"Apa kamu nggak mikir? Orang-orang udah mengurus semuanya. Sudah bisa dikatakan sembilan puluh persen!" omel Mommy kepada Steven.
Aku hanya bisa terdiam menyimak perdebatan antara ibu dan anak itu.Orang yang diajak bicara hanya mendengkus di sana. "Aku akan bayar mereka semua. Dan usaha yang mereka lakukan tidak ada yang sia-sia," ujar Steven."Kamu kebiasaan! Kamu pikir dengan uang semua beres gitu aja?!" bentak Mommy tambah kesal. "Nggak sia-sia katamu, segala pakaian pengantin yang sudah dibuat, segala perlengkapan untuk dekor yang sudah dibeli dan disiapkan oleh mereka. Segala undangan yang sudah beres dicetak! Nggak sia-sia itu, hah?! Mikir!""Ck! Oke ... oke, Mom! Terserah Mommy aja!" Steven bangkit dari duduknya kemudian mengambil langkah lebar, pergi dari hadapan kami.Aku menatap punggung lebar pria yang semakin menjauh itu menuju ke kamar kami yang kini terasa dingin, sebab sudah dua malam ia tidak mau menyentuhku. Tidak sepertSteven terlihat sudah duduk santai di atas sebuah motor besar di sana."Ayo!" ajaknya kepadaku.Aku yang masih bengong sedikit tersentak. "Ah, iya!" sahutku.Aku pun berjalan cepat ke arah suami buleku itu.Bagaimana naiknya ini? Aku bingung sendiri ketika sudah dekat dengan sepeda motor tersebut. Namun, akhirnya aku berhasil menaikkan kaki ditijakan, lalu duduk miring di atas benda itu. Ah, tidak enak banget posisinya. Bagaimana ini?"Jangan duduk miring begitu," ujar Steve sembari menoleh ke arah belakangnya.Mau tidak mau aku pun kembali turun. "Gimana, dong?" ucapku agak kesal.Aku bingung, soalnya tidak pernah naik motor seperti ini. Biasanya juga dibonceng Kang Ojol, motornya nggak begini! Keningku berkerut kencang."Posisi duduknya mengangkang," suruh Steven. Walau wajahnya terlihat datar, tetapi ia cukup sabar menghadapiku.Dengan ragu-ragu kupegang pundaknya, dan akhirnya ak
Netraku berkedip-kedip mencoba mencerna situasi."Aku sudah menahannya dari tadi di jalan," ujar Steven.Menahan ...?Ia lalu membuka jaket dan juga satu per satu kancing bajunya. Kemudian melepas bajunya sehingga ia dalam keadaan shirtless kini.Aku jadi gelagapan. Serius ini? Aku baru saja mau menikmati pemandangan di luar sana."Mmm, Steve ... apa kita mau ...?""Ya!" sambarnya tegas. Kemudian lelaki itu membantu melepas kancing gamisku satu per satu.Aku tidak dapat menolaknya, sebab ... aku pun menginginkan sentuhan darinya.Akhirnya kami melakukan hal itu untuk ke sekian kalinya. Aku sendiri tidak bisa menahannya. Semua karena ... karena aku merasa tak sanggup menolak sensasi yang ia berikan. Cumbuan dari pria yang sudah sah menjadi suamiku ini begitu sangat memabukkan. Kami berdua pun terbang .... Melayang ke langit asmara di pagi hari yang cerah ini.***"S
Waktu bergulir, sang bagaskara semakin menanjak naik. Namun, awan putih berkerumun tampak sentiasa berarak mengikuti arus angin di atas sana membuat cuaca terasa tidak begitu panas.Aku baru saja selesai membersihkan diri usai Steven mandi. Sementara pria berdarah Kanada itu, ia kembali duduk di balkon menikmati jus mangga dan kudapan yang di sediakan oleh Mbok Minah tadi.Tok! Tok! Tok!Terdengar suara pintu diketuk. Sepertinya itu Mbok Minah. Ah, untung saja aku sudah selesai berkemas diri. Gegas aku meraih bergo yang tadi dilepaskan kemudian mengenakan benda itu kembali. Lantas kaki pun melangkah menuju pintu dan tanganku menekan handle membukanya. Benar saja, itu Mbok Minah."Iya, Mbok?" Aku menatap Mbok Minah dengan sorot tanya seraya mengulas senyum ke arahnya."Maaf, Nyonya. Makan siang sudah siap," lapor si Mbok. "Apa mau makan sekarang?" tanya orang tua itu."Sebentar, Mbok." Aku berbalik dan melangka
"Silakan ...!"Ustadz Hidayat—Mudir di pondok pesantren Al Kautsar—mempersilakan kami duduk.Aku dan Steven pun mendaratkan bokong di kursi jati di ruang itu setelah aku memperkenalkan pria bule ini kepada Pak Ustadz."Maaf, ada perlu apa gerangan, Mbak Nay? Tumben datangnya tidak pas waktu penjengukan?" tanya Ustadz Hidayat dengan raut ramahnya."Maaf, Pak Ustadz. Saya mau minta izin untuk Hendi untuk pulang selama ... sekitar sepekan ke depan," jawabku, "saya dan suami saya mau mengadakan acara walimah hari Ahad ini." Aku melirik sebentar ke arah Steve ketika menyebut kata 'suami'."Oh, Bapak ini suaminya Mbak Nay? Bukannya yang waktu dulu itu ...." Ustadz Hidayat tampak heran. Sebab sekitar setahun yang lalu, aku dan Bang Rizal mengaku sebagai pasangan suami-istri ketika mengantar Hendi ke sini."Aa–""Sekarang saya yang suaminya, Pak Ustadz!" Belum sempat aku membuka suara, Steve dengan suara berat dan datarnya memo
Kembali aku berisyarat menyuruh Steve untuk diam ketika ia seperti ingin bicara kembali.Pria itu pun mengalihkan pandangan ke depan. Tidak jadi bicara.Aku bersyukur saat ini pria yang biasanya bersikap otoriter itu mau diajak kompromi."Hen, Steve tidak sejahat yang orang-orang bilang," sahutku dengan menjaga intonasi bicara agar tidak ikut terpancing emosi seperti Hendi saat ini.Walau aku sebenarnya ... aku sendiri pun belum begitu mengenal jauh bagaimana suamiku yang sebenarnya. Namun, perkataanku ini hanya agar Hendi tenang. Aku tahu dia mengkhawatirkan kakaknya."Semua orang di desa tahu kalau dia jahat!" seru Hendi tampak panas.Aku melirik ke arah Steven. Apa yang ia pikirkan mendengar adikku mengatainya jahat? Mungkin selama ini tidak ada yang berani berkata demikian jika di hadapannya langsung, hanya berani di belakang saja. Seperti aku dulu dan orang-orang yang lain.Pria itu malah tampak menyeringa
Hari-hari berlalu begitu saja. Tanpa terasa ini sudah H-2 menuju resepsi.Di rumah besar ini Hendi tidak banyak bicara. Ia hanya menjawab sekenanya apabila ditanya atau diajak bicara oleh Mommy. Entahlah, aku tidak tahu apa yang anak usia tiga belas tahun tersebut pikirkan setelah pembicaraan kami di hari itu.Sebenarnya aku juga meminta izin kepada Mommy juga Steven untuk Manda dan Nanda ikut menginap di rumah ini. Keduanya mengizinkan, tetapi justru sepupu-sepupuku itulah yang sungkan. Entahlah, aku tidak mau memaksa mereka. Mereka bilang besok baru akan menginap di sini."Oke, Lisa. Bye!" Tampak di sofa di dekat jendela kamar kami, Steve memutuskan pembicaraan dari telepon seluler itu.Aku meletakkan secangkir kopi di atas meja di hadapannya. Lalu ikut duduk di sebelah pria itu."Thank you," ucap pria itu sembari meraih cangkir tersebut kemudian menyesapnya perlahan."Itu Bu Mona?" tanyaku."Yup!" sahut Steve seraya m
"Aku 'kan, udah bilang! Aku nggak mau ke sini! Aku nggak mau kenal dengan Mama baru! Aku bosan! Mama baru lagi! Mama baru lagi!" teriak seseorang yang tentu saja aku mengenali suaranya.Aku tidak heran, wajar Tasya begitu. Hal tersebut karena sang ayah yang berulang kali kawin-cerai. Walaupun hati ini merasa dag-dig-dug dengan tanggapannya kalau tahu akulah yang menjadi ibu tirinya, tetapi, bibir ini tetap mengulum senyum mendengar suara protesnya. Terdengar sangat lucu. Begitu juga Mommy, beliau tertawa kecil mendengar suara cucu satu-satunya tersebut. Sementara Hendi, ia sontak berdiri ketika melihat ada orang yang baru saja datang dan mulai muncul di depan mata. "Assalamualaikum," ucap Bu Mona ketika akhirnya mata kami semua beradu. Wajah itu tampak semringah.Sang suami menyusul mengucap salam dari belakangnya dengan wajah yang juga ceria.Kami pun menjawab salam dari mereka dengan serentak. "Loh, mana Tasya? Tadi ada suar
"Bu Naysilla ...?!" Tasya tampak terkejut.Aku menyunggingkan senyum lebar. "Kenapa di sini? Nggak masuk ke dalam?" tanyaku padanya. "Kyaaaa! Bu Naaayy, aku kangen tauuuuukk!" Gadis kecil itu tiba-tiba saja menghambur ke dalam pelukan tanpa menjawab pertanyaanku.Aku tertawa kecil. Tangan ini menepuk ringan punggungnya.Ia lalu merenggangkan pelukan dan menatap ke arahku dengan sorot mata yang takjub. "Bu Nay kok, bisa ada di sini?! Bu Nay kenal dengan Grandma aku ya?!" cecarnya masih sambil melebarkan mata indah itu."Dih, ditanyain tadi nggak jawab. Malah balik nanya banyak." Aku menjawil hidung mancungnya dengan gemas."Hihihii ... Bu Nay, aku seneng banget Bu Nay ada di sini. Tadinya aku bete!" Tasya mencebikkan bibir mungil kemerahan miliknya. Lucu sekali."Jadi sekarang nggak bete lagi?"Gadis cantik itu menggeleng sembari terus tersenyum. "Baguslah kalau nggak bete lagi," ucapku. "Oh iya, ngapa