"Ibu kok, belain anak supir itu?" protes Tasya.
Ya Allah, bukan begitu maksudnya."Bukannya Ibu ngebelain dia, tapi ....""Huh!" Tasya menyentakkan kakinya kesal, lantas ia langsung berlalu dari hadapanku."Astaghfirullahal adziim ...." Aku hanya bisa beristigfar melihat sikapnya yang demikian. Mengapa bocah itu sampai menilai orang lewat strata seperti ini?Teringat kembali cerita Mommy, kalau Katalina juga dulu begitu. Padahal sang ibu sudah meninggal bertahun-tahun yang lalu, tapi sisa didikan yang tidak benar seperti ini mungkin masih tertinggal lekat sampai sekarang. Aku berharap ke depan Tasya bisa berubah, mudah-mudahan saja."Nay," panggil seseorang.Aku sontak menoleh ke arah sumber suara.Rupanya Mas Wahyu dengan seorang gadis muda yang cantik. Hmm ...."Eh, Mas. Apa kabar?" tanyaku sembari mengulas senyuman."Alhamdulillah, baik," jawab Mas Wahyu.Gadis di sebelahnya meliri"A–Aku ... dari ... dari toilet," jawabku tergagap.Steven sedikit memicingkan mata. Sedetik kemudian ia bertanya, "Tasya kenapa tadi tiba-tiba minta pulang?"Huuuf ... aku mengembuskan napas dengan sembunyi-sembunyi. Alhamdulillah ... sepertinya Steve tidak tahu aku berbicara berdua Bang Rizal tadi.Aku lalu menautkan alis. Tasya minta pulang? "Dia di mana sekarang?" Balik aku bertanya."Ya sudah pulang," jawab Steve, "dengan si Parmin," lanjutnya.Aku menghela napas berat. "Dia ngambek. Sudahlah, nanti aku ceritakan," ungkapku pada Steven.Pria bermata biru itu hanya menghela napas sembari melipat bibirnya. Kami kemudian berjalan beriringan menuju ke tengah ruangan, menghampiri beberapa tamu yang sudah tidak banyak lagi. Di dalam hati aku merasa lega, Steve tidak melihat aku dengan Bang Rizal yang sebentar tadi bercakap. Jangan sampai dia tahu kalau aku diam-diam memberikan bantuan untuk ayah berobat.
Ya Allah, aku tidak tahu hal ini. "Ja–jadi, Jarwo sampai cacat itu karena ....""Masih untung aku tidak membunuhnya!" Steven terlihat geram.Selama ini aku ... tidak, bukan hanya aku. Namun, semua orang menyangka kalau Jarwo sampai bisa cacat itu hanya karena dia tidak sanggup membayar utang kepada Steve. Ternyata ...."Hhhh!" Alisku bertaut melihat Steven menyeringai."Cukup sudah aku diperdaya perempuan-perempuan sialan. Jangan sampai terjadi lagi." Pria itu menatapku nanar.Jantungku berdegup kencang. "Mmm ... Steve. Orang- orang bilang, Jarwo bisa cacat karena ....""Sudahlah! Aku tidak peduli anggapan orang." Pria itu memotong pembicaraanku. Aku kembali terdiam."Aku tidak habis pikir, apa kelebihan si Jarwo itu? Hanya sempat menjadi salah satu mandorku saja. Ya ... ya, untuk kalangan bawah, mungkin dia ada kelebihan. Wajah yang lumayan. Tapi jauhlah jika dibandingkan denganku
"Pak, Bapak balik aja dulu. Nanti kalau aku mau pulang, aku hubungi lagi," suruhku kepada Pak Hardi."Baik, Nyonya," jawabnya singkat.Pak Hardi kembali masuk ke dalam mobil, lalu memutar kendaraan roda empat tersebut dan membawanya menjauh dari pekarangan rumah Bi Eli."Kakak mau ke rumah sakitnya sekarang?" tanya Manda."Iya," jawabku singkat.Sepupuku itu pun mengangguk. Ia tampak masih mengantuk karena tadi malam tidur cukup larut, katanya.Manda dan Nanda lalu masuk ke dalam rumah. Sementara aku, duduk di bangku teras mengutak-atik ponsel untuk memesan ojek online."Kakak nggak masuk?" tanya Nanda di muka pintu. "Kakak mau langsung ke rumah sakit ya, Nan," sahutku tanpa melihat ke arahnya karena jari sibuk memesan ojol."Aku capek, Kak. Mungkin besok baru ke rumah sakit," ucapnya.Aku mengarahkan pandangan ke gadis yang sebentar lagi akan menghadapi ujian akhir semester itu. "Iy
Mau tidak mau aku terseret dan langkah kaki ini pun sejajar dengannya. "Mau ke mana kita, Bang?" tanyaku lagi sambil menepis tangannya hingga terlepas."Ya, lihat ayah," jawab Bang Rizal datar ketika kami sampai di parkiran mobilnya.Aku pun ikut masuk ke dalam mobil bagian belakangnya. Ketika ia mengitari kendaraan itu dan masuk ke dalam ke kursi kemudi. Bang Rizal pun memutar, lalu mengeluarkan kendaraan roda empat tersebut dari area parkiran rumah sakit."Hmm, memang ayah di mana, Bang? Kok, kayaknya bukan ke arah rumah Abang ini?" tanyaku heran, sebab aku ingat yang kami lewati saat ini bukan ke arah rumah kontrakan Bang Rizal bersama istrinya, Merry."Di rumah teman Abang!" jawabnya cepat."Kok, malah di tempat teman Abang?" Alisku masih bertaut."Cerewet! Ikut aja!" sergahnya.Aku tersentak mendengar bentakannya. Tiba-tiba saja hatiku menciut. Teringat waktu dulu. Begitulah cara ia berbicara kepadaku sehari-hari. A
Sungguh, sebenarnya rasa hatiku campur aduk saat ini. Antara marah, kesal, kalut, dan juga takut. Aku takut Bang Rizal berbuat yang tidak-tidak terhadapku. Lelaki ini sudah gila!"Senang kamu hidup dengannya sekarang?" Lelaki itu mendekatkan wajahnya ke wajahku. Aku menunduk dalam-dalam. Yaa Allah, lindungi aku dari niat buruk orang ini."Bang, mak–maksud kamu apa? Tolong lepaskan aku ...." Aku memohon kepadanya."Kamu jadi sombong, Nay. Mentang-mentang sudah jadi istri tuan tanah, heh?""Sombong ...? Sombong apanya, Bang?" tanyaku tidak terima."Itu! Beraninya kamu memblokir nomor kontakku!" sentaknya sengit.Aku kembali menundukkan pandangan. Aku bergidik melihat sorot mata penuh amarah di sana. "Bang ... aku bukan nggak mau bantu pengobatan ayah. Abang tahu sendiri, itu bukan uangku. Lagi pula ini, ini apa, Bang?" Aku menggoyangkan lenganku yang terikat di atas kepala.Lelaki itu berjalan mondar-ma
Kelopak mataku mengerjap. Aroma karbol menguasai indera penciuman. Di ... di mana aku? "Kak ... Kak Nay sudah sadar?"Dahiku mengernyit. "Manda ...?""Iya, Kak!"Aku terlonjak dan terduduk. Bola mataku nanar ke sana ke mari. Aku ... aku ingat. Bang Rizal ... Bang Rizal!Apa dia ... apa dia memperkosaku??"Kak, tenang ... Kakak di rumah sakit sekarang!" ucap Manda seraya merangkul pundakku.Aku menatap matanya dalam-dalam. Lantas aku menghambur memeluk Manda dan menangis sejadi-jadinya.Manda menepuk-nepuk punggung ini. "Tenang, Kak. Kakak sudah aman di sini," ujarnya.Aku berada di pelukan Manda untuk beberapa menit. Setelah agak tenang, aku melonggarkan pelukan kami.Manda mengulas sedikit senyum di bibirnya dan mengusap air yang mengalir di kedua pipiku."Apa ... apa yang terjadi, Man?" tanyaku takut-takut. Ya, aku ingat Bang Rizal berusaha menyentuhku.
Tiba-tiba Tasya muncul dari kamarnya, disusul Hendi, Mbak Lisa dan juga sang suami di sana. Mereka pasti juga mendengar keributan kedua ibu dan anak tersebut."Semua bisa kita bicarakan baik-baik, Steve," ujar Mommy merendahkan nada bicaranya."Tidak ada yang perlu dibicarakan saat ini!" Steve bergerak dan melangkah cepat ke arah salah satu kamar di mana beberapa hari ini dia tidur di sana."Daddy ...!" Tasya berlari kencang dan menghadang hingga sang ayah menghentikan langkahnya.Mommy menekan pelipisnya melihat hal itu. Hendi pun hanya bisa terpaku di sana.Aku, Mbak Lisa, dan Mas Aji hanya bisa tercengang melihat itu semua."Dad ... Ibu sakit. Kenapa Daddy malah marah begini kepada Ibu?!" tanya gadis itu polos dan menuntut. Netra kecoklatan nan bening itu tampak dipenuhi kebingungan serta rasa sedih.Kamu tidak mengerti, Tasya ... wajar Daddy marah kepada Ibu ....Sang ayah menatap lekat ke arah putrinya. Kem
"Kamu nggak masalah 'kan, Nay?" tanya Mommy.Aku mencoba menarik kedua ujung bibir ini ke atas. "Nggak, Mom," jawabku lirih."Mommy senang kamu sudah lebih baik saat ini."Aku tersenyum tipis.Mommy pun membalas senyumanku. "Mommy berharap hubungan kalian membaik," ujar Mommy kemudian menatap pepohonan di hadapan kami.Hmm ... aku juga berharap seperti itu, Mom. Namun, Steven sepertinya tidak berkehendak demikian. Aku bisa apa?Mommy tiba-tiba menoleh ke arahku. "Nay, coba kamu yang mengalah kepada Steven. Kamu tahu sendiri dia cukup keras. Mommy juga nggak mau kalian sampai ...." Mommy berubah sedih. "Pokoknya, jangan biarkan kalian terus-menerus saling berdiam diri seperti ini," saran Mommy sembari menatapku lekat.Alisku bertaut. "Mak–maksud Mommy?""Ya, kamu yang mengalah. Kamu coba kembali dekati Steven. Jangan menunggu."Aku tergamang. "Tapi ... Steve nggak mau memaafkan aku, Mom," sahutku seraya