya kita geledah kamar ibu Ayu," seru mertua sukses membuat mata ibu membulat sempurna. Sedangkan Bi Inem yang berdiri di sudut dapur mulai gemetar. "Mas, jangan sampai kamu masuk k
"Maafkan Ayu, Bu! Kalo suatu saat nanti kita nggak berada di rumah ini lagi?" "Maksud kamu?" tanya Ibu tak mengerti. "Ibu masih ingat kan wanita yang kemarin udah memfitnah Ibu?" tanyaku menatap Ibu dalam. "Ya, memang kenapa dengan dia?" "Wanita itu yang akan menjadi istri kedua Mas Lucky, Ayu nggak menyangka Bu kalo Mas Lucky mengkhianati Ayu. Dia udah nggak cinta Ayu lagi!" ujarku sesenggukan. Ibu lalu iba dan memeluk, dielusnya punggungku lembut. "Ayu, Ibu udah tau walaupun kamu nggak ngomong apa-apa. Dari perilaku mereka semua itu sudah menampakkan mereka nggak suka sama kita. Jadi, mau kamu bagaimana Ibu akan tetap mendukungmu." Aku terharu mendengarnya, ah Ibu ternyata dirimu peka dan terus memberi semangat. Oleh karena itu membuatku semakin sayang dan ingin memberi kebahagiaan pada Ibu. Diusianya yang sudah tua aku harus mengurusnya dengan baik. Tetapi bagaimana? Aku belum menemukan caranya. Kalo pergi sekarang juga bisa saja tapi aku tidak mau balik ke kampung lagi. Lag
"Sudah sana pergi jangan kebanyakan bacot, ambil tas kalian dan pergi dari sini!" hardik mantan mertua dengan kasar mendorongku. Aku membawa Ibu ke kamarnya untuk mengambil tas. Bi Inem menangis melihat kami akan pergi. "Non, mau kemana?" tanyanya sedih. "Bi, Ayu sudah ditalak Mas Lucky jadi sekarang juga kami akan pergi! Bibi harus jaga kesehatan dan baik-baik disini," kataku sambil memeluknya. Sedikit tidak rela meninggalkan Bi Inem. Tetapi dia dan aku harus melanjutkan hidup masing-masing. Aku janji dalam hati kalo suatu saat nanti kaya aku akan mencari Bi Inem. "Non, gimana cincin itu?" ujar Bu Inem berbisik. "Bibi simpen dulu, besok saat Bibi akan belanja ke pasar Bibi bawa dan kita ketemu disana. Kalo Ayu bawa sekarang ntar mereka akan menggeledahnya lagi," titah ku, Bi Inem mengangguk mengerti. Selesai membereskan tas Ibu, aku melanjutkan ke kamarku. Tidak banyak barang yang kubawa, hanya baju tanpa perhiasan. Ya perhiasan yang aku punya hanya cincin nikah. Sebelum keluar
"Iya, Non Alhamdulillah! Oh iya selama Non Ayu pergi, si Maya itu hampir tiap hari datang dan membuat Bibi jijik melihatnya. Dia dan den Lucky kerap berciuman di ruang tamu. Kabarnya Minggu depan mereka akan menikah Non, Maya minta yang mewah di gedung. Dasar pelakor nggak tau malu!" umpat Bi Inem kesal. Aku hanya menyengir mendengarnya dan tidak kaget. Apalagi mantan mertua pasti lebih senang, dulu saat Mas Lucky menikah denganku saja dia tak mau hadir karena malu. Aku tersentak kala ponsel berdering dan terlihat dilayar ada sebuah notifikasi pesan masuk di wa. Aku mengerinyitkan dahi membacanya, dari nomor asing yang tak terdaftar. [Assalamualaikum, ini Ayu kan? Anaknya Mbak Asih] [Iya, benar! Maaf ini siapa ya?] balasku cepat dan penasaran. [Saya Oom kamu Ayu, Brotoseno! Adik kandung Mbak Asih, Ibumu] balasnya. Mataku terbelalak, adik Ibu? Benarkah, selama ini Ibu tak ada menceritakan tentang adik kandungnya. Dulu pernah juga mendengar dari saudara kalo Ibu dan adiknya sudah
Esoknya, Ibu bangun lebih pagi dan memasak. Aku yang sudah siapan menunggu Ibu untuk sarapan. Hari ini aku akan berusaha mencari pekerjaan, semoga saja diterima. Sudah sepuluh surat lamaran yang ku kirim ke perusahaan tapi belum ada satupun yang memanggil. Kali ini aku harus lebih gigih, pantang menyerah karena ada misi untuk membalas perbuatan orang-orang yang sudah membuat hidupku hancur. Walaupun berbeda orang tapi mereka masih satu keluarga. Mas Lucky, Mamanya dan si pelakor Maya serta sepupu Mas Lucky si Terry. Aku akan tunjukkan pada mereka bahwa aku pun bisa seperti mereka bahkan aku ingin melebihi mereka. Agar mereka tau apa itu yang namanya kezoliman dan penderitaan. Untuk saat ini biarlah mereka bersenang-senang dulu, tiba saatnya mereka akan bertekuk lutut. Usai sarapan aku pamit pada Ibu. "Hati-hati di jalan ya Yu! Ibu doakan kamu dapat pekerjaan." "Aamiin, iya Bu. Ayu berangkat dulu ya, Assalamualaikum!" "Wa'alaikumussalam!" jawab Ibu lalu masuk kedalam rumah. Aku m
"Saya membutuhkan asisten untuk membantu tugas saya di kantor maupun di rumah. Apakah kamu mau jadi asisten saya?" tanyanya dengan senyum mengembang. "Apa, asisten Pak?" tanyaku kaget. "Iya, gimana? Mau kan jadi asisten saya?" Sekali lagi Pak Adit bertanya dengan serius. "Tapi, Pak! Saya nggak pantas, saya hanya ingin jadi karyawan aja. Lagian, saya udah bukan gadis lagi," ucapku menunduk malu. "Jadi, kamu udah menikah?" Aku mengangguk dan terlihat Pak Adit mendelik tak percaya. Ya, walaupun aku sudah menikah orang pasti tak percaya karena penampilan ku masih seperti gadis. Setelah menikah aku tak banyak bersolek jadi tetap seperti gadis kampung. Terdengar Pak Adit menghela napas. "Kalo gitu, kamu minta ijin dulu sama suami kamu kalo mau menjadi asisten saya." "Nggak perlu ijin, Pak! Saya udah cerai dengan suami saya," jawabku jujur. Kembali Pak Adit menatapku tak percaya, kemudian mengangguk dan tersenyum. Aku heran kenapa Pak Adit malah ingin menjadikanku asisten. Bukankah d
"Bu, gimana kita menghabiskan lauk sebanyak ini?" tanyaku bingung. "Kamu sih yang ngeyel, kan Ibu bilang masak satu aja dulu. Besok mencoba menu lain lagi," ucap Ibu menggeleng. "Ya sudah, kita bagi tetangga aja," ujarku lalu mengambil piring. Tatkala masih di dapur, terdengar salam dari depan. " Assalamualaikum!" Aku dan Ibu saling berpandangan, siapa ya? Dari suaranya itu laki-laki, didorong ingin tau Ibu mengajakku ke depan. "Wa'alaikumussalam!" jawabku dan Ibu serentak. Di teras berdiri seorang lelaki gagah, berkumis tipis dan memakai setelan kemeja. Penampilannya mirip orang kaya, melihatku dan Ibu keluar lelaki itu menghambur dalam pelukan Ibu. "Mbak!" teriaknya. "Seno, kau kah ini?" tanya Ibu membalas pelukan Om Seno. Ya yang datang adalah adik kandung Ibu, Om Seno"Iya, Mbak! Akhirnya aku bisa menemukan Mbak, aku senang Mbak, hiks!" Om Seno terisak. "Iya, Mbak senang juga! Alhamdulillah kita bisa bertemu lagi," ujar Ibu sambil mengelus punggung adiknya. Setelah melepa
"Sudah, kamu kerja aja di perusahaan Om. Perusahaan itu akan Om alihkan untukmu," kata Om Seno serius. Uhuuk !! Balik aku yang tersedak. Terkejut mendengar Om Seno mengatakan yang mimpi pun aku tak berani. Ibu juga tak kalah kaget, lalu menoleh Om Seno. "Seno, jangan becanda kamu!" ucap Ibu heran. "Aku serius, Mbak! Rencana perusahaan memang ingin aku beri sama Ayu untuk di urus. Aku sudah tua nggak selamanya berkutat disana terus, aku ingin lebih cepat pensiun," jawab Om Seno dengan nada lelah. "Tapi, Om kan punya Widya! Kenapa nggak Om suruh aja dia, secara dia lebih berhak karena anak Om," kataku menolak halus. Terdengar berat napas yang di keluarkan Om Seno, ekspresi wajahnya sulit dimengerti. Om Seno menghentikan makan dan melamun. Ibu dan aku bingung kenapa Om Seno jadi sedih. Ibu lalu menepuk pundak Om Seno. "Seno, ada apa? Sepertinya kamu menyimpan beban, apa mau cerita sama Mbak?" "Mbak, kalo aku cerita kalian nggak akan percaya. Kalian bisa lihat sendiri nanti, aku h
Aku tersenyum mencoba bersikap ramah. "Tante Fitri, ada apa pagi-pagi kesini?" tanyaku. "Halah, nggak usah pura-pura kamu Ayu! Kamu pasti sudah merayu suamiku agar memberikan perusahaan ini padamu kan!" kata Tante Fitri dengan keras. Tanpa tendealing, Tante Fitri langsung mengamuk. Aku yang merasa malu dilihat banyak orang pun mengajak Tante masuk ke kantor untuk berbicara baik-baik. "Tante, bisa kita bicara di kantor? Agar nggak mengganggu yang lain bekerja," ajak ku sambil melangkah. Akan tetapi, langkahku di cekal. "Kenapa? Kamu malu kalo yang lain tau bahwa sebenarnya kamu orang miskin yang sudah merayu suami orang, hah!" hardiknya. Mendengar suara Tante Fitri mulai banyak pasang mata yang melihatnya. Aku bukannya malu terhadap diriku tapi malu dengan kelakuan Tante Fitri. Bisa saja aku memanggil satpam untuk menyeretnya keluar tapi selama masih berhubungan dengan Om Seno, aku pun harus sabar. Setidaknya menjaga image baik Om Seno didepan orang. "Terserah Tante mau bilang ap
"Diam kamu! Marissa bukan anakku, apa kamu pikir aku akan menyerahkan perusahaan pada kalian yang hanya gila harta dan suka menghamburkan uang. Dan kamu Fitri, sebenarnya apa yang kamu lakukan selama ini di perusahaan?" selidik Om Seno marah. "Apa maksud Papa?" tanya Tante Fitri heran sekaligus terkejut. Wajahnya seperti ketakutan. Kami semua memandang pertengkaran Om Seno dan istrinya. Karena malu jadi tontonan, akhirnya Om Seno pamit pada kami. "Maaf semuanya, saya pulang duluan ya!" Dengan gusar Om Seno melangkah pergi sambil mendorong paksa Marissa dan Tante Fitri naik mobil. Ibu cuma menggeleng kasihan melihatnya. Sedangkan orang tua Mas Adit ikut heran, aku menowel tangan Mas Adit agar membawa orang tuanya pulang. Mas Adit mengerti lalu mengajak Om dan Tante pergi. Kami berjalan bersama menuju parkir, setelah para tetua masuk mobil tinggal aku dan Mas Adit di luar. Kekasih hatiku itu menggenggam erat tanganku. "Ayu, nanti sampai rumah telepon Mas ya, Yang! Kamu masih ingatk
"Ayu, walaupun begitu kami nggak akan melarang karena demi kebahagiaan Adit kami hanya bisa mendukung dan mendoakannya. Kami nggak akan mengganggu hubungan kalian lagi dan merestuinya. Bukankah begitu, Pa?" tanya Tante Ria pada suaminya. "Benar, apa yang diucapkan istri saya. Sebenarnya kami ingin menguji sampai mana kesetiaan kalian dalam hubungan ini. Kami juga ingin mencari menantu yang mencintai Adit tulus tanpa status dan embel kekayaan. Sekarang kami bisa melihat bahwa kamulah calon menantu yang tepat untuk Adit." Om Ridho akhirnya buka suara. Aku berjalan mendekati keduanya dan membantu agar mereka bangun. "Om dan Tante, Ayu sudah maafkan kalian! Ayu juga minta maaf kalo masih ada kekurangan!" "Nggak Ayu, kamu sudah sempurna! Adit sudah menjelaskan pada kami bahwa kamu sosok istri yang diinginkannya. Tante mohon beri Adit kesempatan ya! Besok, kami akan balik keluar negeri. Tolong jaga Adit untuk kami," pinta Tante Ria memohon. Karena terharu aku refleks memeluk Tante Ria.
"Ayu! Tunggu!" panggil Pak Adit. Kami bertiga berhenti melangkah dan menoleh kebelakang. Terlihat Pak Adit mengejar sampai tersengal-sengal. Begitu sudah mendekat beliau berhenti, aku menunggu apa yang akan dikatakannya. "Ayu, maafkanlah orang tua saya atas perbuatannya. Sungguh saya nggak mengira mereka akan melakukan hal memalukan itu," ucap Pak Adit sedih. Aku masih diam, memberi kesempatan Pak Adit untuk mendengar penjelasannya. Sengaja ingin berlama-lama menatap wajahnya. Bagaimanapun aku juga merindukannya. Tiba-tiba tanpa aku duga, Pak Adit berlutut. Matanya berembun menatap dalam padaku. Aku dan Ibu juga mister Nicholas menjadi terkejut, tak menyangka Bos besar seperti Pak Adit mau berlutut di depanku hanya ingin permintaan maaf dariku. "Pak Adit bangun! Jangan begini, nggak enak dilihat orang," kataku akan berniat membuatnya bangun tapi Pak Adit tak bergeming. "Nggak, Ayu! Sebelum kamu memaafkan orang tua saya, maka saya akan terus berlutut," kata Pak Adit menyedihkan.
Mencari keberadaan Om Seno dan keluarganya. Saat ada yang mengangkat tangan, aku segera menoleh. "Sini, Ayu!" panggil Om Seno. Semua mata memandang ke arahku saat mendengar Om Seno memanggil. Marissa dan Tante Fitri cemberut tak senang. Sedangkan Pak Adit sampai tak berkedip, Tante Ria dan suaminya melongo. Aku dan Ibu berjalan dengan anggun menuju meja dimana dua keluarga saling bertemu itu. Hingga tiba, Om Seno bangun lalu memperkenalkan diriku pada calon besan. "Pak Ridho dan Bu Ria, kenalkan ini keponakan saya dan Ibunya," ucap Om Seno menunjuk. Kulihat Tante Ria dan suaminya menganga tak percaya. Aku tersenyum mengangguk dan membatin, ini belum seberapa Tante Ria. Nanti kalian akan lebih terkejut lagi. "Jadi, Ayu keponakan anda ternyata Pak Broto?" tanya Tante Ria masih tak percaya. "Benar, saya dan Ibunya sudah lama berpisah jadi baru ini bertemu. Bagaimana, cantik kan keponakan saya!" puji Om Seno sengaja membuat Marissa cemburu. "Papa apa-apaan sih! Sudah tentu cantik a
Sudah beberapa hari sejak diriku menggantikan posisi Om Seno, sejak itu pula kesibukanku menjadi direksi. Aku mencoba untuk berbaur dan mengenal semua staf dan karyawan. Sejauh ini mereka menghormati diriku selaku Bos grup Atmajaya. Om Seno masih malang melintang di perusahaan untuk membantuku sampai aku bisa mandiri. Bahkan aku masih mempersilahkan Om Seno duduk di kursi kebesarannya dan aku duduk di hadapannya. Awalnya Om Seno menolak tapi aku minta hanya sampai aku bisa berdikari. Seperti hari ini, aku dan Om Seno asyik mempelajari tentang kerjasama dengan perusahaan lain. Tiba-tiba aku teringat proyek dengan perusahaan asing itu. "Om, gimana proyek dengan perusahaan asing itu? Apa mau kita saja yang mengerjakan?" tanyaku. "Kemarin Pak Adit nggak jadi ambil kah?" Aku menggeleng tak tau. "Kemarin Pak Adit bilang proyek itu diserahkan pada Om aja. Tapi entah sekarang gimana, Ayu kurang tau." "Kalo gitu, Om telepon dulu!" ucap Om Seno lalu mengambil ponsel dan menelepon. Aku me
Malamnya, aku mengajak Ibu untuk menghadiri pesta perusahaan. Itu juga permintaan Om Seno, dengan memakai gamis pemberian Om Seno dulu Ibu terlihat anggun. Om Seno datang menjemput kami lalu bersama-bersama hadir ke pesta. Sampai disana sudah banyak yang datang. Memakai baju ala-ala ke pesta semua terlihat gembira. Begitu kami memasuki aula, semua menyambut hormat dan kami duduk di kursi utama. Acara dimulai, sebelum Om Seno memberi kata sambutan menyingkir kebelakang untuk menelepon. Tak lama terlihat hadir banyak pria yang memakai jaket. Dari perawakannya aku tau mereka polisi yang menyamar agar tak terjadi kegaduhan dan pelaku kabur. Beberapa polisi terlihat berbaur agar tak kentara dengan pura-pura ikut menikmati pesta ini. Aku celingukan mencari para pelaku, syukurlah akhirnya mereka datang semua. Acara pun dimulai, Om Seno naik ke panggung dan memberi kata sambutan. "Terima kasih pada kalian yang sudah mau hadir, malam ini saya akan umumkan siapa aja dari para pegawai dan ka
Hari ini mulailah dijalankan rencana. Sejak kedatangan Om Seno ke rumah malam itu, kami menyusun sebuah rencana untuk menangkap semua dalang kejahatan di perusahaan. Om Seno mengatakan agar saat menangkap tersangka, Tante Fitri jangan sampai ditangkap dulu. Nanti ada bagian sendiri buatnya, karena Om Seno masih ingin mengungkap siapa lelaki preman yang sudah diberinya uang itu. Yang paling penting perusahaan bisa distabilkan dan dibenahi dulu. Aku berangkat ke kantor seperti biasa, Om Seno yang menjemput. Setibanya di perusahaan sudah banyak para staf dan karyawan yang berdatangan. Pukul sembilan pagi, Om Seno kembali mengadakan rapat. Setelah semua orang berkumpul dan duduk tenang, Om Seno pun mulai buka suara. "Pasti kalian semua bertanya-tanya ada apa dengan rapat yang tidak biasa ini. Saya cuma ingin memberitahu bahwa perusahaan ini sudah rutin mengadakan acara dan pesta penghargaan pada staf dan karyawan yang berprestasi setiap tahun. Jadi, esok hari perusahaan akan mengadaka
Om Seno masuk ke kantor saat aku sedang mengecek data pemasaran. Aku coba untuk bertanya mengenai target pasar apa yang di kerjakan perusahaan. "Om, mengenai soal ini kerjasama dengan perusahaan atau pasar mana saja yang sedang berjalan?" tanyaku sambil menyerahkan data ke tangan Om Seno. Om Seno segera mengecek sebentar. Awalnya mengangguk kemudian mengerutkan dahi. "Data ini pasti salah! Ini sudah melebihi dari perkiraan," ucap Om Seno. "Ayu pikir pun begitu, Om. Karena nggak mungkin semua ini lewat tanpa sepengetahuan Om. Ayu sudah memeriksa kalo beberapa pasar itu hasil labanya bukan ke perusahaan tapi ke rekening seseorang. Ayu akan mendatangi pasar yang aneh itu, meminta informasi dari bos nya," jelas ku menerangkan. Pantas perusahaan rugi begitu banyak, ada seseorang yang jahil menggunakan barang atau produk perusahaan Om Seno untuk mengeruk kekayaan sendiri. Mengatasnamakan produk dari grup Atmajaya tapi hasil laba masuk ke rekeningnya sendiri. Ini tak bisa dibiarkan karen