"Aku 'kan, udah bilang! Aku nggak mau ke sini! Aku nggak mau kenal dengan Mama baru! Aku bosan! Mama baru lagi! Mama baru lagi!" teriak seseorang yang tentu saja aku mengenali suaranya.
Aku tidak heran, wajar Tasya begitu. Hal tersebut karena sang ayah yang berulang kali kawin-cerai. Walaupun hati ini merasa dag-dig-dug dengan tanggapannya kalau tahu akulah yang menjadi ibu tirinya, tetapi, bibir ini tetap mengulum senyum mendengar suara protesnya. Terdengar sangat lucu.Begitu juga Mommy, beliau tertawa kecil mendengar suara cucu satu-satunya tersebut. Sementara Hendi, ia sontak berdiri ketika melihat ada orang yang baru saja datang dan mulai muncul di depan mata."Assalamualaikum," ucap Bu Mona ketika akhirnya mata kami semua beradu. Wajah itu tampak semringah.Sang suami menyusul mengucap salam dari belakangnya dengan wajah yang juga ceria.Kami pun menjawab salam dari mereka dengan serentak."Loh, mana Tasya? Tadi ada suar"Bu Naysilla ...?!" Tasya tampak terkejut.Aku menyunggingkan senyum lebar. "Kenapa di sini? Nggak masuk ke dalam?" tanyaku padanya. "Kyaaaa! Bu Naaayy, aku kangen tauuuuukk!" Gadis kecil itu tiba-tiba saja menghambur ke dalam pelukan tanpa menjawab pertanyaanku.Aku tertawa kecil. Tangan ini menepuk ringan punggungnya.Ia lalu merenggangkan pelukan dan menatap ke arahku dengan sorot mata yang takjub. "Bu Nay kok, bisa ada di sini?! Bu Nay kenal dengan Grandma aku ya?!" cecarnya masih sambil melebarkan mata indah itu."Dih, ditanyain tadi nggak jawab. Malah balik nanya banyak." Aku menjawil hidung mancungnya dengan gemas."Hihihii ... Bu Nay, aku seneng banget Bu Nay ada di sini. Tadinya aku bete!" Tasya mencebikkan bibir mungil kemerahan miliknya. Lucu sekali."Jadi sekarang nggak bete lagi?"Gadis cantik itu menggeleng sembari terus tersenyum. "Baguslah kalau nggak bete lagi," ucapku. "Oh iya, ngapa
"Kamar Bu Nay di mana memangnya? Nginep di sini ya??" Gadis itu bangkit dan berlari kecil menyejajarkan langkahnya dengan langkahku."Iya, Ibu nginap di sini," kataku membenarkan. Kami pun melenggang beriringan menuju ke kamarku dengan Steve."Kamu ngapain ke sini? Ayahmu 'kan, bisa bawain itu!" Aku mengerutkan dahi mendengar Tasya berbicara kepada Ardian dengan nada sewot seperti itu.Ardian hanya membalas dengan senyuman ke arahnya."Memangnya kenapa kalau Ardian ke sini?" tanyaku kepada gadis cantik itu."Dia sok carmuk sama Daddy dan Grandma. Aku gak suka!""Carmuk?" Aku tidak paham dengan istilah yang digunakannya."Iya! Cari muka. Sok baik, sok ganteng! Anak supir juga!" cibir Tasya.Oalah ... aku beristighfar di dalam hati. Sepertinya akan banyak PR bagiku sebagai ibu sambungnya kini. "Jangan gitu," ujarku sembari merangkul pundaknya.Tasya hanya diam, tidak menyahut sama seka
[Nay, ayah kena serangan jantung dua hari yang lalu.]Aku terkejut. Benar. Ini soal ayah! [Trus, gimana keadaan ayah sekarang?] balas cepat.[Abang mau minta bantuan kamu. Ayah sekarang dirawat di rumah sakit Fatimah.]Ya Allah, bagaimana ini? Steven waktu itu sudah mewanti-wanti, aku tidak boleh lagi berhubungan dengan Bang Rizal. Akan tetapi, bagaimana pun ayah adalah mantan mertuaku. Beliau sudah aku anggap seperti orang tuaku sendiri. Aku tak bisa abaikan begitu saja. Ya Rabb ....[Nag, Abang pinjam lima juta aja dulu. Tolong ....]Mmm, apa yang harus aku lakukan? Kalau Steven sampai tahu aku membantu Bang Rizal, bisa jadi masalah besar nantinya. Bagaimana ini? Lagi pula semua yang aku gunakan saat ini, adalah uang darinya. Aku berpikir menimbang-nimbang.[Ya udah, sini nomor rekening Abang.] Aku tidak bisa mengabaikan ayah. Tidak bisa.Bang Rizal lalu mengirimkan nomor rekening banknya.
"Ibu kok, belain anak supir itu?" protes Tasya.Ya Allah, bukan begitu maksudnya."Bukannya Ibu ngebelain dia, tapi ....""Huh!" Tasya menyentakkan kakinya kesal, lantas ia langsung berlalu dari hadapanku."Astaghfirullahal adziim ...." Aku hanya bisa beristigfar melihat sikapnya yang demikian. Mengapa bocah itu sampai menilai orang lewat strata seperti ini?Teringat kembali cerita Mommy, kalau Katalina juga dulu begitu. Padahal sang ibu sudah meninggal bertahun-tahun yang lalu, tapi sisa didikan yang tidak benar seperti ini mungkin masih tertinggal lekat sampai sekarang. Aku berharap ke depan Tasya bisa berubah, mudah-mudahan saja."Nay," panggil seseorang.Aku sontak menoleh ke arah sumber suara. Rupanya Mas Wahyu dengan seorang gadis muda yang cantik. Hmm ...."Eh, Mas. Apa kabar?" tanyaku sembari mengulas senyuman."Alhamdulillah, baik," jawab Mas Wahyu.Gadis di sebelahnya meliri
"A–Aku ... dari ... dari toilet," jawabku tergagap.Steven sedikit memicingkan mata. Sedetik kemudian ia bertanya, "Tasya kenapa tadi tiba-tiba minta pulang?"Huuuf ... aku mengembuskan napas dengan sembunyi-sembunyi. Alhamdulillah ... sepertinya Steve tidak tahu aku berbicara berdua Bang Rizal tadi.Aku lalu menautkan alis. Tasya minta pulang? "Dia di mana sekarang?" Balik aku bertanya."Ya sudah pulang," jawab Steve, "dengan si Parmin," lanjutnya.Aku menghela napas berat. "Dia ngambek. Sudahlah, nanti aku ceritakan," ungkapku pada Steven.Pria bermata biru itu hanya menghela napas sembari melipat bibirnya. Kami kemudian berjalan beriringan menuju ke tengah ruangan, menghampiri beberapa tamu yang sudah tidak banyak lagi. Di dalam hati aku merasa lega, Steve tidak melihat aku dengan Bang Rizal yang sebentar tadi bercakap. Jangan sampai dia tahu kalau aku diam-diam memberikan bantuan untuk ayah berobat.
Ya Allah, aku tidak tahu hal ini. "Ja–jadi, Jarwo sampai cacat itu karena ....""Masih untung aku tidak membunuhnya!" Steven terlihat geram.Selama ini aku ... tidak, bukan hanya aku. Namun, semua orang menyangka kalau Jarwo sampai bisa cacat itu hanya karena dia tidak sanggup membayar utang kepada Steve. Ternyata ...."Hhhh!" Alisku bertaut melihat Steven menyeringai."Cukup sudah aku diperdaya perempuan-perempuan sialan. Jangan sampai terjadi lagi." Pria itu menatapku nanar.Jantungku berdegup kencang. "Mmm ... Steve. Orang- orang bilang, Jarwo bisa cacat karena ....""Sudahlah! Aku tidak peduli anggapan orang." Pria itu memotong pembicaraanku. Aku kembali terdiam."Aku tidak habis pikir, apa kelebihan si Jarwo itu? Hanya sempat menjadi salah satu mandorku saja. Ya ... ya, untuk kalangan bawah, mungkin dia ada kelebihan. Wajah yang lumayan. Tapi jauhlah jika dibandingkan denganku
"Pak, Bapak balik aja dulu. Nanti kalau aku mau pulang, aku hubungi lagi," suruhku kepada Pak Hardi."Baik, Nyonya," jawabnya singkat.Pak Hardi kembali masuk ke dalam mobil, lalu memutar kendaraan roda empat tersebut dan membawanya menjauh dari pekarangan rumah Bi Eli."Kakak mau ke rumah sakitnya sekarang?" tanya Manda."Iya," jawabku singkat.Sepupuku itu pun mengangguk. Ia tampak masih mengantuk karena tadi malam tidur cukup larut, katanya.Manda dan Nanda lalu masuk ke dalam rumah. Sementara aku, duduk di bangku teras mengutak-atik ponsel untuk memesan ojek online."Kakak nggak masuk?" tanya Nanda di muka pintu. "Kakak mau langsung ke rumah sakit ya, Nan," sahutku tanpa melihat ke arahnya karena jari sibuk memesan ojol."Aku capek, Kak. Mungkin besok baru ke rumah sakit," ucapnya.Aku mengarahkan pandangan ke gadis yang sebentar lagi akan menghadapi ujian akhir semester itu. "Iy
Mau tidak mau aku terseret dan langkah kaki ini pun sejajar dengannya. "Mau ke mana kita, Bang?" tanyaku lagi sambil menepis tangannya hingga terlepas."Ya, lihat ayah," jawab Bang Rizal datar ketika kami sampai di parkiran mobilnya.Aku pun ikut masuk ke dalam mobil bagian belakangnya. Ketika ia mengitari kendaraan itu dan masuk ke dalam ke kursi kemudi. Bang Rizal pun memutar, lalu mengeluarkan kendaraan roda empat tersebut dari area parkiran rumah sakit."Hmm, memang ayah di mana, Bang? Kok, kayaknya bukan ke arah rumah Abang ini?" tanyaku heran, sebab aku ingat yang kami lewati saat ini bukan ke arah rumah kontrakan Bang Rizal bersama istrinya, Merry."Di rumah teman Abang!" jawabnya cepat."Kok, malah di tempat teman Abang?" Alisku masih bertaut."Cerewet! Ikut aja!" sergahnya.Aku tersentak mendengar bentakannya. Tiba-tiba saja hatiku menciut. Teringat waktu dulu. Begitulah cara ia berbicara kepadaku sehari-hari. A