Alya tersenyum dan menyeringai ketika melihat ekspresi Hana yang terkejut. Jika dilihat dari ekspresinya, tentu saja Hana belum menceritakan pernikahan kedua Adam itu kepada abahnya. "Mas Adam?" lirih Hana. Matanya memandang bergantian antara Abah dan juga suaminya. "Han, bukankah itu suamimu? Lalu, siapa wanita hamil yang bersama dengan Adam itu?" tanya Abah Hasan ketika mereka belum mendekat. "Ehm, itu ... dia, itu, Bah, dia ..." Hana sama sekali tidak mampu mengatakannya. Sangat sulit bagi dirinya menjawab pertanyaan Abah Hasan."Nduk, kamu kenapa jadi gugup begitu? Siapa perempuan itu?" Lagi, Abah Hasan bertanya dengan suara pelan. "Assalamualaikum, Bah!" Tepat saat Hana hendak menjawab, Adam mengucap salam. Di belakangnya ada Alya yang selalu mengikuti Adam. "Waalaikumsalam. Nak Adam, mari silahkan masuk!" jawab Abah Hasan seperti biasanya. Ramah. Abah Hasan selalu ramah dengan siapapun termasuk dengan Adam. "I—yah, Bah," jawab Adam terbata. Jika bisa digambarkan, perasaan
Sungguh, keringat dingin Adam mulai muncul. Jantungnya berpacu lebih cepat daripada biasanya. Hal yang sangat dia takutkan akhirnya terjadi juga."Ya Allah, aku harus jawab apa?" tanya Adam dalam hati. Dia menelan ludah dan sesekali membuang muka. Tentu saja Abah Hasan menyadari perubahan Adam. Beliau yakin jika ada sesuatu dalam rumah tangga anaknya. Mereka tak tahu jika Hana menguping pembicaraan antara mertua dan menantu itu dari dalam. Sama seperti halnya Adam, Hana juga panik dan juga gugup."Ya Allah, pasti Mas Adam sedang bingung menjawab pertanyaan Abah. Aku harus bagaimana, Ya Allah?" gumam Hana yang terlihat gelisah. "Itu, Bah ..." Kalimatnya tertahan di kerongkongan. Abah Hasan terlihat tersenyum dan menepuk-nepuk punggung Adam. Beliau tak sampai hati membuat menantunya ketakutan seperti itu. "Sudahlah, Dam. Kenapa kamu jadi tegang begini? Abah tak akan terlalu ikut campur dalam masalah rumah tanggamu. Tapi, karena Hana kemari sendirian, tak mungkin kalian tak ada masa
Abah Hasan lebih dulu berdiri dan berjalan ke ruang tamu. Sedangkan, Hana, Adam dan Alya masih duduk tak bergerak di meja makan dengan pikiran kacau. Hana dan Adam saling pandang tanpa berani untuk berucap. Sedangkan Alya, dia dengan santainya memperhatikan gerak-gerik keduanya. "Inilah yang aku tunggu. Kamu tak bisa lagi mengelak, Mas. Semoga saja Abah meminta Mas Adam untuk menceraikan Mbak Hana," batin Alya senang. Cukup lama mereka berdua termenung. Hingga sebuah teriakan dari Abah Hasan menyadarkan mereka. "Kalau sudah, kalian cepat kemari!" Suara Abah terdengar sangat jelas oleh ketiganya. Hana cepat-cepat membereskan piring-piring dan mencucinya. Sedangkan Adam dan Alya sudah lebih dulu duduk bersama dengan Abah Hasan. Sepuluh menit kemudian, Hana menyusul mereka dan duduk persis di sebelah Abah. Adam dan juga Alya duduk berdekatan dan itu semakin menguatkan kecurigaan Abah Hasan. Hana gugup dan terlihat memilin baju dengan jari-jarinya. Adam pun sama dengan Hana. Adam s
Alya kesal karena kejadiannya tak seperti yang diharapkan. Abah Hasan sama sekali tidak meledak-ledak marahnya. Memang Abah Hasan kecewa, tapi tidak sampai memaki atau mengusir Adam dari sana. Dia tak peduli saat Adam tak menyusulnya ke kamar. "Lebih baik aku tidur saja daripada mikirin orang tua b*doh itu! Percuma aku ikut ke sini!" umpat Alya sambil merebahkan diri di atas kasur usang di kamar Hana sampai tertidur. Setelah pengakuan Adam itu, Abah Hasan keluar rumah dan Hana memilih ke kamar abahnya selama abahnya itu keluar. Rasanya enggan satu kamar dengan Alya. Dia takut jika pikiran buruk tiba-tiba menghampiri dirinya ketika Alya tertidur. "Maafkan aku, ya, Bah. Aku memang bukan anak yang baik. Aku pulang bukannya membuat Abah senang tapi malah membuat Abah bersedih," ucap Hana sambil melihat foto Abah yang dipajang di dinding kamar. Air matanya keluar tanpa bisa ditahannya. Cinta pertamanya itu pasti terluka. Ingin rasanya Hana tak pulang ke rumah itu. Tapi, kakinya sudah t
"Baiklah kalau begitu, Bah. Saya izin siap-siap dulu, Bah." Abah Hasan mengangguk dan tersenyum. "Alya, kamu juga siap-, yang. Setengah jam lagi kita berangkat," kata Adam pada Alya yang berada persis di sebelahnya. "Iya, Mas," jawab Alya singkat. Tentu saja dia merasa senang karena Hana tidak ikut bersama dengan dia dan juga Adam. Bahkan Alya berdoa supaya Hana tidak pernah kembali lagi ke rumah Adam dan dia menjadi satu-satunya istri Adam pengusaha konveksi yang berhasil. Selagi Adam beres-beres, Hana menghampirinya dan membantu Adam membereskan baju-baju Adam. Walaupun tanpa kata, Adam tahu jika sebenarnya Hana masih sangat mencintai dirinya. "Han, aku harap kamu segera menyusul pulang. Mari kita mulai lagi hubungan ini dari awal. Aku sangat mencintaimu, Han. Aku benar-benar tidak sanggup berpisah darimu. Maafkan aku karena aku tak mendengar penjelasanmu malam itu karena aku dibakar rasa cemburu ketika melihatmu di antarkan oleh laki-laki," ungkap Adam. Semua unek-uneknya dia
Setelah memberi nasehat pada Hana, Abah Hasan pamit pergi ke ladang. Kegiatan Beliau sehari-hari memanglah di ladang. Apapun yang bisa ditanam, Beliau tanam. Abah Hasan juga menggarap sawah milik orang lain. Apapun dilakukan agar menghasilkan uang dan tidak selalu mengandalkan anaknya. Selagi mampu, Abah Hasan akan berusaha dengan keringatnya sendiri.Kring ... kring ....Ponsel Hana berbunyi ketika dia tengah berbaring di kamarnya. Sudah tiga hari ini dia tidak masuk kerja dan kebanyakan hanya melamun. "Assalamualaikum," sapa Hana lebih dulu saat mengangkat telepon. Dia tidak begitu memperhatikan nama di layar ponselnya saat menggeser layarnya. "Waalaikumsalam. Bu Hana, kapan Ibu Hana bisa masuk sekolah? Ini sudah tiga hari Ibu Hana izin. Apakah Ibu Hana sakit?" Suara laki-laki yang dikenal Hana terdengar. "Pak Marvin?" lirih Hana. Dia tak menyangka jika Marvin sampai menelepon dirinya. "Ya, saya Marvin," sahut Marvin yang ternyata mendengar ucapan Hana "Ibu Hana baik-baik saja
Alya melihat dengan pandangan tidak suka ketika Adam sangat perhatian dengan Hana. Semua yang dia pikirkan tidak sama dengan yang terjadi. "Kenapa, sih, susah sekali membuat Mas Adam benci sama Mbak Hana?" batin Alya geram. Alya tak bisa berbuat banyak. Dia tak punya daya untuk melarang karena mereka juga suami dan istri. Saat Hana melewati Alya, dia mengucapkan sesuatu dengan lirih."Saya tidak akan membiarkanmu menghancurkan rumah tanggaku. Kita lihat saja siapa yang akan kalah dalam hubungan ini."Deg! Alya tak menyangka jika Hana akan mengatakan hal itu. Hatinya terasa berdegup dengan kencang. Ada perasaan takut menyelimuti dirinya. Namun, dia berusaha untuk menepisnya. "Aku sangat yakin jika aku yang akan menang, Mbak Hana! Aku terima tantangan Mbak Hana ini," gumam Alya saat Hana sudah berlalu masuk ke dalam kamar. Di dalam kamar, Hana tengah membereskan baju-bajunya ke dalam lemari. Mulai hari ini, Hana harus ikhlas menerima keadaan rumah tangganya. Pernikahan poligami ini
"Sudah biarkan saja, Mas. Biarkan dia bertingkah seenaknya. Tapi, setelah dia nanti keluar dari kamar ini, aku tak mau melihat dia masuk ke dalam kamar ini tanpa izin dariku. Kamu mengerti, bukan, Mas? Aku menerima pernikahanmu tapi tidak serta-merta dia. Aku tetap akan memperlakukan istrimu ini dengan baik. Tapi, jika dia memulainya, jangan salahkan aku jika aku bertindak." Panjang sekali kalimat yang terlontar dari mulut Hana. Bukan dia mau berbuat jahat pada Alya. Dia hanya ingin menggertak Alya dan juga Adam. Hana tak ingin Alya masuk terlalu dalam. Biarkan Alya tetap menjadi istri kedua Adam tanpa merusak rumah tangganya lagi dari dalam. "Iya. Mas sangat mengerti itu. Alya, kamu dengar, kan, apa kata Hana? Jika setelah ini kamu masuk ke dalam kamar ini tanpa izin dia, kamu terpaksa akan aku ungsikan di tempat Ayah," kata Adam sedikit dengan ancaman. Alya kesal karena Adam tahu titik lemahnya. Tentu saja dia tidak akan mau tinggal di rumah Ayah Tri. Ayah Tri terlalu mendikte Al
Perasaan Adam dan Hana campur aduk. Mereka tidak mau bahagia lebih dahulu karena belum ada bukti, biarpun yang memeriksa Hana adalah dokter kandungan. Selama perjalanan menuju poliklinik Dokter Arif, Hana dan Adam saling berpegangan. Mereka menguatkan satu sama lain. Mereka akan melalui hari ini secara bersama-sama apapun hasilnya. "Aku takut, Mas," kata Hana ketika mereka menunggu di ruang tunggu depan poliklinik kandungan. "Kita hadapi sama-sama, ya! Berdoa saja semoga hasilnya sesuai dengan apa yang kita harapkan.""Aamiin."Hana dan Adam masih menunggu karena jadwal praktek Dokter Arif masih setengah jam lagi. Sudah ada beberapa ibu hamil yang juga ikut menunggu. Rasa rindu menghinggapi Hana ketika melihat hal itu. Dia rindu dengan Kanaya. Rindu akan tawa kecil yang selalu menghiasi harinya kala itu. Rindu hingga membuat Hana berharap jika dirinya saat ini benar-benar hamil. Setengah jam kemudian, mereka melihat Dokter Arif masuk ke dalam ruangan. Hati keduanya semakin berdeb
Kesedihan Hana tak berlangsung lama karena dia harus terus menjalani hidupnya. Masih ada Keenan dan juga Adam yang membuatnya bahagia. Tak ada waktu untuk bersedih. Dia harus bisa mensyukuri pemberian dari Allah setelah semua yang telah dia lalui. Dua bulan berlalu setelah kejadian testpack pagi itu. Hana semakin hari semakin giat bekerja. Sekarang bisnis Adam dan Hana mereka kelola sendiri-sendiri. Hana fokus pada bisnis baju-bajunya. Sedangkan Adam meneruskan bisnisnya yang sudah lama. "Kamu kok pucat sekali, Sayang? Kamu lagi sakit?" tanya Adam saat mereka hendak berangkat bekerja. Hana menggeleng pelan. Dia memang merasakan pusing. Tapi karena ada pekerjaan yang harus dia selesaikan, Hana terpaksa berbohong pada Adam. Jika Adam sampai tahu kalau dia sakit, pasti Adam tidak akan mengizinkannya untuk bekerja. Hana sudah terlalu mencintai pekerjaannya itu. Dengan bekerja, dia akan sedikit melupakan keinginannya untuk mempunyai anak. "Kamu yakin?" tanya Adam lagi untuk memastikan
"Ah rasanya aku sudah lupa hamil itu seperti apa. Apa aku cek saja? Tapi, nanti kalau hasilnya tak sesuai yang aku harapkan, pasti aku sedih. Tapi, aku penasaran juga. Toh aku juga sudah terlambat haid sudah hampir seminggu."Hati Hana bimbang. Dia merasa belum siap tapi penasaran juga. Apalagi dia juga sudah sangat merindukan kehadiran buah hati kembali. Walaupun ada Keenan, bukankah anak dari darahnya sendiri itu membahagiakan? Jikalau benar dia hamil, Hana berjanji akan tetap menyayangi Keenan seperti sebelumnya. Tanpa sepengetahuan Adam, Hana pergi ke apotik untuk membeli testpack. Dia memasukkan benda tipis itu ke dalam tasnya dan kembali lagi ke kantor. Kebetulan ada apotik yang dekat dengan tempat yang dijadikan kantor oleh Adam. Di kantor, dia pun bekerja seperti biasanya. Saat pertama kali Adam masuk ke kantornya, dia sangat kagum dengan banyaknya perubahan. Bahkan ada beberapa bisnis baru yang dikerjakan oleh Hana dan itu sangat diapresiasi oleh Adam. "Kamu darimana, Saya
"Kenapa kamu bisa sampai di sini, Lun?" tanya Hana yang kebingungan melihat sahabat yang sudah lama tidak ditemui sekarang ada di rumahnya. Bahkan sampai Marvin ada di rumahnya. Padahal mereka sudah lama sekali tidak berkomunikasi. Luna tak menjawab. Dia mengajak Hana dan Lita untuk duduk terlebih dahulu. Lalu, Luna mengambilkan air minum untuk diminum mereka berdua. Tujuannya agar bisa membuat keadaan keduanya lebih tenang. Sayup-sayup terdengar beberapa orang yang tengah berbisik. Saat itu juga mendadak rumah Hana menjadi ramai. Hana sampai dibuat bingung karenanya. "Terima kasih," ucap Hana setelah kondisinya agak tenang. Keenan pun juga ikut tenang saat melihat Hana tenang. Suasana menjadi hening. Baik Hana maupun Luna tidak saling bicara. Dan mata Hana pun menatap Luna seolah sedang menunggu jawaban dari sahabat yang sudah lama tidak dia temui itu. "Luna ..." ucap Hana lirih. "Iya, Hana. Kamu mau tahu kenapa aku dan Mas Marvin bisa di sini? Iya, kan?" Hana mengangguk cepat.
Sebuah bungkusan plastik yang isinya sudah berhamburan keluar. Banyak darah di sekitar plastik hitam itu. Hana bertakbir karena terkejut melihat hal itu. Tak lama kemudian terdengar lagi suara kaca dilempar batu. "Astaghfirullah hal adzim!" seru Hana dan Lita hampir bersamaan."Apa lagi itu, Bu?" tanya Lita yang melihat kertas yang sudah diremas-remas ada di dekat batu yang dipakai untuk melempar. Hana dengan hati-hati mengambil kertas itu dan membukanya. Matanya melotot ketika melihat tulisan berwarna merah menyala itu. "MAT* KALIAN!" eja Lita saat membaca tulisan yang ada di kertas. "Siapa yang melakukan ini, Bu? Saya takut sekali, Bu," kata Lita kemudian. "Ayo kita masuk ke dalam kamar! Aku harus minta bantuan karena kita sudah diteror," balas Hana. Dia kemudian mengajak Lita untuk ke kamarnya. Saat itu Hana ponsel Hana terletak di dalam kamarnya. Dengan langkah yang cepat keduanya berjalan menuju ke kamar Hana. Sesampainya di kamar, Hana segera mengambil ponsel miliknya unt
Hana membawa Lita ke klinik terdekat untuk diperiksa. Masih dengan ditemani pengacara dan juga polisi. Dan saat pemeriksaan Lita selesai, Hana pun pulang ke rumah.Asam lambung Lita naik karena dia terlalu stres dan juga makan tidak teratur. Dia membawa Lita pulang ke rumah agar bisa dipantau dengan baik. "Dia siapa, Nak?" tanya Ibu Muh saat mengantarkan Keenan pulang ke rumah Hana. "Dia karyawan Mas Adam, Bu. Ada hal yang ingin dia sampaikan ke Hana tapi kemarin dia sempat hilang. Baru tadi ketemu tapi malah dia sakit," jawab Hana. "Oh begitu. Semoga masalahmu cepat selesai, ya, Nak. Dan semoga Nak Adam cepat pulih juga seperti semula.""Aamiin. Terima kasih, ya, Bu, sudah mau Hana repotkan terus.""Gak apa-apa, Nak. Ibu malah senang jadi ada kegiatan ngurus Keenan. Badan Ibu rasanya sakit kalau gak dipakai ngapa-ngapain," sahut Ibu Muh. Walaupun menempuh jarak yang tidak dekat, Ibu Muh tidak pernah mengeluh. Dia dan Pak Muh sama-sama baiknya. Terkadang Ibu Muh diantar Pak Muh ke
Hana terus memaksa Lina untuk mengantarkan dirinya ke tempat Lita. Dia sudah tidak sabar mengetahui apa yang hendak dibicarakan oleh Lita kepadanya. "Tapi Lita bilang nanti setelah pulang kantor, Bu. Lita bilang takut ada yang mengikuti," ucap Lina mengutarakan alasannya. "Siapa yang akan mengikuti? Sebenarnya apa yang Lita tahu? Apa kamu tahu?" tanya Hana pada Lina. Lina menggelengkan kepala. Lina hanya penyampai pesan. Dia memang tak tahu apapun karena dia bukan di bagian keuangan. Dia dan Lita memang sudah berteman lama dan kebetulan bertemu kembali di satu kerjaan. Hanya Lina yang Lita percaya. Sehingga dia memberikan pesan untuk Lina sampaikan pada Hana. Dia sudah tak bisa menahan rahasia bisnis Adam lebih lama lagi karena ada beberapa orang yang mencari dirinya. "Kamu gak usah takut. Nanti sebelum kita sampai di tempat Lita, kita mampir ke kantor polisi untuk minta pengawalan dan perlindungan," ucap Hana menjawab kegundahan Lina. Setelah memikirkannya matang-matang, akhirn
Hana mengendari motor dengan kecepatan yang cukup tinggi. Dalam otaknya hanya berpikiran supaya cepat sampai di rumah sakit. Air matanya tak berhenti mengalir di sepanjang jalan. Tentu saja dia sudah menitipkan Keenan pada Bu Muh. Kebetulan atau tidak, Allah sudah merancang semuanya. Saat pihak rumah sakit menelepon dan meminta Hana untuk datang, kebetulan yang pas karena Bu Muh sedang berkunjung. Perjalanan kali ini terasa sangat lama sekali padahal Hana sudah berusaha cepat. Sebenarnya pihak rumah sakit tak menjelaskan apapun. Hanya saja Hana khawatir dan sampai punya pikiran yang tidak-tidak karena petugas yang menelepon dirinya mengatakan jika ada hal yang mendesak yang mengharuskan Hana untuk datang saat itu juga. "Dok! Sus! Ada apa? Suami saya baik-baik saja, kan?" Setengah berlari Hana menghampiri dokter dan perawat yang tengah berdiri di depan ruangan ICU. Keduanya sontak menoleh ke arah Hana tanpa ekspresi apapun. "Mari ikuti saya, Bu!" ajak perawat itu. Pintu ICU dibuka
Kejanggalan itu terjadi beberapa tahun lamanya. Dan suaminya tak menyadari hal itu. Dalam hatinya Hana bertekad harus menemukan Lita bagaimana pun caranya. Dia kemudian keluar dari ruangan dan mencoba bertanya ke beberapa karyawan yang ada di sana. Namun sayang tidak ada satu pun yang tahu alamat rumah Lita karena Lita hanya menyewa kamar. "Dulu sebelum pindah saya tahu, Bu. Tapi sudah hampir sebulan dia pindah dan saat saya mau main ke kosnya selalu tidak boleh sama Lita," kata teman yang bisa dibilang dekat dengan Lita saat ke kantor. "Oh begitu, ya. Boleh gak saya minta alamat kos yang lama?"Karyawannya itu langsung menuliskan sebuah alamat dan menyerahkannya kepada Hana. Hari berikutnya, Lita benar-benar tidak masuk kantor. Itu dapat diartikan bahwa Lita benar-benar mengundurkan diri dari kantornya. Setelah menyelesaikan beberapa urusan kantor, Hana keluar kantor dengan tujuan ke alamat kos Lita yang lama. Setelah berputar selama kurang lebih satu jam akhirnya Hana dapat men