Adam bingung harus menjawab apa. Kepalanya bahkan terasa pusing karena pertengkaran keduanya. Ternyata memang punya istri lebih dari satu itu tidak enak. "Gimana, Mas? Kok diam saja, jawab dong!" desak Alya yang mulai tak sabaran menunggu Adam bicara. "Sudahlah, Al, jangan paksa begini. Biarkan aku dan Hana istirahat dulu. Kami baru saja pulang dari perjalanan jauh. Dan kamu, kenapa kamu tidak mengucapkan belasungkawa pada Hana tapi malah ngajak ribut?" sungut Adam yang lama-kelamaan juga kesal dengan Alya. Bukannya mengikuti ucapan Adam, Alya mencebik lalu meninggalkan mereka berdua di sana. Hana tertawa kecil melihat tingkah Alya ini. "Lihat tingkah istri mudamu itu, Mas. Sangat tidak sopan! Jika memang punya dua istri sangat menyulitkan untukmu, maka lepaskan salah satunya. Dan satu lagi, Mas, segera lakukan tes DNA agar kita bisa tahu siapa ayah biologis dari Keenan."Sama halnya dengan Alya, Hana meninggalkan Adam yang terpaku sendirian di rumah keluarga. Kepalanya mendadak p
"Apa? Dan kamu menyetujuinya?" tanya Romi yang saat itu terkejut dengan pengakuan Adam. Terlihat Adam mengangguk, kemudian menunduk. Pikirannya saat ini benar-benar sangat kacau. "Tapi, aku tak tahu harus ke rumah sakit mana, Rom. Aku lakukan ini agar Hana percaya kalau Keenan itu anakku dan agar Alya tidak selalu merasa dipojokkan. Apa aku salah?" ucap Adam lagi sambil menatap mata Romi. "Tidak, Dam. Kamu tidak salah. Aku paham sekali maksudmu itu. Kalau kamu tidak keberatan, bawa saja anakmu itu ke rumah sakit Citra Raya. Di sana ada sepupuku juga yang kerja jadi dokter. Nanti aku coba bantu kamu lewat sepupuku itu. Gimana?" usul Romi yang mencoba mencarikan solusi untuk Adam. Adam terlihat berpikir soal usulan Romi itu. Dia masih ragu untuk menerima usulan Romi itu dan itu disadari oleh Romi. Dengan susah payah, Romi berusaha untuk membujuk Adam agar mau melakukan tes DNA di sana. "Jadi gimana, Dam? Kalau kamu mau, nanti biar aku yang urus semuanya. Kamu tinggal datang saja de
Tubuh Alya mulai keluar keringat dingin. Yang awalnya dia yakin semua akan berjalan lancar, ternyata di luar dugaannya. Romi sama sekali tidak merespon pesannya. Padahal posisi Alya dan Adam sudah ada di parkiran rumah sakit. "Kamu kenapa, Al? Kok seperti cemas? Apa yang mengganggu pikiranmu?" tanya Adam yang sadar akan sikap istri keduanya itu. "Oh, eng—gak ada apa-apa kok, Mas. Tolong gendong Keenan dulu, ya, Mas! Aku mau ke kamar mandi sebentar," jawab Alya agak terbata. Tanpa menunggu jawaban dari Adam, Alya langsung lari. Dia sebenarnya bukan mau ke kamar mandi, tapi dia mencari Romi. Kondisinya bingung saat itu. Tapi, kakinya tetap melangkah mencari walau tak tahu kemana. "Kamu dimana, sih, Sayang?" gerutu Alya sambil terus menyusuri rumah sakit bagian depan. Agak lama Alya mencari Romi. Tapi nyatanya pencariannya nihil. Dia sama sekali tidak menemukan Romi. Bahkan, telepon darinya pun tak diangkat oleh Romi. Alya makin panik. Dia melihat Adam dan Keenan sudah memasuki rum
Alya berdiri tepat di depan Hana. Senyuman sinis dia perlihatkan kepada Hana. "Apa kamu sudah siap untuk kalah, Mbak Hana sayang?" bisik Alya tepat di telinga Hana. Hana diam tak menjawab. Percuma juga berdebat dengan perempuan bermuka dua ini. Hana tak ingin menyia-nyiakan tenaganya untuk hal yang tidak penting. "Minggir saya mau istirahat," ucap Hana tegas. Dia nekat maju dan menerobos Alya yang tetap berusaha menghalanginya. Pintu kamar dia tutup dan kunci rapat-rapat. Hana sendiri tak paham dengan ucapan Alya tadi. Tapi, dia mengira ini soal tes DNA yang baru dilakukan suami dan anak Alya. "Ya Allah, semoga saja kebenaran terungkap lewat tes DNA itu. Aku tak ingin rumah tanggaku hancur karena perempuan licik itu, Ya Allah." Doa tulus yang terucap lirih dari mulut Hana. Hana tak keluar dari kamarnya sampai menunggu Adam pulang. Dia lebih memilih menghindari keributan dengan Alya. Namun, sampai malam pun Adam belum pulang. Dan saat di telepon, Adam bilang akan pulang larut ma
Hana sungguh sangat kebingungan karena di depan ada Marvin yang notabenenya kepala sekolah di tempatnya mengajar. Kepulangannya yang cepat dari yayasan juga sebenarnya bukan kebetulan. Setelah mengalami pergolakan batin yang cukup lama, Hana memutuskan untuk mengundurkan diri dari yayasan tersebut. Banyak sekali pertimbangan yang Hana pikirkan sebelum memutuskan hal itu. Hari sebelumnya, Hana curhat pada sahabatnya Luna untuk meminta saran atas keputusan yang akan dia ambil. Marvin sudah terlalu masuk ke dalam ranah pribadinya dan itu membuat Hana tidak nyaman. "Kamu yakin dengan keputusan kamu itu, Han? Jangan sampai nanti kamu menyesal. Apa kamu siap akan selalu bertemu dengan madumu kalau kamu tak ada kegiatan?" tanya Luna pada Hana kala itu. "Entahlah, Lun. Tapi, jika aku tetap bertahan di sana, Pak Marvin akan tetap bersikap seperti itu padaku. Aku gak ingin memanfaatkannya untuk balas dendam pada Mas Adam. Biarlah urusan rumah tanggaku nanti Allah yang akan menolongnya.""Se
Entah apa yang ada dalam pikiran Marvin sampai dia nekat melakukan hal itu. Padahal sebelumnya dia sudah bertekad tidak akan mengganggu rumah tangga Hana lagi. Adam datang penuh dengan amarah. Saat di kantor, Alya mengirimkan sebuah foto yang membuat darahnya mendidih. Foto Marvin dan Hana tengah mengobrol berdua di rumahnya cukup membuatnya langsung berkemas untuk pulang. Tentu saja kesempatan yang baik itu tak di sia-siakan oleh Alya. Dia yang sangat ingin memisahkan Adam dan Hana diam-diam mengambil foto Hana dan Marvin lalu mengirimkannya kepada Adam. "Rasakan kamu, Mbak Hana!" gumam Alya sambil tersenyum licik. "Kurang ajar laki-laki itu! Tak bisa dibilangin satu atau dua kali. Awas saja kalau nanti aku sampai rumah," ucap Adam geram. Sepanjang perjalanan, pikiran Adam selalu ingin cepat-cepat sampai rumah. Bahkan dia tak mengindahkan batas kecepatan maksimal sebuah mobil berkendara di jalan raya. Beruntung dia sampai rumah dengan selamat. "Hana!" teriak Adam sambil mengepa
"Adam! Alya! Kalian di sini ngapain?" Suara seorang laki-laki yang amat dikenal Adam. Mereka berdua menoleh ke belakang. Di sana, telah berdiri tegak Romi dengan setelan kaos oblong dan juga celana jeans. "Romi? Kamu di sini? Kami lagi istirahat mau ke puncak," jawab Adam yang langsung menjawab tangan rekan bisnisnya itu. "Kalian mau liburan di sana juga? Kebetulan aku juga mau ke sana juga. Kok bisa samaan, ya?" kekeh Romi seolah-olah memang pertemuan itu tidak sengaja. Padahal sebelum mereka berangkat, Alya sudah memberi kabar kepada Romi. Dia ingin sekali Romi ikut bersama mereka. Bukan tanpa alasan, Alya sudah rindu sekali dengan Romi. Karena sudah tidak bisa bebas bertemu, Alya selalu mencari kesempatan agar bisa bertemu. "Wuih, sama siapa kamu, Bro? Gebetan baru, yak?!" ledek Adam sambil menyenggol tangan Romi. "Apaan, sih?! Ada aja!" timpal Romi sambil tersenyum palsu. Alya hanya bisa tertawa dalam hatinya karena telah berhasil mengelabui Adam. Hasil tes DNA Keenan bisa
Tiga hari dua malam di puncak, Adam dan Alya pulang ke rumah dengan hati yang bahagia. Mereka masuk ke dalam rumah dengan tawa yang saling bersahutan. Tentu saja hal itu membuat Hana iri. "Mas, Alya. Sudah pulang? Bagaimana liburan kalian?" tanya Hana yang mencoba biasa saja walaupun hatinya teriris. "Tentu saja kami bersenang-senang, Mbak. Untung saja Mbak Hana tak ikut. Jika ikut, bisa-bisa merusak suasana," jawab Alya sambil menyindir Hana. "Oh begitu, ya. Syukur alhamdulilah kalau kalian senang. Mau aku masakan apa untuk makan siang?" tanya Hana lagi. Dia mencoba untuk tersenyum walaupun terpaksa. "Gak usah, Mbak. Nanti aku sama Mas Adam mau keluar lagi. Iya, kan, Mas?" "Iya," jawab Adam datar. Dia kemudian berlalu ke kamar Alya bukan ke kamar Hana. Tentu saja hal itu membuat Hana bertanya-tanya ada apa gerangan? Bahkan Adam tak tersenyum kepadanya sejak tadi. Apa saja yang terjadi tiga hari kemarin? Itulah pertanyaan yang muncul dalam otak Hana. "Sabar, Hana. Sabar!" Hana
Perasaan Adam dan Hana campur aduk. Mereka tidak mau bahagia lebih dahulu karena belum ada bukti, biarpun yang memeriksa Hana adalah dokter kandungan. Selama perjalanan menuju poliklinik Dokter Arif, Hana dan Adam saling berpegangan. Mereka menguatkan satu sama lain. Mereka akan melalui hari ini secara bersama-sama apapun hasilnya. "Aku takut, Mas," kata Hana ketika mereka menunggu di ruang tunggu depan poliklinik kandungan. "Kita hadapi sama-sama, ya! Berdoa saja semoga hasilnya sesuai dengan apa yang kita harapkan.""Aamiin."Hana dan Adam masih menunggu karena jadwal praktek Dokter Arif masih setengah jam lagi. Sudah ada beberapa ibu hamil yang juga ikut menunggu. Rasa rindu menghinggapi Hana ketika melihat hal itu. Dia rindu dengan Kanaya. Rindu akan tawa kecil yang selalu menghiasi harinya kala itu. Rindu hingga membuat Hana berharap jika dirinya saat ini benar-benar hamil. Setengah jam kemudian, mereka melihat Dokter Arif masuk ke dalam ruangan. Hati keduanya semakin berdeb
Kesedihan Hana tak berlangsung lama karena dia harus terus menjalani hidupnya. Masih ada Keenan dan juga Adam yang membuatnya bahagia. Tak ada waktu untuk bersedih. Dia harus bisa mensyukuri pemberian dari Allah setelah semua yang telah dia lalui. Dua bulan berlalu setelah kejadian testpack pagi itu. Hana semakin hari semakin giat bekerja. Sekarang bisnis Adam dan Hana mereka kelola sendiri-sendiri. Hana fokus pada bisnis baju-bajunya. Sedangkan Adam meneruskan bisnisnya yang sudah lama. "Kamu kok pucat sekali, Sayang? Kamu lagi sakit?" tanya Adam saat mereka hendak berangkat bekerja. Hana menggeleng pelan. Dia memang merasakan pusing. Tapi karena ada pekerjaan yang harus dia selesaikan, Hana terpaksa berbohong pada Adam. Jika Adam sampai tahu kalau dia sakit, pasti Adam tidak akan mengizinkannya untuk bekerja. Hana sudah terlalu mencintai pekerjaannya itu. Dengan bekerja, dia akan sedikit melupakan keinginannya untuk mempunyai anak. "Kamu yakin?" tanya Adam lagi untuk memastikan
"Ah rasanya aku sudah lupa hamil itu seperti apa. Apa aku cek saja? Tapi, nanti kalau hasilnya tak sesuai yang aku harapkan, pasti aku sedih. Tapi, aku penasaran juga. Toh aku juga sudah terlambat haid sudah hampir seminggu."Hati Hana bimbang. Dia merasa belum siap tapi penasaran juga. Apalagi dia juga sudah sangat merindukan kehadiran buah hati kembali. Walaupun ada Keenan, bukankah anak dari darahnya sendiri itu membahagiakan? Jikalau benar dia hamil, Hana berjanji akan tetap menyayangi Keenan seperti sebelumnya. Tanpa sepengetahuan Adam, Hana pergi ke apotik untuk membeli testpack. Dia memasukkan benda tipis itu ke dalam tasnya dan kembali lagi ke kantor. Kebetulan ada apotik yang dekat dengan tempat yang dijadikan kantor oleh Adam. Di kantor, dia pun bekerja seperti biasanya. Saat pertama kali Adam masuk ke kantornya, dia sangat kagum dengan banyaknya perubahan. Bahkan ada beberapa bisnis baru yang dikerjakan oleh Hana dan itu sangat diapresiasi oleh Adam. "Kamu darimana, Saya
"Kenapa kamu bisa sampai di sini, Lun?" tanya Hana yang kebingungan melihat sahabat yang sudah lama tidak ditemui sekarang ada di rumahnya. Bahkan sampai Marvin ada di rumahnya. Padahal mereka sudah lama sekali tidak berkomunikasi. Luna tak menjawab. Dia mengajak Hana dan Lita untuk duduk terlebih dahulu. Lalu, Luna mengambilkan air minum untuk diminum mereka berdua. Tujuannya agar bisa membuat keadaan keduanya lebih tenang. Sayup-sayup terdengar beberapa orang yang tengah berbisik. Saat itu juga mendadak rumah Hana menjadi ramai. Hana sampai dibuat bingung karenanya. "Terima kasih," ucap Hana setelah kondisinya agak tenang. Keenan pun juga ikut tenang saat melihat Hana tenang. Suasana menjadi hening. Baik Hana maupun Luna tidak saling bicara. Dan mata Hana pun menatap Luna seolah sedang menunggu jawaban dari sahabat yang sudah lama tidak dia temui itu. "Luna ..." ucap Hana lirih. "Iya, Hana. Kamu mau tahu kenapa aku dan Mas Marvin bisa di sini? Iya, kan?" Hana mengangguk cepat.
Sebuah bungkusan plastik yang isinya sudah berhamburan keluar. Banyak darah di sekitar plastik hitam itu. Hana bertakbir karena terkejut melihat hal itu. Tak lama kemudian terdengar lagi suara kaca dilempar batu. "Astaghfirullah hal adzim!" seru Hana dan Lita hampir bersamaan."Apa lagi itu, Bu?" tanya Lita yang melihat kertas yang sudah diremas-remas ada di dekat batu yang dipakai untuk melempar. Hana dengan hati-hati mengambil kertas itu dan membukanya. Matanya melotot ketika melihat tulisan berwarna merah menyala itu. "MAT* KALIAN!" eja Lita saat membaca tulisan yang ada di kertas. "Siapa yang melakukan ini, Bu? Saya takut sekali, Bu," kata Lita kemudian. "Ayo kita masuk ke dalam kamar! Aku harus minta bantuan karena kita sudah diteror," balas Hana. Dia kemudian mengajak Lita untuk ke kamarnya. Saat itu Hana ponsel Hana terletak di dalam kamarnya. Dengan langkah yang cepat keduanya berjalan menuju ke kamar Hana. Sesampainya di kamar, Hana segera mengambil ponsel miliknya unt
Hana membawa Lita ke klinik terdekat untuk diperiksa. Masih dengan ditemani pengacara dan juga polisi. Dan saat pemeriksaan Lita selesai, Hana pun pulang ke rumah.Asam lambung Lita naik karena dia terlalu stres dan juga makan tidak teratur. Dia membawa Lita pulang ke rumah agar bisa dipantau dengan baik. "Dia siapa, Nak?" tanya Ibu Muh saat mengantarkan Keenan pulang ke rumah Hana. "Dia karyawan Mas Adam, Bu. Ada hal yang ingin dia sampaikan ke Hana tapi kemarin dia sempat hilang. Baru tadi ketemu tapi malah dia sakit," jawab Hana. "Oh begitu. Semoga masalahmu cepat selesai, ya, Nak. Dan semoga Nak Adam cepat pulih juga seperti semula.""Aamiin. Terima kasih, ya, Bu, sudah mau Hana repotkan terus.""Gak apa-apa, Nak. Ibu malah senang jadi ada kegiatan ngurus Keenan. Badan Ibu rasanya sakit kalau gak dipakai ngapa-ngapain," sahut Ibu Muh. Walaupun menempuh jarak yang tidak dekat, Ibu Muh tidak pernah mengeluh. Dia dan Pak Muh sama-sama baiknya. Terkadang Ibu Muh diantar Pak Muh ke
Hana terus memaksa Lina untuk mengantarkan dirinya ke tempat Lita. Dia sudah tidak sabar mengetahui apa yang hendak dibicarakan oleh Lita kepadanya. "Tapi Lita bilang nanti setelah pulang kantor, Bu. Lita bilang takut ada yang mengikuti," ucap Lina mengutarakan alasannya. "Siapa yang akan mengikuti? Sebenarnya apa yang Lita tahu? Apa kamu tahu?" tanya Hana pada Lina. Lina menggelengkan kepala. Lina hanya penyampai pesan. Dia memang tak tahu apapun karena dia bukan di bagian keuangan. Dia dan Lita memang sudah berteman lama dan kebetulan bertemu kembali di satu kerjaan. Hanya Lina yang Lita percaya. Sehingga dia memberikan pesan untuk Lina sampaikan pada Hana. Dia sudah tak bisa menahan rahasia bisnis Adam lebih lama lagi karena ada beberapa orang yang mencari dirinya. "Kamu gak usah takut. Nanti sebelum kita sampai di tempat Lita, kita mampir ke kantor polisi untuk minta pengawalan dan perlindungan," ucap Hana menjawab kegundahan Lina. Setelah memikirkannya matang-matang, akhirn
Hana mengendari motor dengan kecepatan yang cukup tinggi. Dalam otaknya hanya berpikiran supaya cepat sampai di rumah sakit. Air matanya tak berhenti mengalir di sepanjang jalan. Tentu saja dia sudah menitipkan Keenan pada Bu Muh. Kebetulan atau tidak, Allah sudah merancang semuanya. Saat pihak rumah sakit menelepon dan meminta Hana untuk datang, kebetulan yang pas karena Bu Muh sedang berkunjung. Perjalanan kali ini terasa sangat lama sekali padahal Hana sudah berusaha cepat. Sebenarnya pihak rumah sakit tak menjelaskan apapun. Hanya saja Hana khawatir dan sampai punya pikiran yang tidak-tidak karena petugas yang menelepon dirinya mengatakan jika ada hal yang mendesak yang mengharuskan Hana untuk datang saat itu juga. "Dok! Sus! Ada apa? Suami saya baik-baik saja, kan?" Setengah berlari Hana menghampiri dokter dan perawat yang tengah berdiri di depan ruangan ICU. Keduanya sontak menoleh ke arah Hana tanpa ekspresi apapun. "Mari ikuti saya, Bu!" ajak perawat itu. Pintu ICU dibuka
Kejanggalan itu terjadi beberapa tahun lamanya. Dan suaminya tak menyadari hal itu. Dalam hatinya Hana bertekad harus menemukan Lita bagaimana pun caranya. Dia kemudian keluar dari ruangan dan mencoba bertanya ke beberapa karyawan yang ada di sana. Namun sayang tidak ada satu pun yang tahu alamat rumah Lita karena Lita hanya menyewa kamar. "Dulu sebelum pindah saya tahu, Bu. Tapi sudah hampir sebulan dia pindah dan saat saya mau main ke kosnya selalu tidak boleh sama Lita," kata teman yang bisa dibilang dekat dengan Lita saat ke kantor. "Oh begitu, ya. Boleh gak saya minta alamat kos yang lama?"Karyawannya itu langsung menuliskan sebuah alamat dan menyerahkannya kepada Hana. Hari berikutnya, Lita benar-benar tidak masuk kantor. Itu dapat diartikan bahwa Lita benar-benar mengundurkan diri dari kantornya. Setelah menyelesaikan beberapa urusan kantor, Hana keluar kantor dengan tujuan ke alamat kos Lita yang lama. Setelah berputar selama kurang lebih satu jam akhirnya Hana dapat men