Di pagi harinya, Julie didandani dengan cantik menggunakan gaun short dress warna ungu pastel bermotif bunga melati. Gadis yang berbaring di peti mati berwarna hitam yang terukir para Dewa-Dewi dari emas. Jasmine terus menangis dan mengelus kepala adiknya. Leo dan Charless sibuk mempersiapkan pemakaman. Eleanor dan Barlder sibuk menerima pelayat dari tempat kerja Jessica serta Leo. Serenity dan Aroon sibuk menerima pelayat dari pihak keluarga. Angelia, Arthur, dan Aloria sibuk menerima pelayat dari sekolah Julie dan Jasmine. Teman-teman di kelas tidak menyangka pertemuan kemarin itu adalah yang terakhir kalinya. Teman sebangku dengan Julie pun menangis histeris di samping Jasmine. Namanya Cecilia gadis seumuran dengan Julie itu dengan rambut dikepang dua. Dia membawa banyak barang ada lentera kecil, foto kelas dan lain-lainnya. Disusun melingkari tubuh Julie, Jasmine pun meletakan boneka kelinci kesayangan Julie.
"Julie, katanya kita mau main ke festival lagi. Kenapa kemar"Jasmine, kita bisa bicara sebentar?" tanya Leo yang menghampiri adiknya yang masih duduk diam di samping makam. "Apa? Mau pergi tinggalkan aku, kan? Kakak jahat!" teriak Jasmine yang membuat semua terdiam. Para pelayat sudah pulang semua. Hanya tersisakan mereka saja. "Hm, dengar. Aku tidak akan meninggalkanmu. Kita bisa bertukar kabar pakai ponsel, kan? Aku hanya satu bulan di Hamburg, Sayang. Kalau kamu kangen boleh datang tapi jangan sendirian." Leo menjelaskan panjang lebar. Membuat Jasmine meliriknya. "Itu benar? Tidak, akan meninggalkanku? Boleh, seperti itu?" tanya Jasmine memastikan lagi. Dia menatap dalam Leo. "Iya, benar. Mana mungkin aku meninggalkanmu sendirian. Pengorbananku sia-sia dong kalau seperti itu." Leo memeluk Jasmine erat-erat. Pasti rindu yang akan menumpuk selama satu bulan mendatang. "Boleh, tapi ingat kabari aku kalau kamu mau datang. Kita harus berhati-hati lagi. Janji?" pinta Leo yang mengaitkan jari kel
"Oh, begitu. Oke. Tapi, kenapa buku itu ada di Paman?" tanya Jasmine yang mengingat-ingat, tidak pernah melihat buku itu. "Yah, tadi menemukan buku ini di balik lemari baju. Tertanam di dinding. Aku bacakan sedikit, biar kamu penasaran." Joan pun membaca isi buku itu. Di dengar semua dan Leo jadi kesal. "Hah! Aku malas mendengarkannya!" seru Leo. Dia langsung memasang earphone dan mendengarkan musik Metallica. "Kak, jangan seperti itu. Paman, sedang mencoba membayar hutangnya. Selama ini paman selalu di belakang Jasmine dan Kak Leo, kan?" bujuk Angellia yang memahami maksud Joan yang mulai pendekatan. "Oh, ya. Kamu berpikir seperti itu? Yakin? Bukan, menipu atau menghasut aku dan adikku?" tanya Leo yang menatap Angellia di hadapannya. "Hm, ragu juga sih. Datang di waktu yang krisis seperti ini. Lebih ke terlambat, ya." balas Angellia yang melirik Joan dan Jasmine yang sedang asik mendengar cerita Jessica. "Angellia, Arthur.
Leo berjalan ke arah kamar mandi, Jasmine mengikuti karena takut melakukan hal berbahaya lagi. Jasmine merasa hancur melihat kakak kesayangannya menjadi seperti ini. Joan yang ingin menyusul pun dicegah Si Kembar. Si Kembar terus membujuk untuk tetap di sini. Leo menyalakan shower, duduk di bathtub putih. Dia memeluk lututnya dengan mencengkeram celana jeans. Jasmine menatap sendu Leo, ternyata hancur hatinya tak seberapa dibandingkan kehancuran hati Sang kakak. Leo sangat rapuh sekarang, hatinya hancur lebur tak tersisa. Tubuh Leo terus dihujani air yang membuatnya tenang, tangisnya terhapus air yang mengalir. Ketika Leo menjambak rambut berkali-kali, Jasmine pun terus menghentikan berkali-kali. Jasmine mengelus rambut Leo, terus mengecup kening dan punggung tangan pria itu. Mereka tidak berbicara, hanya ditemani suara isak tangis dan air shower. Air mulai memenuhi bathtub, Jasmine mematikan air itu. Gadis itu perlahan masuk ke bathtub juga, Leo mendongak dan menatap kehe
"Argh! Sakit!" jerit salah satu kandidat, yang berbohong dan menerima hukuman setrum kejut listrik yang dipasang seluruh tubuh. Tubuhnya berasap dan kelojotan keberbagai arah. Dia jatuh dari kursi dan semakin kejang-kejang. "Sudah kamu cek?" tanya Aroon yang menatap sinis orang dihadapannya itu. "Sudah, Pak. Betul, dia berbohong." Komandan menekan terus tombol on off setrum kejut listrik itu. "Hah! Padahal dia bisa jadi ajudan ke-3 istriku. Tambah dayanya! Jangan dibangkitkan lagi. Bunuh!" perintah Aroon yang memukul meja. Dia kesal masih saja kecolongan dapat penyusup dan pengkhianat. Tinggal dua orang lagi, dua-duanya lolos dengan nilai terbaik. Hanya beda 5 poin diantara mereka. Kandidat nama 012 alias Vincent Peach akan menjadi ajudan Si Kembar. Aroon mengurungkan niat untuk menjadikan Vincent ajudan Ke-3 istrinya. Karena kurang efektif dan keahliannya lebih cocok untuk Si Kembar. Sean Pearl menjadi ajudan Leo untuk membantu dan melindungi
"Oke, baguslah. Hati-hatilah, jaga Leo dengan baik. Dia keluarga Albiano dan keluarga Pierce juga." Charless menepuk-nepuk bahu Sean. Sean pun mengangguk dan memberi hormat ke Charless dan Leo. "Angel! Dekati saja. Sana!" teriak Arthur yang mendorong Angellia yang terus menatap dalam Vincent. Vincent yang membalas tatapan itu dengan senyuman manisnya. "Ada apa, Nona?" tanya Vincent dengan lembut. Angellia terdiam dan tersipu malu. "Ja-jangan panggil nona. Panggil saja nama. Boleh? Bisa?" tanya Angellia yang memegang lengan kekar itu. Vincent melirik Aroon dan dijawab dengan mengangguk setuju. "Baik, Angellia? Atau Angel?" Vincent mengedipkan mata. Angellia langsung meleleh dan Arthur merasa kesal. "Hm, Angel saja. Asik! Punya kakak baru lagi!" teriak Angellia dengan memeluk Vincent. Vincent terkejut dan membalas pelukan itu. "Boleh? Aku anggap kakak juga?" Angellia mendongak. Membuat pria tinggi besar itu tersentuh dan meng
"Oh, Zena Blitz, kan? Aku ingat sekarang. Dia juga bilang sudah tidak punya keluarga lagi selain ayahnya. Oh, anak yang malang." Leo membekap mulutnya dan merasakan kesedihan itu. "Kalau yang dibicarakan Pedro, aku lupa-lupa ingat namanya. Tapi, wajahnya aku ingat." Lanjut Leo yang sedang berpikir keras. "Sama aku pun. Yang aku ingat anak itu menyebalkan! Paling sombong dan arogan," seru Charless yang menepuk bahu Leo. Leo hanya tersenyum dan mengangguk. "Oh, orang itu. Aku ingat yang rambutnya cokelat muda hampir ke blonde gitu. Hmm ... Haden Lodern! Yah, itu!" teriak Arthur yang menghampiri Leo dan Charless. "Ah, itu! Aku ingat! Pria paling menyebalkan," seru Angellia yang mengingat hal itu lagi. Memori yang kelam saat dijahili dan ditinggalkan di ruangan gelap oleh Haden itu. "Yah, sudah. Leo dan Mayor Sean bersiap-siaplah. Bawa semua perlengkapan. Jika ada yang kurang hubungi Komandan Tommy. Nanti makan siang bergabung lagi," per
"Hah, ranselnya berat sekali. Tante, Paman. Alat sihirnya kenapa banyak sekali?" keluh Leo yang memasukan alat sihir ke kantung ajaib yang diberikan Eleanor. "Ini pasti akan berguna. Karena kita tidak bisa membantu dengan cepat. Setidaknya benda-benda ini bisa menolongmu di situasi genting," jelas Elanor yang mengelus rambut Leo. "Nak, bawa obat-obatan medis ini. Komandan Tommy, memberitahu barang tambahanmu," ucap Serenity sambil terisak-isak menahan tangisnya dan menyodorkan kotak medis lengkap lalu dimasukan ke dalam ransel. "Oh, iya. Terima kasih, Tante dan Ibu Serenity. Kalian jangan menangis dong. Aku makin sedih." Leo menghampiri dua wanita dewasa yang tidak kuasa menahan tangisan. Leo memeluk erat kedua orang yang sudah dianggapnya sebagai ibu. "Aku akan baik-baik saja. Ada Kak Sean bersamaku. Kalian jaga kesehatan dan aku titip adik-adikku, ya. Kalau nakal pukul dan hukum mereka, oke." Leo mengecup kedua kening dan pipi Eleanor dan Serenity. Leo juga menghapus air mata m
Sean dan Leo jalan perlahan menyusuri anak tangga yang panjang ke bawah. Anak tangga yang berputar tanpa ujung, hawa mencekam dengan hanya di sinar satu cahaya di depan saja. Leo melihat ke bawah dan sampingnya hanya gelap gulita. Sean yang tetap fokus dan menajamkan instingnya. Dari kejauhan terdengar suara riuh orang-orang yang berjalan dan berbicara. Tiba-tiba diujung tangga itu cahaya tadi semakin bersinar menyilaukan mata. Sean dan Leo menutup mata, kedua pria itu syok diam diantara kerumunan orang yang sibuk bekerja di pasar lokal. Mereka bingung ada di mana, sayup-sayup terdengar suara bisikan, "ikuti anak panah itu." Suara pria nan dingin. Sean menolah ke tuannya dan saling mengangguk paham. Leo mencari anak panah yang dimaksud bisikan itu. Dia menemukan satu di dinding penjual ikan laut. Dia menarik Sean dan berjalan ke sana. Anehnya orang-orang di pasar itu tidak terganggu atau tidak melihat beradaan Leo dan Sean. Mereka saling melirik dan mengangkat bahu, berjal