Dewa Ares bertubuh kekar dengan baju zirahnya menaiki kuda. Dia mencari di mana posisi Dewa Pencabut Nyawa itu yang membuatnya semakin emosi. Burung gagak terbang ke sana kemari seperti merasakan gelisah, sosok tulang belulang itu begitu pintar dalam bersembunyi. Namun, Dewa Pencabut Nyawa terlalu bodoh karena mencari masalah dengan seorang yang berlevel lebih tinggi darinya. Dewa Ares membentangkan kedua tangan ke atas mengambil energi bumi. Hingga tanah bergetar beserta angin bertiup kencang, gelombang cahaya. Dan kilat petir berkumpul digenggamannya lalu dihempaskan ke bawah. Dentuman besar hingga mengangkat tanah yang hancur berantakan. Kumpulan serpihan tanah membentuk pusaran angin besar memutari wilayah itu. Eleanor, Barlder, dan Aloria terkejut saling berpelukan. Dibantu Dewa Ares dengan cahaya pelindung untuk menahan terjangan itu.
Alhasil pemakaman itu hancur berserakan sangat kacau. Mayat yang sudah tulang belulang berserakan dan kendi abu mayat hancur. Mereka m“Oh, kamu masih mengingatnya. Bagus, berarti semakin dendam padaku! Kasihan sekali, sampai-sampai Jasmine sekarat dan meminta tolong. Pada kakak tercinta, tapi sayang kamu lemah!” teriak Afrodit. Dia terus memberikan hujan api yang turun sangat deras. Sang singa pun mulai goyah sebab waktu di bumi sudah habis. “Hah, tutup mulutmu! Aku tidak lemah hanya– saja,” geram Leo yang tidak ingin mengingat masa kelam bersama sang ayah. Dia menggenggam erat rasa bersalah seumur hidupnya. Afrodit terus memberikan kesakitan batin untuk meruntuhkan kekuatan Leo. “Hanya ketakutan! Benar, kan? Dasar, manusia lemah! Lihat Edward, sang pahlawan di keluargamu. Lalu, apa gunanya kamu? Mati saja, tidak berguna!” hina Afrodit yang melesat terbang menyerang dengan bola api ke tubuh Nemea yang perlahan memudar. “Maaf, Leo! Aku tidak bisa bertahan lama lagi. Beri aku waktu beberapa menit untuk pulih. Berlindunglah. Di perisai tangan itu,” tegas Nemea yang memberikan perisai te
“Kenapa? Lepas! Aku ingin melihat. Lepaskan, Arthur! Ada apa?” seru Jasmine yang panik mendengar jeritan sang sahabat. Dia meronta-ronta kesekian kalinya, berhasil lepas dan terkejut melihat Leo yang sedang meraung kesakitan tombak menancap di perut. “Tunggu, tidak boleh ke sana! Lihat wanita itu berbahaya, Jasmine!” cegah Arthur yang menarik ulur tangan kiri Jasmine yang spontan berlari ingin menolong Leo. “Lepas! Kakakku sekarat, aku ingin menolongnya. Aku tidak peduli, akan kubunuh wanita itu!” gertak Jasmine terus berontak sesekali menatap tajam wanita yang melayang-layang itu. Afrodit terus menajamkan indra pendengaran juga penglihatan, merasakan kehadiran mangsa empuk. Terbang rendah mengelilingi hutan itu, menari indah melewati kobaran api yang masih menyala. Mengacuhkan lelaki yang sedang kesakitan, terus mencari sumber suara yang tidak asing lagi. Sementara itu, Angellia membantu Arthur mencegah Jasmine yang terus berteriak. Dalam kegaduhan it
"Apa? Mustahil! Kita harus cepat-cepat mencari jalan setapak itu. Aloria siap-siap berlari!" perintah Eleanor yang membenci keadaan itu. "Aloria, lari! Coba fokus mencari jalan itu. Aku akan mengalihkan perhatian ular-ular itu," usul Barlder yang memanggil peliharaannya. Aloria mengangguk paham. Desis ular yang semakin banyak dan semakin mendekati posisi mereka. Kepanikan terjadi, kabut turun lagi membuat pandang semakin sulit. Hawa dingin yang menusuk tulang, membuat tubuh mereka mengigil walau sedang berlari sekali pun. Mereka terus lurus ke dalam hutan dari yang masih ada cahaya remang-remang dari bulan perlahan menjadi gelap. Eleanor terengah-engah, berhenti sebentar disusul Aloria dan Barlder. Eleanor mengeluarkan senter di kepala dan memasangkannya ke anak dan suaminya. Aloria terdiam, penglihatannya menangkap keanehan di sebelah kiri Barlder. Gadis itu menyipitkan matanya, Aloria melihat suatu gelombang energi jahat berwarna hitam pekat. Membentuk sebuah p
Jasmine yang menunduk, tidak mendengarkan panggilan siapa pun. Kekuatannya semakin kuat, terus menjerit kesakitan yang membuat Afrodit dan Meliai tertawa terbahak-bahak dengan mengelilingi Jasmine. Kekuatan dua wanita itu tidak akan bisa menghentikan kehendak Dewa itu. Jasmine langsung menghentakkan kaki dan membentangkan kedua tangannya hingga membuat gelombang energi yang kuat. Semua berterbangan dan terhempas begitu saja. Charless yang berjalan berusaha memanggil gadis idamanya itu. Leo, Aroon, Arthur, dan Angellia sudah berguling-guling di tanah. Charless merubah tangannya saja hingga keluar kuku panjang yang berbulu dan menancapkan ke tanah di setiap melangkah. "Kita kabur dulu! Kabur!" jerit Afrodit. "Tapi, mainanku!" jerit Meliai yang di tarik Afrodit ke Balck Hole perpindahan tempat. "Jasmine! Mine! Jangan seperti ini!" teriak Charless yang sekuat tenaga mendekati pujaan hatinya. "Kak Charless? Kak Leo?" batin Jasmine yang menoleh ke
"Mati! Mati!" teriak Leo yang terus menusuk hingga tembus ke depan. Ditarik lagi dan menusuk bertubi-tubi. Darah hitam yang berhamburan ke seluruh tubuh Barlder yang hanya terdiam dan menatap kosong. "Iblis menjijikan! Menjijikan!" murka Charless terus melancarkan cakaran mautnya. "Ayah Aroon, Tante Eleanor dan Aloria mana?" tanya Jasmine yang terus mencari keberadaan dua wanita itu. Aroon pun panik yang tidak melihat sahabatnya itu. "Ayo, kita cari. Arthur, selamatkan Barlder. Seret ke sini. Angellia ikut! Kita cari mereka," perintah Aroon yang menggandeng kedua gadis itu. Mata mereka terus menyusuri kastel ini. "Sudah, puas kalian?" Wanita yang sudah berlumuran darah dan tubuh hancur itu menyeringai dan tangannya menyentuh tangan Charless. "Ayo, ikut bermain denganku!" ajak Meliai yang memutarkan kepalanya sampai 360 derajat. Leo membelalakkan dan mundur. Charless yang ingin mecabik lagi tertahan oleh tangan Meliai yang
"Tante, aku bisa menghidupkan orang. Aku bisa bangkitkan Julie, kan? Bisa, kan?" tanya Jasmine yang menggenggam tangan Eleanor. Namun, cenayang itu menggelengkan kepala. "Tetap tidak bisa, Jasmine. Kutukan abdi itu yang mengurung kekal Julie. Jantungnya sudah diambil juga. Kita sudah terlambat!" tegas Eleanor yang mematahkan semangat Jasmine. "Tante, gunakan air penyembuh? Bisa, kan? Aku mohon, apapun harus kita lakukan," jerit Leo yang memangku Julie. Eleanor terdiam dan menggelengkan kepalanya. "Jahat! Dewa, kenapa Julie yang harus berkorban! Kenapa aku tidak mati? Kenapa? Dewa!" murka Jasmine yang menghentakan kaki dan mengamuk sejadi-jadinya. Charless langsung memeluknya dari depan menenangkan Jasmine yang terus berteriak. "Ayah, kita kalah! Benar-benar kalah." Arthur yang menangis sambil menenangkan adik kembarnya. "Edward, maafkan aku. Aku tidak bisa menjaga mereka. Iya, kalah telak!" seru Aroon yang duduk bersila di tanah. Di
Di pagi harinya, Julie didandani dengan cantik menggunakan gaun short dress warna ungu pastel bermotif bunga melati. Gadis yang berbaring di peti mati berwarna hitam yang terukir para Dewa-Dewi dari emas. Jasmine terus menangis dan mengelus kepala adiknya. Leo dan Charless sibuk mempersiapkan pemakaman. Eleanor dan Barlder sibuk menerima pelayat dari tempat kerja Jessica serta Leo. Serenity dan Aroon sibuk menerima pelayat dari pihak keluarga. Angelia, Arthur, dan Aloria sibuk menerima pelayat dari sekolah Julie dan Jasmine. Teman-teman di kelas tidak menyangka pertemuan kemarin itu adalah yang terakhir kalinya. Teman sebangku dengan Julie pun menangis histeris di samping Jasmine. Namanya Cecilia gadis seumuran dengan Julie itu dengan rambut dikepang dua. Dia membawa banyak barang ada lentera kecil, foto kelas dan lain-lainnya. Disusun melingkari tubuh Julie, Jasmine pun meletakan boneka kelinci kesayangan Julie. "Julie, katanya kita mau main ke festival lagi. Kenapa kemar
"Jasmine, kita bisa bicara sebentar?" tanya Leo yang menghampiri adiknya yang masih duduk diam di samping makam. "Apa? Mau pergi tinggalkan aku, kan? Kakak jahat!" teriak Jasmine yang membuat semua terdiam. Para pelayat sudah pulang semua. Hanya tersisakan mereka saja. "Hm, dengar. Aku tidak akan meninggalkanmu. Kita bisa bertukar kabar pakai ponsel, kan? Aku hanya satu bulan di Hamburg, Sayang. Kalau kamu kangen boleh datang tapi jangan sendirian." Leo menjelaskan panjang lebar. Membuat Jasmine meliriknya. "Itu benar? Tidak, akan meninggalkanku? Boleh, seperti itu?" tanya Jasmine memastikan lagi. Dia menatap dalam Leo. "Iya, benar. Mana mungkin aku meninggalkanmu sendirian. Pengorbananku sia-sia dong kalau seperti itu." Leo memeluk Jasmine erat-erat. Pasti rindu yang akan menumpuk selama satu bulan mendatang. "Boleh, tapi ingat kabari aku kalau kamu mau datang. Kita harus berhati-hati lagi. Janji?" pinta Leo yang mengaitkan jari kel