Pov Emir"Selamat menempuh hidup baru lagi. Mas akan selalu mendoakan semoga kalian berbahagia sampai maut memisahkan."Doa yang aku ucapkan untuk Khanza benar-benar tulus. Mantan istri yang masih sangat kucintai itu memang berhak mendapatkan kebahagiaan bersama pria yang tepat untuknya. Dokter Wildan. Pria itu sudah sah menjadi suami Khanza, menggantikan diriku yang kini harus mengikhlaskan mereka berdua. Benar apa yang dikatakan Papa. Tidak semua hal yang kita inginkan akan kita dapatkan, termasuk ketika aku ingin memiliki Khanza kembali. Aku yang telah menyakitinya. Aku juga yang telah membuang dengan memilih melepaskannya. Kini aku harus memetik hasil dari keputusanku tersebut. Mengikhlaskan ia bersama pria lain yang jauh lebih baik dariku. "Terima kasih, Mas."Suara lembutnya terdengar bergetar. Ia menangis. Entah karena bahagia atau justru karena mengasihani mantan suaminya ini. Tidak. Aku tidak boleh membuatnya menangis, apalagi di hari bahagianya. Karena itulah, aku bergeg
Keinginan Kiyomi untuk berpindah agama ternyata tidak main-main. Ia sangat antusias ketika aku mempertemukan dia dengan Ustadz Hakim. Semoga saja jalannya dipermudah hingga ia benar-benar diberi hidayah untuk berubah. Aku sendiri memilih berpamitan setelah menitipkan Kiyomi di sana. Awalnya wanita itu keberatan, tetapi aku meyakinkan dia bahwa aku akan sesekali mengunjunginya. Jujur aku masih tidak menduga dia bisa senekat itu demi seorang pria. Bahkan Kiyomi sampai menentang kedua orang tuanya karena melarang gadis itu berpindah agama. Cinta memang buta dan pepatah itu benar adanya. Namun, aku salut karena dengan kejadian ini, Kiyomi berniat memeluk Islam dan semoga saja ia akan Istiqomah dengan niatnya tersebut. Dua bulan sudah gadis itu tinggal di Pondok dan aku belum pernah sekalipun menemuinya. Hanya sesekali bertanya pada Ustadz Hakim tentang perkembangannya di sana. Kabar baik aku dapatkan. Kiyomi begitu tekun memperdalam ilmu agama, bahkan ia sempat menangis ketika Ustadz H
"Papa senang akhirnya kamu bisa fokus pada pekerjaan. Perusahaan kita makin maju di tanganmu," ucap Papa ketika kami tengah mengobrol di ruang tengah. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Satu tahun sudah semenjak pertemuanku dengan Khanza di pesta pernikahan Aidan, kami tidak pernah bersua kembali. Hanya kabar terakhir yang kudengar dari Mama, bahwa Khanza baru saja melahirkan. Akhirnya, impian Khanza untuk memiliki momongan terkabul. Aku turut senang mendengar kabar bahagia itu meski dalam sudut hati yang lain merasa iri. Kenapa bukan aku ayah dari anak yang dikandung Khanza? Mengapa di saat ia menikah dengan pria lain, Tuhan memberi anugerah sebesar itu kepada mantan istriku?"Emir.""Ya, Pa?" Guncangan di bahu aku rasakan. Sepertinya aku terlalu larut dalam lamunan tentang mantan istriku hingga tidak mendengar panggilan dari Papa. "Melamun lagi, hmm?" tanyanya. Aku menghela napas. "Sedikit." Papa memandang sendu putranya ini. Wajahnya yang tadi ceria berubah murung ketika m
"Wildan dan Khanza dinyatakan kritis."Keterangan dari Ustadz Hakim membuat tubuhku makin lemas. Tidak. Khanza tidak boleh pergi meninggalkanku selamanya. Dia harus sembuh karena ada bayinya yang sangat membutuhkannya. Papa menuntunku untuk duduk di kursi tunggu. Beliau mengusap punggung putranya ini yang masih tidak percaya dengan apa yang terjadi. Mengapa orang-orang baik seperti mereka harus mengalami hal tragis seperti ini? Mengapa tidak aku saja yang menggantikan posisi mereka?"Khanza tidak akan pergi kan, Pa? Dia harus tetap hidup demi anaknya. Katakan pada Dokter untuk menyelematkan mereka. Berapapun biayanya tidak masalah. Emir akan membayar semuanya," racauku seraya meremas rambut dengan kasar. "Tenanglah. Daripada meracau seperti ini lebih baik kamu berdoa. Papa paham perasaanmu. Tapi kita tidak bisa melawan apa yang sudah Tuhan gariskan untuk setiap umatnya," ucapnya bijak.Ya, aku paham dan mengerti maksud ucapan Papa. Akan tetapi, tetap saja hati ini dilanda ketakutan
"Lebih baik Mas Emir mencari wanita lain untuk dijadikan pendamping. Jangan wanita cacat sepertiku yang bahkan untuk berjalan saja susah."Itulah jawaban Khanza atas pertanyaanku hari itu. Dia menolak ketika aku melamarnya secara langsung. Akan tetapi, bukan Emir namanya jika menyerah begitu saja. Akan kulakukan berbagai cara untuk membujuknya agar ia mau menerima. "Mas tidak menginginkan wanita lain. Jika mau, Mas bisa saja menerima Kiyomi yang tergila-gila sama Mas. Tapi Mas menolaknya karena memang tidak mencintainya. Hanya kamu dan cuma kamu. Andai kita tidak bisa bersama lagi, lebih baik Mas menduda seumur hidup," tuturku selembut mungkin. Berharap ia merasa tersanjung atas penuturanku barusan. "Manis sekali. Andai saja dulu Mas bisa bersikap seperti itu. Tegas menolak hadirnya wanita lain di tengah pernikahan kita. Mungkin jalan ceritanya akan berbeda," pungkasnya yang selalu berhasil membuatku tak berkutik. "Mas rela meminta maaf sampai beribu-ribu kali untuk hal yang satu i
"Mas, jangan deket-deket! Aku mual nyium bau badan kamu!"Aku menghela napas pasrah sembari menuruti keinginannya. Memberi jarak agak jauh karena dia yang katanya mual jika berdekatan denganku. Kehamilan Khanza kali ini lebih parah dari yang pertama. Itu yang ia katakan ketika aku bertanya tentang perbedaan dengan kehamilannya yang dulu. Jika dulu ia masih bisa makan nasi, maka sekarang mencium baunya saja ia langsung muntah. Dan yang paling parah, ia selalu mengusirku jika suaminya ini sedang ingin bermanja dengannya. Akan tetapi, aku tetap bersabar demi dia dan calon bayi kami. Apa pun keinginannya akan aku turuti termasuk ketika ia memintaku mengambilkan mangga muda di pohon yang letaknya di depan rumah Ustadz Hakim. Bayangkan. Malam-malam kami berangkat ke Ciamis demi memenuhi permintaan ngidamnya yang aneh.Namun meski begitu, aku bahagia. Akhirnya aku bisa menjadi seorang ayah dari anak yang lahir dari rahim wanita yang sangat kucintai. Rumah tanggaku dengan Khanza di pernik
"Den, Maaf Bibi mengganggu. I-itu ... Nyonya Khanza. Nyonya pergi dari rumah."Aku terperanjat mendengar perkataan Bi Minah di seberang sana. Kupunguti pakaian yang berserakan serta bergegas mengenakannya. Tak kuhiraukan wanita di sampingku yang menatap penasaran dengan apa yang terjadi hingga aku bisa sepanik ini. Yang terpenting sekarang aku harus segera pulang untuk memastikan bahwa apa yang asisten rumah tanggaku ucapkan tidaklah benar."Ada apa, Mas? Terjadi sesuatu?" tanyanya sembari menaikkan selimut yang menutupi tubuh po losnya hingga sebatas dada. "Mas harus pulang, Najwa. Bi Minah barusan bilang kalau Khanza pergi dari rumah.""A-apa? Mbak Khanza pergi?""Ya. Maaf karena malam ini Mas tidak bisa menginap di sini.""Iya, gak papa, Mas. Aku ngerti kamu pasti mengkhawatirkan Mbak Khanza.""Terima kasih, Sayang. Mas janji akan mengganti waktu kebersamaan kita di lain hari. Jaga diri kamu baik-baik."Setelah mengecup keningnya sekilas, aku bergegas keluar dari kamar yang hampir
Ijab qobul sebentar lagi akan dilaksanakan. Aku bersama Najwa juga Papa dan Mama duduk di barisan paling depan atas arahan dari salah satu murid Ustadz Hakim. Mata ini meneliti sekeliling, mencari sosok yang berhasil membuatku terjaga semalaman. Wanita bercadar yang diperkenalkan Ustadz Hakim sebagai anak angkatnya itu tidak terlihat di manapun. Entah mengapa diri ini ingin sekali bertemu dengannya lagi untuk memastikan bahwa dugaanku benar. Dia Khanza. Istriku yang telah hilang selama satu tahun lamanya.Debar di dada ini ketika kami sempat saling tatap, mengingatkanku pada pertemuan pertama kami, dulu. Meski dia seolah tidak mengenaliku, tetapi hati ini tidak akan bisa dikelabui. Dia Khanza-ku. Ya, aku yakin dia istriku. Sepertinya aku memang harus mencari tahu siapa dia sebenarnya. Andaikan dia memang Khanza, aku tidak akan menyiakan kesempatan untuk segera membawanya kembali ke rumah kami."Sah!""Sah!"Ucapan serempak dari para saksi mengembalikan kesadaran diri ini dari lamunan
"Mas, jangan deket-deket! Aku mual nyium bau badan kamu!"Aku menghela napas pasrah sembari menuruti keinginannya. Memberi jarak agak jauh karena dia yang katanya mual jika berdekatan denganku. Kehamilan Khanza kali ini lebih parah dari yang pertama. Itu yang ia katakan ketika aku bertanya tentang perbedaan dengan kehamilannya yang dulu. Jika dulu ia masih bisa makan nasi, maka sekarang mencium baunya saja ia langsung muntah. Dan yang paling parah, ia selalu mengusirku jika suaminya ini sedang ingin bermanja dengannya. Akan tetapi, aku tetap bersabar demi dia dan calon bayi kami. Apa pun keinginannya akan aku turuti termasuk ketika ia memintaku mengambilkan mangga muda di pohon yang letaknya di depan rumah Ustadz Hakim. Bayangkan. Malam-malam kami berangkat ke Ciamis demi memenuhi permintaan ngidamnya yang aneh.Namun meski begitu, aku bahagia. Akhirnya aku bisa menjadi seorang ayah dari anak yang lahir dari rahim wanita yang sangat kucintai. Rumah tanggaku dengan Khanza di pernik
"Lebih baik Mas Emir mencari wanita lain untuk dijadikan pendamping. Jangan wanita cacat sepertiku yang bahkan untuk berjalan saja susah."Itulah jawaban Khanza atas pertanyaanku hari itu. Dia menolak ketika aku melamarnya secara langsung. Akan tetapi, bukan Emir namanya jika menyerah begitu saja. Akan kulakukan berbagai cara untuk membujuknya agar ia mau menerima. "Mas tidak menginginkan wanita lain. Jika mau, Mas bisa saja menerima Kiyomi yang tergila-gila sama Mas. Tapi Mas menolaknya karena memang tidak mencintainya. Hanya kamu dan cuma kamu. Andai kita tidak bisa bersama lagi, lebih baik Mas menduda seumur hidup," tuturku selembut mungkin. Berharap ia merasa tersanjung atas penuturanku barusan. "Manis sekali. Andai saja dulu Mas bisa bersikap seperti itu. Tegas menolak hadirnya wanita lain di tengah pernikahan kita. Mungkin jalan ceritanya akan berbeda," pungkasnya yang selalu berhasil membuatku tak berkutik. "Mas rela meminta maaf sampai beribu-ribu kali untuk hal yang satu i
"Wildan dan Khanza dinyatakan kritis."Keterangan dari Ustadz Hakim membuat tubuhku makin lemas. Tidak. Khanza tidak boleh pergi meninggalkanku selamanya. Dia harus sembuh karena ada bayinya yang sangat membutuhkannya. Papa menuntunku untuk duduk di kursi tunggu. Beliau mengusap punggung putranya ini yang masih tidak percaya dengan apa yang terjadi. Mengapa orang-orang baik seperti mereka harus mengalami hal tragis seperti ini? Mengapa tidak aku saja yang menggantikan posisi mereka?"Khanza tidak akan pergi kan, Pa? Dia harus tetap hidup demi anaknya. Katakan pada Dokter untuk menyelematkan mereka. Berapapun biayanya tidak masalah. Emir akan membayar semuanya," racauku seraya meremas rambut dengan kasar. "Tenanglah. Daripada meracau seperti ini lebih baik kamu berdoa. Papa paham perasaanmu. Tapi kita tidak bisa melawan apa yang sudah Tuhan gariskan untuk setiap umatnya," ucapnya bijak.Ya, aku paham dan mengerti maksud ucapan Papa. Akan tetapi, tetap saja hati ini dilanda ketakutan
"Papa senang akhirnya kamu bisa fokus pada pekerjaan. Perusahaan kita makin maju di tanganmu," ucap Papa ketika kami tengah mengobrol di ruang tengah. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Satu tahun sudah semenjak pertemuanku dengan Khanza di pesta pernikahan Aidan, kami tidak pernah bersua kembali. Hanya kabar terakhir yang kudengar dari Mama, bahwa Khanza baru saja melahirkan. Akhirnya, impian Khanza untuk memiliki momongan terkabul. Aku turut senang mendengar kabar bahagia itu meski dalam sudut hati yang lain merasa iri. Kenapa bukan aku ayah dari anak yang dikandung Khanza? Mengapa di saat ia menikah dengan pria lain, Tuhan memberi anugerah sebesar itu kepada mantan istriku?"Emir.""Ya, Pa?" Guncangan di bahu aku rasakan. Sepertinya aku terlalu larut dalam lamunan tentang mantan istriku hingga tidak mendengar panggilan dari Papa. "Melamun lagi, hmm?" tanyanya. Aku menghela napas. "Sedikit." Papa memandang sendu putranya ini. Wajahnya yang tadi ceria berubah murung ketika m
Keinginan Kiyomi untuk berpindah agama ternyata tidak main-main. Ia sangat antusias ketika aku mempertemukan dia dengan Ustadz Hakim. Semoga saja jalannya dipermudah hingga ia benar-benar diberi hidayah untuk berubah. Aku sendiri memilih berpamitan setelah menitipkan Kiyomi di sana. Awalnya wanita itu keberatan, tetapi aku meyakinkan dia bahwa aku akan sesekali mengunjunginya. Jujur aku masih tidak menduga dia bisa senekat itu demi seorang pria. Bahkan Kiyomi sampai menentang kedua orang tuanya karena melarang gadis itu berpindah agama. Cinta memang buta dan pepatah itu benar adanya. Namun, aku salut karena dengan kejadian ini, Kiyomi berniat memeluk Islam dan semoga saja ia akan Istiqomah dengan niatnya tersebut. Dua bulan sudah gadis itu tinggal di Pondok dan aku belum pernah sekalipun menemuinya. Hanya sesekali bertanya pada Ustadz Hakim tentang perkembangannya di sana. Kabar baik aku dapatkan. Kiyomi begitu tekun memperdalam ilmu agama, bahkan ia sempat menangis ketika Ustadz H
Pov Emir"Selamat menempuh hidup baru lagi. Mas akan selalu mendoakan semoga kalian berbahagia sampai maut memisahkan."Doa yang aku ucapkan untuk Khanza benar-benar tulus. Mantan istri yang masih sangat kucintai itu memang berhak mendapatkan kebahagiaan bersama pria yang tepat untuknya. Dokter Wildan. Pria itu sudah sah menjadi suami Khanza, menggantikan diriku yang kini harus mengikhlaskan mereka berdua. Benar apa yang dikatakan Papa. Tidak semua hal yang kita inginkan akan kita dapatkan, termasuk ketika aku ingin memiliki Khanza kembali. Aku yang telah menyakitinya. Aku juga yang telah membuang dengan memilih melepaskannya. Kini aku harus memetik hasil dari keputusanku tersebut. Mengikhlaskan ia bersama pria lain yang jauh lebih baik dariku. "Terima kasih, Mas."Suara lembutnya terdengar bergetar. Ia menangis. Entah karena bahagia atau justru karena mengasihani mantan suaminya ini. Tidak. Aku tidak boleh membuatnya menangis, apalagi di hari bahagianya. Karena itulah, aku bergeg
Pov Khanza. "Boleh minta waktunya sebentar? Ada yang ingin saya bicarakan padamu."Suara Dokter Wildan menghentikan langkahku yang baru saja keluar dari ruang rawat Najwa. Berbalik, aku bisa melihat keseriusan di wajahnya. "Anda ingin bicara apa?""Bagaimana kalau sambil makan siang di Kantin? Supaya ngobrolnya agak enakan," tawarnya. Aku sempat ragu karena sebenarnya tidak nyaman jika harus berduaan dengannya. Akan tetapi, mengingat mungkin saja apa yang akan ia bicarakan adalah hal yang penting, maka terpaksa aku menyetujuinya. "Boleh."Dokter Wildan mempersilakan aku untuk berjalan terlebih dahulu, sedangkan dia mengikut di belakangku. Kami memasuki Kantin yang cukup ramai karena memang sudah saatnya jam makan siang. "Apa yang ingin Anda bicarakan?" tanyaku setelah pesanan kami datang. Dokter Wildan yang duduk berhadapan denganku memberi isyarat agar kami makan terlebih dahulu sebelum memulai obrolan. Menghela napas, kuturuti keinginannya meski hati sedikit jengkel. Tidak tah
"Kamu?"Ternyata informasi dari Mama memang benar. Kiyomi sudah duduk manis di ruang tamu dan ditemani Mama yang memasang wajah ditekuk. Sangat kentara kalau ia tidak menyukai kedatangan wanita ini. "Emir! Akhirnya kita bertemu lagi."Kiyomi berdiri, bergerak mendekat ke arahku yang masih mematung di ambang pintu. Hampir saja wanita ini mendaratkan kecupan di pipi, tetapi beruntung, aku dengan sigap menjauh dari jangkauannya. Kiyomi terlihat kecewa dan aku sama sekali tidak peduli. Gadis asal Tokyo ini memang cukup fasih berbahasa Indonesia karena ia pernah bercerita bahwa dulu pernah menetap cukup lama di sini bersama orang tuanya. Namun, setelah Kiyomi lulus SMA, mereka kembali ke negara asal karena kedua orang tuanya harus mengurus perusahaan keluarga yang terbengkalai. Perkenalanku dengan gadis itu ketika ia berkunjung ke salah satu Resto milikku. Kiyomi ternyata salah satu teman baik dari Daniel, sahabat sekaligus partner kerjaku di sana. Gadis itu memang cantik, pun dengan pe
Pov Emir."Emir, Najwa kecelakaan dan dia ingin bertemu denganmu."Berita tentang Najwa telah kudengar dari Aidan. Mantan kakak iparku tersebut memintaku untuk datang ke rumah sakit dan menjenguk Najwa yang katanya ... selalu memanggil namaku. Tak aku pungkiri, rasa cemas tentu hadir ketika mendengar berita itu. Apalagi Aidan berkata bahwa kondisi Najwa bisa dikatakan cukup parah. "Biar Mama yang menemani kamu ke sana."Aku bernapas lega ketika Mama bersedia mengantarku. Beliau pasti mengerti bahwa putranya ini agak canggung jika harus datang ke sana sendirian, mengingat statusku dan Najwa yang hanya sebatas mantan. Namun, ada yang sedikit mengganjal ketika mengingat kembali perkataan Aidan. Najwa selalu memanggil namaku bahkan sebelum ia sadarkan diri sepenuhnya. Sebenarnya, ada apa dengan Najwa? Mengapa setelah kami berpisah cukup lama, ia masih saja menyimpan namaku di hatinya?Setengah jam perjalanan terasa sangat cepat. Aku dan Mama langsung menuju ruang rawat Najwa atas petun