Adam bertemu teman semasa sekolah dahulu di masjid itu. Namanya temannya itu adalah Bowo. Sejak di dalam tadi memang Bowo sudah melihat Adam. Namun dia tak berani memanggil karena belum tahu kepastiannya. "Benar dugaanku. Ingat aku gak kamu, Dam?" tanya Bowo sambil menepuk agak kencang pundak Adam. "Tentu saja aku ingat," jawab Adam. Keduanya tampak mengobrol asyik untuk beberapa saat sebelum Bowo pamit untuk balik ke kantor lagi. Mengobrol dengan Bowo membuat Adam sedikit terhibur karena Bowo memang seasyik itu orangnya. Setelah istirahat, Adam kembali melanjutkan perjalanannya melamar pekerjaan. Dia pantang menyerah dan tetap semangat. Tepat pukul lima sore, Adam sudah sampai kos lagi. Sekarang, dia hanya tinggal menunggu untuk dihubungi. Baru saja Adam merebahkan tubuhnya, ada yang mengetuk pintu kamarnya. Dengan sedikit malas Adam membukanya. "Lho ... Pak Muh? Ada apa, Pak?" tanya Adam. Pak Muh sudah berdiri di depan pintunya lengkap dengan sarung dan peci kebanggaannya. "B
"Di rumah sakit mana biar saya ke sana sekarang?" tanya Adam. Yang ada dipikiran Adam saat ini hanyalah Keenan. Kasihan anak itu jika sendirian dengan kondisi kedua orang tuanya yang belum bisa Adam pastikan. Yang terpenting Adam sampai rumah sakit lebih dulu dan melihat kondisi keduanya. Biarpun kedua orang itu telah mengkhianati dan menipunya, Adam masih punya hati nurani. Apalagi setelah tahu jika Romi adalah saudaranya. "Di rumah sakit harapan, Mas."Setelah mendapatkan nama rumah sakitnya, Adam bergegas untuk pergi ke sana. Tentu saja naik angkutan umum atau cari ojek di sekitaran tempat kosnya. Tapi saat sampai di depan gerbang kos, Pak Muh memanggil. "Mau kemana, Nak?" tanya Pak Muh. "Mau ke rumah sakit, Pak. Ada teman yang kecelakaan dan ada anaknya yang kecil. Kasihan saya, Pak.""Innalilahi! Mau naik apa kamu ke sana, Nak? Pakai motor Bapak saja biar cepat," usul Pak Muh. Tanpa pikir panjang lagi Adam mengiyakan. Untuk saat ini hanya Keenan yang ada dipikirannya. Jika
"Apakah Bapak bisa ke rumah sakit sekarang? Kondisi saudara Anda tengah kritis," ucap petugas rumah sakit yang menelepon Adam."Astaghfirullah hal adzim! Baik, saya akan segera ke sana," jawab Adam cepat. Setelah sambungan terputus, Adam mulai kebingungan dengan Keenan. Dia merasa kasihan jika Keenan akan dibawa ke rumah sakit. Anak sekecil itu tak baik berada di lingkungan rumah sakit yang notabenenya banyak orang sakit. "Kenapa, Nak Adam? Kok sepertinya panik," tanya Pak Muh yang melihat gelagat Adam. "Saudara saya kritis, Pak. Saya harus ke rumah sakit tapi bingung dengan Keenan. Rasanya tak mungkin lagi saya ajak ke rumah sakit, Pak. Kasihan," jawab Adam. Istri Pak Muh ikut mendengar obrolan suami dan Adam karena kebetulan dia tak jauh duduknya dari mereka. Beliau langsung mendekat dan memberikan saran. "Biar Ibu yang menjaganya. Jika kamu tidak keberatan, biar Ibu bawa pulang anak itu," kata istri Pak Muh. Tentu saja Pak Muh sangat mendukung usul istrinya. Tadi memang Pak Mu
Romi juga tidak selamat. Dia menghembuskan nafas terakhirnya sesaat setelah Adam kembali menemuinya. Sebelum meminta Adam menemuinya lagi, Romi meminta pengacara pribadinya untuk datang. Di hadapan pengacaranya itu, Romi membuat pernyataan bahwa semua aset Adam akan dikembalikan kepada Adam. Dan perusahaan miliknya juga diminta untuk dikelola Adam yang nanti hasilnya akan digunakan untuk kebutuhan sosial. Misal, menyumbang ke panti asuhan, menyekolahkan anak yang tidak mampu dan lain sebagainya. Kehidupan Adam berangsur mulai normal kembali. Dia mulai bekerja seperti biasanya. Dan Adam sudah tidak tinggal di kos milik Pak Muh. Dia sudah tidur di rumahnya sendiri. Tapi Adam masih berhubungan baik dengan Pak Muh dan istrinya. Terlebih lagi Keenan diasuh oleh istri Pak Muh ketika Adam pergi bekerja. Hanya Pak Muh dan istrinya lah yang Adam percaya untuk saat ini. Kehidupan Adam mengalir apa adanya. Hingga tibalah jadwal sidang lanjutan perceraiannya dengan Hana. Besok adalah penentuan
Hana tak habis pikir dengan jalan pikiran Habibi. Bagaimana mungkin dia bisa melamar wanita yang masih berstatus istri orang hanya karena sekarang wanita itu sedang dalam proses perceraian?Tak pernah terpikirkan oleh Hana untuk menikah lagi setelah bercerai dengan Adam. Dia ingin hidup tenang dan menata dirinya lebih dulu. Kini Hana bingung menolak Habibi tanpa menyakiti hati Habibi. "Bagaimana, Nak Hana? Mohon maaf jika keponakan paman ini terkesan 'ngebet'," celetuk paman Habibi karena Hana tak kunjung memberikan jawaban. Habibi sejak tadi memang menunggu jawaban dari Hana. Dia tengah harap-harap cemas menunggu kepastian. Harapannya begitu besar. Tapi Habibi juga siap untuk kemungkinan terburuk yang akan dia terima. Habibi nekat mengatakan perasaannya kepada Hana agar dia terlepas dari beban yang selama ini dia tanggung. Jika pun nanti dia ditolak, paling tidak hatinya sudah lega tidak menyimpan perasaannya seperti dulu. "Sebelumnya saya berterima kasih karena kamu sudah jujur
Perasaan Hana ini mirip seperti perasaannya saat pertama kali bertemu dengan Adam. Ada rasa suka dan cinta di sana. Hati yang dulu sudah ingin menutup lembaran cerita dengan Adam kini mulai berubah kembali. Suara debaran jantung Hana sangat keras sekali. Dia takut jika nantinya Adam akan mendengarnya. Melihat senyum Adam, hati Hana semakin menjadi-jadi. "Aku ini kenapa, sih?! Sebentar lagi kamu dan Mas Adam sudah resmi bercerai, Han! Tepis semua hal yang bisa membuatmu menjadi berat melepaskannya," ucap Hana dalam hati. Hana mencoba mengalihkan pandangannya. Dia melihat Keenan yang sudah makin besar. Rasanya sungguh rindu sekali dengan anak itu. Anak yang tak berdosa dan dia tahu jika Keenan bukan anak suaminya. "Assalamualaikum!" ucap Adam ketika sudah sampai dan bertatap muka dengan Hana. "Waalaikumsalam," sahut Hana tetap dengan sopan.Adam terlihat mempersilakan istri Pak Muh untuk duduk. Dia sangat sopan dan perhatian dengan istri Pak Muh karena sudah menganggap Beliau seper
"Aku —"Lidah Hana kelu untuk bicara. Dia memberanikan memandang Adam. Ada pancaran penyesalan yang terlihat di mata Adam. Sungguh, Hana paham betul sifat Adam. Kemudian dia berganti memandang Keenan yang tengah tertawa riang bersama Bu Muh. Sebuah keputusan yang tidak mudah untuk diambil oleh Hana. Di satu sisi dia ingin tetap bercerai. Tapi, di sisi lain dia memikirkan nasib Keenan di masa depan. "Maaf aku gak bisa, Mas," ucap Hana sambil masih menatap Keenan. Adam menghela nafas berat. Tak percaya rasanya mendengar jawaban Hana. Tapi, dia tak akan menyerah begitu saja. Dia akan berusaha untuk mendapatkan Hana kembali. "Apa masih tidak ada kesempatan terakhir untukku, Han? Aku tidak akan berjanji manis kepadamu. Tapi, jika kamu masih mau bersamaku, aku akan melakukan yang terbaik untukmu dan keluarga kita. Tolong pertimbangan lagi keputusanmu, Han!""Maaf aku gak bisa, Mas!" Hana beranjak dari tempat duduk dan pergi. Dia tak sanggup lama-lama di sana dengan Adam yang pembicaraa
"Saya —"Hana tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Dia sesekali menoleh ke arah Keenan. Anak itu terus saja memandang Hana. Bahkan tangannya sempat terjulur meminta gendong pada Hana. Sungguh suasana sidang kali ini membuat Hana haru. Air mata Hana tak bisa dibendung lagi. Dia teringat akan pesan abahnya dulu. Jika diingat-ingat, Adam sebenarnya tak melakukan kesalahan apapun karena Keenan bukan anak Adam. Walaupun pada akhirnya Adam dan Alya sempat berhubungan badan juga. Tapi, bukankah itu ketika keduanya sudah menikah? Jelas itu bukan perbuatan dosa. Mata Hana terpejam mengingat semua perjuangannya dulu bersama Adam sebelum Alya masuk. Mereka dulu sangat bahagia. Susah dan senang mereka jalani bersama. "Baiklah kalau begitu sidang ini memutuskan bahwa Saudara Adam dan Saudari Hana hari ini resmi ber—""Tunggu, Pak Hakim!" seru Hana sambil berdiri. Dia memotong ucapan hakim ketua. "Apakah saya bisa membatalkan gugatan saya ini, Yang Mulia?" kata Hana dengan mantap. Adam terkejut