Tomy menarik tangan Aster bergegas naik ke kamar atas. Mereka telah memerintahkan para pengurus rumah untuk tidak mengatakan apa pun soal Aster pada orang, terutama Brian. Mereka berpura - pura tak ada Aster di sana.
Suara tinggi terdengar. Ari sepertinya tengah melarang seseorang untuk masuk. Atau menahan orang tersebut. Tomy mengunci pintu kamar David tempat Aster bersembunyi. Dia pun turun ke teras depan. Dari balik pintu Aster merapat. Dia menempelkan telinga ke pintu. Berusaha mendengar. Namun tidak ada lagi suara yang merembet sampai ke atas. Aster pun menyerah. Dia mundur ke tempat tidur. Agak beberapa lama baru pintunya berbunyi. Ada yang memutar anak kunci dari luar. Pelan dan berhati - hati. "Mbak, dia sudah pergi," beritahu Tomy yang mengayunkan daun pintu. Aster bangkit dengan lega. Dia menghampiri Tomy ingin tahu apa yang ter"Apa? Reno melunasi hutang?" ulang Aster tak percaya. Dia tidak bisa mengecek rekening. Namun memang Panji bisa turut mengecek. Dia punya notifikasi pula. Juga De adalah pemantau perjanjian pelunasan. Jadi dia pun tahu perkembangan pembayaran. Pasti dari temannya itu Panji tahu Reno membayar lunas. Namun, uang dari mana? Tidak mungkin dia tiba - tiba mendapat uang banyak. Pinjam ke kantor jelas tidak mungkin. Setelah peristiwa di kafe, David sudah membuatnya tidak bisa berurusan soal uang dengan perusahaan. Begitu pula istrinya juga tidak akan bisa mengajukan pinjaman ke kantor. "Iya, Mbak. Pertengahan minggu lalu dia membayar semua kekurangan," jawab Panji. "Nggak, Pan. Nggak mungkin. Uang dari mana? Dia tidak mungkin mau ambil hutang lain untuk membayar hutang padaku," bantah Aster. "Entah dari mana, t
Aster menyentuh dada. Dia ingin memegang jantungnya erat. Agar tidak meledak. Betapa berdebar dia bisa keluar dari rumah Rendra. Berhari - hari terkurung di dalam sana. Dia merasa asing ketika melangkah ke luar. Mereka mengijinkan Aster keluar bersama Tomy. Walau pun Brian kembali ke rumah untuk kedua kali. Brian datang menuntut untuk bertemu Aster. Dia terus menyangkal telah membawa Aster. Malah dia menuduh Rendra yang menyembunyikan Aster. Dikejar Rendra pun Brian tidak menyebut alasan ingin bertemu Aster. Rendra pun balik menyerang Brian bahwa Aster disekap Brian. Keduanya beradu mulut begitu lama di teras rumah. Sampai Safira menarik Rendra masuk ke rumah. Dan dua penjaga menahan Brian dan memaksanya pergi. "Kenapa kamu, Mbak? Nggak enak badan?" cemas Tomy melirik Aster. Aster menggeleng pelan. "Aku nggak apa - apa. Hanya antusias," jawab Aster lirih. "Tenanglah. Brian tidak akan menemukanmu. Dia tid
"Aster! Aster dengarkan aku!" seru Reno bangkit dari kursi. Dia berlari mengitari meja rapat yang besar. Kursi roda yang dia tinggalkan bergeser liar. Tangannya terjulur ke arah Aster. Namun Aster mundur menjauh. Dia tidak mau Reno menyentuhnya. "Duduk!" perintah Tomy. Reno melayangkan pandang pada Tomy dengan sinis. Dia berani mengacungkan telunjuk. "Anda bukan atasan saya," sebutnya galak. Tomy mengeluarkan sebuah kartu dari saku kemeja. Tanda pengenal berlambang grup Antasena. Reno membelalak melihatnya. "Anda bukan auditor independen?" sergah Reno. "Duduk," desis Tomy dingin. Dia tidak perlu menjawab pertanyaan remeh Reno. Pria itu pun patuh mendudukkan diri ke kursi. Dia beralih menatap Aster penuh tuntutan. Meski bibirnya masih terkatup. "Kamu tahu mengapa dipanggil ke sini?"
"Dua puluh juta untuk wanita sial ini!" seru Reno meradang. Plak! Tamparan Tomy mendarat di muka Reno. Sampai pria itu terhuyung miring. "An-da sudah bertindak kriminal!" tuduh Reno menyentuh pipinya. Aster memandang tajam pada Reno. "Aku tidak pernah memintamu untuk membayar dengan uang haram!" tegas Aster. "Aku muak harus ingat memiliki hutang padamu! Terlebih kekasih barumu sangat menjengkelkan. Dia telah menghinaku!" seru Reno lebih kencang. "Apa?" sahut Aster kesal. Dia mengepalkan tangan lebih kuat. "Apa yang kekasihku lakukan padamu? Apa yang kamu lakukan pada kekasihku?!" "Dia mengancamku masuk penjara, sialan! Orang kaya seperti dia beraninya hanya pada rakyat jelata sepertiku. Menghina kami karena memiliki uang lebih banyak," amuk Reno. Dia sudah berdiri membungkuk. Tidak pernah dia bisa menegakkan punggungnya. Selalu terlihat menyedihkan bahwa ketika membela diri. "Dia tidak pernah melakukan i
Tuduhan Reno membuat Aster hilang kendali. Dia menyentak tangan Tomy untuk memutar haluan. Tujuannya menarik kerah Reno. Lalu kedua tangannya yang lebih banyak berbicara. Juga kaki yang tak segan menerjang pria licik itu. Perlu usaha Tomy dan Jimmy untuk memisahkan Aster dari Reno. Pria yang terkapar lemas dibawa Jimmy pergi dari ruangan. Sementara Aster menyentakkan diri dari rengkuhan Tomy. "Kita pulang," ujar Tomy lirih. Dia kembali menarik tangan Aster. Mereka berpindah cepat ke mobil. Aster sudah gelap mata tak tahu bagaimana bisa begitu saja sudah di mobil. Dia memelankan tarikan nafas yang begitu cepat. Kedua sisi kepala dipegang. Kembalikan fokusnya pada saat ini. "Aku akan memastikan Reno mengaku," kata Tomy. Aster membuang muka ke luar jendela. Jarinya terangkat cepat menyeka air mata. "Kamu apakan istrinya?" Masih sempat Aster memikirkan nasib wa
"Foto kencan?" timpal Tomy. Dia mencengkeram lengan Ilham. Pemuda itu sampai mengaduh ampun. Aster pun meminta Tomy melepaskan cengkeramannya. Aster memperhatikan Ilham. "Di mana kamu lihat fotonya?" Wajah Ilham menjadi pucat. Dia mengerut takut. "Di surel kantor, Bos. Ada yang salah kirim." "Surel kantor apa?" sergah Tomy. "Surel kantor gudang sini, Bos. Kan namanya mirip dengan surelnya bos David. Belum diganti. Saya sudah lapor bos David. Katanya suruh biarin. Itu orang salah kirim," cerita Ilham. Tomy menyuruh Ilham menunjukkan surel yang dimaksud. Maka mereka pun masuk ke bagian kantor gudang. Kepala gudang itu memandu mereka naik ke mezanin tempat kubikel - kubikel kerja berada. Dia menuju meja yang paling besar di sebelah ruangan berpintu tertutup. Ada papan nama kepala gudang di sebelah komputer desktop. Ilham
Ponsel David ada di sana. Aster memberikannya pada Jimmy yang sigap mengangsurkan sebuah kantong plastik bening. Ketika benda itu masuk kantong, serpihan merah kepat tertinggal di sarung tangan yang dipakai Aster. Seketika Aster menyentakkan tangan. Dia berusaha melepaskan sarung tangan. Namun seakan benda itu membelitnya. Perlu bantuan Tomy agar benda itu bisa ditarik lepas. Seseorang dari mereka mengambil ponsel tersebut. Dia menyalakannya tanpa canggung. Lalu memeriksa ponsel tersebut. "Dia detektif polisi," bisik Tomy. Aster menjadi heran. Kalau dari tadi ada detektif mengapa mereka membiarkan Aster mengambil benda tersebut. Tidak kah itu berarti Aster merusak barang bukti. Orang tersebut menghampiri Tomy. "Semua temuan akan dibawa ke kantor. Termasuk yang telah Jimmy serahkan sebelumnya akan kami olah." "Tolong periksa semua suspek. Mumpung mereka ada di kota ini," imbuh Tomy. "Jangan khawatir. Kami akan lakukan sesuai prosedur," timpal orang tersebut. Dia memberi k
"Stop, Tomy! Stop!" pekik Aster histeris. Dia terus menepuk lengan Tomy. Sambil tiada henti berseru agar Tomy menghentikan laju mobil. "Dia! Itu dia!" jerit Aster sampai Tomy mau berhenti. Mobil ditepikan ke jalan yang begitu sepi. Pencahayaan dari lampu jalan pun minim. Sinar bulan tertutup awan. Begitu mobil berhenti total. Aster bergegas melepas seatbelt. Dia tidak menggubris keheranan Tomy. Tuntutan Tomy agar dia mengatakan lebih jelas apa yang dimaksud tak dijawab. Sebab dia sendiri baru hendak membuktikannya. Dia akan tahu pasti setelah ini. Aster berlari. Dia kembali ke arah mereka berasal. Tak peduli jalan beton yang tak rata menjadi kerikil penghalang. Di belakangnya, Tomy mengikuti. Dia memanggil Aster beberapa kali. Namun tidak disahut. Beberapa puluh meter Aster berhenti. Dia celingukan ke sana kemari. Tadi dia jelas melihat seseorang di sana. "Mas David!" panggil Aster pilu. Dia melihatnya. Sosok yang tertangkap sorot lampu mobil adalah David. Tomy meraih tangan