“Danu sudah beristri! Ia punya kewajiban untuk menjaga hati istrinya!”“Aku tidak peduli! Jika dia sadar nanti, aku tak ingin Anda atau siapa pun menghalangi kami untuk bersama!” tekad Sekar tak mau diganggu gugat.“Baiklah, serahkan itu padanya! Jika dia sadar nanti, aku tak akan ikut campur lagi! Terserah dia, asal dia selamat,” jawab mertuaku.Terkoyak-koyak mendengarnya. Lemas seluruh raga.Jika dia sadar nanti.Jika dia sadar nanti.Jika dia sadar nanti.Kalimat itu terus menggema di relung kalbu. Jika dia sadar nanti, apa yang akan terjadi?Tak punya keberanian untuk terlibat di sana, aku melangkah gontai ke ruang tunggu.Air mata terus meluncur jatuh. Orang-orang melihat dengan penasaran, tapi tak kuhiraukan. Mungkin mereka mengira, aku menangis karena mengidap penyakit berat, atau kerabat ada yang terserang penyakit ganas. Bukankah banyak orang yang menangis di rumah sakit? Aku hanya salah satunya.Biarlah kulepaskan tangis, karena aku tak bisa berhenti menangis. Sekeras apa p
Mata pria tua itu bagai kuburan. Hilang bintang-bintang yang kemarin terlihat terang. Tubuhnya bergetar. Terlihat bersandar di bangku dingin, menunggu ruang operasi terbuka dan seseorang berbaju putih di sana mengatakan bahwa anaknya baik-baik saja.Sedangkan wanita itu, ia melihatku dengan api permusuhan. Bisa kulihat kebencian yang menyorot tajam membakarku.“Ini semua gara-gara kamu!” bentaknya marah. Ia berdiri dan menarik bajuku. “Keegoisanmu mencelakakan orang! Masih berani kamu di sini. Hah!” Ia mengguncang-guncang tubuhku. Menolak kehadiranku di sini. Mike yang sedari tadi mengikutiku segera menarik tubuh Sekar menjauh.“Jaga perilakumu!” perintahnya pada Sekar yang masih memaki-maki seperti kerasukan, “atau aku akan menyeretmu menjauh dari sini.”“Siapa kamu, berani menyeretku, Hah!” Wanita itu balas memukul-mukul tubuh Mike. Akan tetapi, Mike tak bergeming. Mungkin baginya, pukulan wanita itu tak berasa apa-apa. Hingga Sekar sendiri yang kelelahan dan memegangi perutnya. “Ad
“Pak, dokter ingin bertemu dengan wali pasien. Mungkin Anda harus bergegas ke sana untuk menandatangani beberapa persetujuan.” Mike muncul membawa informasi. Mas Danu sudah dibawa ke kamar rawat inap, tetapi sejak operasi ia belum sadarkan diri. Masih terbaring dengan aneka alat medis menancap di tubuhnya.Sekar melempar pandangan permusuhan pada Mike. Sedangkan Mike, melempar pandangan iba padaku. Aku sendiri tak berani menatap siapa-siapa. Terasa perih melihat perut Sekar. Menerka-nerka berapa usia kandungannya. Mungkin tiga sampai empat bulan.Tak berani pula, sedikit saja, mencuri pandang pada Mike. Perasaanku berkata, telaga yang memancar dari tubuhnya bisa membuatku ingin menenggelamkan diri di sana. Terlebih saat ini, saat aku butuh seseorang untuk menjadi pendongkrak semangat.Kembali kuambil gawai. Membuka aplikasi Quran. Duduk di sisi Mas Danu yang terpejam. Melantunkan ayat-ayat suci untuk menenangkan hati.Sekar tak mau kalah. Segera mengambil kursi dan duduk di sisi lain
Kuhela nafas, sabar. Saat ini posisiku tidak lebih kuat darinya. Aku membutuhkan Sekar untuk bisa bersimpati dan berbagi informasi. “Tolong, jangan begitu padaku. Hapuskan kebencianmu. Kita di satu posisi saat ini. Aku istrinya, kamu juga. Kita harus kompak demi kesembuhan Mas Danu.”Ia menggeleng. “Tidak. Mas Danu bukan kue yang bisa dibagi-bagi dengan adil dan merata. Aku tak akan membiarkan Mas Danu terus dilema. Jangan ganggu kami. Biarkan kami merawat cinta kami tanpa perlu memandang ke belakang.”Apa yang kutakutkan akhirnya jadi kenyataan. Inilah keinginan Sekar. Mungkin juga keinginan Mas Danu saat sadar nanti. Perpisahan tanpa perceraian.“Jangan rampas hak anak-anak atas ayahnya, Sekar! Kamu juga akan jadi ibu. Apakah kamu rela jika anak-anakmu kehilangan kasih dari ayahnya?”“Anak? Atas nama anak selama ini kamu menahannya?” cibirnya sinis. “Hey, hiduplah untuk dirimu sendiri. Anak atau orangtua, tak ada yang berhak mengatur hidup kita! Jangan libatkan orang lain untuk meng
“Bagaimana perasaanmu sekarang?” tanya beliau mengusikku. Mataku sedari tadi hanya memandangi susu hangat yang berubah dingin karena tak segera kuminum.Pertanyaan mertua membuat otakku berpikir keras. Bagaimana cara menyampaikan isi hatiku tanpa terkesan emosi? “Saya cemburu.” Hanya itu? Tidak, bukan hanya itu yang ingin kusampaikan padanya. “Saya juga ingin dicintai sebesar cinta Mas Danu untuk wanita itu.” Pertama kalinya aku berkata jujur di hadapannya. Spontan. Keberanian itu datang karena aku mengira sedang berbicara pada gelas di hadapanku yang sedari tadi kupandangi. Tak sekalipun kudongakkan muka untuk melihat langsung wajahnya, sekalipun hanya satu kerutan.“Cinta yang belum mati, menumbuhkan rasa penasaran. Rasa penasaran mendorong seseorang untuk bertualang. Danu sedang bertualang. Mungkin ia akan pulang padamu atau malah tinggal bersama surga baru yang ia temu.”Dadaku terasa kian sesak. Ada gumpalan emosi yang membebani.“Perasaan cinta tidak bisa dipaksakan. Kadang
“Mbak, mau kuliah? Sungguhan?” tanya Caca tak percaya bahwa keinginan itu keluar dari diriku sendiri.“Hem ....” Dibantu atau tidak dibantu olehnya, aku akan tetap mengambil kesempatan itu. Seperti kata mertuaku, aku harus mencintai diriku sendiri. Toh, cinta yang kuyakini, yang membuatku rela mati rasa, telah tiada. Tak ada akses ke sana. Aku sungguh buta!‘Bebaskan dirimu!’ ucapan wanita jahat itu seolah racun yang terus meremas-remas ingatan.Jadi aku tahanan di matanya? Atau budak?‘Ikhlaskan jika jodohmu dengan Danu tak panjang. Ubah dirimu menjadi wanita yang gemilang!’ Nasihat terakhir mertuaku berputar ulang.Jadi aku wanita yang suram? Wanita yang tak layak diperhitungkan!“Rekomendasikan padaku, klinik skincare yang bagus. Aku ingin memiliki kulit yang kencang dan bersinar seperti kulitmu,” pintaku di lain waktu pada Caca. Satu-satunya pihak keluarga yang masih bisa kumintai tolong. Tentu saja, lepas dari urusan Mas Danu, karena ia mengaku juga tak tahu.Entah, mengapa aku m
“Oh ... you’re right! I agree with you.” Staf admin yang kutaksir berusia 22 tahun itu tersenyum manis pada Mike. Agaknya, ia menaruh rasa pada Mike. Memang sulit menampik pesona pria bermata biru itu.Seseorang dengan wajah bule natural datang menghampiri Mike. Mereka terlihat akrab. Mike langsung meninggalkan kami dan pergi bersama pria yang tingginya sepantaran tinggi Mike. Seolah tak penting, ada aku atau tidak ada aku, di depannya. Sekedar melihat punggung pria itu saja sudah menimbulkan desir aneh. Sehingga aku harus berkali-kali mengedipkan mata untuk membuang semua bayangannya.Staf admin langsung mengubah jam belajarku. Mengaturnya agar tidak perlu bertemu kelas dengan Mike. Bagusnya pelayanan di tempat mahal adalah murid bisa memilih siapa yang jadi tutornya.Ia menjelaskan bahwa Mike hanyalah tutor tamu yang mengajar secara eksklusif di kelas-kelas perdana untuk menyapa peserta kursus. Sesekali ia juga mengajar secara khusus sesuai kebutuhan peserta tertentu. Namun jika pe
“Cappucino,” ia menawarkan kopi lain yang dipegang tangan kirinya, “or you want Americano? Jangan khawatir, keduanya belum kuminum,” imbuhnya.Karena tidak terlalu paham kopi, jadi aku menerima apa saja yang ia berikan. Toh, aku tidak terlalu suka kopi.“Turun! Nonton dari dekat lebih nikmat!” ajaknya. “Tidak, terima kasih. Aku ingin di sini saja.”“Kalau begitu boleh aku masuk dan menemanimu sampai kopimu habis?”Dua mata biru itu kembali hangat dan ramah. Sulit sekali menolaknya. Bukankah ini yang kuinginkan tadi? Sekedar minum kopi bagai teman baik. Belum ada 12 jam dan keinginan itu hampir terwujud. Haruskah aku menghindar lagi dan merasa sakit hati lagi?Setan dalam diriku mengatakan, ‘Sekali saja mencoba. Mengapa tidak? Kamu juga butuh teman yang bisa membuatmu merasa senang.’Daripada kami berada di dalam mobil berdua, lebih nyaman jika berbaur dengan orang-orang di trotoar yang asyik menikmati minuman dari mobile coffee yang berjajar di sepanjang jalan.Mike tersenyum. Puas
“Usahamu ‘kan masih bisa berjalan dengan baik, Mas. Dulu, Mas tak mau bekerja di perusahaan Bapak. Memilih berdikari di atas kaki sendiri. Mengapa sekarang harus mengandalkan harta Bapak untuk sukses?”“Dulu aku punya Sekar yang membantuku memenangkan banyak tender. Dia pintar melobi orang. Sekarang aku sering tak beruntung.”Hatiku retak mendengar jawabannya. Mengapa harus mengungkit jasa wanita itu dalam hidupnya. Itu seperti menyindirku yang tak bisa melakukan apa-apa untuk membantunya, kecuali berdoa.“Maaf, Sayang. Aku tidak bermaksud membuatmu cemburu dengan ceritaku. Aku hanya ....”“Sudahlah, Mas. Tak perlu kaujelaskan. Semua terang bagiku. Dia adalah batu berlian, sementara aku batu kerikil.”“Bukan begitu ... bukan begitu maksudku. Maafkan aku salah bicara. Seharusnya tak kusebut-sebut namanya saat bersamamu.”Senyum tipis kuberikan. Sekadar menenangkan. Sekalipun aku tak tenang, merasa tak berguna sebagai pasangannya.Dia memandangku dengan tatapan yang aneh. Tatapan yang m
Ini cinta yang berat, juga rumit. Di sisi hati, aku benci. Di sisi lain begitu mencintai. Di satu waktu, aku ragu. Di lain waktu, begitu menggebu. Adakah aku akan tetap berdiri di sisinya sekuat baja?___Kugandeng tangan Mas Danu. Membawanya menjauh dari rubah betina itu. Namun, kaki suamiku seolah terpaku. Tak bergerak dari tempatnya berdiri. Mungkinkah, dia jatuh cinta lagi?Mas Danu melepas pegangan tanganku, berjalan mengejar wanita itu, lalu memegang tangan Sekar hingga wanita itu berbalik. Menatapnya dengan pandangan penuh kebahagiaan. Ia menang. Sekali lagi ... dia menang dan menempatkan diriku sebagai pecundang. Rasa sakit melihat itu, membunuhku. Aku tak mampu bertahan lagi dengan siksa batin ini.Sekar langsung bergerak hendak memeluk Mas Danu, hingga aku tak sanggup memandang dan memilih memejamkan mata. Terkatup bersama bulir kristal bening yang merembes, membasahi pipi.“Jangan! Hubungan kita sudah berakhir.” Suara Mas Danu terdengar jelas. Segera kubuka mata untuk melih
Biarlah yang lalu terbawa angin, agar yang sekarang bisa hidup dengan tenang, tanpa beban, ataupun penyesalan.___“Siapa, Mas?”Masih bergeming. Mas Danu mendadak beku. Tak dihiraukannya lagi ponsel yang terjatuh ke lantai. Apalagi menjawab pertanyaanku.Kuputuskan menghampiri dan menggoyang tubuhnya. Ia pun tersentak kaget. Kedua tangannya mencengkeram tubuhku erat.“Kamu tidak akan percaya ini, Laras. Dia ....”Aku melihatnya kebingungan. Sebenarnya apa yang terjadi?Apakah ini tentang Caca? Mas Danu tak tahu bahwa aku sudah memegang separuh rahasia Bapak.“Pemilik rumah ini adalah ....” Mas Danu sulit sekali berkata-kata. Mengusap wajahnya berulang-ulang. Lalu memegang dadanya dengan pandangan nanar. Siapa?“Dia ... Sekar.” Lirih suaranya, tapi dahsyat akibatnya.“Sekar, Mas?” Tanganku mencengkeram sisi meja agar tidak jatuh pingsan. Dia, wanita itu kembali setelah sekian lama. Tak mungkin rumah ini menarik baginya. Pasti ada hal lain yang hendak dia rebut dariku. Mas Danu.Kugele
Aku pernah menentang niat baik istriku yang hendak menjadikan kamu menantu. Keberadaanmu menyiksaku. Namun, kamu tahu apa yang dikatakan istriku? Dia bilang, “Justru aku harus berada di dekatnya, sebab jalan takdir kalian tak akan jadi serumit ini jika malam itu aku tidak menemuimu.”Di situ aku terenyak. Menyadari istriku sengaja datang. Dia membaca surat-suratku untuk ibumu. Ia bilang, “Aku jatuh cinta padamu, lewat kata yang kau untai untuk sahabatku.” Jadi dia sengaja datang ke tempat seharusnya aku bertemu ibumu. Dia ingin menghiburku. Tanpa tahu aku sudah memilih alkohol untuk menemaniku.Dia merasa, dirinya yang membuat hidup kita berantakan. Pernahkah kamu melihat cinta sebodoh itu? Cobalah bercermin. Karena cinta yang bodoh itu, juga pernah kamu rasakan untuk anakku. Juga pernah kurasakan pada ibumu. Juga pernah dirasakan Danu pada Sekar. Hampir dari kita semua, pernah menjadi bodoh karena cinta. Merasa cinta adalah segalanya. Padahal, itu hanya ilusi. Hanya sebuah perasaan y
“Sebaiknya kita kembali ke rumah kita, Mas. Di sini banyak duka yang membayang.” Setelah Mas Danu pulih sempurna, aku segera mengajukan keinginan yang lama terpendam. Rasanya tak betah terus berada di rumah ini. Penuh foto Bapak yang membuatku muak.“Duka itu ada di hati, terbawa ke mana pun kita pergi.” Ia duduk di balkon favoritnya untuk membaca koran. Secangkir wedang jahe—kesukaan Bapak—tersaji. Padahal, dulu Mas Danu tak suka minum wedang jahe. Ia lebih suka minum teh atau kopi. Semakin hari, ia semakin mirip dengan Bapak mertuaku itu. Mungkinkah ini hanya bayanganku saja?“Aku sudah menghubungi pihak bank. Rumah ini masuk daftar lelang. Jadi, bukan sehari dua hari ini terjadi. Semua sudah dijalankan diam-diam sejak lama oleh Caca. Aku akan merebut kembali semua milikku.” Dingin dalam suara itu membuatku kembali teringat almarhum Bapak. Akankah suamiku berubah menjadi pria ambisius yang mencintai bisnis dibanding keluarga?“Tak bisakah Mas relakan? Kita masih punya banyak hal ber
Kuambil tisu dan menyeka beberapa keringat di wajahnya. Padahal AC mobil menyala, tapi bisa-bisanya ia berkeringat.“Jangan pikirkan hal-hal berat dulu, Mas. Kamu baru keluar dari rumah sakit. Sebaiknya kita pulang dan istirahat. Apa gunanya banyak harta jika tubuh sakit?”Dia diam, tak bersuara. Masih memijat kepalanya dengan wajah meringis menahan sakit. Segera kupasangkan seatbelt ke tubuhnya dan menyetir pulang.Meski dipaksa beristirahat, Mas Danu tetap gelisah dalam tidurnya. Ini memang tak mudah bagi kami. Tiba-tiba saja, kemewahan yang kami nikmati selama ini direnggut paksa. Bagai penduduk pribumi yang didepak kompeni. Kami tertipu oleh serigala berbulu domba.“Tidak, Bapak ... Bapak ... kembali. Kembalilah! Jangan pergi!” Mas Danu mengigau dalam tidurnya. Kusentuh keningnya, panas. Dia kembali demam. Kepanikan melanda diriku yang bingung harus bagaimana dalam situasi semacam ini. Suamiku yang kuharapkan bisa berdiri tegak, justru berulang kali jatuh sakit. Masalah bertubi-tu
“Mungkin kamu tak sadar, tapi ciuman tadi adalah kemesraan pertama kita setelah Bapak tiada.” Lirih suara Mas Danu terdengar seperti pria yang lama menanti pujaan hati. Rasa bersalah menghantam, menggoyahkan nurani.Masalah ini membuat kami menyatu kembali. Setelah sebulan lebih aku membentengi diri karena dendam yang tiba-tiba menyulut hati. Surat Bapak telah menjadi tembok tinggi bagi hubungan kami. Sering tiba-tiba terlintas dalam hati, meninggalkan Mas Danu untuk lepas dari bayang masa lalu. Merasa bersalah pada kedua orang tuaku, telah hidup berbahagia dengan orang yang membuat keluarga kami sengsara. Kakek nenek, mereka mungkin juga mengutuk diriku yang mencintai keturunan pria penghancur keluarga. Namun, aku bisa apa jika hati selalu tergerak untuk mencinta?“Ini seperti petualangan di gunung yang curam. Aku harus mendaki, mencari misteri yang tersembunyi di gelapnya hutan. Saat Bapak masih hidup, semua terlihat normal. Namun, begitu pasak itu dicabut, tenda kita ikut berguncan
Aku tak sempat memikirkan masa lalu. Hanya masa depan kami yang kupikirkan. Bagaimana nasib anak-anak ke depan jika kerajaan bisnis Bapak tumbang? Aku tak ingin melihat anak-anakku hidup kekurangan seperti yang dulu kurasakan.“Aku akan cari tahu, Laras. Benar dia atau orang lain yang mengendalikannya. Tak akan kubiarkan rumah ini berpindah tangan.” Mata Mas Danu menjelajah ruang. Melihat aneka barang yang tertata seperti saat Ibu tiada. Tak banyak yang berubah. Bahkan, foto pernikahan kami yang dihelat demikian mewah, terpanjang di dinding dengan bingkai emas. Berjajar dengan foto Bapak dan Ibu yang duduk berdampingan di sofa besar. Foto itu diambil di ruang keluarga rumah ini. Sejenak, netra suamiku berdiam di sana. Menatap kedua wajah orang tuanya yang menyunggingkan senyum.“Rumah ini dipenuhi kenangan mereka ....” Suara pria berkulit bersih itu bergetar. Bola matanya berkaca-kaca, bak kristal lampu yang dari Eropa yang melengkapi desain rumah berarsitektur Mediteran.“Aku tumbuh
Di akhir hayat ini, aku tersadar bahwa hal yang banar-benar bisa dibawa pulang ke kampung akhirat hanyalah amal. Jadilah anak soleh yang menjadi amal jariyah bagi bapak dan ibu, sekalipun aku malu meminta itu darimu.Semoga kamu bisa jaya dengan kemampuanmu sendiri, hingga kamu bisa menghargai setiap proses. Semoga dengan ini, kamu juga bisa menguji sedalam apa cinta Larasati. Apakah hanya karena materi, atau sungguh cinta murni? Mampukah dia bertahan dalam kesetiaan saat ujian menerpa rumah tangga kalian dengan dahsyatnya? Sudikah dia memulai dari nol bersamamu jika tak ada sepeser pun warisan bapak yang jatuh pada kalian? Ataukah dia pergi ke pelukan pria lain yang menawarkan sesuatu yang lebih menggiurkan?Bagaimana pun arah peta hidup kamu selanjutnya, bapak berdoa semoga kamu bangga jadi diri sendiri. Semoga surat ini menjadi penjelas, jika nanti notaris datang membacakan surat wasiatku dan tak banyak yang bisa Bapak wariskan untuk kalian. Segera urus aset-aset yang memang bisa