Mengingat Mike, hatiku kembali teremas. Sakit!Pria itu yang membuatku jadi bintang sekarang. Pria itu yang telaten memompa semangatku. Pria itu yang sabar mengajariku hal-hal yang tak kumengerti. Lantas kini, aku harus melupakannya begitu saja. Seolah ia tak pernah ada.Bulir air mata kembali menitik. Jatuh ke pipi Mas Danu yang berbaring di pelukanku.“Ada apa?” tanyanya bingung sambil duduk bersila di hadapanku.Kugelengkan kepala. Tidak, aku tak boleh mengatakan penyebab air mata ini luruh kembali. “Kenapa Mas biarkan dia menyakiti Mas hingga seperti ini? Mas ‘kan baru sembuh. Kenapa ia tak memikirkan kondisi kesehatan, Mas? Apa itu cinta?” ujarku mengalihkan kecurigaannya. Bagaimanapun, cinta terlarang tak patut dinampakan. Biarlah terkubur bersama waktu.“Cinta yang terlalu besar bisa membuat orang nekat melakukan apa saja. Kamu tahu, kisah Sada Abe dari Tokyo, Jepang?”Aku menggeleng. Wawasanku tidak seluas itu.Ia kemudian menceritakan kisah sadis Sada Abe, mantan wanita pengh
Maafkan saja. Kita tak jadi kerdil karena melakukannya.Minta maaflah. Kita tak jadi hina karena mengakui kesalahan. ***Aku belajar banyak hal. Termasuk belajar menyembunyikan perasaan. Untuk apa jika itu hanya menyakiti? Ada hal-hal di mana kejujuran tidak dibutuhkan, seperti saat ini. Aku merasa sudah cukup dengan Mas Danu mengakui perasaannya padaku. Tak ingin membuatnya risau olehku.Perasaanku pada pria bermata biru itu masih menjadi misteri bagi diri sendiri. Bagaimana aku menafsirkannya? Belum tentu pula yang kurasakan adalah cinta. Bagaimana jika ternyata hanya nafsu belaka? Saking rindunya aku akan kehangatan pria.Kuraih jemari Mas Danu, menyatukannya ke dada. Membuatnya mengerti apa yang kini membuat detak jantungku melaju tak tentu.“Jika Mas mau tahu, mungkin harus terlebih dulu membelah dadaku. Karena aku pun tak tahu apa yang kurasakan saat bersamanya. Yang jelas, tak seperti saat bersamamu.”Ya, perasaan ini berbeda untuk keduanya. Tak pernah sama.Mas Danu hadir mem
“Kamu manusia atau binatang?” caci kakak lelaki Sekar.Ya, Tuhan, berapa saudara wanita itu? Mengapa semuanya begitu garang? Pantas, ibu mertua dulu tak mau memberi restu.“Sekar mau melahirkan dan kamu bermesra-mesraan dengan wanita yang dulu kau sepelekan!” hardik pria itu lagi. Dia datang bersama dua orang berpenampilan preman.Mas Danu bereaksi mendengar Sekar hendak melahirkan. “Bagaimana kondisinya? Di mana dia?”“Kamu yang menghamilinya harusnya lebih tahu. Malah bertanya. Bahkan binatang lebih beradab dibanding dirimu.”“Baik, apa kakak mau mencarikan binatang yang beradab untuk menemani adikmu yang mau melahirkan itu?” balas Mas Danu dingin.“Kurang ajar!” Pria itu tersulut emosi mendengar jawaban Mas Danu. Tangannya terkepal hendak meninju ketika dua satpam kami maju menangkap tangan pria bertubuh sedang itu.“Jangan rusuh di sini, Pak. Atau kami panggil polisi untuk menyeret bapak-bapak sekalian,” ancam satpam kami yang lebih muda dan ahli beladiri. Sejak peristiwa Mike yan
seperti itu. Cinta tak harus memiliki, ada juga cinta yang harus merelakan. Seperti cinta Mike untukmu.”Kembali pada Mike, hatiku lagi-lagi gerimis. Ada tangis yang terus tertumpah tiap mengenangnya. Selamat jalan, Mike. Kamu pernah jadi bagian terbaik dalam kisah hidupku, salamku dalam hati.“Bapak, saya mendengar dari Mas Danu bahwa saudara-saudara Sekar merongrong dirinya. Itukah alasan kalian tak memberinya restu?” Kali ini, biarlah tuntas semua rasa ingin tahuku terhadap masa lalu perpisahan kedua sejoli itu.Beliau kembali menghela nafas berat. Meneguk kopinya kembali.“Ayah Sekar adalah musuh bisnisku, dia suka menggunakan cara-cara kotor untuk menyabotase rekan bisnis orang lain. Dari cara kotor itulah, ia mendapatkan kekayaannya. Kekayaan yang tidak berkah.” Mata pria tua itu menerawang jauh.“Putranya pertamanya terlibat narkoba dan perdagangan minuman keras. Kakak kedua, meskipun perempuan tapi sangat kasar dan binal. Sebetulnya Sekar, sebagai anak bungsu merupakan gadis b
“Kamu bicara apa, Laras.” Menoleh padaku. “Mati?” Kali ini tampangnya terlihat bingung.Giliran aku yang terheran. “Kata bapak, Sekar telah pergi.” Apakah mungkin informasi itu keliru? Lalu kenapa Mas Danu terlihat begitu tertekan? Kuikuti arah pandangan matanya, menembus kaca ruang NICU. Astagfirullah, bayi kembar di sana sungguh abnormal.Kubekap mulut, syok!Senyum sinis terukir di bibir Mas Danu. Ironisnya, air mata justru bergulir dari kedua mata yang dihiasi lingkaran hitam itu. “Sekar tidak mati. Ia pergi, kabur dari kenyataan ini. Ia menganggap anak itu kutukan, hukuman, monster. Ia malu dan memilih bunuh diri dibanding mengakui anak itu anak kami.”Mas Danu berusaha tegar, menyusun kata di antara air mata. “Orang tua Sekar tadi kemari menjemput putrinya. Mereka tak ingin anaknya jadi gila dan memintaku melepasnya. Tanpa mereka minta pun, memang itu yang akan kulakukan jika ia bersikeras. Hanya saja, bagaimana dengan mereka? Ibunya saja tak menginginkannya, apalagi ...” kalim
Mas Danu mengajak pulang. Dua anak kembar siamnya masih harus dirawat di rumah sakit untuk beberapa waktu ke depan. Sementara, dia tak tega melihatku terkantuk-kantuk di ruang tunggu demi menemaninya.“Ayo, pulang,” diulurkannya tangan.“Mas...?” Aku tak mau pulang sendirian.“Aku juga harus pulang. Kita percayakan pada dokter.”Tangannya menggenggamku erat. Tangan yang dahulu begitu dingin, kini menghangat. Hatiku terpikat. Tak apa jika musibah ini justru membuat kita dekat. Itulah nikmat. Tak selalu berwujud kesenangan, kadang ia juga hadir bersama kesedihan.Ia mengajakku mampir makan di restoran yang kami lewati. “Kamu belum makan, ‘kan? Di sini menunya enak-enak dan higienis. Pilihlah makanan sehat untuk bayi kita.”Restoran yang Mas Danu pilih—jika dia ingat—adalah restoran di mana ia pernah pura-pura berjanji mengajakku makan atas desakan ibunya. Namun hingga restoran tutup, ia tak kunjung datang.“Melamunkan apa?” tanyanya begitu mendapatiku hanya termangu di depan menu.“Tida
Gawai masih berdering. Seolah sangat mendesak minta diangkat. Namun, aku tak berani mengangkatnya. Selama ini hubunganku dengan Mas Danu adalah hubungan yang terpisah. Berjalan sendiri-sendiri. Dia memenjarakan dirinya dalam nostalgia masa lalu, di mana tak ada tempat untukku di situ.Di sisi lain, rasa penasaran menghebat. Bagaimana jika itu panggilan suara dari Sekar yang berubah pikiran? Mungkinkan dia terbayang-bayang anaknya dan urung pergi ke luar negeri untuk membersihkan nama baiknya? Batalkan dia membuka lembaran baru di tempat yang baru, tanpa hujatan dari sekelilingnya?Ya Rabbi, jangan dia. Ya Rabbi, jangan dia. Ya Rabbi, jangan dia.Doa yang sama, kuulang-ulang sambil melihat gawai yang terus saja berdering itu. Siapa kamu? Apa maumu?Mas Danu keluar dari kamar mandi. Terlihat segar setelah tadi lusuh luar biasa.“Siapa?” tanyanya, yang keluar menggunakan mantel handuk. Air masih menetes dari rambutnya, membasahi lantai berlapis karpet coklat di kamar ini.Tak bisa menjaw
Mas Danu membalas dekapanku, mencium ubun-ubunku. Bagaimana jika wanita itu tahu bahwa pria pujaannya kini memeluk wanita lain?“Aku akan berubah, Mas. Kembali seperti Sekar yang dulu. Untukmu. Beri aku kesempatan sekali lagi. Aku kini di bandara, sejam lagi penerbanganku ke Austria. Mari kita buka lembaran baru di sana,” ajaknya. Kubalas dengan memeluk tubuh Mas Danu kian erat. Ia mengerti kekhawatiranku.“Jika begitu selamat jalan. Jangan pikirkan untuk pulang. Karena jika kamu kembali kemari, aku akan berpura-pura tak mengenalmu lagi. Kita pernah jadi dua orang asing yang berkenalan hingga jadi dekat, lalu kembali asing setelah kau tinggalkan banyak kenangan pahit untuk mengisi separuh perjalanan kebersamaan kita. Semoga kamu bahagia di tempat barumu.”“Aku akan menunggumu, hingga kamu muncul kemari.”“Jika begitu aku akan muncul dengan anak itu, dan kamu harus menyusuinya.”“Tidak! Aku takut pada monster itu, Mas.”“Dan kamu akan melahirkan banyak monster lainnya jika masih mengha
“Usahamu ‘kan masih bisa berjalan dengan baik, Mas. Dulu, Mas tak mau bekerja di perusahaan Bapak. Memilih berdikari di atas kaki sendiri. Mengapa sekarang harus mengandalkan harta Bapak untuk sukses?”“Dulu aku punya Sekar yang membantuku memenangkan banyak tender. Dia pintar melobi orang. Sekarang aku sering tak beruntung.”Hatiku retak mendengar jawabannya. Mengapa harus mengungkit jasa wanita itu dalam hidupnya. Itu seperti menyindirku yang tak bisa melakukan apa-apa untuk membantunya, kecuali berdoa.“Maaf, Sayang. Aku tidak bermaksud membuatmu cemburu dengan ceritaku. Aku hanya ....”“Sudahlah, Mas. Tak perlu kaujelaskan. Semua terang bagiku. Dia adalah batu berlian, sementara aku batu kerikil.”“Bukan begitu ... bukan begitu maksudku. Maafkan aku salah bicara. Seharusnya tak kusebut-sebut namanya saat bersamamu.”Senyum tipis kuberikan. Sekadar menenangkan. Sekalipun aku tak tenang, merasa tak berguna sebagai pasangannya.Dia memandangku dengan tatapan yang aneh. Tatapan yang m
Ini cinta yang berat, juga rumit. Di sisi hati, aku benci. Di sisi lain begitu mencintai. Di satu waktu, aku ragu. Di lain waktu, begitu menggebu. Adakah aku akan tetap berdiri di sisinya sekuat baja?___Kugandeng tangan Mas Danu. Membawanya menjauh dari rubah betina itu. Namun, kaki suamiku seolah terpaku. Tak bergerak dari tempatnya berdiri. Mungkinkah, dia jatuh cinta lagi?Mas Danu melepas pegangan tanganku, berjalan mengejar wanita itu, lalu memegang tangan Sekar hingga wanita itu berbalik. Menatapnya dengan pandangan penuh kebahagiaan. Ia menang. Sekali lagi ... dia menang dan menempatkan diriku sebagai pecundang. Rasa sakit melihat itu, membunuhku. Aku tak mampu bertahan lagi dengan siksa batin ini.Sekar langsung bergerak hendak memeluk Mas Danu, hingga aku tak sanggup memandang dan memilih memejamkan mata. Terkatup bersama bulir kristal bening yang merembes, membasahi pipi.“Jangan! Hubungan kita sudah berakhir.” Suara Mas Danu terdengar jelas. Segera kubuka mata untuk melih
Biarlah yang lalu terbawa angin, agar yang sekarang bisa hidup dengan tenang, tanpa beban, ataupun penyesalan.___“Siapa, Mas?”Masih bergeming. Mas Danu mendadak beku. Tak dihiraukannya lagi ponsel yang terjatuh ke lantai. Apalagi menjawab pertanyaanku.Kuputuskan menghampiri dan menggoyang tubuhnya. Ia pun tersentak kaget. Kedua tangannya mencengkeram tubuhku erat.“Kamu tidak akan percaya ini, Laras. Dia ....”Aku melihatnya kebingungan. Sebenarnya apa yang terjadi?Apakah ini tentang Caca? Mas Danu tak tahu bahwa aku sudah memegang separuh rahasia Bapak.“Pemilik rumah ini adalah ....” Mas Danu sulit sekali berkata-kata. Mengusap wajahnya berulang-ulang. Lalu memegang dadanya dengan pandangan nanar. Siapa?“Dia ... Sekar.” Lirih suaranya, tapi dahsyat akibatnya.“Sekar, Mas?” Tanganku mencengkeram sisi meja agar tidak jatuh pingsan. Dia, wanita itu kembali setelah sekian lama. Tak mungkin rumah ini menarik baginya. Pasti ada hal lain yang hendak dia rebut dariku. Mas Danu.Kugele
Aku pernah menentang niat baik istriku yang hendak menjadikan kamu menantu. Keberadaanmu menyiksaku. Namun, kamu tahu apa yang dikatakan istriku? Dia bilang, “Justru aku harus berada di dekatnya, sebab jalan takdir kalian tak akan jadi serumit ini jika malam itu aku tidak menemuimu.”Di situ aku terenyak. Menyadari istriku sengaja datang. Dia membaca surat-suratku untuk ibumu. Ia bilang, “Aku jatuh cinta padamu, lewat kata yang kau untai untuk sahabatku.” Jadi dia sengaja datang ke tempat seharusnya aku bertemu ibumu. Dia ingin menghiburku. Tanpa tahu aku sudah memilih alkohol untuk menemaniku.Dia merasa, dirinya yang membuat hidup kita berantakan. Pernahkah kamu melihat cinta sebodoh itu? Cobalah bercermin. Karena cinta yang bodoh itu, juga pernah kamu rasakan untuk anakku. Juga pernah kurasakan pada ibumu. Juga pernah dirasakan Danu pada Sekar. Hampir dari kita semua, pernah menjadi bodoh karena cinta. Merasa cinta adalah segalanya. Padahal, itu hanya ilusi. Hanya sebuah perasaan y
“Sebaiknya kita kembali ke rumah kita, Mas. Di sini banyak duka yang membayang.” Setelah Mas Danu pulih sempurna, aku segera mengajukan keinginan yang lama terpendam. Rasanya tak betah terus berada di rumah ini. Penuh foto Bapak yang membuatku muak.“Duka itu ada di hati, terbawa ke mana pun kita pergi.” Ia duduk di balkon favoritnya untuk membaca koran. Secangkir wedang jahe—kesukaan Bapak—tersaji. Padahal, dulu Mas Danu tak suka minum wedang jahe. Ia lebih suka minum teh atau kopi. Semakin hari, ia semakin mirip dengan Bapak mertuaku itu. Mungkinkah ini hanya bayanganku saja?“Aku sudah menghubungi pihak bank. Rumah ini masuk daftar lelang. Jadi, bukan sehari dua hari ini terjadi. Semua sudah dijalankan diam-diam sejak lama oleh Caca. Aku akan merebut kembali semua milikku.” Dingin dalam suara itu membuatku kembali teringat almarhum Bapak. Akankah suamiku berubah menjadi pria ambisius yang mencintai bisnis dibanding keluarga?“Tak bisakah Mas relakan? Kita masih punya banyak hal ber
Kuambil tisu dan menyeka beberapa keringat di wajahnya. Padahal AC mobil menyala, tapi bisa-bisanya ia berkeringat.“Jangan pikirkan hal-hal berat dulu, Mas. Kamu baru keluar dari rumah sakit. Sebaiknya kita pulang dan istirahat. Apa gunanya banyak harta jika tubuh sakit?”Dia diam, tak bersuara. Masih memijat kepalanya dengan wajah meringis menahan sakit. Segera kupasangkan seatbelt ke tubuhnya dan menyetir pulang.Meski dipaksa beristirahat, Mas Danu tetap gelisah dalam tidurnya. Ini memang tak mudah bagi kami. Tiba-tiba saja, kemewahan yang kami nikmati selama ini direnggut paksa. Bagai penduduk pribumi yang didepak kompeni. Kami tertipu oleh serigala berbulu domba.“Tidak, Bapak ... Bapak ... kembali. Kembalilah! Jangan pergi!” Mas Danu mengigau dalam tidurnya. Kusentuh keningnya, panas. Dia kembali demam. Kepanikan melanda diriku yang bingung harus bagaimana dalam situasi semacam ini. Suamiku yang kuharapkan bisa berdiri tegak, justru berulang kali jatuh sakit. Masalah bertubi-tu
“Mungkin kamu tak sadar, tapi ciuman tadi adalah kemesraan pertama kita setelah Bapak tiada.” Lirih suara Mas Danu terdengar seperti pria yang lama menanti pujaan hati. Rasa bersalah menghantam, menggoyahkan nurani.Masalah ini membuat kami menyatu kembali. Setelah sebulan lebih aku membentengi diri karena dendam yang tiba-tiba menyulut hati. Surat Bapak telah menjadi tembok tinggi bagi hubungan kami. Sering tiba-tiba terlintas dalam hati, meninggalkan Mas Danu untuk lepas dari bayang masa lalu. Merasa bersalah pada kedua orang tuaku, telah hidup berbahagia dengan orang yang membuat keluarga kami sengsara. Kakek nenek, mereka mungkin juga mengutuk diriku yang mencintai keturunan pria penghancur keluarga. Namun, aku bisa apa jika hati selalu tergerak untuk mencinta?“Ini seperti petualangan di gunung yang curam. Aku harus mendaki, mencari misteri yang tersembunyi di gelapnya hutan. Saat Bapak masih hidup, semua terlihat normal. Namun, begitu pasak itu dicabut, tenda kita ikut berguncan
Aku tak sempat memikirkan masa lalu. Hanya masa depan kami yang kupikirkan. Bagaimana nasib anak-anak ke depan jika kerajaan bisnis Bapak tumbang? Aku tak ingin melihat anak-anakku hidup kekurangan seperti yang dulu kurasakan.“Aku akan cari tahu, Laras. Benar dia atau orang lain yang mengendalikannya. Tak akan kubiarkan rumah ini berpindah tangan.” Mata Mas Danu menjelajah ruang. Melihat aneka barang yang tertata seperti saat Ibu tiada. Tak banyak yang berubah. Bahkan, foto pernikahan kami yang dihelat demikian mewah, terpanjang di dinding dengan bingkai emas. Berjajar dengan foto Bapak dan Ibu yang duduk berdampingan di sofa besar. Foto itu diambil di ruang keluarga rumah ini. Sejenak, netra suamiku berdiam di sana. Menatap kedua wajah orang tuanya yang menyunggingkan senyum.“Rumah ini dipenuhi kenangan mereka ....” Suara pria berkulit bersih itu bergetar. Bola matanya berkaca-kaca, bak kristal lampu yang dari Eropa yang melengkapi desain rumah berarsitektur Mediteran.“Aku tumbuh
Di akhir hayat ini, aku tersadar bahwa hal yang banar-benar bisa dibawa pulang ke kampung akhirat hanyalah amal. Jadilah anak soleh yang menjadi amal jariyah bagi bapak dan ibu, sekalipun aku malu meminta itu darimu.Semoga kamu bisa jaya dengan kemampuanmu sendiri, hingga kamu bisa menghargai setiap proses. Semoga dengan ini, kamu juga bisa menguji sedalam apa cinta Larasati. Apakah hanya karena materi, atau sungguh cinta murni? Mampukah dia bertahan dalam kesetiaan saat ujian menerpa rumah tangga kalian dengan dahsyatnya? Sudikah dia memulai dari nol bersamamu jika tak ada sepeser pun warisan bapak yang jatuh pada kalian? Ataukah dia pergi ke pelukan pria lain yang menawarkan sesuatu yang lebih menggiurkan?Bagaimana pun arah peta hidup kamu selanjutnya, bapak berdoa semoga kamu bangga jadi diri sendiri. Semoga surat ini menjadi penjelas, jika nanti notaris datang membacakan surat wasiatku dan tak banyak yang bisa Bapak wariskan untuk kalian. Segera urus aset-aset yang memang bisa