[ Mas, aku mendapat penugasan kantor untuk dinas luar kota. Selama seminggu di Bali. Apakah Mas izinkan aku pergi? ] tanyaku via pesan singkat. Percuma jika aku yang menelepon duluan, sering di-riject. Harus menunggu dia dahulu yang menelepon. Tetapi itu seperti menunggu tukang bakso lewat depan rumah. Tak ada kepastian. Bisa jadi hanya menuai kekecewaan.Tak lama kemudian, ia membalas. [ Silakan. Pergilah. Hati-hati di jalan.]Padahal aku berharap dia mengatakan jangan, tidak, tak usah, biar nanti aku yang mengurusnya. Dia bisa menggunakan wewenangnya untuk membatalkan penugasan itu. Sejatinya, aku ingin ia berat melepasku, seperti aku yang begitu berat melepasnya.Berbekal izin darinya, aku berangkat ke Pulau Dewata bersama tim. Sungguh hal yang paling tidak kuinginkan di saat kami bepergian jauh seperti ini adalah dia, pria yang menaruh harapan berlumur kepalsuan. Mike.Penerbangan kelas bisnis. Nyaman. Kaki pun bisa diangkat sejajar badan. Aku bisa berbaring sepanjang penerbangan.
Berpindah ke taman bunga yang tertata apik di halaman villa. Mengeluarkan perangkat kerja dari tas. Mencoba fokus pada tujuan utama datang ke tempat ini. Berulang kali berkonsentrasi, tapi tak bisa. Ada apa? Kualihkan pandangan ke samudera luas.Debur ombak terdengar menantang. Hati tak tahan untuk mendekat, bermain dengan air laut dan pasir halus yang menggelitiki jemari kaki.Lupakan, sejenak lupakan, bujuk hati.Semua tentang kehilangan yang berulang. Adalah tanda untuk menambah stok kesabaran. Adalah tanda untuk mendalami hakikat keikhlasan. Adalah tanda untuk berhenti mencintai makhluk melebihi cinta hamba pada Sang Pencipta.Andai saja, cinta ini tak terlalu besar. Tentu, tak seperih ini pula rasa sakitnya. Tak seberat ini rasa rindunya. Tak sekuat ini rasa hampanya. Bagai ombak yang bergulung, tak menemukan daratan untuk memecah buih-buihnya.Kulepaskan sandal. Berjalan dengan kaki telanjang. Melewati jajaran bunga warna warni yang ditanam di atas pot. Telaten sekali tukang keb
Jangan sampai terlambat menyadari, siapa yang paling kita cintai. Sebab bisa jadi saat itu, tak ada kesempatan lagi untuk memasuki pintu hati.***“Senja. Semua orang bisa melihat senja, tetapi tidak semua bisa tiba di waktu senja. Kamu tahu artinya?” tanya Mike, masih rebahan di atas pasir putih. Namun, kali ini ia menyangga kepala dengan kedua tangan.“Jika orang bisa melihat senja, bukankah ia sudah tiba di waktu senja?” Kubalas bertanya balik karena belum mengerti maksudnya. Lama-lama lupa untuk kembali ke kamar, menjaga hati dari gejolak rasa. Mike pandai menghadirkan rasa nyaman yang menyenangkan. Orang akan betah berjam-jam duduk mengobrol dengannya.“Salah!”“Jadi?”“Waktu senja, waktu tua. Anak kecil bisa melihat senja, tapi ia bisa mati sebelum usia senja. Karena itu, jangan terlalu merisaukan masa depan. Jangan! Kamu tak akan tahu, kamu bisa sampai ke masa itu atau tidak. Pikirkan masa kini, kamu hidup di masa ini. Manfaatkan sebaik-baiknya, agar tidak ada penyesalan di kem
“Aku tidak bisa pulang sekarang, Mas Danu. Aku sudah minta izin padamu dan kamu sudah mengizinkan. Konsistenlah. Aku bekerja di sini. Aku tak akan kembali sebelum tugasku selesai.”Hal itu kuputuskan begitu saja, karena menyadari bahwa diriku perlu waktu untuk jeda dari semua kesedihan yang menerpa. Aku butuh sibuk untuk bisa membunuh hampa. Butuh suasana berbeda untuk membantuku lupa padanya, yang lebih sering bersama istri muda. Apalah arti diriku yang menjadi istri seorang pria, tapi tak bisa merengkuhnya.“Kapan aku memberimu izin bepergian dengan pria ini, sejauh ini? Kamu tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk menyusulmu kemari?”Kalimatnya membuatku bingung. Kutunjukan pesannya di gawaiku. Ia menggertakan gigi, geram. Kemarahan kembali berkobar. “Seharusnya kamu memastikan apa itu aku atau bukan.”“Bukan, Mas?” Agaknya ini semua ulah Sekar.“Tentu saja bukan! Pria bodoh mana yang mengizinkan istrinya yang tengah hamil bepergian sejauh ini?” Ia mengacak-acak rambutnya, tak ha
“Aku tidak melarikan, Laras. Aku hanya ingin menghiburnya. Kudengar sejak kamu tiba, belum pernah sekalipun senyum merekah di wajahnya. Malah dia sempat harus di rumah sakit tanpa satu pun pihak keluarga menungguinya. Tak’kah kau pikirkan perasaan Laras yang menanggung rindu selama ini? Dia bahkan harus kembali merana ketika suaminya tiba. Kiramu Laras tak punya perasaan? Dia juga berhak mendapatkan cinta yang sempurna.”Hatiku goyah. Terbelah dua. Bagaimana bisa Mike melakukan segala cara untuk mendapatkanku? Meski semua dilakukan untuk kepentinganku.Mike baik, terlalu baik memperlakukanku. Wanita mana yang bisa bertahan sekuat baja jika terus dibombardir perhatian sebesar dan sedalam itu?“Cinta seorang ibu kepada anaknya adalah cinta sempurna, meskipun harus dibagi dengan semua anaknya. Begitupun cintaku pada mereka. Tetap sempurna meski harus dibagi dua. Tugasku menjaga kehormatan Laras dari besarnya hasratmu untuk memilikinya.”“Kalau begitu tanyakan pada Laras. Jangan paksakan
Bismillah. Kusambut tangan Mas Danu, senyum mengembang di wajahnya yang terlihat muram sejak datang. Jawaban dariku adalah obat penenangnya.“Aku tahu. Kamu masih Laras yang dulu, yang dipilih ibuku untuk jadi teman hidupku hingga ujung waktu,” ujarnya sambil mengetatkan genggaman. “Tangan ini tak akan kulepaskan lagi. Ini janjiku. Janji seorang lelaki!” tegasnya sambil merengkuhku dalam pelukannya.Dalam dekapannya, dapat kulihat raut muka Mike berubah kecewa. Tentulah sakit melihat orang yang dicinta berada di pelukan orang lain. Melihat Mike berusaha menahan air mata, kristal bening di mataku terlebih dulu jatuh.Aku bisa merasakan sakitnya jadi dia. Saat harapan itu membumbung ke angkasa, mendadak terhempas begitu saja.Mike membalikkan badan. Terlihat berusaha menyeka rintik di sudut matanya. Punggung itu seakan berkata, “Selamat tinggal untuk selamanya.”Mike melangkah menjauh dari kami berdua. Hatiku berteriak memanggil namanya, “Jangan pergi!” Tetapi teriakan itu tak pernah
Bercermin, wajahku berbinar bak pengantin baru. Rasa berdebar tak kunjung sirna kala menanti Mas Danu datang menghampiri.Dag-dig-dug, terus bertalu-talu.Tunggu, Mas Danu mengapa begitu lama? batinku.Kuketuk pintu kamar mandi. Tak biasanya dia mandi selama ini. Mungkinkah sesuatu terjadi? Ataukah diam-diam ia telah pergi?***Gemericik air masih terdengar. Adakah orang? Tiba-tiba aku merasa takut jika diam-diam suamiku pergi menemui Sekar lagi. Keterlaluan jika itu benar!Mas, kau suruh aku diam di rumah sementara kamu bermesrean dengan wanita itu? Memburu nafasku, tersengal oleh resah dan amarah.Kubuka pintu kamar mandi. Kebiasaannya tak pernah mengunci pintu saat mandi karena letaknya di dalam kamar tidur.Ia terkejut. Bergegas mengambil mantel handuk yang tergantung. Terlambat, aku terlanjur lihat.Kenapa?“Mas--,” kutahan gerakannya. Jelas terlihat lebam-lebam biru di kulit putihnya. Belum bekas-bekas luka cakaran. “Apa yang terjadi, Mas.” Miris melihat bagaimana bekas-bekas lu
Mengingat Mike, hatiku kembali teremas. Sakit!Pria itu yang membuatku jadi bintang sekarang. Pria itu yang telaten memompa semangatku. Pria itu yang sabar mengajariku hal-hal yang tak kumengerti. Lantas kini, aku harus melupakannya begitu saja. Seolah ia tak pernah ada.Bulir air mata kembali menitik. Jatuh ke pipi Mas Danu yang berbaring di pelukanku.“Ada apa?” tanyanya bingung sambil duduk bersila di hadapanku.Kugelengkan kepala. Tidak, aku tak boleh mengatakan penyebab air mata ini luruh kembali. “Kenapa Mas biarkan dia menyakiti Mas hingga seperti ini? Mas ‘kan baru sembuh. Kenapa ia tak memikirkan kondisi kesehatan, Mas? Apa itu cinta?” ujarku mengalihkan kecurigaannya. Bagaimanapun, cinta terlarang tak patut dinampakan. Biarlah terkubur bersama waktu.“Cinta yang terlalu besar bisa membuat orang nekat melakukan apa saja. Kamu tahu, kisah Sada Abe dari Tokyo, Jepang?”Aku menggeleng. Wawasanku tidak seluas itu.Ia kemudian menceritakan kisah sadis Sada Abe, mantan wanita pengh
“Usahamu ‘kan masih bisa berjalan dengan baik, Mas. Dulu, Mas tak mau bekerja di perusahaan Bapak. Memilih berdikari di atas kaki sendiri. Mengapa sekarang harus mengandalkan harta Bapak untuk sukses?”“Dulu aku punya Sekar yang membantuku memenangkan banyak tender. Dia pintar melobi orang. Sekarang aku sering tak beruntung.”Hatiku retak mendengar jawabannya. Mengapa harus mengungkit jasa wanita itu dalam hidupnya. Itu seperti menyindirku yang tak bisa melakukan apa-apa untuk membantunya, kecuali berdoa.“Maaf, Sayang. Aku tidak bermaksud membuatmu cemburu dengan ceritaku. Aku hanya ....”“Sudahlah, Mas. Tak perlu kaujelaskan. Semua terang bagiku. Dia adalah batu berlian, sementara aku batu kerikil.”“Bukan begitu ... bukan begitu maksudku. Maafkan aku salah bicara. Seharusnya tak kusebut-sebut namanya saat bersamamu.”Senyum tipis kuberikan. Sekadar menenangkan. Sekalipun aku tak tenang, merasa tak berguna sebagai pasangannya.Dia memandangku dengan tatapan yang aneh. Tatapan yang m
Ini cinta yang berat, juga rumit. Di sisi hati, aku benci. Di sisi lain begitu mencintai. Di satu waktu, aku ragu. Di lain waktu, begitu menggebu. Adakah aku akan tetap berdiri di sisinya sekuat baja?___Kugandeng tangan Mas Danu. Membawanya menjauh dari rubah betina itu. Namun, kaki suamiku seolah terpaku. Tak bergerak dari tempatnya berdiri. Mungkinkah, dia jatuh cinta lagi?Mas Danu melepas pegangan tanganku, berjalan mengejar wanita itu, lalu memegang tangan Sekar hingga wanita itu berbalik. Menatapnya dengan pandangan penuh kebahagiaan. Ia menang. Sekali lagi ... dia menang dan menempatkan diriku sebagai pecundang. Rasa sakit melihat itu, membunuhku. Aku tak mampu bertahan lagi dengan siksa batin ini.Sekar langsung bergerak hendak memeluk Mas Danu, hingga aku tak sanggup memandang dan memilih memejamkan mata. Terkatup bersama bulir kristal bening yang merembes, membasahi pipi.“Jangan! Hubungan kita sudah berakhir.” Suara Mas Danu terdengar jelas. Segera kubuka mata untuk melih
Biarlah yang lalu terbawa angin, agar yang sekarang bisa hidup dengan tenang, tanpa beban, ataupun penyesalan.___“Siapa, Mas?”Masih bergeming. Mas Danu mendadak beku. Tak dihiraukannya lagi ponsel yang terjatuh ke lantai. Apalagi menjawab pertanyaanku.Kuputuskan menghampiri dan menggoyang tubuhnya. Ia pun tersentak kaget. Kedua tangannya mencengkeram tubuhku erat.“Kamu tidak akan percaya ini, Laras. Dia ....”Aku melihatnya kebingungan. Sebenarnya apa yang terjadi?Apakah ini tentang Caca? Mas Danu tak tahu bahwa aku sudah memegang separuh rahasia Bapak.“Pemilik rumah ini adalah ....” Mas Danu sulit sekali berkata-kata. Mengusap wajahnya berulang-ulang. Lalu memegang dadanya dengan pandangan nanar. Siapa?“Dia ... Sekar.” Lirih suaranya, tapi dahsyat akibatnya.“Sekar, Mas?” Tanganku mencengkeram sisi meja agar tidak jatuh pingsan. Dia, wanita itu kembali setelah sekian lama. Tak mungkin rumah ini menarik baginya. Pasti ada hal lain yang hendak dia rebut dariku. Mas Danu.Kugele
Aku pernah menentang niat baik istriku yang hendak menjadikan kamu menantu. Keberadaanmu menyiksaku. Namun, kamu tahu apa yang dikatakan istriku? Dia bilang, “Justru aku harus berada di dekatnya, sebab jalan takdir kalian tak akan jadi serumit ini jika malam itu aku tidak menemuimu.”Di situ aku terenyak. Menyadari istriku sengaja datang. Dia membaca surat-suratku untuk ibumu. Ia bilang, “Aku jatuh cinta padamu, lewat kata yang kau untai untuk sahabatku.” Jadi dia sengaja datang ke tempat seharusnya aku bertemu ibumu. Dia ingin menghiburku. Tanpa tahu aku sudah memilih alkohol untuk menemaniku.Dia merasa, dirinya yang membuat hidup kita berantakan. Pernahkah kamu melihat cinta sebodoh itu? Cobalah bercermin. Karena cinta yang bodoh itu, juga pernah kamu rasakan untuk anakku. Juga pernah kurasakan pada ibumu. Juga pernah dirasakan Danu pada Sekar. Hampir dari kita semua, pernah menjadi bodoh karena cinta. Merasa cinta adalah segalanya. Padahal, itu hanya ilusi. Hanya sebuah perasaan y
“Sebaiknya kita kembali ke rumah kita, Mas. Di sini banyak duka yang membayang.” Setelah Mas Danu pulih sempurna, aku segera mengajukan keinginan yang lama terpendam. Rasanya tak betah terus berada di rumah ini. Penuh foto Bapak yang membuatku muak.“Duka itu ada di hati, terbawa ke mana pun kita pergi.” Ia duduk di balkon favoritnya untuk membaca koran. Secangkir wedang jahe—kesukaan Bapak—tersaji. Padahal, dulu Mas Danu tak suka minum wedang jahe. Ia lebih suka minum teh atau kopi. Semakin hari, ia semakin mirip dengan Bapak mertuaku itu. Mungkinkah ini hanya bayanganku saja?“Aku sudah menghubungi pihak bank. Rumah ini masuk daftar lelang. Jadi, bukan sehari dua hari ini terjadi. Semua sudah dijalankan diam-diam sejak lama oleh Caca. Aku akan merebut kembali semua milikku.” Dingin dalam suara itu membuatku kembali teringat almarhum Bapak. Akankah suamiku berubah menjadi pria ambisius yang mencintai bisnis dibanding keluarga?“Tak bisakah Mas relakan? Kita masih punya banyak hal ber
Kuambil tisu dan menyeka beberapa keringat di wajahnya. Padahal AC mobil menyala, tapi bisa-bisanya ia berkeringat.“Jangan pikirkan hal-hal berat dulu, Mas. Kamu baru keluar dari rumah sakit. Sebaiknya kita pulang dan istirahat. Apa gunanya banyak harta jika tubuh sakit?”Dia diam, tak bersuara. Masih memijat kepalanya dengan wajah meringis menahan sakit. Segera kupasangkan seatbelt ke tubuhnya dan menyetir pulang.Meski dipaksa beristirahat, Mas Danu tetap gelisah dalam tidurnya. Ini memang tak mudah bagi kami. Tiba-tiba saja, kemewahan yang kami nikmati selama ini direnggut paksa. Bagai penduduk pribumi yang didepak kompeni. Kami tertipu oleh serigala berbulu domba.“Tidak, Bapak ... Bapak ... kembali. Kembalilah! Jangan pergi!” Mas Danu mengigau dalam tidurnya. Kusentuh keningnya, panas. Dia kembali demam. Kepanikan melanda diriku yang bingung harus bagaimana dalam situasi semacam ini. Suamiku yang kuharapkan bisa berdiri tegak, justru berulang kali jatuh sakit. Masalah bertubi-tu
“Mungkin kamu tak sadar, tapi ciuman tadi adalah kemesraan pertama kita setelah Bapak tiada.” Lirih suara Mas Danu terdengar seperti pria yang lama menanti pujaan hati. Rasa bersalah menghantam, menggoyahkan nurani.Masalah ini membuat kami menyatu kembali. Setelah sebulan lebih aku membentengi diri karena dendam yang tiba-tiba menyulut hati. Surat Bapak telah menjadi tembok tinggi bagi hubungan kami. Sering tiba-tiba terlintas dalam hati, meninggalkan Mas Danu untuk lepas dari bayang masa lalu. Merasa bersalah pada kedua orang tuaku, telah hidup berbahagia dengan orang yang membuat keluarga kami sengsara. Kakek nenek, mereka mungkin juga mengutuk diriku yang mencintai keturunan pria penghancur keluarga. Namun, aku bisa apa jika hati selalu tergerak untuk mencinta?“Ini seperti petualangan di gunung yang curam. Aku harus mendaki, mencari misteri yang tersembunyi di gelapnya hutan. Saat Bapak masih hidup, semua terlihat normal. Namun, begitu pasak itu dicabut, tenda kita ikut berguncan
Aku tak sempat memikirkan masa lalu. Hanya masa depan kami yang kupikirkan. Bagaimana nasib anak-anak ke depan jika kerajaan bisnis Bapak tumbang? Aku tak ingin melihat anak-anakku hidup kekurangan seperti yang dulu kurasakan.“Aku akan cari tahu, Laras. Benar dia atau orang lain yang mengendalikannya. Tak akan kubiarkan rumah ini berpindah tangan.” Mata Mas Danu menjelajah ruang. Melihat aneka barang yang tertata seperti saat Ibu tiada. Tak banyak yang berubah. Bahkan, foto pernikahan kami yang dihelat demikian mewah, terpanjang di dinding dengan bingkai emas. Berjajar dengan foto Bapak dan Ibu yang duduk berdampingan di sofa besar. Foto itu diambil di ruang keluarga rumah ini. Sejenak, netra suamiku berdiam di sana. Menatap kedua wajah orang tuanya yang menyunggingkan senyum.“Rumah ini dipenuhi kenangan mereka ....” Suara pria berkulit bersih itu bergetar. Bola matanya berkaca-kaca, bak kristal lampu yang dari Eropa yang melengkapi desain rumah berarsitektur Mediteran.“Aku tumbuh
Di akhir hayat ini, aku tersadar bahwa hal yang banar-benar bisa dibawa pulang ke kampung akhirat hanyalah amal. Jadilah anak soleh yang menjadi amal jariyah bagi bapak dan ibu, sekalipun aku malu meminta itu darimu.Semoga kamu bisa jaya dengan kemampuanmu sendiri, hingga kamu bisa menghargai setiap proses. Semoga dengan ini, kamu juga bisa menguji sedalam apa cinta Larasati. Apakah hanya karena materi, atau sungguh cinta murni? Mampukah dia bertahan dalam kesetiaan saat ujian menerpa rumah tangga kalian dengan dahsyatnya? Sudikah dia memulai dari nol bersamamu jika tak ada sepeser pun warisan bapak yang jatuh pada kalian? Ataukah dia pergi ke pelukan pria lain yang menawarkan sesuatu yang lebih menggiurkan?Bagaimana pun arah peta hidup kamu selanjutnya, bapak berdoa semoga kamu bangga jadi diri sendiri. Semoga surat ini menjadi penjelas, jika nanti notaris datang membacakan surat wasiatku dan tak banyak yang bisa Bapak wariskan untuk kalian. Segera urus aset-aset yang memang bisa