"Menikah resmi?" pekik Sofia. "Ya! Saya tidak ingin mempermainkan sebuah pernikahan. Namun, seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, jika kamu tidak mengizinkan saya untuk menyentuhmu. Maka, sampai kapanpun, saya tidak akan pernah menyentuhmu," ucap pria tampan itu sembari menatap layar ponselnya. Mendengar itu, Sofia tersenyum miring. "Tentu saja aku tidak akan mungkin menyerahkan tubuhku pada laki-laki yang tidak aku cintai," bisiknya dalam hati sambil mendelikkan matanya. Reyfaldi mengalihkan pandangannya dari ponsel, mata tajamnya menelisik wajah Sofia. "Bagaimana? Bukankah sebelumnya kamu sudah setuju! Atau, apakah kamu berubah pikiran?" tanyanya dengan nada tenang namun menuntut jawaban. "Tidak! Aku tidak berubah pikiran," jawab Sofia cepat, kepalanya menggeleng dengan yakin. Dalam benaknya, Sofia menyadari konsekuensi jika ia mencoba mundur dari kesepakatan ini. Pria misterius di hadapannya pasti akan meminta kembali uang yang telah dikeluarkan untuk melunasi hutangnya p
"Hah. Mas Alvian?" Tatapan Sofia terpaku pada pemandangan yang mengiris hatinya. Sepasang kekasih yang telah menghancurkan kehidupannya berjalan beriringan, jemari mereka saling bertaut mesra seolah mengejek luka yang masih menganga. Rasa sakit merambati dadanya seperti aliran listrik. Hingga detik ini, Sofia masih sulit mempercayai pengkhianatan Alvian. Namun begitulah hidup—penuh kejutan tak terduga yang terkadang datang sebagai pelajaran pahit. Beruntung, kedua sosok itu terlalu sibuk dengan dunia mereka sendiri hingga tak menyadari keberadaan Sofia. Mereka berjalan dengan tawa riang dan wajah berseri, tanpa setitik pun penyesalan atas luka yang telah mereka torehkan. "Dasar jahat! Lihat saja, suatu hari nanti aku akan membalas perbuatan kalian!" gumam Sofia, rahangnya mengeras menahan amarah. "Sebaiknya, alihkan pandanganmu. Tak ada gunanya kamu terus memandanginya. Itu hanya akan membuat hatimu semakin hancur!" Reyfaldi berkata dengan tenang, sumpit di tangannya masih dengan
Sesaat setelah pintu dibuka oleh pelayan wanita yang berdiri di samping pintu, terlihat sebuah ruangan modern dengan peralatan medis canggih dan tempat tidur pasien yang tertata rapi. "Reyfaldi?!" sapa seorang wanita cantik berjas putih yang duduk di balik meja kerja elegannya. "Hai, Tamara," balas Reyfaldi dengan senyum hangat yang jarang terlihat. Keduanya berjabat tangan dengan akrab. Sofia memperhatikan perubahan ekspresi Reyfaldi—pria yang biasanya dingin dan hemat senyum kini tampak berseri-seri. Matanya memancarkan keramahan yang belum pernah Sofia lihat sebelumnya. "Oya, kenalkan, teman saya," ucap Reyfaldi sambil mengarahkan tangannya pada Sofia. "Sofia!" "Hai, Sofia. Saya Tamara. Tetangga Reyfaldi ketika kami tinggal di Amerika. Ada yang bisa saya bantu?" tanya wanita cantik itu dengan keramahan profesional. "Buatlah dia menjadi langsing dan lebih cantik lagi," pinta Reyfaldi. "Oh, gampang! Itu hal yang sangat mudah," jawab dokter cantik itu dengan senyum meyakinkan.
Tanpa sengaja, kaki Reyfaldi tersandung ujung ranjang, membuatnya terjatuh menimpa sesuatu yang terasa lembut. Dalam sekejap, lampu di kamar menyala kembali. Matanya terbelalak melihat Sofia yang kini terbaring di bawah tubuhnya. Tanpa diduga, bibir mereka bersentuhan dalam ketidaksengajaan yang mengejutkan. "Lepaskan!" pekik Sofia sambil mendorong tubuh kekar pria tampan itu. Reyfaldi segera bangkit dan berdiri dengan tergesa-gesa. "Ma-Maaf. Saya benar-benar tidak sengaja," ucapnya gugup. Sofia terdiam. Ia duduk dengan raut wajah yang menyiratkan kemarahan. Reyfaldi yang salah tingkah merasa sangat malu. Ia langsung berpamitan dan bergegas keluar kamar. "Huh. Bisa-bisanya dia mengambil kesempatan dalam kesempitan," umpat Sofia. Namun, bayangan kejadian yang baru saja terjadi kembali berkelebat dalam benaknya. Sentuhan bibir yang hangat dan hembusan napas pria tampan itu masih terasa begitu nyata. "Argh. Mengapa aku malah membayangkannya lagi? Sudah-sudah!" monolognya sambil mengib
"Loh, mengapa mereka malah membubarkan diri?" Suasa kantor terasa berbeda pagi itu. Para karyawan yang biasanya menyapa Sofia dengan senyum ramah kini justru membuang muka saat berpapasan dengannya. Tatapan mereka tajam menusuk, seolah kehadirannya menjadi hal yang tidak diinginkan lagi di tempat itu. Sorot mata mereka menyiratkan ketidaksukaan yang nyata. Beberapa bahkan tidak segan melontarkan sindiran pedas yang menggores hatinya. "Sebelum bergaya, pastikan dulu kalau kita tidak punya utang!" Seru salah satu karyawan diiringi suara gelak tawa karyawan yang lainya. Sofia menghela napas berat, menundukkan kepala tanpa berminat membalas sindiran yang ditujukan padanya. Ia mempercepat langkahnya menuju ruang Office, berusaha mengabaikan tatapan tajam yang mengiringi setiap langkahnya. Setibanya di ruangan, wanita bertubuh gempal itu segera duduk di meja kerjanya. Jemarinya menekan tombol CPU, mengaktifkan komputer yang beberapa hari ini seolah diabaikan. Tumpukan pekerjaan yang te
Reyfaldi menatap Sofia yang hanya diam mematung, pandangannya kosong menembus lembar perjanjian di genggamannya. Kerutan samar muncul di kening pria itu, menandakan kegelisahannya. "Kenapa? Apakah kamu ragu dan berubah pikiran?" tanya Reyfaldi, suaranya tenang namun penuh selidik. Mendengar itu, Sofia tersentak dari lamunannya. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, seolah baru tersadar dari alam bawah sadarnya, lalu menoleh ke arah Reyfaldi. "Apa? Tadi kamu bicara apa?" tanyanya, masih setengah linglung. "Mengapa malah melamun? Apa kamu berubah pikiran?" "Oh. Tidak! Tentu saja aku tidak berubah pikiran! Disini ya, tandatanganya?" Sofia menunjuk bagian materai yang tertempel pada dokumen, jemarinya sedikit gemetar. "Betul, Bu!" sahut pengacara itu, mengangguk mantap. Tanpa keraguan yang terlihat, Sofia membubuhkan tanda tangannya di atas materai tersebut. Goresan penanya tegas, menegaskan keputusan final yang telah diambilnya. Reyfaldi kemudian mengikuti, membubuhkan tanda tanganny
"Sebentar! Jangan-jangan, kamu adalah wanita yang pernah diceritakan oleh Reyfaldi, dulu?!" Mata Tamara membelalak, seolah baru menyadari sesuatu penting. "Hah! Maksudnya?" tanya Sofia, alisnya berkerut penasaran. Dokter cantik itu mendadak terdiam, bibirnya terkatup rapat seakan menyesali kalimat yang baru saja terlontar. Sebagai gantinya, ia hanya tersenyum penuh arti sambil merapikan selang infus yang tertancap di lengan Sofia dengan gerakan lembut. "Sepertinya, kamu dan Reyfaldi mempunyai hubungan yang sangat dekat?" Sofia mengalihkan pembicaraan, mencoba menggali informasi. "Dulu kami bertetangga dan suamiku adalah sahabatnya Reyfaldi!" jawab Tamara, jemarinya masih sibuk memeriksa jalur infus untuk memastikan cairannya mengalir dengan lancar. "Oh!" Sofia mengangguk pelan, menyimpan informasi itu dalam benaknya. "Memangnya, Reyfaldi tidak pernah menceritakan tentang saya ya?" Tamara bertanya, rasa penasaran tergambar jelas di wajahnya yang cantik. "Dia itu, bagaikan gunung
Reyfaldi mencari-cari keberadaan sosok wanita itu dengan raut wajah cemas. Hatinya gelisah karena ponsel Sofia tak kunjung dapat dihubungi. Langkahnya terburu-buru saat memasuki area kosan Sofia. Namun, ruangan itu kosong tanpa penghuni. Ia memutuskan menunggu, satu jam berlalu tanpa tanda-tanda kehadiran wanita itu. Malam semakin larut ketika Reyfaldi menyusuri jalanan yang mungkin dilalui Sofia. Tatapannya menyapu setiap sudut kota dengan penuh kekhawatiran. Hingga di sebuah tikungan, manik matanya menangkap siluet mobil sedan berwarna silver yang terparkir di bahu jalan—mirip sekali dengan mobil Sofia. Ia menoleh ke arah kiri, "Sofia?" Reyfaldi segera meminggirkan mobilnya dan menginjak pedal rem. Tanpa pikir panjang, ia turun kemudian berlari menghampiri sosok yang tak asing itu. "Sofia! Ternyata kamu ada di sini!" seru pria tampan itu. Sofia terlihat pucat kebiruan, berjongkok gemetar menahan dingin. Reyfaldi segera memapahnya menuju mobil. Wanita itu berjalan tanpa mengenak
"Mbooook ...!" Teriak Ella memecah keheningan. Mbok Nah segera berlari menghampiri Ella. Ia kaget melihat cairan yang sudah tergenang di kaki Sofia. "Nona ... Anda akan melahirkan?!" "Segera hubungi Reyfaldi! Aku akan membawa Sofia kerumah sakit bersalin!" titah Ella panik. Dengan panik. Wanita itu segera memboyong Sofia masuk ke dalam mobil peninggalan orang tua Sofia yang terparkir di halaman rumah Reyfaldi. Kemudian, Ella menyalakan mesin mobil dan melajukan mobilnya menuju rumah sakit bersalin tempat Sofia memeriksakan kehamilannya. Untungnya, wanita yang sempat menjadi pengemis itu sudah ahli dalam mengemudikan mobil. Sehingga, tak membutuhkan waktu yang lama untuk Sofia bisa tiba di Rumah sakit. Ella berlari ke bagian administrasi. Untung saja saldo di rekeningnya terisi uang hasil penjualan beberapa hari kebelakang. Sekitar 10 juta Ella melakukan deposit di rumah sakit tersebut. Tim medis segera bertindak dengan cepat. Sofia ditangani dengan sangat baik di rumah sakit
Sofia keluar dari ruangan tak layak huni tersebut. Ia menyeka air mata di pipi kemudian berbicara dengan Reyfaldi sambil berbisik."Sayang ..., bisa tolong Paman Danu? Aku sangat tidak tega melihatnya," ucap Sofia seraya menitikan air mata. Reyfaldi kemudian menyeka air di pipi Sofia dengan lembut. "Tentu, Sayang. Saya akan segera memanggil ambulace." Sofia mengangguk dan tersenyum haru. "Terima kasih, Sayang." Tak lama berselang, sebuah mobil ambulance tiba di depan jalan. Tim medis segera membawa Danu ke rumah sakit untuk diperiksa. Ella masuk dan duduk di dalam ambulance. Sedangkan Sofia bersama Reyfaldi mengikuti dari belakang. Setibanya di rumah sakit, Reyfaldi segera memesan kamar kelas VVIP, yaitu kamar termahal yang tersedia di rumah sakit tersebut. Danu segera ditangani oleh tim medis. Beberapa pengecekan dilakukan oleh dokter. Beruntung, bukan penyakit berbahaya yang diderita oleh Danu. Melainkan hanya asam urat namun cukup akut. "Sofia ... ruangan ini pasti sangat mah
"Bibi Ella?" Wanita yang tengah hamil besar itu beringsut mundur kemudian berbalik badan dan pergi meninggalkan Ella di ruang tamu. Ia merasa sangat benci pada Bibinya itu. Namun, Reyfaldi langsung mencekalnya. "Ayolah, Sayang ... bukankah tadi kamu berniat akan memaafkannya," bujuk Reyfaldi. "Tuhan saja pemaaf, apagi kita yang hanya sebagai hamba," tambahnya lagi. Sofia termenung beberapa saat. "Baiklah ..., aku akan menemuinya!" Wanita bertubuh besar itu kemudian berbalik badan dan melangkah kembali ke ruang tamu. Ia menjatuhkan bokongnya dengan pelan di atas sofa. Sedangkan Reyfaldi memilih untuk menunggu di dalam kamar, tak ingin mencampuri urusan bibi dan keponakan itu. "Sofia ... akhirnya kamu mau menemuiku." Mata wanita itu berkaca-kaca. "Aku benar-benar minta maaf atas perbuatanku dan Paman Danu. Kami melakukannya karena sangat terdesak. Pada saat itu, kami selalu diancam oleh debt collector. Sehingga kami merasa stress dan gelap mata. Tidak ada cara lain bagi kami selai
Pria yang menjabat sebagai CEO itu membungkuk lalu mendaratkan kedua tangannya di lengan bagian atas Alvian. Kemudian, mengangkat tubuh itu ke atas. "Jangan lakukan itu. Kamu tidak perlu bersimpuh di hadapanku!" Lagi-lagi, Alvian berucap terima kasih pada Reyfaldi. Pun juga dengan wanita tua yang sedari tadi berdiri di sana. Ia meminta maaf dan mengucapkan banyak terima kasih pada Reyfaldi. "Mulai minggu depan. Kembalilah ke perusahaan. Jadilah kepala produksi yang tidak akan mengecewakan saya lagi!" tutur pria tampan itu. Kepala yang semula menunduk, langsung terangkat wajahnya. "Apa?! Apa aku tidak salah dengar, Rey?" Reyfaldi tersenyum sekilas. "Bekerjalah lebih giat, agar kehidupan anakmu terjamin!" Alvian menyatukan kedua telapak tangannya seolah berterima kasih pada Reyfaldi. "Aku akan berusaha jadi karyawan terbaik. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang kamu berikan, Rey!" Pria yang mengenakan kemeja hitam itu berpamitan. Ia berniat segera pulang karena mengingat
Alvian bergegas naik ke dalam mobil milik tetangganya yang menawarkan bantuan padanya. "Maaf, pak. Saya menjadi merepotkan," ucapnya pada Bapak pemilik mobil. "Tidak sama sekali, Pak." Ambar tidak mengetahui kejadian yang terjadi semalam pada anaknya itu. Ia mengira, selama Clara bekerja menjadi LC karaoke, rumah tangga Alvian baik-baik saja. Bagai tersambar petir, tiba-tiba saja wanita tua itu mendengar kabar jika menantu kesayangannya itu kecelakaan bersama pria lain secara mengenaskan. Dan yang paling membuatnya merasa tercengang adalah berita tentang perselingkuhannya bersama pria beristri. Tak banyak berkata. Di dalam perjalanan, mereka hanya terdiam. Ambar dan Alvian masih merasa sulit untuk memahami apa yang tengah terjadi. "Kamu harus menjelaskan banyak hal pada ibu, setelah ini!" cetus ambar. Setelah menempuh perjalanan selama dua jam. Akhirnya mereka sampai di rumah sakit yang dituju. Alvian dan Ambar melangkah dengan sedikit keraguan dan ketakutan. Mereka merasa tida
Keributan yang terjadi di kediaman Alvian membuat para tetangga penasaran. Beberapa warga mengintip dari balik jendela menyaksikan pertengkaran yang terjadi. Ketua RT dan beberapa warga di pemukiman itu langsung menghampiri rumah Alvian untuk mencari tau dan melihat keadaan Alvian. Namun, mereka dikagetkan oleh suara teriakan Alvian yang menyatakan bahwa dirinya ingin mati. Segera, mereka menerobos masuk ke dalam rumah Alvian tanpa permisi. Melihat Alvian yang telah siap menghujamkan pisau ke dadanya. Sontak, salah satu warga berteriak. "Hentikan!! Kamu tidak boleh melakukannya!" Alvian otomatis membuka matanya. Salah satu warga yang datang langsung menyambar pisau yang berada di dalam genggaman tangan Alvian. Kemudian, meyadarkan lelaki itu dari tindakan bodohnya. Alvian menangis tak terkendali. "Tenang ... tenangkan diri anda, Pak Alvian. Beberapa orang warga mengelus pelan punggung Alvian. Sementara, satu orang lainnya mengambil segelas air minum lalu meminumkannya pada Alvian
"Sofia?!" Ella menatap lekat Sofia. Penyesalan langsung menyeruak di hatinya. "Maafkan Bibi, Sofia ...."Tatapannya berpindah pada bagian perut Sofia yang sudah dalam keadaan hamil besar. "Kamu sudah hamil?! Akhirnya kamu hamil juga, Sofia!" tatapnya sayu. "Dimana Alvian?" Wanita berusia 47 tahun itu mengedarkan pandang. Ia melihat sosok pria tampan berperawakan atletis dan terlihat kaya berdiri di dekat Sofia. "Mengapa kamu tidak bersama Alvian?" tanya Ella. Sedari tadi Sofia tak mengeluarkan sepatah kata pun. Jantungnya berdegup kian kencang karena menahan emosi.Ella memegang tangan Sofia. Namun, Sofia menghempaskannya dengan kasar. "Jangan sentuh aku!" bentaknya. Reyfaldi mendekat. "Maaf, Anda siapa?" tanyanya pada Ella. "Saya Ella, Bibinya Sofia!" jawabnya dengan nada bergetar. "Kamu, siapa?" tanya Ella balik. "Sudah! Tidak usah pedulikan dia. Dia bukan Bibiku. Aku sama sekali tidak mengenalnya!" sergah Sofia seraya mendelik.Sofia kemudian menarik lengan Reyfaldi untuk ma
"Pagi, sayang ... hari ini jadi, kan?" tanya Sofia pada lelaki yang baru saja membuka matanya. "Iya, Sayang!" jawab Reyfaldi dengan suara khas bangun tidur. Hari ini, Sofia berniat berbelanja kebutuhan persiapan untuk kelahiran bayinya. Sebuah kamar khusus untuk bayi akan ia persiapkan. Yaitu, kamar bekas Sofia sewaktu pertama datang ke rumah tersebut. "Lihat, Sayang ... aku ingin seperti ini interiornya." Tunjuk Sofia pada layar ponselnya memperlihatkan gambar ruangan bayi yang bernuansa white soft blue.Perkiraan Dokter, bayi yang tengah di kandung oleh Sofia adalah berjenis kelamin laki-laki. Sesuai dengan harapan Reyfaldi yang sangat menginginkan anak laki-laki agar dapat melanjutkan perusahaannya. "Baiklah, Sayang. Saya akan segera menghubungi jasa interior agar bisa secepatnya selesai."Reyfaldi langsung meraih ponselnya dan menghubungi jasa interior. Ia meminta agar secepatnya dilakukan renovasi sesuai dengan permintaan Sofia. Mengingat waktunya sudah tidak banyak lagi. Se
Wanita pelakor itu terbelalak. Ia langsung berjalan mendekati Sofia. Namun, wanita yang tengah hamil besar itu langsung berbalik badan mencoba menghindar dari Clara. Tapi, wanita jalang itu malah mengejar Sofia. "Sofia ... aku mohon jangan katakan ini pada Alvian!" Jalang itu terus memohon dengan wajah memelas. "Tenang saja! Lagi pula, itu bukan urusanku!" ucap Sofia dengan raut dingin tak peduli. Clara menoleh pada Reyfaldi. Pria yang menundukan wajahnya itu hanya diam mematung. "Pak, Reyfaldi ... tolong jangan-," "Siapa ini?" pangkas pria yang bersama Clara. Mendengar suara bariton dari balik badannya, mata wanita perusak rumah tangga orang itu langsung membola dengan sempurna. Cepat, ia berbalik badan dan mengubah mimik wajahnya menjadi tersenyum manis. "O-ya, ini kenalkan temanku, namanya Sofia dan ini suaminya!" ujar wanita itu seraya mengarahkan tangannya pada Sofia dan Reyfaldi. Dengan senyum masam, keduanya mengulurkan tangan menyambut ajakan bersalaman pria tua yang be