Pada malam harinya, dari pihak kerajaan pun sudah bersiaga penuh dengan menyiapkan armada tempur dan para prajurit yang berjumlah sekitar delapan ribu orang dengan perlengkapan senjata yang mumpuni siap digunakan untuk menghadapi serangan lawan yang mereka anggap sebagai pemberontak.
Begitu juga dengan para prajurit Padepokan Dewa Petir, mereka sudah bersiap hendak melakukan serangan pertama ke jantung pertahanan musuh yang telah menguasai daerah tersebut.
Meskipun mereka kalah jumlah. Namun, mereka tampak berani dan tidak merasa gentar dalam menghadapi para prajurit kerajaan yang bersenjatakan lengkap itu, karena mereka didukung oleh dua pasukan siluman yang memiliki kekuatan tinggi dan sukar direksi keberadaannya.
"Bersiaplah!" seru Jasena duduk di pelana kudanya dengan sebilah pedang menyanggul di punggung.
"Berangkatlah sekarang!" perintah Wanara mengarah kepada para prajuritnya yang sudah tidak sabar lagi hendak melakukan pengusiran terhadap para
Senapati Loguna kemudian bertempur semakin cepat. Sambil mengerutkan kening ia melihat korban tusukan pedang Jasena bergelimpangan. Mereka adalah para prajurit setianya yang masih bertahan menemaninya bertempur.Namun kemudian terasa bahwa ia harus berbuat lebih banyak lagi dari yang sudah dilakukannya. "Aku tidak boleh berlari dari pertempuran ini. Aku harus bisa mengalahkan mereka," desis Senapati Loguna dalam hati.Senapati Loguna masih selalu dapat mengendalikan diri agar tidak gegabah dalam melakukan serangan terhadap para prajurit Padepokan Dewa Petir. Terutama kepada Wora Saba yang tengah dihadapinya itu.Oleh sebab itu, ia pun kemudian langsung menghunus pedangnya. Bukan karena terdesak oleh kemarahan yang membabi buta. Tapi dengan perhitungan-perhitungan yang menentukan, bahwa ia memang harus menggunakan senjata andalannya itu setelah pedang yang pertama ia keluarkan patah oleh pedang Wora Saba.Kilauan cahaya keluar dari ujung pedang te
Usai terbunuhnya dua senapati kerajaan Rawamerta. Yakni, Senapati Landaka dan Senapati Loguna, maka Jasena segera memerintahkan para prajuritnya untuk mengevakuasi jasad prajurit yang telah binasa dan juga mengevakuasi para prajurit yang terluka akibat pertempuran pada malam itu.Setelah itu, pasukannya langsung kembali ke perkemahan untuk mengurus para prajurit yang menjadi korban dari pertempuran itu, sekaligus hendak beristirahat sejenak.Wanara melarang keras para prajuritnya agar tidak menghancurkan barak milik para prajurit kerajaan Rawamerta. Karena, ia berniat akan merebut barak tersebut dalam serangan berikutnya, dan akan menjadikannya sebagai markas utama bagi para prajurit Padepokan Dewa Petir.Setibanya di perkemahan, Jasena dan Sumadra langsung menghadap Wanara yang saat itu tengah berbincang dengan Ramanggala yang baru saja tiba di perkemahan tersebut dengan membawa tujuh ribu pasukan, sehingga padukan di perkemahan itu bertambah menjadi dua belas
Karena para prajurit itu sudah merasa terdesak. Mereka pun sudah tidak bisa bertahan lagi, maka terdengar sebuah isyarat dari mulut salah seorang prajurit tersebut.Sepertinya salah seorang dari prajurit itu sedang memanggil prajurit lainnya untuk membantu mereka menghadapi Wanara yang tiba-tiba muncul dan berhasil mengalahkan mereka.'Tuiiit ... tuiiit!' Seperti itulah bunyi isyarat dari prajurit tersebut.Beberapa saat kemudian, beberapa prajurit telah berhamburan keluar dari sebuah saung penjagaan yang ada di depan gerbang barak tersebut, mereka mendekat Wanara dan membuat formasi melingkar.Enam prajurit itu langsung mengepung Wanara dengan menodongkan senjata tombak mereka.Wanara hanya berdiam diri dengan sikap tenang.Ia mengerutkan keningnya sambil berkata dalam hati, "Mereka memang benar-benar mempunyai nyali yang sangat besar."Namun kemudian terdengar salah seorang dari para prajurit itu yang terluka parah
Prabu Bagaskara geram sekali dengan kegagalan para prajuritnya yang bertugas di wilayah kademangan Turonggo. Ditambah lagi dengan hadirnya beberapa pendekar yang sengaja berkunjung ke istana dengan sikap yang tidak sopan dan menjengkelkan.Akan tetapi, Prabu Bagaskara tidak dapat berbuat apa-apa, karena jika dirinya berlaku kasar terhadap para pendekar itu. Maka sudah dapat dipastikan, mereka tidak akan mau membantunya dalam mengatasi pemberontakan yang tengah gencar dilakukan oleh para prajurit dari Padepokan Dewa Petir."Kenapa tidak kita usir saja mereka, Gusti Prabu!" kata Panglima Jaya Wiguna menyarankan. Ia merasa gusar dengan sikap diam Prabu Bagaskara."Hei, kau ini bicara apa? Kita akan kehilangan dukungan, jika mereka kita usir!" hardik sang raja mendelik ke arah Panglima Jaya Wiguna.Entah kenapa, Panglima Jaya Wiguna hanya diam saja? Biasanya ia selalu menentang keputusan raja, jika dinilainya tidak sesuai dengan kehendak dan pemikirannya. Aka
Ketika menginjak hari kelima penyerangan terhadap pertahanan pihak kerajaan yang berbasis di kademangan Turonggo.Para prajurit Padepokan Dewa Petir kembali bersiap untuk melakukan pertempuran. Mereka hendak menghadang kedatangan ribuan para prajurit kerajaan Rawamerta.Kali ini, Wanara turut serta dalam pertempuran tersebut, dan akan memimpin pasukannya bersama Ramanggala.Mendadak terdengar suara seruan dari seorang prajurit senior, "Para prajurit! Berikan jalan untuk yang mulia Raja Bumi!"Seketika muncullah Wanara yang telah mengenakan pakaian kebesarannya sebagai seorang pimpinan dari pasukannya. Ia tersenyum lebar melangkah menuju ke barisan terdepan dari ribuan pasukannya itu, diikuti oleh Ramanggala, Jasena, dan para panglima prajurit.Hari itu dua pasukan berkekuatan besar dan berjumlah ribuan prajurit sudah saling berhadap-hadapan di sebuah sabana luas yang akan menjadi arena pertempuran pada saat itu."Wanara! Sebaiknya kau urungk
Maka dari pihak pasukan kerajaan tinggal Panglima Jaya Wiguna bersama Senapati Karama serta lima panglima saja yang memimpin perang. Sementara yang lainnya sudah kabur meninggalkan arena pertempuran.Wanara dalam pertempuran itu, sudah membuktikan kegagahan dirinya. Hingga akhirnya Senapati Karama dan lima panglima lainnya kabur dari arena pertempuran itu.Tiba-tiba muncul pula Sumadra yang ikutan menyerang Panglima Jaya Wiguna dari udara. Ia tidak segan-segan langsung menyabetkan pedangnya ke arah Panglima Jaya Wiguna yang tengah berhadap-hadapan dengan Wanara.Dengan gerakan cepat, Panglima Jaya Wiguna segera menghindar dari terjangan pedang yang hampir mengenai tubuhnya. Sehingga serangan dari Sumadra hanya mengenai angin kosong saja.Panglima Jaya Wiguna berdiri sambil memandang sinis ke arah Sumadra dan Wanara yang ada di hadapannya. Sedikitpun ia tidak merasa gentar menghadapi kedua pendekar itu."Semua prajurit sudah meninggalkan dirimu send
Senapati Karama dan para prajurit seniornya langsung menghadap Prabu Bagaskara setelah mereka gagal dalam perang. Raut wajah mereka tampak mendung, seakan-akan merasa sangat bersedih karena mengalami kekalahan dalam perang tersebut.Raja Bagaskara merasa kebingungan hingga bertanya, "Hai! Kalian kenapa? Kenapa kalian bersedih? Apa yang ada dalam pikiran kalian?""Maaf, Gusti Prabu. Kami menangis karena kami sudah kalah perang, dua senapati andalan kita telah binasa dan juga dua panglima kita pun tewas oleh keganasan pasukan Wanara. Hal inilah yang membuat kami berduka dan merasa bersedih, Gusti Prabu," jawab Senapati Karama tertunduk di hadapan sang raja.Prabu Bagaskara geleng-geleng kepala melihat sikap senapatinya. Lantas, ia pun berkata, "Yang namanya pertempuran itu, mau kalah ataupun menang. Itu adalah persoalan biasa, kau tidak boleh larut dalam suasana duka! Kau ini seorang pemimpin prajurit, harus kuat dan berani!" tegas sang raja.Mendengar perk
Tujuh hari setelah terbentuknya kerajaan Bumi yang sah. Dewa Kilat Narasoma diutus oleh Dewa Petir untuk menemui Wanara sang raja bumi, ada hal penting yang hendak disampaikan oleh Dewa Kilat Narasoma kepada sang raja bumi atas titah dari pimpinan tertinggi di kerajaan langit.Pada saat itu, Dewa Kilat Narasoma pun terbang melayang bersama dua pengawalnya. Saat Dewa Kilat Narasoma turun dari langit, mereka menjadi heran ketika melihat istana kerajaan masih dalam bentuk sebuah bangunan barak sederhana yang dikelilingi pagar yang terbuat dari batangan kayu hutan saja yang sebagian sudah tampak rapuh.Sejumlah prajurit berdiri berkelompok tengah membahas sesuatu, mereka teramat kaget dengan kehadiran tiga sosok misterius yang tiba-tiba meluncur menembus kegelapan malam dan mendarat di hadapan mereka.Sontak semua prajurit yang tengah berjaga itu langsung menghunus pedang mereka masing-masing."Siapa kalian? Dan ada urusan apa kalian datang ke tempat kami?" tan
Setelah berhasil mengalahkan siluman-siluman tersebut, Raja Wanara langsung mengajak para senapatinya untuk kembali ke tenda saat itu juga. Sementara itu, kedua permaisurinya pun sudah terjaga dari tidur mereka, dan tengah menunggu kedatangan suami mereka dengan perasaan cemas. Setibanya di perkemahan, sang raja segera memerintahkan kepada para prajuritnya agar tidak lengah dan bersiaga penuh secara bergiliran. Karena, sang raja khawatir akan datang kembali teror dari para siluman utusan Raja Nainggolo. "Sebaiknya, kalian tetap bersiaga dan berjaga secara bergiliran!" kata sang raja mengarah kepada salah seorang prajurit senior yang bertanggung jawab atas tugas keamanan di perkemahan tersebut. "Baik, Baginda Raja. Hamba akan segera mengaturnya," jawab prajurit senior itu. Malam terasa semakin dingin, suasana pun sudah mulai sepi. Tidak terlalu gaduh oleh hilir-mudik para prajurit, karena sebagian dari mereka sudah terlelap tidur. Dan hanya men
Siluman itu sangat tangguh. Ia dapat bertarung dengan sebaik-baiknya. Meskipun usianya sudah tua, namun ia memiliki pengalaman dan kemampuan memancing Raja Wanara dengan gerak tipu yang diperagakannya."Kau telah melumpuhkan kawanku, maka terimalah pembalasan dariku ini!" bentak siluman itu bersuara keras dan terdengar parau."Berhentilah! Jangan kau menganggu kami!" Raja Wanara pun balas membentak sambil meloncat tinggi dan memukul keras kepala makhluk tersebut.Sontak tubuh siluman itu terhempas jauh hingga membentur batu padas yang ada di sekitaran tempat tersebut. Akan tetapi, ia tidak menyerah begitu saja. Siluman itu bangkit dan menggeram sambil menatap tajam wajah sang raja, dari mulutnya menyemburkan api bak seekor naga."Hati-hati, Baginda Raja!" teriak Senapati Jasena tampak khawatir melihat pemandangan seperti itu.Raja Wanara hanya tersenyum sambil meloncat tinggi demi menghindari serangan dari siluman tersebut yang menyemburkan api dar
Pada malam harinya, Raja Wanara dan ketiga senapatinya tengah berbincang santai di depan tenda sambil menikmati sajian sederhana yang tersedia di hadapan mereka.Sementara itu, Santika dan Sekar Widuri sudah terlelap tidur di dalam tenda dengan dikawal ketat oleh para prajurit wanita yang menjadi pengawal pribadi sang ratu."Susana malam ini sangat dingin sekali. Akan tetapi, langit sangat cerah dan bulan pun bersinar terang. Sungguh indah luar biasa," desis Senapati Yandradipa mengangkat wajahnya menatap keindahan langit yang tampak cerah itu."Mungkin ini pertanda akan datangnya musim kemarau, setelah lama kita mengalami musim Siak," sahut sang raja sambil menikmati hidangan sederhana yang disajikan oleh para pelayannya.Kemudian, Senapati Jasena menyahut pula, "Iya, Baginda. Sepertinya ini memang sudah waktunya pergantian musim."Raja Wanara menghela napas dalam-dalam, kemudian mengangkat wajahnya dan memandangi langit yang tampak cerah itu, ser
Ketika matahari sudah terik dan terasa panas menyengat. Maka, Senapati Jasena langsung menyeru kepada para prajuritnya untuk segera beristirahat dan mendirikan tenda di sebuah hutan yang ada di bawah perbukitan dekat dengan lembah Kalen Laes yang masih masuk ke dalam wilayah kerajaan Bayu Urip bagian timur."Sebaiknya kita beristirahat saja dulu! Ini adalah tempat yang bagus, sang raja pasti menyukai tempat ini!" seru Senapati Jasena. "Kalian segera dirikan perkemahan dan persiapkan makanan untuk sang raja dan permaisurinya!" sambung Senapati Jasena kepada para prajurit dan juga para pelayan yang ikut dalam rombongan tersebut."Baik, Gusti Senapati," sahut salah seorang pimpinan pelayan tersebut menjura kepada sang senapati.Setelah itu, mereka pun langsung membagi tugas dengan mendirikan tenda terlebih dahulu untuk dijadikan tempat penyimpanan bahan-bahan makanan. Setelah itu, mereka segera mempersiapkan kebutuhan untuk memasak dengan dibantu oleh puluhan p
Setelah kematian Rosapati, akhirnya para pendekar dari gerombolan tersebut, merasakan bahwa mereka telah dikelilingi oleh beberapa prajurit yang kuat. Mereka menyerang dengan begitu semangat dari berbagai penjuru.Demikian pula dengan Senapati Yamadaka dan Senapati Yandradipa, mereka memiliki ketangkasan dalam memainkan pedang mereka. Sehingga lawan-lawannya tidak pernah berhasil menyentuh tubuh kedua senapati itu dengan ujung senjata mereka."Kita sudah akal dan cara untuk mengalahkan para prajurit itu, kita tidak bisa lagi melanjutkan perlawanan terhadap mereka. Sebaiknya kita lari saja dari tempat ini! Kau lihat sendiri, Rosapati pun sudah binasa!" ujar salah seorang pendekar dari kelompok pemberontak itu. Ia mulai ragu melihat pemandangan seperti itu.Kawannya itu hanya dapat menggeram dan menahan kemarahan karena ia dan kawan-kawannya tidak dapat membebaskan diri dari cengkraman para prajurit kerajaan Bumi. Lawannya yang mereka hadapi ternyata memiliki
Ketika rombongan Raja Wanara sudah tiba di sebuah hutan yang berada di luar wilayah kerajaan Bumi. Tepatnya di sebuah alas yang masuk ke dalam wilayah kedaulatan kerajaan Bayu Urip, tenyata rombongan tersebut sudah dihadapkan dengan sebuah ancaman dari kelompok kecil yang sering melakukan teror di wilayah kerajaan Bayu Urip. Mereka berusaha untuk melakukan tindakan penghadangan terhadap rombongan Raja Wanara.Para prajurit yang mengawal sang raja tampak siap dalam menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi. Karena mereka sudah diberi tugas secara langsung oleh Senapati Jasena pada setiap kelompok yang ada di bawah pimpinan panglima masing-masing. Senapati Jasena telah memerintahkan para prajuritnya untuk melawan siapa saja yang dianggap berbahaya terhadap keselamatan sang raja dan kedua permaisurinya."Siapa mereka?" tanya sang raja mengerutkan kening sambil mengamati puluhan orang bersenjatakan pedang berbaris rapi menghadang di tengah jalan.Kemudian,
Keesokan harinya, Senapati Jasena dan para prajuritnya langsung melakukan persiapan jelang keberangkatan mereka pada hari itu menuju ke wilayah kerajaan Buana Loka, dalam rangka kunjungan persahabatan dari pihak kerajaan Bumi kepada pihak kerajaan Buana Loka yang merupakan sebuah kerajaan sahabat yang kini menjadi sekutu kerajaan Bumi.Dengan gagahnya, ia melangkah menuju ke barak para pelayan yang berada di belakang barak prajurit. Sang senapati langsung menghampiri salah seorang kepala pelayan yang hendak ikut dalam rombongan Raja Wanara."Selamat datang di barak kami, Gusti Senapati," ujar seorang pria berusia sekitar 30 tahun dengan sikap ramahnya menjura kepada sang senapati.Senapati Jasena hanya tersenyum, lalu berkata, "Sebaiknya pedati yang mengangkut barang logistik kebutuhan makanan dan lainnya langsung dikeluarkan sekarang! Tunggu di depan istana, sebentar lagi kita akan segera berangkat!" perintah Senapati Jasena kepada para pelayan istana dan kusir yang
Satu hari menjelang keberangkatan rombongan sang raja. Maka, Senapati Jasena dan dua senapati lainnya yang hendak ikut mengawal sang raja sudah mempersiapkan segalanya yang tentu akan dibutuhkan dalam melakukan perjalanan jauh tersebut."Apakah kita perlu membawa pasukan panah, Senapati?" tanya Senapati Yandradipa mengarah kepada Senapati Jasena yang merupakan panglima senior di kerajaan Bumi."Aku rasa mereka sangat penting untuk dilibatkan dalam pengawalan ini. Kau siapkan 50 prajurit panah yang benar-benar memiliki kemampuan tinggi! Sisanya bawa saja para prajurit campuran dan jangan lupa sertakan lima orang kusir pedati yang akan membawa barang-barang keperluan logistik dan peralatan lainnya!" jawab Senapati Jasena menuturkan.Dengan demikian, Senapati Yandradipa dan Senapati Yamadaka langsung meluncur ke barak prajurit yang berada di belakang istana utama, untuk menyiapkan para prajuritnya yang akan diperintahkan untuk mengawal sang raja dan kedua perma
Pagi itu, Panglima Yandradipa dan Yamadaka sudah berada di ruang utama istana kerajaan Bumi. Mereka datang memenuhi undangan dari sang raja, bahkan dijemput langsung oleh utusan istana yang diperintahkan oleh sang raja menjemput kedua punggawanya ke istana kepatihan Waraya timur."Aku sangat senang mendapat kabar tentang keberhasilan kalian," ujar sang raja tampak semringah. "Oleh sebab itu, kalian aku minta untuk datang ke istana ini. Karena, sang guru sepuh memintaku untuk menganugerahkan gelar kepada kalian berdua," sambung sang raja menyampaikan maksud dan tujuannya dalam mengundang kedua punggawanya tersebut.Panglima Yandradipa dan Yamadaka saling berpandangan, raut wajah mereka tampak semringah. Dengan kompaknya mereka menjura kepada Raja Wanara dan Maha Patih Ramanggala."Terima kasih, Baginda Raja. Ini merupakan bentuk penghormatan Baginda terhadap kami berdua," sahut Panglima Yandradipa sambil membungkukkan badan di hadapan sang raja.Raja Wan