“Oh ... you’re right! I agree with you.” Staf admin yang kutaksir berusia 22 tahun itu tersenyum manis pada Mike. Agaknya, ia menaruh rasa pada Mike. Memang sulit menampik pesona pria bermata biru itu.Seseorang dengan wajah bule natural datang menghampiri Mike. Mereka terlihat akrab. Mike langsung meninggalkan kami dan pergi bersama pria yang tingginya sepantaran tinggi Mike. Seolah tak penting, ada aku atau tidak ada aku, di depannya. Sekedar melihat punggung pria itu saja sudah menimbulkan desir aneh. Sehingga aku harus berkali-kali mengedipkan mata untuk membuang semua bayangannya.Staf admin langsung mengubah jam belajarku. Mengaturnya agar tidak perlu bertemu kelas dengan Mike. Bagusnya pelayanan di tempat mahal adalah murid bisa memilih siapa yang jadi tutornya.Ia menjelaskan bahwa Mike hanyalah tutor tamu yang mengajar secara eksklusif di kelas-kelas perdana untuk menyapa peserta kursus. Sesekali ia juga mengajar secara khusus sesuai kebutuhan peserta tertentu. Namun jika pe
“Cappucino,” ia menawarkan kopi lain yang dipegang tangan kirinya, “or you want Americano? Jangan khawatir, keduanya belum kuminum,” imbuhnya.Karena tidak terlalu paham kopi, jadi aku menerima apa saja yang ia berikan. Toh, aku tidak terlalu suka kopi.“Turun! Nonton dari dekat lebih nikmat!” ajaknya. “Tidak, terima kasih. Aku ingin di sini saja.”“Kalau begitu boleh aku masuk dan menemanimu sampai kopimu habis?”Dua mata biru itu kembali hangat dan ramah. Sulit sekali menolaknya. Bukankah ini yang kuinginkan tadi? Sekedar minum kopi bagai teman baik. Belum ada 12 jam dan keinginan itu hampir terwujud. Haruskah aku menghindar lagi dan merasa sakit hati lagi?Setan dalam diriku mengatakan, ‘Sekali saja mencoba. Mengapa tidak? Kamu juga butuh teman yang bisa membuatmu merasa senang.’Daripada kami berada di dalam mobil berdua, lebih nyaman jika berbaur dengan orang-orang di trotoar yang asyik menikmati minuman dari mobile coffee yang berjajar di sepanjang jalan.Mike tersenyum. Puas
“Bagaimana kabarnya? Kamu tahu? Apakah dia sudah sadar? Bagai kakinya? Tidak jadi lumpuhkan? Sudah sejauh apa kemajuannya? Apakah Sekar merawatnya dengan baik?”Mike mengerutkan kening. Memasang wajah masam. “Pertanyaan yang beruntun. Mengapa tak berhenti penasaran dan memulai memantaskan diri hingga ia kembali?” sarannya.“Banyak yang telah berubah darimu, Laras, tetapi kuharap kamu tak pernah kehilangan jati diri. Kamu wanita yang baik dan tetaplah jadi baik. Jangan jadi munafik dan membohongi diri sendiri demi sebuah eksistensi. Ketika kamu merasa tak nyaman, memaksakan diri hanya akan membuatmu berselimut kepalsuan. Bisakah kamu bebaskan diri dari aneka beban perasaan?”Bagaimana dia tahu bahwa aku begitu terbebani dengan semua ini? Sekentara itukah?“Kamu adalah kamu. Mencintai diri sendiri tak perlu dengan meniru-niru orang lain.”Kress. Paper cup milikku yang isinya telah habis kuremas hingga gepeng.Bahkan sebagai peniru pun, aku adalah peniru yang buruk sehingga bisa ia baca
Baru saja hendak kujawab ketika adik tirinya datang dengan dua porsi besar roti bakar.“Yeay, kita punya dua roti bakar istimewa. Satu cheese dan satunya chocolate. Laras, kamu suka yang mana?”Mendongak, memandang padanya. Aku belum tahu namanya, bagaimana ia bisa tahu namaku? Bukankah kami belum berkenalan?“Aku tahu namamu dari Mikey, ia sering bercerita tentangmu,” ujarnya sambil menyenggol bahu sang kakak.“Awas, jangan keceplosan lagi! Aku stop uang jajanmu nanti!” ancam Mike pada adiknya. Si gadis pirang langsung membentuk isyarat siap mengunci mulut.Mata wanita itu berpindah ke paper cup-ku yang sudah tak berbentuk setelah kuremas.“Wah, kopimu sudah habis. Kamu harus pesan minuman lain agar bisa menelan semua roti ini tanpa tersedak. Do you want something?”“Lemon tea, ada?”Adiknya mengangguk dan kembali ke kedai dengan lincah. Kakinya sangat ringan dan ia terus saja berjalan dengan gerakan menari, membuat rambut ekor kudanya bergoyang-goyang. Keceriaan gadis itu mengingatk
Tertera nama nanny yang mengurus Hawa.Masih dengan dada berdebar menerima panggilannya. “Ya, Mbak. Ada apa?” Gugup, apa yang akan terjadi jika tak ada dering gawai malam ini?“Maaf, Bu, masih lama pulangnya?” suaranya terdengar takut. Tak biasanya ia meneleponku, kecuali benar-benar ada yang mendesak.Naluri keibuanku aktif kembali. “Hawa enggak papa ‘kan, Mbak?” cemasku. Mike ikut menyimak, melihatku cemas agaknya menularkan kecemasan yang sama di parasnya.“Dek Hawa enggak mau tidur dan minum susu. Katanya mau nenen sama mama.”Hawa minta nenen? Sudah lama ia minum ASI via botol, bahkan sering menolak jika aku menyusuinya. Kenapa malam ini tiba-tiba Hawa begitu? Nalurinyakah sebagai anak? Jadi ini pertanda Tuhan bahwa anakku tak rela ibunya bermain-main dengan pria lain?“Aku akan segera pulang, Mbak. Bentar lagi sampai.” Segera aku berdiri. Menyambar tasku, dengan gawai masih menempel di telinga. Lupa berpamitan pada Mike yang tentu saja, langsung mengejarku.“Tunggu, Laras!” cega
Ia juga menyuapiku ketika luka di perutku pascaoperasi belum mengering. “Hati-hati. Biar aku saja,” katanya begitu melihatku kesulitan menyuap makanan. Kukira, lambat laun kami akan jadi pasangan sejati.“Aku mungkin tak bisa memberikan hatiku untukmu, namun aku bisa memberimu nafkah lahir dan batin, sesuai kemampuanku. Maaf jika hanya ragaku yang kamu miliki, sebab kamu tahu di mana hatiku berada.”Sekalipun kata-kata itu ia berikan padaku sebagai cambuk peringatan, namun kami bisa menutupinya dari orang-orang. Hingga berita perselingkuhannya menyambar-nyambar, aku masih memilih menutup mata.Tidak, Mas Danu tak mungkin begitu. Tak mungkin ia menistakan diri dan wanita yang ia cintai dengan skandal kotor, sanggahku. Akan tetapi, semua terbukti. Bahkan, ia pun tak menutupinya lagi. Api di dalam sekam, akhirnya membakar hutan. Tak ada yang tersisa, selain rasaku yang masih sekuat baja.***Sambil menyusui, kupandangi layar gawai. Seribu pesan yang kukirim ke gawai Mas Danu tak terba
“Ternyata kamu sangat bijaksana. Namun, jika tamu itu membawa senjata dan hendak membunuhmu, bukankah seharusnya kamu lari? Minimal melawan.”“Jika melawan, aku pasti kalah. Jika berlari, rumahku akan kosong, dan aku terpaksa menggelandang di jalanan sebagai fakir miskin.”“Kamu takut miskin?” terdengar suaranya mengejek.“Miskinnya manusia adalah tak punya amalan apa-apa untuk membeli tiket surga. Bukan masalah harta. Karena bagi seorang muslim, harta sejati yang bisa ia bawa hanyalah amal.”Aku tahu Mike adalah seorang mualaf. Namun, sepanjang yang kulihat, Mike bukanlah mualaf yang rajin beribadah. Sehari-hari, ia lebih mirip non muslim karena saat hari Jumat pun, Mike tak ikut ke masjid bersama karyawan pria lainnya. Menurut kabar, Mike menjadi mualaf karena hendak menikahi muslimah tetapi gagal. Meski begitu, Mike tak kembali pada keyakinan lama karena berpendapat bahwa apa sudah diputuskan, tak boleh disesali.“Apa hubungannya dengan pernikahanmu, Laras?”“Mas Danu adalah tiket
Waktu terus berputar, tak menunggu satu detik pun untuk terjeda dalam keterpurukan.Pilihan hidup yang telah diputuskan, haruslah dipertanggung-jawabkan. Maaf, jika aku tak sesuai harapan kalian, tetapi inilah pilihan hidupku, menjadi setia meski kekasih hati mengkhianati.Nama Larasati terpampang di papan pengumuman sebagai salah satu karyawan yang terlibat proyek pembangunan hotel di luar kota. Sebelumnya, mana pernah aku dilibatkan dalam proyek besar semacam ini?Aku hanya dianggap karyawan titipan, yang statusnya tak lebih hebat dari karyawan magang. Tak banyak tanggung jawab yang kupegang, karena misi awal dikirim ke perusahaan ini hanya untuk belajar mengenal dunia luar. Namun, semua ujian rumah tangga yang terjadi, membuatku berambisi menggali potensi diri. Aku juga ingin dipandang berarti. Terutama oleh Mas Danu dan Sekar. Tak mau lagi diremehkan bagai remahan roti basi.Kini, aku bukan hanya karyawan titipan, tapi sudah bergerak menuju karyawan tetap. Ingin terus naik hingga
“Usahamu ‘kan masih bisa berjalan dengan baik, Mas. Dulu, Mas tak mau bekerja di perusahaan Bapak. Memilih berdikari di atas kaki sendiri. Mengapa sekarang harus mengandalkan harta Bapak untuk sukses?”“Dulu aku punya Sekar yang membantuku memenangkan banyak tender. Dia pintar melobi orang. Sekarang aku sering tak beruntung.”Hatiku retak mendengar jawabannya. Mengapa harus mengungkit jasa wanita itu dalam hidupnya. Itu seperti menyindirku yang tak bisa melakukan apa-apa untuk membantunya, kecuali berdoa.“Maaf, Sayang. Aku tidak bermaksud membuatmu cemburu dengan ceritaku. Aku hanya ....”“Sudahlah, Mas. Tak perlu kaujelaskan. Semua terang bagiku. Dia adalah batu berlian, sementara aku batu kerikil.”“Bukan begitu ... bukan begitu maksudku. Maafkan aku salah bicara. Seharusnya tak kusebut-sebut namanya saat bersamamu.”Senyum tipis kuberikan. Sekadar menenangkan. Sekalipun aku tak tenang, merasa tak berguna sebagai pasangannya.Dia memandangku dengan tatapan yang aneh. Tatapan yang m
Ini cinta yang berat, juga rumit. Di sisi hati, aku benci. Di sisi lain begitu mencintai. Di satu waktu, aku ragu. Di lain waktu, begitu menggebu. Adakah aku akan tetap berdiri di sisinya sekuat baja?___Kugandeng tangan Mas Danu. Membawanya menjauh dari rubah betina itu. Namun, kaki suamiku seolah terpaku. Tak bergerak dari tempatnya berdiri. Mungkinkah, dia jatuh cinta lagi?Mas Danu melepas pegangan tanganku, berjalan mengejar wanita itu, lalu memegang tangan Sekar hingga wanita itu berbalik. Menatapnya dengan pandangan penuh kebahagiaan. Ia menang. Sekali lagi ... dia menang dan menempatkan diriku sebagai pecundang. Rasa sakit melihat itu, membunuhku. Aku tak mampu bertahan lagi dengan siksa batin ini.Sekar langsung bergerak hendak memeluk Mas Danu, hingga aku tak sanggup memandang dan memilih memejamkan mata. Terkatup bersama bulir kristal bening yang merembes, membasahi pipi.“Jangan! Hubungan kita sudah berakhir.” Suara Mas Danu terdengar jelas. Segera kubuka mata untuk melih
Biarlah yang lalu terbawa angin, agar yang sekarang bisa hidup dengan tenang, tanpa beban, ataupun penyesalan.___“Siapa, Mas?”Masih bergeming. Mas Danu mendadak beku. Tak dihiraukannya lagi ponsel yang terjatuh ke lantai. Apalagi menjawab pertanyaanku.Kuputuskan menghampiri dan menggoyang tubuhnya. Ia pun tersentak kaget. Kedua tangannya mencengkeram tubuhku erat.“Kamu tidak akan percaya ini, Laras. Dia ....”Aku melihatnya kebingungan. Sebenarnya apa yang terjadi?Apakah ini tentang Caca? Mas Danu tak tahu bahwa aku sudah memegang separuh rahasia Bapak.“Pemilik rumah ini adalah ....” Mas Danu sulit sekali berkata-kata. Mengusap wajahnya berulang-ulang. Lalu memegang dadanya dengan pandangan nanar. Siapa?“Dia ... Sekar.” Lirih suaranya, tapi dahsyat akibatnya.“Sekar, Mas?” Tanganku mencengkeram sisi meja agar tidak jatuh pingsan. Dia, wanita itu kembali setelah sekian lama. Tak mungkin rumah ini menarik baginya. Pasti ada hal lain yang hendak dia rebut dariku. Mas Danu.Kugele
Aku pernah menentang niat baik istriku yang hendak menjadikan kamu menantu. Keberadaanmu menyiksaku. Namun, kamu tahu apa yang dikatakan istriku? Dia bilang, “Justru aku harus berada di dekatnya, sebab jalan takdir kalian tak akan jadi serumit ini jika malam itu aku tidak menemuimu.”Di situ aku terenyak. Menyadari istriku sengaja datang. Dia membaca surat-suratku untuk ibumu. Ia bilang, “Aku jatuh cinta padamu, lewat kata yang kau untai untuk sahabatku.” Jadi dia sengaja datang ke tempat seharusnya aku bertemu ibumu. Dia ingin menghiburku. Tanpa tahu aku sudah memilih alkohol untuk menemaniku.Dia merasa, dirinya yang membuat hidup kita berantakan. Pernahkah kamu melihat cinta sebodoh itu? Cobalah bercermin. Karena cinta yang bodoh itu, juga pernah kamu rasakan untuk anakku. Juga pernah kurasakan pada ibumu. Juga pernah dirasakan Danu pada Sekar. Hampir dari kita semua, pernah menjadi bodoh karena cinta. Merasa cinta adalah segalanya. Padahal, itu hanya ilusi. Hanya sebuah perasaan y
“Sebaiknya kita kembali ke rumah kita, Mas. Di sini banyak duka yang membayang.” Setelah Mas Danu pulih sempurna, aku segera mengajukan keinginan yang lama terpendam. Rasanya tak betah terus berada di rumah ini. Penuh foto Bapak yang membuatku muak.“Duka itu ada di hati, terbawa ke mana pun kita pergi.” Ia duduk di balkon favoritnya untuk membaca koran. Secangkir wedang jahe—kesukaan Bapak—tersaji. Padahal, dulu Mas Danu tak suka minum wedang jahe. Ia lebih suka minum teh atau kopi. Semakin hari, ia semakin mirip dengan Bapak mertuaku itu. Mungkinkah ini hanya bayanganku saja?“Aku sudah menghubungi pihak bank. Rumah ini masuk daftar lelang. Jadi, bukan sehari dua hari ini terjadi. Semua sudah dijalankan diam-diam sejak lama oleh Caca. Aku akan merebut kembali semua milikku.” Dingin dalam suara itu membuatku kembali teringat almarhum Bapak. Akankah suamiku berubah menjadi pria ambisius yang mencintai bisnis dibanding keluarga?“Tak bisakah Mas relakan? Kita masih punya banyak hal ber
Kuambil tisu dan menyeka beberapa keringat di wajahnya. Padahal AC mobil menyala, tapi bisa-bisanya ia berkeringat.“Jangan pikirkan hal-hal berat dulu, Mas. Kamu baru keluar dari rumah sakit. Sebaiknya kita pulang dan istirahat. Apa gunanya banyak harta jika tubuh sakit?”Dia diam, tak bersuara. Masih memijat kepalanya dengan wajah meringis menahan sakit. Segera kupasangkan seatbelt ke tubuhnya dan menyetir pulang.Meski dipaksa beristirahat, Mas Danu tetap gelisah dalam tidurnya. Ini memang tak mudah bagi kami. Tiba-tiba saja, kemewahan yang kami nikmati selama ini direnggut paksa. Bagai penduduk pribumi yang didepak kompeni. Kami tertipu oleh serigala berbulu domba.“Tidak, Bapak ... Bapak ... kembali. Kembalilah! Jangan pergi!” Mas Danu mengigau dalam tidurnya. Kusentuh keningnya, panas. Dia kembali demam. Kepanikan melanda diriku yang bingung harus bagaimana dalam situasi semacam ini. Suamiku yang kuharapkan bisa berdiri tegak, justru berulang kali jatuh sakit. Masalah bertubi-tu
“Mungkin kamu tak sadar, tapi ciuman tadi adalah kemesraan pertama kita setelah Bapak tiada.” Lirih suara Mas Danu terdengar seperti pria yang lama menanti pujaan hati. Rasa bersalah menghantam, menggoyahkan nurani.Masalah ini membuat kami menyatu kembali. Setelah sebulan lebih aku membentengi diri karena dendam yang tiba-tiba menyulut hati. Surat Bapak telah menjadi tembok tinggi bagi hubungan kami. Sering tiba-tiba terlintas dalam hati, meninggalkan Mas Danu untuk lepas dari bayang masa lalu. Merasa bersalah pada kedua orang tuaku, telah hidup berbahagia dengan orang yang membuat keluarga kami sengsara. Kakek nenek, mereka mungkin juga mengutuk diriku yang mencintai keturunan pria penghancur keluarga. Namun, aku bisa apa jika hati selalu tergerak untuk mencinta?“Ini seperti petualangan di gunung yang curam. Aku harus mendaki, mencari misteri yang tersembunyi di gelapnya hutan. Saat Bapak masih hidup, semua terlihat normal. Namun, begitu pasak itu dicabut, tenda kita ikut berguncan
Aku tak sempat memikirkan masa lalu. Hanya masa depan kami yang kupikirkan. Bagaimana nasib anak-anak ke depan jika kerajaan bisnis Bapak tumbang? Aku tak ingin melihat anak-anakku hidup kekurangan seperti yang dulu kurasakan.“Aku akan cari tahu, Laras. Benar dia atau orang lain yang mengendalikannya. Tak akan kubiarkan rumah ini berpindah tangan.” Mata Mas Danu menjelajah ruang. Melihat aneka barang yang tertata seperti saat Ibu tiada. Tak banyak yang berubah. Bahkan, foto pernikahan kami yang dihelat demikian mewah, terpanjang di dinding dengan bingkai emas. Berjajar dengan foto Bapak dan Ibu yang duduk berdampingan di sofa besar. Foto itu diambil di ruang keluarga rumah ini. Sejenak, netra suamiku berdiam di sana. Menatap kedua wajah orang tuanya yang menyunggingkan senyum.“Rumah ini dipenuhi kenangan mereka ....” Suara pria berkulit bersih itu bergetar. Bola matanya berkaca-kaca, bak kristal lampu yang dari Eropa yang melengkapi desain rumah berarsitektur Mediteran.“Aku tumbuh
Di akhir hayat ini, aku tersadar bahwa hal yang banar-benar bisa dibawa pulang ke kampung akhirat hanyalah amal. Jadilah anak soleh yang menjadi amal jariyah bagi bapak dan ibu, sekalipun aku malu meminta itu darimu.Semoga kamu bisa jaya dengan kemampuanmu sendiri, hingga kamu bisa menghargai setiap proses. Semoga dengan ini, kamu juga bisa menguji sedalam apa cinta Larasati. Apakah hanya karena materi, atau sungguh cinta murni? Mampukah dia bertahan dalam kesetiaan saat ujian menerpa rumah tangga kalian dengan dahsyatnya? Sudikah dia memulai dari nol bersamamu jika tak ada sepeser pun warisan bapak yang jatuh pada kalian? Ataukah dia pergi ke pelukan pria lain yang menawarkan sesuatu yang lebih menggiurkan?Bagaimana pun arah peta hidup kamu selanjutnya, bapak berdoa semoga kamu bangga jadi diri sendiri. Semoga surat ini menjadi penjelas, jika nanti notaris datang membacakan surat wasiatku dan tak banyak yang bisa Bapak wariskan untuk kalian. Segera urus aset-aset yang memang bisa